Legend of Legends: Chapter IX — Devil Massacre

I hereby present Chapter 9: Devil Massacre! Enjoy ^_^

—————————————————————————————————————————

CHAPTER 9

DEVIL MASSACRE

                Beberapa koki masuk dan membawa berpiring-piring makanan yang beraneka ragam dan jelas sangat lezat, lalu menaruhnya berjajar di sepanjang meja. Para anggota tinggal membalik piring kosong yang sudah ada di hadapan mereka dan mengambil lauk atau sayuran yang mereka inginkan. Ada kalkun panggang, ikan panggang, steak, salad, dan berbagai macam masakan lainnya, buatan koki-koki terbaik Crin’s Blade. “Silahkan makan dulu sebelum rapat. Lebih baik makan memikirkan rapat daripada rapat memikirkan makan karena lapar,” kata Marino dan semua tertawa.

Setelah semua selesai makan, rapat dimulai. “Untuk mengantisipasi kapal dagang hipnotis?” Marino bertanya.

“Biar pasukan setempat yang tangani. Akan kuberikan perintah pada mereka.” kata Meissa.

“Oke. Masalah itu sangat mudah untuk diatasi. Kini, kita perlu membahas soal agresi besar-besaran Devilmare ke wilayah Dark Land. Kita harus membagi-bagi pasukan,” kata Ratu Darpy. “Dua belas anggota fraksi militer akan di sebar. Karena yang akan diserang ada tiga sektor, yaitu wilayah pantai Utara, Timur, dan Barat, maka dibagi rata saja. Pada tiap area tersebut disebar empat anggota fraksi dengan pasukannya,” usul Darpy.

Tadinya beberapa bergumam setuju, tapi Rido langsung berdiri untuk menyatakan keberatannya. “Kalian tidak tahu, dan sama sekali tidak mengerti. Yang akan menyerang wilayah pantai utara dan timur adalah pasukan Devilmare yang biasa. Tapi, yang akan menyerang wilayah barat adalah pasukan iblis. Lucifer’s force. Mereka BUKAN MANUSIA dan TIDAK MATI jika kalian menyerangnya dengan senjata biasa saja,” dan ruangan jadi berisik.

“Legenda memang menyebutnya begitu, walaupun semua catatan samar bercampur fikti. Lantas apa yang bisa kita lakukan?” tanya Tiza dari fraksi politik Apocalypse.

“Mereka memang tidak bisa mati, tapi mereka bisa hancur. Jika tangan mereka terpotong, satu senjata mereka kan tidak bisa dipakai. Jika kepala mereka terpotong, tubuh mereka masih bisa bergerak, tapi tidak bisa berpikir sehingga akan jatuh begitu saja. Apalagi dengan magic kita bisa menghancurkan mereka. Tapi sulit. Mereka bertubuh sangat besar. Satu saja bisa setinggi lima meter lebih,” Rido menjelaskan.

“Sok tahu kamu,” celetuk Darpy.

“Di kehidupan sebelum ini, aku memburu mereka,” kata Rido, yang wajahnya sama sekali tidak tampak karena tertutup bayangan dan helmnya.

“Oh, jadi kau zombie-mayat hidup? Selamat hidup kembali!” celoteh Darpy dengan tidak percaya. Seketika itu juga, Rido berdiri dan menghampiri Darpy sambil menghunus pedangnya yang amat besar.

“Mau apa kau?” tanya Darpy, agak ngeri melihat sosok setinggi dua meter itu. Rido melepas zirah yang menutupi lengannya dan melemparnya ke lantai marmer. Potongan zirah itu terbuat dari besi keras, namun jatuh tanpa suara ke permukaan marmer yang keras juga itu. Lengan Rido yang besar itu tak tertutup apapun. Lengan itu berwarna putih, seperti biasanya penduduk Dark Land yang… sudah mati.

Kulitnya amat pucat. Ia menjulurkan tangannya ke arah Darpy. “Jabatlah tanganku,” kata Rido, dan semua yang menonton menatap keheranan.

“Seperti maumu sajalah, Tuan Jendral Zombie,” Darpy, walau agak takut, menjabat tangan Rido dengan ekspresi meledek, tapi langsung saja ia terbelalak. Tangan itu begitu dingin, dan membuat seluruh bulu roma merinding. Tapi kejutan utama baru saja akan tiba.

