ESSAY-ESSAY SAYA UNTUK LPDP (PK 2, tahun 2013)

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh

 

Sejak tahun 2013 saya lolos seleksi beasiswa LPDP untuk pertama kalinya, begitu banyak yang minta contoh essay yang saya buat. FYI, waktu itu LPDP meminta saya membuat tiga essay, yang judulnya:

  1. Essay 1: Rencana Studi
  2. Essay 2: Peranku Bagi Indonesia
  3. Essay 3: Sukses Terbesar Dalam Hidupku

Nampaknya selama beberapa tahun kemudian (mungkin sampai sekarang) LPDP masih meminta essay dengan judul-judul seperti ini. Nah, sudah sering saya share, tapi daripada selalu email terus, mending saya taro di blog saja supaya gampang ya.

Tapi ada beberapa catatan:

Pertama, saya terus terang nggak tahu essay saya ini bagus atau tidak. Saya yang baca sendiri sih ngerasanya ya bagus hahaha tapi ya itu kan subjektif. Saya lolos, alhamdulillah, tapi saya tidak tahu seberapa besar essay-essay saya ini berperan.

Kedua, ini saya buat tahun 2013. Banyak dari saya yang sudah berubah, misalnya orientasi keilmuan. Di situ saya menulis akan meneliti lebih lanjut tentang jus cogens, nyatanya saya banting setir. Saya bilang akan S3 di Groningen, nyatanya sekarang saya S3 di International Islamic University of Malaysia untuk mengejar bidang baru yang saya geluti.

 

PS: untuk melihat tips tip umum untuk beasiswa LPDP silahkan klik di sini.

 

Demikian, kurang lebihnya mohon maaf, semoga bermanfaat.

 

 

Essay 1: Rencana Studi
Dalam seminar yang pernah saya ikuti, seorang pemateri pernah berkata, “Kalau naik taksi, tidak mungkin kita suruh jalan tanpa memberi tahu tujuan. Sekurang-kurangnya kita mengarahkan ke sana tetapi dalam hati kita tahu tujuannya. Tanpa tahu tujuan, jangankan mencari rute terbaik, jalan ke mana pun tidak akan ada artinya”. Saya sepakat dengan pemateri tersebut. Karenanya, rasanya sulit menjelaskan rencana studi tanpa terlebih dahulu memaparkan tujuan spesifik studi tersebut.

Secara keilmuan hukum, minat saya adalah hukum pidana internasional. Sebagai objek spesifik yang akan menjadi fokus kajian, saya akan meneliti teori dan aplikasi norma jus cogens saat berkonflik dengan imunitas. Jus cogens, dalam hukum internasional, adalah norma tertinggi yang di mana hukum apapun yang menentangnya akan dianggap batal –diantaranya adalah hukum perang, larangan genosida, agresi, dan lainnya. Sebagai konsekuensi, pelanggar jus cogens wajib diadili tanpa terkecuali.

Akan tetapi, banyak kesulitan yang timbul dalam aplikasi norma tersebut secara doktrinal. Mulai dari secara umum, di mana jus cogens yang merupakan manifestasi dari mazhab hukum alam akan sulit dilaksanakan dengan konstruksi hukum internasional modern yang jauh lebih kental berlandaskan mazhab positivisme –dan kedua aliran tersebut adalah antitesis terhadap satu sama lain. Hingga secara khusus, kesulitan timbul saat para pelanggar merupakan orang-orang yang memiliki imunitas yang juga berdasarkan hukum internasional.

Tidak ada sama sekali, atau kalaupun ada sangat sedikit, pakar hukum pidana internasional di Indonesia yang mengkaji norma jus cogens. Padahal –terlepas dari beberapa permasalahan HAM dalam negeri—Indonesia banyak mengklaim aktif dalam penegakan HAM di tingkat internasional (pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran norma jus cogens). Karena itu, inshaa Allah saya akan menjadi yang pertama (atau satu dari sedikit) yang akan mengembangkannya di Indonesia.

Oleh karena itu, saya telah merencanakan thesis (University of Edinburgh atau UE menggunakan istilah “disertasi”) saya untuk membahas khusus mengenai wewenang suatu negara untuk mengadili jajaran eksekutif negara lain yang merupakan tersangka melakukan kejahatan internasional, walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi di wilayah negara yang hendak mengadili tadi.Setelah berkomunikasi, pihak UE mengatakan bahwa mereka memiliki dosen yang dapat membimbing thesis dengan area studi tersebut, bernama Dr Paul Behrens. Akan tetapi, penunjukan pembimbing thesis secara resmi hanya dapat dilakukan setelah masa studi dimulai.

Untuk menunjang thesis tersebut, juga sebagai landasan untuk melaksanakan penelitian-penelitian mendatang serta menguatkan dasar untuk mengajar, tentu saya harus menempuh mata kuliah yang relevan.Untuk itu saya telah melihat silabus perkuliahan, dan menyesuaikan rencana studi dengan itu.

