“KAMI BAWA KE PENGADILAN INTERNASIONAL!” Memangnya Bisa?

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh,

Ucapan tanpa dasar sudah biasa muncul di media, apalagi social media. Menariknya ini kadang muncul dari orang yang mestinya kompeten di bidangnya. Yang ingin saya soroti adalah soal ancaman/usulan/klaim/sejenisnya untuk membawa sebuah masalah ke pengadilan internasional. Seringkali klaim ini adalah justru tidak ada dasarnya. Mulai dari kasus Manohara, lalu kasus Siyono, kemudian tuduhan terhadap IHH, dan baru baru ini soal tuduhan Makar.

Tanpa mengurangi rasa simpati terhadap substansi kasus-kasus tersebut. Tanpa pula memaklumi keinginan semua orang agar keadilan bisa ditegakkan, dan “pengadilan Internasional” tampak seperti sesuatu yang sangat wah bling bling untuk digadang sebagai ksatria berzirah putih untuk menyelamatkan sang korban pendzaliman. Sayangnya, ada beberapa kompleksitas hukum yang mungkin orang awam sulit memahaminya.

InshaaAllah tulisan ini akan melakukan survei singkat kepada dua pengadilan yang dapat disebut sebagai “pengadilan internasional”.

Catatan: kalau ada yang di bold dan bukan judul bab/sub-bab, itu bisa diklik karena merupakan hyperlink, untuk informasi tambahan.

SURVEI PENGADILAN INTERNASIONAL

Ada dua pengadilan yang biasa disebut dengan “Pengadilan Internasional”, yaitu the International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, dan the International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional. Mari kita bertamasya ke masing-masingnya!

Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional alias ICJ adalah salah satu organ utama PBB, sebagaimana disebut di Pasal 7(1) pada Charter of the United Nations alias Piagam PBB. Pengaturan lebih rinci ada di Pasal 92-96 (Bab 16) Piagam PBB, dan leeeeebih detailnya ada di Statute of the International Court of Justice atau Statuta ICJ.

Dalam Statuta ICJ ini, ada beberapa pengaturan yang harus saya soroti.

Pertama, hanya negara yang boleh berperkara di ICJ. Ini sudah jelas disebut di Pasal 34(1) Statuta ICJ. Karena itu, tidak bisa seorang individu atau sebuah ormas mengajukan perkara ke ICJ.

Kedua, harus ada kesepakatan dulu antara negara yang bersengketa. Sebagaimana tersebut di Pasal 36(1) dan 40(1) Statuta ICJ, kecuali jika sebuah negara telah melakukan deklarasi khusus untuk “menerima kewenangan ICJ untuk sebagian/seluruh kasus” sesuai Pasal 36(2)-(5) yang mana minim sekali negara yang melakukan deklarasi ini. Jadi tidak bisa semudah itu sebuah pihak, walaupun itu negara, mengadu pada ICJ untuk menyeret negara lain ke ICJ.

Jadi secara formil banyak sekali halangan dan batasan untuk bisa membawa kasus ke ICJ. Mungkin bisa dibayangkan sendiri kenapa kasus Manohara dan Siyono tidak bisa masuk ke ICJ?

Mahkamah Pidana Internasional

Yang ini mungkin yang agak hangat saat tulisan ini dibuat. Sebuah situs yang mengutip akun twitter mengklaim bahwa kasus tuduhan makar oleh Tito Karnavian bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional alias ICC. Mari kita bertamasya sejenak ke instrument hukum primer ICC yaitu Rome Statute atau Statuta Roma. Tamasya kali ini akan lebih panjang dari ICJ karena pengaturannya lebih komprehensif, dan lebih banyak poin yang perlu saya singgung.

Pertama, siapakah yang bisa dilaporkan? Menurut Pasal 12(2) Statuta Roma, ICC hanya boleh melaksanakan kewenangannya jika (a) dugaan kejahatan terjadi di wilayah negara anggota, atau jika (b) terduga pelaku adalah warga negara anggota. Maksudnya negara anggota ini adalah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. Sayangnya, negara tempat kejadian dan kewarganegaraan Pak Tito Karnavian adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak meratifikasi Statuta Roma.