Masih tertegun sambil menjabat tangan Rido yang kanan saja sudah membuat Darpy merinding, dan ia harus sport jantung karena Rido memotong lengan kanannya pada sikunya, dengan pedang di tangan kanannya. Spontan saja Darpy menjerit dan melempar potongan tangan Rido jauh-jauh.

Potongan tangan itu, maupun bagian lengan Rido yang baru saja dipotong, sama sekali tidak mengeluarkan darah. “Aku masih sangat muda. Kuberi tahu saja, aku baru dua puluh dua tapi kau bisa membuatku sakit jantung detik ini juga!” pekik Darpy menatap ngeri lengan Rido yang terpotong.

“Apa itu tidak sakit?” tanya Eko.

“Tentu saja, bodoh.” jawab Rido tanpa ekspresi, dan seluruh ruangan langsung GUBRAK!

Lalu Rido memungut potongan lengannya itu, dan menempelkannya kembali. Seketika itu juga, potongan lengan itu menempel mulus kembali pada tempatnya.

“Lalu apa rencanamu?” tanya Meissa yang setelah menonton adegan film horor itu masih tenang seakan tidak terjadi apa-apa.

“Utara cukup dijaga tiga pasukan saja. Timur, empat. Sisanya, yaitu empat pasukan, ke barat. Dan untuk menjaga wilayah barat, diperlukan pasukan-pasukan lain sebagai tambahan. The White Garda bisa dipakai juga jika anda mengizinkan, Yang Mulia Marino,” tapi Marino ternyata tidak setuju.

“Jester Riddikulo. Dia bisa saja tiba-tiba men-teleport pasukan ke tengah-tengah perkotaan sementara semua pasukan kita ada di daerah pantai. Aku ingin memakai The White Garda untuk mengamankan wilayahku saja. Begini, aku punya ide. Masing masing negara sebaiknya sumbang pasukan seperlunya disamping anggota fraksi militer negara tersebut untuk membantu melindungi wilayah pantai barat. Sebaiknya ada pasukan disisakan untuk mengamankan negara sendiri.” semuanya setuju.

“Untuk agresi ini, kita akan buat persiapan sejak tiga hari sebelum hari perkiraan tibanya mereka. Setuju?” tanya Darpy, dan seluruh anggota The Chain setuju.

“Tapi kita sekarang harus mengundi. Pasukan siapa menjaga mana. Dan tiap ketua harus memimpin secara umum tiap arah. Mari, saya buat undiannya,” usul Rozman dari fraksi militer Eleador.

Setelah sekian lama mengundi, akhirnya keputusan didapatkan. Untuk menjaga wilayah utara, ada pasukan Gabriela, lalu Pandecca dan Cremplin dari fraksi militer Apocalypse. Yang memimpin adalah Marino. Untuk wilayah timur, dijaga oleh Hermady, Bathack, keduanya dari fraksi militer Eleador, Marissa, dan Aldyan dari Apocalypse. Pimpinannya adalah Ratu Darpy. Untuk menjaga wilayah barat, yang tak perlu diundi lagi, ada Reza dari Apocalypse, Rido Matius, Arg dan Rozman dari Eleador, lalu Daffy.

Tentunya yang akan memimpin adalah Meissa. Semua yang akan memimpin pasukan menjaga arah barat, kecuali Rido, agak merinding. Namun, Bathack kelihatan amat khawatir. Wajar saja. Arah barat ini akan paling berbahaya dan sengit luar biasa, dan Meissa, sebagaimana hanya diketahui beberapa orang saja, sedang mengandung. Usia kandungannya masih sangat muda, tapi dapat dibilang sangat berbahaya untuk menunggang kuda dan menerjang segerombolan iblis.

Sidang ini disetujui oleh fraksi peradilan dan ditutup. Semua sedang keluar dari ruang rapat, saat akhirnya Marino menyadari bahwa masih ada dua orang di dalam ruangan. Mereka adalah Meissa dan Bathack. Marino masuk kembali ke dalam ruangan, tapi sempat terhenti sejenak. Ia sadar bahwa ini bukan urusannya, tapi saat mau melangkah keluar kembali, Meissa memanggilnya.

