Survey Negara Paling Islami: Sebuah Komentar dan Peringatan

tauhid-satu

Assalaamu’alaykum,

Sebetulnya sudah lama berita ini beredar, tapi baru-baru ini muncul lagi di salah satu grup yang saya ikuti jadi pingin saya komentari.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang Professor dari George Washington University (USA) bernama Hossein Askari, mengenai seberapa islamikah negara-negara Islam. Hasilnya menarik, karena No. 1 justru adalah Irlandia yang secara formal bukan Negara Islam. Di 10 besar setelah Irlandia ada Denmark, Luxemburg, Swedia, UK, dll. Negara Muslim mayoritas tertinggi adalah Malaysia di peringkat 33, Kuwait ada di peringkat 42. Negara-negara OKI lain misalnya Saudi Arabia ada di peringkat 91, Indonesia di 104, dan lain sebagainya.

Yang ingin saya soroti adalah apa indicator penelitian tersebut?

Penelitian itu adalah penelitian ekonomi. Karena itulah judulnya saja Economic Islamicity Index. Nah, banyak sekali indicator-indikator yang terkait kesejahteraan ekonomi. Untuk lengkapnya, silahkan lihat di sini (untuk indicator-indikator yang digunakan, lompat langsung ke table di halaman 15).

(untuk ringkasan hasil penelitian secara umum dapat dilihat di sini tapi ada yang salah tulis beberapa peringkatnya),

 

Ada beberapa hal yang ingin saya soroti di sini sebagai komentar:

INDIKATOR KESEJAHTERAAN

Di satu sisi, bukannya ingin berapologi, tapi mari kita lihat sejarah juga. Tidak bisa dilupakan kenapa Negara-negara mayoritas Islam ini menjadi miskin-miskin, dan kenapa Negara-negara barat menjadi kaya-kaya. Era penjajahan yang sangat-sangat panjang bukannya tidak memiliki faktor dalam melihat realita di sini. Okelah Irlandia juga pernah di jajah, tapi silahkan bandingkan penjajahan terhadap Irlandia dan penjajahan terhadap Indonesia.

Belum lagi, banyak sekali indicator yang ada adalah terkait kebijakan-kebijakan pemerintah. Kita juga tidak boleh luput melihat peran-peran korporasi-korporasi raksasa dalam ‘menyetir’ pemerintahan. Bukannya pemerintahan Negara barat tidak ada faktor korporasi yang menyetir, tapi di Negara-negara berkembanglah di mana tenaga-tenaga kerja diperas murah. Ada beberapa indicator penelitian ini yang menyentuh masalah tenaga kerja, tapi jangan sampai lupa siapa investor di balik bisnis-bisnis yang memerah tenaga kerja puluhan hingga ratusan juta orang di seluruh dunia.

Di sisi lain, kita juga harus evaluasi diri, kenapa bisa seperti ini? Jika dana zakat dan baitul maal dapat dikelola dengan baik seperti di era Umar bin Abdul Aziz r.a. dulu, tentu angka kesejahteraan dapat ditingkatkan. Juga dengan kedermaan masyarakat. Seberapa banyakkah orang yang berderma bukan hanya secara harta tapi juga secara ilmu, untuk betul-betul berkorban membuat sistem ekonomi sosial yang baik dan bergerak dari akar rumput masyarakat? Ingatlah, merupakan kewajiban setiap Muslim untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi sosial tersebut.

Abdullah ibn ‘Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ الَّذِى يَشْبَعُ وَ جَارُهُ جَائِعٌ

Bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedangkan tetangga (yang di sebelah)nya kelaparan” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhary dalam al-Adab al-Mufrad, Hadith No. 112, Shaykh Albani mensahihkan hadith ini)

 Bayangkan kalau setiap Muslim mengamalkan hadist ini!

INDIKATOR-INDIKATOR TERKAIT “MORALITAS”

Salah satu indicator yang ada adalah standar moralitas yang tinggi, misalnya kejujuran dan kepercayaan di pasar.