Pertama, saya memilih mata kuliah Fundamental Issues in International Law yang akan ditempuh selama dua semester.Setelah mempelajari hukum internasional secara umum saat pendidikan sarjana dulu, sangat penting untuk mempelajarinya dengan lebih mendalam. Itulah yang akan ditawari oleh mata kuliah ini, untuk mendapatkan landasan yang lebih kuat dan pemahaman yang lebih holistik.

Kedua, saya akan memilih mata kuliah International Criminal Law yang juga akan ditempuh selama dua semester. Kuliah ini akan jauh mendalami aspek-aspek substansi dan formil dalam prinsip dan penegakan hukum pidana internasional. Dengan demikian saya akan lebih memahami dimensi masalah serta prospek solusi dalam penegakan hukum pidana internasional.
Ketiga, saya juga akan menempuh mata kuliah International Relations Theory yang akan berlangsung pada semester satu. Mata kuliah dari jurusan politik ini akan membantu memahami politik internasional yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan hukum internasional.

Terakhir, pada semester dua, saya akan menempuh mata kuliah History and Theory of International Law. Mata kuliah ini sangat penting untuk melanjutkan International Relations Theory untuk lebih mendalami situasi politik dalam kacamata konstruksi perkembangan hukum internasional.
Dalam ekstrakurikuler, saya akan bergabung dalam tim debat international criminal law moot court UE yang belum lama ini menjuarai lomba tingkat UK. Kemampuan saya untuk berargumen secara hukum dan beranalisis dalam hukum pidana internasional dapat diasah di sana.

Tentu saya tidak akan berhenti di sana. Saya berencana nantinya menempuh studi doktor di Groningen University, untuk menyusun disertasi yang membahas konflik antara jus cogens dan doktrin imunitas, serta aplikasinya dalam penegakan hukum pidana internasional.

Dengan demikian, saya akan memiliki dasar yang lebih kuat dalam pemahaman hukum internasional baik secara umum maupun khusus di bidang hukum pidana internasional, baik sebagai bekal untuk mengajar dengan lebih mantap maupun sebagai landasan untuk kelak meneliti dengan baik.

Produk dari setiap jenjang pendidikan yang saya tempuh akan berdampak substantif dalam peran saya sebagai seorang akademisi hukum. Inshaa Allah rencana ini dapat terwujud sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik.

Essay 2: Peranku Bagi Indonesia
 

Sungguh, sudah tidak terhitung banyaknyateman saya yang curhat minta nasehat kepada saya karena kebingungan baik dalam akademis, karir, bahkan agama dan cinta. Semua curhat pasti panjang, dan berakhir dengan dua hal yang tak terpisahkan: janji dan rencana.

Janji dan rencana. Dalam semua ketidakpastian akan prospek masa depan, hanya dua hal itu yang dapat dipegang. Beasiswa ini juga menginginkan pemuda-pemudi Indonesia untuk, di masa depan, menjadi pemimpin dan berkontribusi. Bagi kami pelamar beasiswa, hanya janji dan rencanalah yang dapat kami berikan.

Bukti adalah hal yang sangat kuat untuk menunjang janji dan rencana tersebut. Akan tetapi, bukti hanya ada di masa lalu. Begitu banyak ketidakpastian di sana, begitu banyak prospek di sana –entah baik maupun buruk. Yang pasti hanyalah apa yang sudah pernah terjadi, atau yang sekarang sedang terjadi.

Karena itulah, yang saya ajukan adalah sebuah status-quo. Sesuatu yang sudah dan sedang terjadi. Yang saya minta hanyalah suatu kesempatan untuk melanjutkan studi untuk melakukan apa yang sebetulnya sudah terjadi, tetapi untuk dikembangkan menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sebagai seorang dosen tidak tetap di International Undergraduate Program Fakultas Hukum UGM, secara formal tugas saya hanyalah mengajar. Akan tetapi, seorang dosen sebenarnya mesti melaksanakan tridharma perguruan tinggi yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kelak jika menjadi dosen tetap, pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut akan secara formal diinstitusionalkan. Saya baru bisa menjadi dosen tetap setelah menyelesaikan pendidikan master.

Sebetulnya belum lama saya ingin menjadi dosen, barulah mulai sekitar dua tahun lalu. Saat itu, seorang teman membantu menyusun Curriculum Vitae beberapa tahun tiba-tiba mengatakan, “Fajri, kamu mau jadi dosen, ya?”.
Saya baru menyadari saat itu bahwa semua pengalaman, prestasi, dan apa yang sedang saya jalani saat itu,ternyata sejalan dengan tridharma perguruan tinggi.