“Tolong bantu kami,” setelah menutup pintu, memastikan bahwa tidak ada yang mendengarkan, ia menghampiri keduanya. “Kau tahu bahwa Meissa akan punya anak. Dan dia sebentar lagi akan turun di medan perang dengan kuda dan berhadapan dengan pasukan raksasa yang tidak bisa mati. Rasanya itu agak mustahil. Tapi, jika ia minta untuk tidak ikut, orang akan bertanya-tanya mengenai alasan ketidak-ikut sertaannya, dan ini terlalu awal untuk membuka rahasia kami. Bagaimana menurutmu?” tanya Bathack.

“Ini adalah situasi yang amat sulit,” kata Marino, ”dan rasanya sulit untuk memilih salah satu. Kalau menurutku, mau tidak mau kalian harus mengumumkan pernikahan kalian. Ketidak ikutan Meissa tidak akan hanya mengundang hujan pertanyaan massa maupun istana, tapi juga akan mengakibatkan runtuhnya semangat pasukan asal Eleador di barat, maupun di utara dan selatan. Ini masalah keselamatan seluruh pulau, tapi tentunya akan luar biasa berbahaya.”

“Jika Meissa ikut pasukan kavileri Rozman, mungkin ia akan agak sulit disentuh oleh para iblis, mengingat kuda memudahkan teknik hit and run, tapi getaran dan hentakan yang ditimbulkan oleh kuda pada penunggangnya jelas amat berbahaya, karena Meissa sedang mengandung. Sedangkan jika ia ikut pasukan Arg, yang merupakan infantri, maka Meissa bisa bergerak agak leluasa tanpa mengganggu kandungannya, tapi akan amat berbahaya karena infantri yang lamban karena berjalan kaki, lebih mudah dihajar ketimbang kavileri yang lincah karena menunggang kuda. Meissa, ini pilihanmu. Kau harus memilih,” kata Marino akhirnya.

Meissa diam sejenak. Bathack memeluknya erat. “Aku menghargai pilihanmu. Apapun itu, tapi aku minta… pertimbangkanlah dengan matang,” katanya. “Baik. Aku… aku… akan bertempur dengan pasukan Arg. Setidaknya aku tidak akan menerima hentakan-hentakan punggung kuda, dan jika kalian menganggap aku tidak mampu melindungi diri dari iblis-iblis itu, kalian salah total,” kata Meissa.

“Aku janji. Seketika setelah aku berhasil menangani daerah utara nanti, aku akan menuju tempatmu,” kata Marino. “Terima kasih. Tolong jaga istriku nanti jika ini berhasil dan yang kau katakan terjadi,” kata Bathack.

Akhirnya tiba juga hari yang dinantikan, tentunya setelah kapal dagang tipuan berhasil dilumpuhkan. Tiga hari lagi, diperkirakan bahwa gelombang-gelombang serangan akan datang ke utara dan timur, lalu serangan ke arah barat akan tiba sekitar empat hari lagi. Sebuah strategi baru didapatkan. Pasukan laut Apocalypse, Eleador, dan Crin’s Blade akan berpatroli sekitar tiga kilometer dari garis pantai utara, timur dan barat. Kini para pasukan sedang memulai bergerak ke arah masing-masing. Yang bergerak ke arah utara dipimpin oleh Marino, yang menunggang kuda paling depan.

Dia menggabungkan diri ke pasukan Gabriela yang berisi kavileri. Dua pasukan lainnya, yaitu milik Pandecca dan Cremplin, adalah infantri dan pemanah. Ada juga pasukan magic. Mereka tiba di lokasi pantai sekitar tengah hari setelah berjalan dari tadi pagi. Marino memulai dengan mengatur jarak antar pasukan. Walau wilayah pantai utara sangat lebar, tapi dengan formasi yang dibuat oleh Marino dan Cremplin dapat menutupi semuanya. Tidak penuh, tapi setidaknya cukup. Saat Marino melihat ke arah laut, tampak dari kejauhan layar-layar yang amat kecil, milik pasukan laut Crin’s Blade yang sedang berpatroli. Menurut rencana, semua pasukan di wilayah ini akan melakukan formasi tempur siaga dengan jarak sekitar seratus meter dari garis pantai.