Di satu sisi, memang ini penting. Lihatlah hadith yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (Sahih Muslim, Hadith No. 2607c)

Lihat juga Surah Al Baqarah ayat 188:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Selain itu ada lagi hadith riwayat ibn Umar r.a. yang mengatakan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap” (Sunan Abu Dawud, Hadith No. 3580, Shaykh Albani mensahihkan hadist ini)

Lebih lanjut Allah bersabda dalam Surah Ar-Rahman ayat 9:

وَأَقِيمُواْ الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَ تُخْسِرُواْ الْمِيزَانَ

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Ibn Abbas r.a. dan ibn Kathir r.a. menjelaskan bahwa ayat ini maksudnya jangan curang dalam melakukan timbangan, tentunya merujuk pada kelakuan pedagang-pedagang di pasar yang hikmahnya dapat berlaku baik untuk pedagang yang secara langsung memang memakai timbangan atau bahkan perdagangan besar antar Negara.

Karena itulah kalau sampai angka korupsi sangat tinggi di Negara-negara yang mayoritas Muslim, maka jadi PR untuk kita dalam mendidik anak-anak kita dan juga sekitar kita supaya dapat menjunjung nilai-nilai kejujuran dalam melakukan segala sesuatunya.

 

INDIKATOR HAK ASASI MANUSIA

Dalam penelitan dikatakan bahwa kesetaraan gender dan akses adalah salah satu indicator. Sekarang yang perlu kita pertimbangkan apakah betul ini adalah indicator-indikator keislaman?

Lihat firman Allah di Surah Al Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Lihat juga hadith riwayat Abdullah ibn ‘Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (Sahih al-Bukhari, Hadith No. 1862) yang tentu akan berdampak pada kesempatan kerja wanita.

 

Bukan berarti wanita tidak boleh sama sekali bekerja lho ya. Ada perintah-perintah dari Allah untuk bekerja bagi para kaum Muslim, misalnya Surah at-Taubah ayat 105 dan Surah An Nisa ayat 29 (surah AN-NISA lho, surahnya wanita), dan perintah ini berlaku umum bagi pria dan wanita sebagaimana dijelaskan dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Shaykh ibn Baz (Wahabi lho yang ngomong, tegas mengatakan wanita bukan tidak boleh bekerja). Yang menjadi batasan adalah di bidang apa sajakah wanita boleh bekerja dan bagaimana lingkungan kerja yang kondusif untuk menjaga kemuliaan seorang wanita.

(lihat juga artikel ini dan ini secara umum tentang wanita dan bekerja)

 

 

Tapi kemudian ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif wanita dalam dunia kerja tidak bisa serta merta jadi indicator keislaman suatu lingkungan ekonomi.

 

Lalu kesempatan kerja juga dalam hal diskriminasi. Secara umum tentu dalam Islam dikenal kesetaraan, seperti firman Allah dalam Surah al-Hujarat ayat 13:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْ‌ۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬

Wahai manusia! Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu daripada seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa antara kamu. Sesungguhnya Allah adalah al-‘Alim (Maha Mengetahui), lagi al-Khabir (Maha Mengenal).

 

Bahkan berbuat baik dan berbuat adil tidak dilarang kepada orang kafir, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al Mumtahanah ayat 8-9:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ (عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.

 

Lanjut lagi di Surah At Taubah ayat 6:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”

 

Rasulullah s.a.w. pun bersabda:
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.” (Sunan Abu Dawud, Hadith No.3052, dan Shaykh Albani mensahihkan hadist ini)

