Aku Ingin (Oleh Sapardi Djoko Damono) : Renungan Makna Cinta Sederhana

Seorang murid saya menuliskan sebuah status di Facebook:

duhai aku, tau kah kamu bahwa mutiara muncul dari kerang yg dilukai
#think (again) 🙂

Saya tersentuh oleh status itu, dan langsung men-share-nya dengan tambahan:

…hanya untuk diambil orang. Tapi si Kerang tidak keberatan, dan malah berkata: “Take it. Its all yours.” Ternyata bukan cuma mutiaranya diambil. Dagingnya pun dimakan. Sebelum direbus, Si Kerang mengulangi kembali perkataannya.
(somehow jadi inget Puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono, dengan dua kemungkinan penafsirannya)

Ya, saya jadi ingat puisi ini.

Puisi ini adalah karya Sapardi Djoko Damono, yang pada tahun 1989 dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo dalam bentuk musikalisasi puisi yang indah, lalu belum lama ini juga digubah ulang oleh Dwiki Darmawan sebagai OST film Cinta Dalam Sepotong Roti.

Pertama, selamat menikmati musikalisasi aslinya, videonya courtesy of youtube.

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=y7xfMCZXMTg]

Inilah syair puisinya:

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

MUNGKIN MAKSUDNYA INI?

Indah sekali kata-katanya, yang mungkin ditulis dengan makna sebuah cinta yang benar-benar sederhana.

Filsafat Yunani mengenal empat buah kata untuk menerjemahkan kata “Cinta”, yaitu “Eros”, “Philia”, “Storge”, dan “Agape”.

“Eros” adalah cinta romantis yang juga menyiratkan keinginan untuk memiliki dan dimiliki. “Philia” adalah cinta yang bukan berada dalam konteks romantis, melainkan cenderung kepada persahabatan. Tidak ada keinginan untuk saling memiliki, melainkan sudah tahu sama tahu bahwa saling bisa mengandalkan. “Storge” merujuk kepada sebuah kasih sayang yang alami datang akibat hubungan darah.

Sedangkan “Agape” adalah cinta yang bersifat lebih rohaniah dan sederhana. Altruistik. Tidak mengharapkan apapun untuk dirinya sendiri. Hanya ingin memberi.

“Ambillah. Semuanya untukmu” sesederhana itu.

Mungkin seperti itulah yang dimaksud oleh Sapardi Djoko Damono. Kayu hanya diam saja saat dilalap api sehingga kayu itupun habis dan hangus. Demikian pula awan, saat hujan turun dan sedikit demi sedikit mengikisnya menjadi habis.

Kata cinta apa yang tak sempat disampaikan oleh kayu dan awan itu ya?

“Ambillah. Semuanya untukmu.” barangkali itu.

TAPI MUNGKIN JUGA…?

Saya dulu memang suka berpuisi, tapi juga saya seorang debater. Hobi saya menganalisis secara logis. Seolah itu kurang buruk, saya pun dulu waktu SMA dan dua tahun pertama kuliah sangat mendalami matematika dan fisika –dan keduanya sangat mempengaruhi pola pikir saya secara filsafat keagamaan dalam memaknai hidup ini dan semua yang melintas di dalamnya.

Melihat puisi dari Sapardi Djoko Damono ini, mungkin saja memang yang di atas itulah yang dimaksud oleh beliau. Dan itu indah sekali dalam kesederhanaannya itu, dan sederhana sekali dalam keindahannya itu.

Akan tetapi, dengan latar belakang tersebut, saya kok menemukan makna lain ya dari puisi ini.

Api adalah sebuah hasil suatu reaksi oksidasi (pembakaran), dan hanya bisa terjadi jika ada bahan yang dibakar. Proses pembakaran menghasilkan cahaya (makanya bisa kita lihat), panas (makanya gak enak kalo diemut hehehe), dan lain sebagainya.

Satu hal yang saya sadari jika melihat api membakar kayu: Saat kayunya habis, apinya juga hilang.

Saat kayunya ditambah, itu sudah oksidasi yang berbeda dengan yang sebelumnya. Ibaratnya meneguk air untuk menghilangkan haus, lalu kemudian haus lagi, dan minum air lagi. Haus yang kedua sudah beda dengan haus yang pertama, demikian pula airnya.

“..kayu…api yang menjadikannya abu.”

Kayunya menjadi abu.

Apinya kan mati tuh. Kemana apinya?

Juga menjadi abu.

Justru abu itu adalah hasil reaksi sempurna antara api dan kayu. Secara harafiah yang paling harafiah: menyatu

Sangat sederhana:  Bukan lagi “Aku” dan “Kamu”, tapi “Kita”.

Sangat sederhana: dua yang menyatu.