Malam tiba dan tenda-tenda didirikan. Marino, Gabriela dan Pandecca sedang berdiskusi di tenda milik Cremplin mengenai strategi dan perkiraan perbandingan jumlah pasukan. Sekitar tengah malam, dan di luar hanya ada bunyi dari beberapa prajurit yang mendapatkan giliran jaga malam. Sisanya tidur. Marino sedang berbaring di dalam tendanya, dan rasanya ia menunggu sesuatu, tapi entah apa, dan jawabannya datang juga.

Gabriela masuk ke tendanya yang cukup besar untuk orang dewasa berdiri. Ia mencoret-coret lantai berpasir dengan pedangnya, membuat semacam gambar lingkaran yang sangat rumit. “Apakah yang mau kau lakukan?” tanya Marino.

“Ritual fatician,” kata Gabriela, menatap Marino, dan ‘membanting’ pandangannya ke gambar di lantai, membuat gambar itu bercahaya, lalu Gabriela meletakkan telapak tangannya di gambar tersebut. “Tenang saja…”

Sekitar tengah hari pada keesokan harinya, kentang rebus, dan ayam dibagikan untuk dimakan oleh semua prajurit. Setelah semua selesai makan dan minum, datanglah musuh. Puluhan kapal besar tiba-tiba muncul sekitar dua ratus meter dari garis pantai. Pasti ini ulah Jester. Marino memerintahkan pasukan Gabriela untuk mengambil formasi. Ia juga mengutus beberapa orang untuk memastikan bahwa pasukan Cremplin dan Pandecca telah bersiap.

Tampak ratusan sekoci bergerak menuju pantai yang masing-masing berisi antara lima belas sampai dua puluh prajurit. Dari kejauhan, pasukan laut Crin’s Blade kelihatannya merasa bertanggung jawab atas lolosnya kapal-kapal Devilmare tersebut, berusaha bergerak dengan kecepatan penuh untuk menyerang kapal-kapal yang baru saja muncul ini, tapi tentunya mereka tidak akan sempat.

Sebetulnya Marino bisa saja memerintahkan agar seluruh pasukannya menyergap sebelum mereka tiba, tapi baginya itu kurang adil, dan kurang aman. Sebaliknya, ia memerintahkan agar semuanya memasang formasi standard. Antara defensive dan offensive. Semua kini tengah bersiap untuk yang terburuk. Marino dan Gabriela menunggang kuda yang paling depan di pasukan kavileri milik Gabriela. Begitu pasukan Devilmare telah tiba dan mulai menerjang, Marino mengangkat salah satu dari senjata kembarnya, dan menyentakkannya ke arah musuh, sebagai isyarat untuk menyerang, dan ribuan pasukan kavileri mulai menerjang maju.

Dengan bersemangat, Marino menderu ke arah aliran musuh yang jumlahnya tiada terhitung lagi. Ia menebas ke kiri dan ke kanan dan terkadang diterjang saja musuh dengan kudanya. Saat ia menoleh ke kiri dan ke kanan, baginya, pertempuran ini berada di pihaknya. Korban dari pihaknya memang cukup banyak, kelihatannya pasukan Devilmare bertambah kuat, tapi mayat dari pasukan Devilmare jauh lebih banyak. Dari kejauhan di laut, Marino melihat kapal-kapal Devilmare sedang dibantai oleh pasukan laut Crin’s Blade dibawah pimpinan Doughlas Puruhita.

Setelah sekian lama menebas musuh yang tampaknya terlalu mudah baginya, sesuatu tiba-tiba menghantam kudanya. Marino terpelanting jatuh ke tanah. Dengan sigap ia melompat berdiri. Sekitar enam meter di hadapannya telah berdiri salah satu musuh terbesarnya. Jester Riddikulo.

“Lama tak jumpa. pecundang!” sapa Marino dengan keras dan menantang.

Tapi Jester, tak seperti biasanya, tanpa ekspresi apapun, dan dengan tenang sekali menjawab, “Dasar pelawak.” lalu menembakkan seberkas sinar biru gelap ke arah Marino. Dengan gesit, Marino melompat jauh ke samping, dan saat mendarat, ia langsung melompat tajam sembilan puluh derajat ke arah Jester. Untuk menghindar, Jester menembakkan sederet percikan api, dan Marino terpaksa menghentikan lajunya untuk menangkis. Saat berhasil menangkisnya, Jester sudah menghilang, namun Marino lebih sigap dan melompat tinggi-tinggi.