Tapi kemudian ada larangan-larangan tertentu misalnya untuk mengangkat orang kafir sebagai awliya sebagaimana firman Allah dalam Surah Al Imran ayat 28 dan Surah Al Maidah ayat 51. Kata awliya, yang berkata dasar wali, terbuka untuk berbagai penafsiran. Misalnya ibn Kathir dalam tafsirnya menuliskan bahwa ibn Hatim meriwayatkan Umar bin Khattab r.a. mengutip Surah Al Maidah ayat 51 untuk bekerja sebagai pencatat dalam urusan Negara. Ada pula terjemahan yang mengartikan kata awliya sebagai teman dekat, pemimpin, pelindung, karena konteksnya memang agak umum. Misalnya, tentunya seorang WALIKOTA adalah WALI bagi kotanya. Demikian juga seorang gubernur adalah WALI bagi propinsinya, dan presiden sebagai WALI bagi negaranya. Tentu ayat ini juga berlaku dalam konteks kepemimpinan dan berbagai hal lainnya.

Karena itulah, apakah serta merta tidak adanya diskriminasi SAMA SEKALI dalam tempat kerja dapat dijadikan indicator keislaman? Tentu tidak. Harus dipertimbangkan lebih mendalam lagi, sejauh mana tidak adanya diskriminasi bisa menjadi indicator keislaman. Ada diskriminasi yang sifatnya memang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dan harus jadi poin koreksi, ada juga diskriminasi yang memang sesuai dengan syariat karena memang perlu.

 

INDIKATOR “KEISLAMAN”?

Inilah poin paling penting yang ingin saya sebutkan. Jangan sampai hasil penelitian ini membuat kita terlena. Sudah saya uraikan sebelumnya bagaimana banyak hal yang harus kita jadikan pelajaran dari hasil penelitian ini. Misalnya tentang kesejahteraan dan berbagai poin-poin moralitas. Akan tetapi, jangan sampai kita terlalaikan atas kebenaran agama kita ini.

Pertama, terlepas dari kritik saya terhadap berbagai indicator penelitian ini, ingatlah bahwa ini hanya INDIKATOR SISTEM EKONOMI SAJA. Bukan dimaksud untuk secara umum menilai kapasitas keislaman sebuah masyarakat. Jadi jangan lebay meluaskan cakupan penelitian ini seolah-olah melihat keseluruhan aspek kehidupan Islam.

Kedua, ingatlah prioritas kita. Bukannya menafikkan pentingnya poin-poin moralitas tertentu seperti kejujuran dll yang telah diuraikan di atas. Akan tetapi, ingatlah bahwa tujuan utama dari Islam bukanlah untuk menjadi orang baik. Mungkin agama Buddha yang tujuannya begitu.

Allah berfirman dalam Surah Adz-Dzaariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku

Sekali lagi, bukannya saya mengatakan bahwa masalah moral dan akhlaq tidak penting. Saya sudah uraikan di atas sebagian kecil saja (dibanding sebagian besar yang belum saya sebutkan) dalil tentang pentingnya kejujuran dan berbuat baik dan adil dan lain sebagainya.

Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Itulah tujuan dan prinsip utama dalam Islam.

Lihatlah berbagai dalilnya:

 

Firman Allah

Firman Allah dalam Surah al-Asr 1-3:

(إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ (٣ (إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ (٢ (وَٱلۡعَصۡرِ (١

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati dalam haq dan dalam sabar”

(Lihatlah penyelamat dari kerugian apa yang disebut paling pertama?)

Firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 48:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٲلِكَ لِمَن يَشَآءُ‌ۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan orang yang mempersekutukan-Nya (mempersekutukan Allah), dan Dia (Allah) bersedia mengampunkan selain yang demikian terhadap sesiapa yang Dia (Allah) kehendaki. Dan sesiapa mempersekutukan Allah, sungguh dia telah melakukan dosa yang besar.

Firman Allah dalam Surah Yusuf ayat 108:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, ’Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’”

Firman Allah lagi dalam Surah Az-Zumar ayat 11-14

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (11) وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ (12) قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (13) قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)

Katakanlah,’Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri’. Katakanlah,’Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabb-ku’. Katakanlah,’Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’

 

Sabda Rasulullah s.a.w.