Eh, tapi ada pengecualian dari Pasal 12(2) lho, yaitu di Pasal 13(b). Jika Dewan Keamanan PBB sudah berfatwa dengan berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk menyuruh ICC memeriksa sebuah perkara, sudah harus dilaksanakan. Hanya saja, DK PBB tidak bisa pilih pilih tersangka karena hanya “situations” (ICC memaknai terminology ini adalah tempat kejadian perkara, misalnya situation in Darfur Sudan, atau situation in Libya, etc) yang dapat mereka perintahkan untuk diperiksa. Penetapan tersangka dlsb tetap oleh Prosecutor/Penuntut Umum (bukan pelapor!).

Lalu lalu, DK PBB dalam Bab VII Piagam PBB pun, sesuai Pasal 39 (pasal pertama di Bab VII), hanya akan bertindak dalam hal ancaman atau gangguan terhadap perdamaian atau keamanan dunia, atau agresi militer. Adakah kasus imbas tuduhan makar ini masuk dalam kategori ini? Penahanan orang yang, yah, maaf saja, apakah sampai 2 orang? 3? 4? Sulit ya.

Apalagi, perlu kita diskusikan proses politik di DK PBB dan beberapa negara dengan hak veto yang siap memblokir resolusi apapun yang mengganggu Indonesia? Kira-kira yang duluan akan veto adalah siapa ya?

Belum lagi kalau kita bicara soal kewenangan materil. Perkara seperti apa yang bisa dibawa ke ICC? Pasal 5 menyebutkan ada 4 kejahatan internasional yang masuk kewenangan materil ICC, yaitu Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, dan Agresi. Apakah kasus tuduhan makar ini bisa masuk ke salah satunya? Mungkin sekilas iya, tapi sayangnya kita tidak bisa memahami istilah hukum sesuai ndas kita masing-masing. Karena itu, keempat kejahatan tersebut dirinci lebih detail lagi di pasal 6 (Genosida), Pasal 7 (KTK), Pasal 8 (Kejahatan Perang), dan Pasal 8bis (Agresi). Sekilas saja yuk survei.

Genosida liat sini aja ya –> klik klik klik 

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, menurut Pasal 7(1) : salah satu dari tindakan berikut jika dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil, dan dengan mengetahui: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, aduh dibaca sendiri saja ya. Penahanan juga ada sih di Pasal 7(1)(e). Bisakah kasus tuduhan makar masuk? Nanti kita bahas dikit lagi ya.

Kejahatan Perang adalah intinya kejahatan yang dilakukan terkait dan dalam konteks konflik bersenjata. Pasal 8 adalah pasal yang pualing panjang, maaf ya, dibaca sendiri, banyak banget.

Kejahatan Agresi oleh Pasal 8bis didefinisikan sebagai perencanaan, persiapan, permulaan, atau eksekusi, oleh seseorang yang memiliki posisi efektif untuk mengendalikan atau mengarahkan tindakan politik atau militer di sebuah negara, sebuah tindakan agresi yang, melihat karakter, berat, dan skalanya, adalah pelanggaran jelas dari Piagam PBB. Nah, kalau ‘tindakan agresi’nya apa? Aduh baca sendiri saja ya, soalnya Pasal 8bis ini baru ditambahkan tahun 2010 melalui sebuah amandemen yang bisa didownload di link ini

Nah, sulit sekali kan. Apalagi Pasal 9 Statuta Roma mengarahkan juga untuk menggunakan sebuah dokumen lain untuk menafsirkan lebih lanjut Pasal-Pasal 6-8bis, yaitu ICC Elements of Crime. Di sini akan tampak kesulitan yang lebih besar lagi untuk memasukkan tuduhan makar ke Pasal 7(1)(e). Karena bukan hanya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan mensyaratkan bahwa tindakan harus merupakan bagian dari serangan yang ‘meluas atau sistematik’. Tapi ICC Elements of Crime untuk Pasal 7(1)(e) menyebutkan bahwa salah satu unsur lain yang harus dibuktikan adalah “beratnya tindakan adalah sedemikian rupa sampai merupakan pelanggaran fundamental hukum terhadap internasional”. Seberapa jauh dan beratnyakah dilanggarnya hak para korban ini dalam penahanannya? Tanpa mengurangi rasa simpati, tapi rasanya sulit terpenuhi unsur satu ini. Belum lagi ditimbang dari unsur unsur lainnya.