Jester sudah ada di belakangnya dan berusaha menebasnya dengan pedang sihirnya. Dari posisinya di atas, Marino terjun tajam ke bawah dan bersiap menghantam Jester dengan tumitnya. Jester menghindar, tapi inilah yang ia inginkan. Satu meter dari tanah, ia bersalto, menjejakkan kaki dengan keras ke tanah, lalu menerjang Jester.

Jester jatuh terjengkang sepuluh meter ke belakang. Beberapa prajurit Devilmare menyerangnya, dan dengan mudah ia menghabisi mereka. “Marino! Awas!” pekik sebuah suara, yang ternyata milik Gabriela. Tanpa buang waktu dengan mencari siapa yang memanggilnya, ia melompat ke udara, dan di bawahnya, seberkas sinar biru gelap meledak. Jester telah menembakkan sinar saat ia lengah dan kini bersiap untuk mengeluarkan sinar lagi, yang lebih kuat. Sinar yang ini berwarna hitam, tapi dikelilingi beberapa sinar kecil berwarna biru terang, dan meluncur cepat ke arah Marino.

Dengan kedua senjatanya, Marino menerjang sinar tersebut, entah apa yang ia pikirkan. Senjatanya tiba-tiba menyala keperakan dan sinar dari Jester meledak. Marino terhempas beberapa meter ke belakang, namun tidak terjatuh. Barulah ia tersadar bahwa kedua senjatanya telah patah dan hancur berkeping-keping. Jester tengah bersiap mengeluarkan lagi sihir yang sama. Kini tak ada yang bisa Marino pakai untuk melindungi dirinya dan sinar itu akan mengejarnya jika ia menghindar…

WHUSSS… BHAMMMMMM!!! Marino tak apa-apa. Ternyata Gabriela baru saja melompat untuk menutupi arah datangnya sinar. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri, dan anehnya, tanpa luka.

“Tragis sekali,” tawa Jester.

Ini membuat Marino amat marah. Dengan kecepatan luar biasa dan Jester belum siap, Marino menderu ke arah Jester, dan menerjangnya hingga jatuh dan menimpa sebuah mata tombak milik prajurit Devilmare yang tewas. Jester tewas seketika saat tombak itu menembus punggungnya. Segera saja Marino berlari ke arah Gabriela.

“Sadarlah!” pinta Marino, dan untunglah, Gabriela akhirnya tersadar. Tidak ada luka yang tampak padanya, tapi ada sedikit darah keluar dari sudut bibirnya.

“Kau tak apa?” tanya Marino. “Tak apa. Aku menggunakan pedangku untuk menangkisnya, dan pedangku hancur. Armorku juga,” kata Gabriela. Memang, armornya telah hancur berantakan dan kini ia cuma memakai pakaian kain saja, dan mudah sekali untuk diserang. “Ayo kita bertempur lagi, Marino!” seru Gabriela, berusaha untuk berjalan, tapi baru beberapa langkah saja, ia jatuh berlutut, tangan kanannya merengkuh bagian kiri dadanya.

“Jangan. Kita ke tempat istirahat. Kau kemari sebentar!” Marino memanggil tiga prajuritnya. “Antar dia ke tenda, dan lindungi dia,” perintah Marino.

“Kau tak mau mengantarku sendiri?” tanya Gabriela.

“Aku komandan di sini, dan mereka membutuhkanku,” balasnya.

Menjelang matahari terbenam, darah terakhir tersimbah, dan pasukan Devilmare yang tersisa menyerah. Mereka tinggal sekitar dua ribu personel. Marino mengunjungi tenda Gabriela yang telah mampu berdiri dan berjalan lagi. Ia telah memakai armor cadangannya.

“Aku mau memenuhi janjiku pada Meissa. Aku mau menyusulnya,” kata Marino lalu ia pergi lagi dengan membawa seekor kuda dan sebatang tombak. Agak lama Marino berkuda, dan ia baru tersadar bahwa ia diikuti.

“Kami harus ikut denganmu,” ternyata Gabriela dan pasukan kavilerinya. “Pandecca dan Cremplin bersiap jika ada gelombang kedua,” kata Gabriela.

