Capres Tidak Bisa Shalat: isu SARA yang Irelevan?

Assalaamu’alaykum,

Pemilihan presiden kali ini banyak diwarnai oleh tuduhan (entah benar atau salah) tentang kemampuan seseorang melaksanakan shalat. Terhadap orang-orang yang meributkan ini, banyak pihak lain (terutama pendukung capres yang dituduh tadi) yang balik menuduh bahwa pihak yang pertama tadi melakukan penghinaan SARA. Katanya SARA tidak relevan dalam pemilihan presiden.

PS: tentang capres yang dituduh ndak tau shalat, saya ndak mau komen itu benar atau tidak. Saya cuma mau jelaskan kenapa bagi kami penting untuk meributkan hal ini.

Suku dan Ras dan Golongan memang tidaklah relevan. Tapi, sungguh, agama sangatlah relevan.

Banyak yang memilih berdasarkan karakter (termasuk kejujuran dan lain sebagainya), juga kecenderungan ideologi tertentu dalam mengambil kebijakan ekonomi, kemampuan untuk mempertimbangkan keadilan (baik secara ekonomi, social, budaya, agama, dlsb), memiliki ide-ide visioner, dan lain sebagainya. Tentu agama tidak ada hubungannya dengan itu, kecuali mungkin karakter di mana semua agama mengajarkan kejujuran dan amanah?

Jika anda sepakat dengan tidak relevansinya agama, maka anda tentu belum paham apa itu Islam. Saya bukan ulama, ilmu masih cetek, tapi saya tahu bahwa Islam adalah agama yang kaffah. Islam, melalui kitab suci Al Qur’an dan ajaran dari Nabi junjungan kami Muhammad Salallaahu ‘Alayhi wa Sallam, adalah sebuah panduan hidup lengkap. Islam mengatur rinci semua aspek dalam hidup mulai dari akhlaq dan adab yang sempurna, ideologi ekonomi yang lebih baik dari sosialisme dan kapitalisme, bagaimana caranya makan dengan baik, konsep konsep keadilan dalam beraneka bidang, bagaimana cara memperlakukan pasangan sah di ranjang, sampai bagaimana cara cebok, dan lain sebagainya.

Kalau menurut anda bahwa Islam kok mencampuri semua hal dalam hidup sampai yang kecil kecil tidak penting, cobalah fikirkan seperti ini: Allah ‘Azza wa Jal membalas baik setiap amal yang kita lakukan hingga yang terkecil, dan Rasulullah s.a.w. memberi contoh-contoh yang terbaik (dan toh banyak amal kecil yang sifatnya sunnah alias tidak wajib). Kalau menurut anda banyak hal yang sebetulnya bisa dinalar dan ditemukan oleh manusia sendiri, sehingga tidak perlu sok-sok mengambil dari agama, ingatlah ini. Pertama, apa anda merasa segitu sombongnya bisa lebih pintar dari Al-‘Ilm? Kedua, ‘penalaran’ yang anda rujuk selalu berganti-ganti dengan galau setiap zaman, padahal versi sebelumnya menurut ‘penalaran’ anda sudah yang terbaik. Bukannya penalaran itu tidak penting, tapi mbok ya kalo sombong itu lihat lihat dulu.

Tapi yang terpenting, Islam mewakili sebuah ideologi visi misi untuk menjalani hidup yang baik di dunia maupun di akhirat nanti. Mirip seperti ideologi visi misi capres/partai sekuler saja (minus akhiratnya).

Kalau agama anda tidak memberikan paket lengkap seperti ini, maka nuwun sewu dengan segala hormat, silahkan anda tidak menggunakan agama anda sebagai tolak ukur dalam memilih. Misalnya, agama Nasrani bukanlah sebuah agama legislasi (mungkin kecuali perjanjian lama dan surat-surat Paulus di perjanjian baru, dan itu juga menurut penafsiran mayoritas ahli bible juga bukan legislasi). Saya menghormati agama anda. Tapi jangan gunakan standar agama anda untuk menilai bagaimana kami menjalankan agama kami.

Kalau anda (mengaku) beragama Islam tapi merasa bahwa ajaran islam itu irelevan, maka anda mungkin harus mempertanyakan keislaman anda (lihat Surah Al Maidah ayat 44, 45, dan 47). Kalau anda merasa saya terlalu menghakimi anda, ingatlah bahwa saya hanya meminta anda mempertanyakan kembali apa yang anda percaya. Kalau sekolah di Indonesia, semua Muslim belajar kok apa itu ‘rukun’ dan apa saja ‘rukun iman’. Saya tidak tahu apa isi hati anda, tapi anda pun akan penasaran kalau melihat seseorang yang mengaku vegetarian malah makan beef steak 200gr.

Jangan pula anda bilang bahwa pemimpin Muslim belum tentu sukses. Timor Leste, Papua, NTT, dan hampir seluruh benua Afrika, adalah bukti bahwa pemimpin non-Muslim juga bisa gagal. Manusia, apapun agama dan ideologinya, pasti punya kekurangan. Karena itulah ikhtiar terbaik yang bisa kami lakukan adalah melihat mana yang ideologinya paling baik.

Jangan pula bilang “tapi Indonesia Negara demokrasi berdasarkan Pancasila, bukan Negara Islam”. Kalo anda menyuruh kami menempatkan hukum manusia di atas hukum Allah ‘Azza wa Jal, silahkan anda ke laut saja. Lagipula dalam Negara demokrasi Pancasila, kami berhak menjalankan agama kami masing-masing. Dan, seperti yang sudah saya bilang, Islam itu satu paket dengan ideologi visi misi suatu pemerintahan juga kok, jadi ini pertimbangan yang tidak melanggar meritocracy. Boleh anda tidak setuju dengan substansi Islam, tapi kami berhak mengatakan bahwa kami setuju dengan substansi islam dan tidak setuju dengan ideologi visi misi yang anda tawarkan.

Akhir kata. Memangnya orang yang shalat sudah pasti bisa menjadi Muslim yang baik dan menjalankan kesemua ideologi visi misi tadi dengan baik? Tidak. Tapi semua Muslim yang baik dan bisa menjalankan kesemua ideologi visi misi tadi dengan baik tentunya shalat dan bisa shalat dengan baik.