Belum lagi ketika kita menimbang juga Pasal 17(1)(d) dan 53(1)(c), yaitu bahwa sebuah kasus tidak dapat dibawa ke ICC jika dianggap kurang berat. The Office of the Prosecutor (OTP), ICC, pernah merilis sebuah surat terbuka terkait perang Irak pada tahun 2006. Terlepas dari kesetujuan atau ketidak setujuan pada sebagian atau keseluruhan konten surat itu, terdapat penafsiran penting terhadap konsep ‘kejahatan yang dinilai kurang berat’ yang antara lain ditafsirkan sebagai ‘banyaknya jumlah korban’. Bukannya tidak ada nilai pada manusia walaupun cuma satu orang. Hanya saja, sebagaimana OTP menjelaskan, sulit sekali untuk ICC menghabiskan sumberdaya untuk menindak kejahatan yang korbannya ‘hanya’ sedikit (dalam surat tersebut, disebut sebuah kejahatan yang korbannya mungkin 4-12 orang). Padahal di sisi lain, ICC juga menangani kasus-kasus dengan korban tewas beribu-ribu dan mengakibatkan gelombang pengungsi sampai berjuta orang. Makanya dalam mukadimahnya, ICC mengatakan bahwa ia akan menindak bukan kejahatan kejahatan serius, melainkan yang paling serius alias “… the most serious crimes…”.

KESIMPULAN

Dengan demikian, walaupun kita gemas sekali terhadap kelakuan oknum oknum tertentu, sayang sekali Pengadilan Internasional bukanlah solusi. Tidak bisa membawa ke sana. Bisa jadi kasusnya betul pidana internasional, misalnya kasus Siyono yang bisa jadi masuk Pasal 7(1)(a) Statuta Roma. Bukan hanya pembunuhan, tapi mungkin bisa merupakan tindakan sistematik atau meluas sebagaimana disyaratkan untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan? Mungkin saja. Tapi kemudian terbentur pada beraneka syarat lain.

Silahkan mengumpat sumpah serapah kepada hukum internasional, kami pun yang paham hukum internasional juga mengumpat sumpah serapah kepada hukum internasional dengan memberikan juga dasar hukum dan kajian teori yang mungkin lebih kuat daripada orang awam. Hukum internasional memiliki banyak kelemahan, bahkan jauh lebih banyak daripada hukum nasional. Jadi bayangkan kalau anda melihat hukum nasional itu lemah sekali, fikirkan saja: hukum internasional lebih parah bro. Jangan kira cuma Amerika saja yang bisa lolos. Nyatanya negara seperti Sudan saja sudah kena sanksi dari DK PBB dan dipanggil-panggil oleh ICC saja sudah berapa tahun santai-santai saja kok.

Ada yang mengusulkan “barangkali ini retorika saja”. Tapi mbok ya kalo retorika yang betul. Jangan berikan informasi salah.

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat. Kalau ada yang kurang jelas atau kurang tepat, silahkan disampaikan di komentar.

BEBERAPA CATATAN TERHADAP TWEET @AlmaghribiS

Saya sangat simpati terhadap apa yang diperjuangkan oleh akun ini. Demi Allah, iya. Tapi saya ingin meluruskan beberapa hal terkait hukum internasional yang di-tweet-kan. Untuk setiap tweet yang saya komentari, itu saya kasih hyperlink langsung ke tweet ybs sebelum selanjutnya saya komentari.

  1. Tweet: sejak diterbitkannya statuta roma tshun 1998. Setiap individu merupakan subyek dr hukum internasional.

Komentar: Individu tampaknya telah lama menjadi subjek hukum internasional sebetulnya, antara lain sejak pengakuan HAM di Piagam PBB tahun 1945, lalu Deklarasi Universal HAM tahun 1948, lalu konvensi-konvensi lainnya di tahun tahun berikutnya. Semua sebelum tahun 1998. TApi substansinya, oke. Individu adalah subjek hukum internasional. Tapi sejauh mana?