Tak lama, mereka tiba di kancah pertempuran wilayah barat. Pasukan iblis itu memang sangat mengerikan. Mereka setinggi tiga manusia pria dewasa, berbadan kekar berbulu, dan berduri. Masing-masing membawa dua senjata mengerikan, seperti kampak, rantai berbola-duri, pedang, dan sebagainya. Tapi jelas kalau pihak manusia, atau The Chain, sudah mulai memenangkan pertempuran. Di mana-mana, tampak ada iblis dibantai. Saat iblis terakhir dibantai, semua bersorak seru. Memang, dari pihak The Chain, ribuan korban jatuh demi melawan iblis yang secara total kira-kira sejumlah delapan ribu, menurut seorang prajurit.

Marino mencari Meissa dan menemukannya diantara pasukannya. Marino mendekat ke telinga Meissa. “Bagaimana kandunganmu? Tidak merasa sakit?” bisiknya khawatir.

“Tidak apa-apa, kok. Tak apa,” bisik Meissa ke telinga Marino. “Dia akan menjadi anak yang tangguh. Aku yakin hal itu,” kata Marino mengelus punggung Meissa.

Sementara yang lain sedang berkumpul di tenda-tenda, seorang prajurit menghampiri Gabriela, dan membisikkan sesuatu padanya. Setelah berpikir beberapa lama, Gabriela merangkul prajurit itu dan menariknya ke arah laut. Ramah sekali, pikir Marino, tak banyak jendral, dan seseorang yang secantik itu akan bersikap baik begitu pada orang yang pangkatnya lebih rendah. Nampaknya prajurit itu sedang menunjukkan sesuatu pada Gabriela di laut. Gabriela memberi tahu sesuatu pada prajurit itu, dan tiba-tiba Marino merasa tidak enak, sebab Gabriela menghunus pedangnya dan berjalan mundur perlahan-lahan. Prajurit yang tadi bersamanya lari ke arah tenda.

“Ada iblis lagi! Semua bersiaga!” pekiknya. Spontan saja semuanya mengambil tombak masing-masing, tapi ternyata terlambat. Seekor monster yang hampir sepuluh kali lebih besar dari iblis tadi tiba-tiba muncul dari air, dan melompat ke pantai, tepat ke hadapan Gabriela. Dengan berani ia menghadapi monster tersebut. Seluruh pasukan menerjang maju ke arah monster tersebut, tapi itupun terlambat. Sang monster raksasa yang mirip kalajengking berbulu itu menghantamkan capitnya keras sekali ke punggung Gabriela, yang melayang, dan mendarat keras sekali di salah satu tenda.

Semua prajurit yang berjumlah lebih dari empat puluh ribu tadi tidak jadi menyerang. Monster itu sedang bersiap untuk menembakkan bola api yang cukup untuk membantai sepuluh ribu orang sekaligus. Bantuan datang. Amber, burung milik Adin datang membelah langit malam yang gelap. Amber sekarang berwarna merah menyala karena memang terbakar api yang amat panas. Ia terbang cepat ke arah monster itu sambil menembakkan bola-bola api yang kecil, tapi terus mengalir secara beruntun bagai hujan. Marino melempar tombaknya dan berhasil menancapkannya ke samping tubuh monster itu, mengalihkan perhatiannya dari Amber, yang kemudian mengambil kesempatan untuk menyemburkan sebuah bunga api yang amat dasyat. Si monster yang sama sekali tidak waspada mengerang keras, lalu terbakar.

Rido Matius baru saja tiba dengan kudanya. “Maaf, aku terlambat. Ini adalah iblis yang kuat,” katanya.

Gabriela yang tadi baru saja terpelanting, sedang dibaringkan di atas tempat tidur dalam tenda besar. Kelihatannya ia sedang sekarat. Armornya hancur lagi. Kini ia terbaring lemah dengan memakai selimut saja dan pandangannya kian meredup.

“Tinggalkan kami berdua,” minta Marino, dan semua yang berada di tenda selain mereka berdua, keluar. Marino membelai kepala Gabriela dengan lembut.

“Kau akan berhasil. Kumohon,” bisik Marino.

Gabriela tersenyum dan menggeleng. “Tidak. Sudah waktunya aku pergi. Tapi kau janji padaku akan tiga  hal,” kata Gabriela.

“Katakanlah.”

Gabriela berhenti sejenak sebelum mengatakannya.