Lalu awan dan hujan. Awan itu adalah air berbentuk gas. Hujan adalah meluruhnya awan, sehingga dengan adanya hujan, awannya pun terus mengecil dan akhirnya hilang karena menjadi hujan. Tanpa terkikis dan menghilangnya awan, hujan tidak mungkin datang.

Bisa saja berarti “aku menjadi kamu”. Bisa jadi ini adalah sebuah siklus, layaknya sebuah rantai makanan. Rumput dimakan oleh rusa yang dimakan oleh singa yang akan mati dan dimakan cacing untuk menggemburkan tanah dan kembali menjadi rumput. Sederhana: the cycle of life.

Bisa juga berarti “biarlah aku mati agar kamu dapat hidup”. Mungkin saja seperti seorang ibu yang wafat saat melahirkan anaknya? Mengorbankan nyawanya sendiri supaya anaknya dapat bertahan hidup, padahal sang ibu bisa saja meminta bidan untuk melakukan sebaliknya. Sederhana: ambillah, dan milikilah nyawaku. Ambillah, semua untukmu.

Bisa juga berarti “biarlah aku pergi agar kamu mendapatkan rahmat”. Walaupun kalau berlangsung dengan sangat deras dan terus menerus akan dapat berujung bencana, tapi pada umumnya hujan identik dengan rizky bagi manusia. Banyak manfaat yang datang dari hujan, misalnya Rasulullah SAW bersabda bahwa saat hujan itulah salah satu saat di mana doa tidak akan tertolak (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi).

Terutama pada kemungkinan arti yang ketiga ini, saya sangat tertarik. Saya tekankan sebelumnya bahwa saya bukan mau menimbulkan perdebatan apalagi bermaksud menghina pemeluk Katolik atau Protestan, tapi saya hanya mengutip kitab suci yang diakui dalam Islam selain Al Quran, walaupun menurut Al Quran (dan dokumentasi sejarah) kitab-kitab suci selain Al Quran tersebut tidak dijamin keasliannya. Urusan perbedaan antara kepercayaan kita, mari perdebatkan besok saja, tetapi sesuai Surah Al Imron v.64, mari kita syukuri dulu apa apa saja yang kita sepaham 🙂

Dalam Alkitab Injil, Perjanjian Baru, Book of John (Yohanes) 16: 7 , dalam terjemahan bahasa Indonesia Yesus berkata : “Tetapi Aku mengatakan yang benar kepadamu: Lebih baik untuk kalian, kalau Aku pergi; sebab kalau Aku tidak pergi, Penolong itu tidak akan datang kepadamu. Tetapi kalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.”

Sedangkan dilanjutkan lagi pada bab yang sama ayat 12-14 (dengan beberapa penekanan): “Banyak lagi yang mau Kukatakan kepadamu, namun sekarang ini kalian belum sanggup menerimanya. Tetapi kalau Roh itu datang, yaitu Dia yang menyatakan kebenaran tentang Allah, kalian akan dibimbing-Nya untuk mengenal seluruh kebenaran. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri tetapi mengatakan apa yang sudah didengar-Nya, dan Ia akan memberitahukan kepadamu apa yang akan terjadi di kemudian hariIa akan mengagungkan Aku, sebab apa yang disampaikan-Nya kepadamu, diterima-Nya daripada-Ku.”

Merujuk pada Alkitab versi King James, kata “Roh” pada ayat 13 di atas diterjemahkan dari kata “Spirit of truth”, di mana istilah “Spirit” merujuk pada Nabi (lihat First Epistle of John [atau Surat 1 Yohanes] 4: 1 ). Menurut berbagai ahli perbandingan agama, termasuk diantaranya Syeikh Ahmed Deedat dan Syekh Dzakir Naik, dan saya pun sepakat, yang dimaksud dengan “Sang Penolong”  dan “Roh” (atau dalam versi King James, berturut-turut “the Comforter” dan “the Spirit” alias “the Prophet”) adalah Rasulullah Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam.

Karena itulah, menurut kemungkinan pengertian “awan menjadi hujan” yang ketiga ini, bisa jadi dimaknai juga dengan sesederhana Isa ‘Alaihi Salaam, yang dengan cintanya kepada Allah SWT dan kaumnya, mengatakan: aku pergi, agar Muhammad SAW datang.

Ini cuma bagaimana saya memaknai puisi ini saja. Mungkin saja, bahkan sangat besar kemungkinannya, bukan seperti ini yang dimaksud oleh Sapardi Djoko Damono. Tapi saya sangat menikmati puisi beliau dengan pemaknaan seperti ini 🙂

SATU TAMBAHAN

Monggo didengarkan ini cover yang dilakukan oleh Karina Utami Dewi (Vokal) dan saya sendiri (Gitar) untuk puisi Aku Ingin.

https://docs.google.com/file/d/0B-7vIioLOo_2RVQwQTFVZFp4OEE/edit?usp=sharing

Selamat mendengarkan 🙂