2. Tweet: berarti setiap individu dimanapun berada,dapat menuntut maupun dituntut dedepan meja peradilan internasional.

Komentar: Eit, dasar hukumnya apa? Kata siapa? Karena orang mau cerai pun nggak bisa di TIPIKOR, dan mau sesadis apapun pembunuhan tidak bisa diadili di pengadilan agama. Setiap pengadilan punya batasan dalam kompetensinya. Pertanyaan saya, pengadilan mana yang bisa menerima tuntutan dan melakukan tuntutan pada individu? Jawaban: tidak ada. Di ICC pun, konteksnya adalah Prosecutor mendakwa individu.

3. Tweet: contoh subyek hukum ini adalah diadilinya RADOVAN KARADZIC (mantan pemimpin serbia bosnia) yg diadili atas tindakan kejahatan kemanusiaan.

Komentar: kritik kecil adalah bahwa Karadzic bukanlah pemimpin Serbia Bosnia, melainkan jendral militer. Tapi ya sudahlah. Tapi, apakah ini adalah contoh bagus untuk argumen sebelumnya? Sayangnya tidak. Memang yang dituntut adalah individu, tapi yang menuntut bukan individu. Radovan Karadzic beserta banyak terdakwa dan terpidana lain diadili di the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, yaitu sebuah pengadilan pidana internasional Ad-Hoc bentukan Dewan Keamanan PBB. Tidak ada proses pelaporan oleh individu, sayangnya.

4. Tweet: berangkat dari kasus pegawai kereta danzig ini, Mahkamah internasional mengeluarkan keputusan bahwa apabila suatu perjanjian internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorangan maka hak itu hrs diakui dan mempunyai daya laku dlm hukum internasional. Artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional.

Komentar: Betul memiliki daya hukum dalam hukum internasional, dan ini diakui oleh peradilan internasional yaitu dalam kasus ini Mahkamah Internasional Permanen atau Permanent Court of International Justice (PCIJ) yang merupakan semodel ICJ tapi untuk Liga Bangsa Bangsa (sebelum ada PBB). Tapi apa serta merta berarti individu bisa menuntut ke pengadilan internasional? Karena kasus pegawai kereta Danzig di muka PCIJ yang dimaksud justru menyebutkan bahwa para pegawai kereta Danzig tersebut boleh mengajukan klaim ke Pengadilan DanzigTidak menyebut bolehnya membawa ke pengadilan internasional.

5. Tweet: sri bintang pamungkas baru2 ini mengajukan peradilan kpd tito k arnavian diperadilan internasional jenewa (switzerland)

Komentar: Kecil saja. Pengadilan internasional apa ya yang ada di Switzerland? ICJ berada di The Hague, Belanda. ICC juga berada di The Hague. Tapi kalau saya kulik kulik, di Geneva ada Swiss Arbitration Association. Arbitrase bisa saja menangani sengketa internasional. Tapi kita ketahui bahwa Arbitrase itu (a) untuk sengketa komersil, dan (b) bukan pengadilan, walaupun ada kemiripan. Atau ada juga International Commission of Jurists, yang merupakan komite pakar hukum internasional dan kantornya juga di Geneva. Bukan pengadilan, tapi singkatannya ICJ juga jadi barangkali tertukar. Mohon pencerahannya.

————————————–

Barangkali itu saja yang perlu saya komentari. Intinya sederhana: sayang sekali saya belum menemukan pengadilan internasional yang bisa mengurus masalah ini. Mari kita sama sama fikirkan bagaimana bisa menuntut keadilan dengan cara yang sebaik-baiknya, karena sesungguhnya kita memiliki kerisauan yang sama kok. Dalih penangkapannya lebih ajaib dari David Coperfield. Tapi ya kok mau diurus lewat pengadilan nasional, takut nggak beres. Kalau lewat pengadilan internasional, kok nggak ada yang bisa. Kalo di Uni Eropa bisa lho di pengadilan HAM-nya sana. Sayangnya kita nggak punya. Adanya melalui ASEAN yang itu nggak jelas juntrunganya.

Kadang-kadang untuk hal seperti ini saya cuma berfikir nunggu Yaumid Din saja, karena Yang Maha Adil memang cuma Allah. Dan Allah itu harusnya lebih ditakuti daripada pengadilan.

wallaahu’alam