“Kita tidak ditakdirkan bersama. Aku tahu itu, meski kita sudah merasakan, setidaknya sebentar, bersama. Tapi Crin’s Blade harus punya ratu. Yang kedua, kalahkanlah Rafdarov. Kembalikanlah Zenton. Ketiga, sahabatmu Adin. Berikanlah pasukanku padanya. Aku berhutang sesuatu padanya dan akan kuberikan pasukanku padanya jika aku tidak membayarnya. Nyatanya aku memang tidak membayarnya.”

“Akan kubantai Rafdarov, tapi… ratu Crin’s Blade… kaulah yang akan menjadi ratuku… kumohon… aku mencintaimu… setelah semua yang kita telah lakukan… sejak pertama aku bertemu denganmu, yang kemarin kita lakukan, dan pertempuran yang kita lalui… kau harus,” kata Marino, memeluk tubuh Gabriela yang tidak berdaya.

“Aku bukan cinta sejatimu, meski aku tahu kau mencintaiku, dan aku jelas amat mencintaimu. Yang kemarin itu, sembari itu, seorang fatician bisa mengetahui cinta sejati seseorang, meski orang itu sendiri belum menyadari hal tersebut. Sama seperti kau. Kau tak menyadari siapa cinta sejatimu. Yang akan menjadi ratumu adalah Daisy Asalaz. Kumohon, penuhi dua janji ini,” kata Gabriela, lalu tersenyum muram.

Marino mencium bibirnya, namun ia tahu bahwa Gabriela takkan merasakannya lagi, sebab ia akan pergi. Namun ia tahu pula bahwa ia tidak akan merasakannya lagi pula. Maka dari itu, ia akan menemani Gabriela dan juga menyaksikan kepergiannya.

“Aku sangat mencintaimu…”

Agak pagi, akhirnya Gabriela menyerah. Marino keluar dari tenda dengan wajah yang amat sedih, tapi ekspresi itu langsung berubah begitu ia tahu apa yang terjadi di luar. Ia tak mendengar yang sedang terjadi. Serangan iblis gelombang kedua. Pertempuran baru saja dimulai, memang, dan saat mulai, menurut seorang prajurit, tak ada yang siap. Tiba-tiba saja mereka muncul dari air. Untungnya jarak para iblis dan para prajurit cukup jauh dan sigapnya prajurit yang mendapatkan tugas jaga malam. Marino yang senjata kembarnya tinggal pangkalnya saja yang tersisa menempel di pergelangan tangannya, menyambar sebatang tombak, dan menerjang maju. Ia harus membalas dendam. Meski bukan para iblis inilah yang membunuh Gabriela, tapi tetap saja ia ingin melampiaskan dendamnya pada sesuatu, dan kebetulan saja para iblis itu muncul.

Ia berlari cepat dan lurus menuju seekor iblis terdekat yang sedang dikepung lima prajurit sekaligus, namun masih bertahan dengan salah satu lengannya tidak berfungsi lagi. Marino melompat, bersalto, dan menghantam jatuh iblis itu dengan kedua tumitnya, dengan resiko kena tombak temannya sendiri. Setelah ia kini berdiri di atas iblis yang sudah terjatuh itu, dihunjamkan tombaknya tepat ke dada monster itu. Monster itu, bukannya berusaha bangun, tapi malah menghantamkan kapak raksasa dengan satu tangannya yang masih berfungsi ke Marino.

Tentu gerakan monster yang cukup lamban jika dibanding Marino itu tidak mungkin mengenai Marino, yang melompat ke depan. Kapak itu menghantam dadanya sendiri, mengakibatkan tubuhnya terbelah dua. “Bodoh sekali,” gumam Marino. Ia melihat sebuah pedang yang cukup besar tergeletak di tanah, dan ternyata pedang itu tidak seberat kelihatannya. Dipungutnya pedang itu dan ia kembali ke kancah pertempuran. Dengan melompat dan bersalto, ia menebas dua iblis yang sedang kebetulan berdekatan, hingga kepala keduanya nyaris putus dan jatuh terhuyung-huyung. Prajurit yang tadi mengerubutinya tinggal menyelesaikan saja. Toh monster itu tak lagi dapat bergerak yang berarti.

Tampak olehnya Meissa dari kejauhan. Merasa harus melindunginya, ia menerjang iblis yang berada di dekat Meissa.

“Terima kasih. Kita partner, OK?” Meissa menawarkan.