Dari Abu Hurayra r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah perkataan “Laa ilaaha illallaah”, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan; dan malu adalah salah satu cabang iman.” (Sahih Muslim, Hadist No. 35b)

Catat juga bahwa Imam Nawawi r.a. dalam mengomentari hadith ini berkata bahwa “Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (maksudnya tauhid)

Dari Uthman r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.” (Sahih Muslim, Hadith No. 26)

Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Allah bersabda:
…يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.

…Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (Jami at Tirmidzi, Hadith No. 3540, dan hadith ini hasan gharib)

Dari ‘Ubadah bin Ash Shomit, Rasulullah s.a.w. bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ ، أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ ، وَرُوحٌ مِنْهُ ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ

Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; begitu juga bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, serta kalimat-Nya (yaitu Allah menciptakan Isa dengan kalimat ‘kun’, -pen) yang disampaikan pada Maryam dan ruh dari-Nya; juga bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya; maka Allah akan memasukkan-Nya dalam surga apa pun amalnya.” (Sahih Al-Bukhari, Hadith No. 3435)

Dari Umar bin Khattab r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Sesungguhnya sebuah amal itu dinilai dari niatnya” (Sahih Bukhari, Hadith No. 1, Sahih Muslim, Hadith No. 1907a)

Perlu dicatat bahwa makna hadith ini adalah bahwa tidak ada gunanya semua amalan shalih jika niatnya bukan kepada Allah. Lihat juga Surah Al Ma’un ayat 6 dan berbagai dalil lainnya tentang perbuatan riya’.

 

PENUTUP

Sebetulnya jauh lebih banyak dalil dari Al Qur’an, Hadith, penjelasan Ulama, yang pada pokoknya mengatakan bahwa Iman dan Tauhid adalah yang paling pertama dan utama. Sekai lagi, tanpa menafikkan pentingnya amal shaleh.  Entah berapa banyak Ulama yang sudah menulis tentang amal shaleh.

Tujuan saya menulis ini adalah supaya kita tidak mengutamakan amal shaleh dengan cara yang kemudian menafikkan Iman dan Tauhid. Justru itulah yang lebih berbahaya. Jangan sampai kita jadi orang-orang yang kemudian terpikat pada orang-orang kafir karena amal-amal shalehnya yang bagus, lalu merasa bahwa Iman dan Tauhid adalah nomor dua.

Bukannya kesejahteraan ekonomi tidak penting untuk diusahakan. Tapi jangan sampai kesannya itu yang paling penting. Semua akan musnah kok di dunia ini, seperti yang difirmankan Allah di Surah ar-Rahman ayat 26-27:

كُلُّ مَنۡ عَلَيۡہَا فَانٍ۬ (٢٦) وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ (٢٧)

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Yang paling menderita pun bisa selamat dengan imannya, sedangkan yang paling sejahtera pun bisa hancur karena kekafirannya, sebagaiman sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ ‏.‏ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤُسٌ قَطُّ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Pada hari kiamat didatangkan orang yang paling nikmat hidupnya sewaktu di dunia dari penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sejenak. Kemudian ia ditanya: ”Hai anak Adam, pernahkah kamu melihat suatu kebaikan, pernahkah kamu merasakan suatu kenikmatan?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi Allah, ya Rabb.” Dan didatangkan orang yang paling menderita sewaktu hidup di dunia dari penghuni surga. Lalu ia dicelupkan ke dalam surga sejenak. Kemudian ditanya: ”Hai anak Adam, pernahkah kamu melihat suatu kesulitan, pernahkah kamu merasakan suatu kesengsaraan?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi Allah, ya Rabb. Aku tidak pernah merasakan kesulitan apapun dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan apapun.” (Sahih Muslim, Hadith No. 2807)

 

Jadi, hati-hatilah. Demi Allah, hati-hati, jangan sampai dunia melalaikan kita sehingga kita lupa prioritas, dan saat kita tersadar malah sudah terlambat.

 
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

(Surah at-Takathur ayat 1-8)