“OK,” sahut Marino bersemangat. Sebetulnya Meissa tak banyak membantu, tapi Marino sudah kehilangan Gabriela. Ia tak ingin kehilangan Meissa pula, sebab ia sangat menyayanginya bagai saudaranya sendiri. Dengan kecerdikannya, ia membuat dirinya dan Meissa sebagai senjata yang amat ampuh. Saat melihat ada iblis yang memunggunginya, Marino berlutut, mengangkat kedua kaki Meissa dari belakang, Meissa naik ke bahunya. Setelah itu, Marino berdiri dengan cepat dan dengan saat yang bersamaan Meissa menjejak keras untuk melompat tinggi dan mendarat di punggung monster itu.

Ia mengalungkan pedangnya di leher iblis itu dengan kuat, lalu menjejak punggung si monster dengan kuat untuk melompat ke belakang. Meissa berhasil melompat jauh ke belakang dan kepala sang iblis ikut terbawa karena lehernya putus tersangkut pedang Meissa. Marino tidak memberitahunya hal ini. Ia cuma tiba-tiba mendapat ide dan mengangkat Meissa dari belakang. Meissa sendirilah yang mengimprovisasi keadaan. Saat itu Marino sadar, bahwa Meissa memakai jubah kerajaannya yang biasa, dan tanpa armor sama sekali. Karena itu, Marino makin merasa harus melindunginya.

Dengan adanya Amber yang dapat mencurahkan hujan api tadi sebelum prajurit-prajurit mendekat, menembakkan sambaran api yang sangat tepat sasaran dan cepat, lalu baru tibanya pasukan magic Yogin dan Kaine, segalanya lebih mudah. Daerah pantai barat ini menjadi ladang pembantaian iblis. Marino juga melihat Rido Matius, dengan menunggang kuda, melaju kencang, dan menebas iblis satu per satu yang langsung terbelah dua tanpa kesulitan sama sekali. Keadaan makin menguntungkan saat pasukan infantri Cremplin tiba untuk membantu.

Iblis terpenggal, iblis terbelah, iblis terbakar, iblis pecah, iblis tanpa tangan, iblis dengan puluhan panah di tubuhnya, iblis dengan puluhan tombak di tubuhnya, iblis tersiksa, mayat iblis, begitulah pemandangannya saat itu. Hingga akhirnya Rido Matius menghancurkan iblis terakhir hingga berkeping-keping, semuanya bersorak dengan penuh kemenangan. Dalam pertempuran gelombang kedua ini, dari pihak prajurit tak jatuh korban yang sebanyak tadi, meski tetap cukup memprihatinkan. Tadi, sekitar dua belas ribu tewas secara total di pertempuran pertama dan pada pertempuran kedua sekitar enam ribu.

Setelah satu malam berlalu tanpa serangan lagi, seluruh pasukan ditarik mundur. Semua menuju ke Eleador untuk berkumpul, tapi khusus pasukan asal Crin’s Blade, langsung menuju ibukota Crin’s Blade untuk mengantar jenasah Gabriela Diggory. Meissa juga ikut, sebab Bathack juga menunggunya di sana.

Begitu mereka mendekat ke istana, tampak sebuah pasukan menunggu di utara kastil. Itu berarti pasukan dari arah barat telah tiba. Beberapa anggota pasukan the White Garda datang dan memberi laporan bahwa situasi dalam negeri dalam keadaan aman.

“Siapkan upacara kematian. Kita kehilangan seseorang yang amat penting,” perintah Marino, menunjuk ke arah sebuah peti mati.

“Siapa itu, Paduka?” tanya si prajurit.

“Gabriela Diggory.”

Sesampainya di ruang pertemuan istana, Marino dan Meissa melihat Bathack. Setelah semua orang untuk keluar, langsung saja Bathack memeluk Meissa.

“Meissa, kau tidak apa-apa?” tanya Bathack.

“Aku tidak apa-apa. Marino meminta datang menolongku. Ia memenuhi janjinya,” jawab Meissa, melepas pelukan Bathack.

“Terima kasih banyak, Marino,” kata Bathack.

Baru saja Meissa akan memeluk Marino, tapi tidak jadi. Marino membelalak dengan terkejut. Pada bagian belakang jubah Meissa yang berwarna kuning cerah, merembes sesuatu yang berwarna merah, darah…..

[End of Chapter IX]

[Coming up next, Chapter X: Expedition]