Sejak lama hingga sekarang, saya sangat aktif di bidang pendidikan. Saya sudah dan sedang mengajar dan melatih di berbagai institusi hingga secara nasional, dalam bidang-bidang: argumentasi, debat, diplomasi, public speaking, serta ilmu hukum. Saat ini, selain menjadi dosen di Fakultas Hukum UGM, saya juga mengajar di Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA serta Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Dalam hal penelitian, saya telah berpartisipasi dalam penelitian-penelitian yang didanai baik oleh fakultas bahkan oleh lembaga internasional. Disiplin ilmu yang telah saya teliti agak tersebar yaitu dalam hukum internasional, hukum acara perdata, hukum perburuhan, hingga hukum ketatanegaraan. Selain itu, sudah dua tulisan saya dimuat di jurnal ilmiah nasional, dan saya masih dalam proses menulis lagi.

Sedangkan dalam pengabdian masyarakat, saya sudah lama memegang posisi kunci dalam organisasi mayarakat yang saya ikuti. Organisasi yang bernama Jogja Debating Forum (JDF) ini berfungsi mendidik masyarakat dalam berfikir kritis, untuk membantu membangun masyarakat demokrasi yang lebih baik. Dalam organisasi tersebut, saya sudah sering memberikan pelatihan-pelatihan serta membantu proyek-proyek dinas pendidikan dalam mengembangkan pemikiran kritis mulai dari tingkat kota kabupaten, propinsi, nasional, hingga internasional.

Tentunya ada banyak alasan mengapa the University of Edinburgh (UE) menjadi universitas berperingkat sangat tinggi di dunia. Beberapa tahun saya bersekolah di UK dulu, saya merasakan betul iklim pendidikan yang sangat berbeda dengan apa yang saya temukan di Indonesia. Padahal saat itu hanya tingkat sekolah dasar saja. Apalagi hingga tingkat universitas yang termasuk terbaik di dunia itu. Pengalaman metode belajar mengajar, akses substantif kepada pakar dan pustaka internasional, hingga pengalaman iklim pendidikan dan sosial di sana, tentu sangat baik. Pastinya, semuanya akan saya serap sebanyak mungkin dan bawa pulang.

Saat pulang, saya akan kembali mengajar hukum internasional, tetapi dengan ilmu yang lebih terasah. Saya akan kembali meneliti untuk mengembangkan hukum internasional, khususnya dalam hukum pidana internasional, tetapi jauh lebih dalam dengan dasar yang lebih mantap. Saya pun akan kembali ke JDF untuk terus mengabdi dengan mendidik masyarakat baik langsung maupun melalui program-program pemerintah, dengan pengalaman yang lebih luas, atau dengan cara-cara lain melalui universitas, tetapi dengan kualitas diri yang lebih baik.

Sesungguhnya saya hanya akan kembali pada status quo yang sudah pernah dan sedang saya lakukan: Mengajar lagi, meneliti lagi, dan dan mengabdi lagi. Akan tetapi, kualitas pada status quo ini akan jauh lebih baik.

Tentu masih ada janji dan rencana di semua perkataan ini, tetapi inshaa Allah ada sedikit kepastian dalam semua keraguan yang ada akan masa depan. Atau sekurang-kurangnya, suatu keyakinan.

Essay 3: Sukses Terbesar Dalam Hidupku
Saya, seperti banyak orang, menuliskan daftar prestasi saat menyusun Curriculum Vitae. Saya, seperti sedikit orang, harus memisahkan prestasi-prestasi tersebut yang berskala nasional, dan internasional. Akan tetapi saya, seperti segelintir orang saja, yang betul-betul memikirkan apakah makna sebuah prestasi hidup.

Mudahnya, prestasi dapat maknai sebagai pencapaian yang baik. Dalam hidup, sederhananya ada dua macam prestasi: yang sudah dicapai, dan yang hendak dicapai. Saya akan membahas apa prestasi terbesar bagi saya, yang sudah maupun yang hendak saya capai.

Bagi saya, satu hal yang sama dapat menjadi prestasi bagi seseorang, tetapi musibah bagi orang lain. Contohnya adalah wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Bagi kaum feminis, itu adalah penindasan. Bagi kaum muslim, justru hal tersebut adalah prestasi yang mulia.

Contoh lain yang lebih relevan adalah keberhasilan saya menjadi dosen, setelah keluar dari suatu law firm. Sewaktu SMA, teman-teman umumnya menganggap menjadi pengajar adalah suatu keterpurukan dan kegagalan. Keluarga saya, di sisi lain, mengatakan bahwa itu adalah prestasi luar biasa.

Perbedaan latar belakang dapat menjelaskan perbedaan jawaban, dan juga pemahaman saya terhadap konsep prestasi itu sendiri. SMA Labschool Jakarta, tempat dulu saya bersekolah, mayoritas diduduki oleh anak-anak pejabat dan pengusaha kaya raya yang sering berganti handphone bahkan mobil. Di sisi lain, setelah mendapatkan Ph.D di UK, ayah saya memilih untuk tetap ikut kontrak menjadi peneliti di BPPT walaupun ada perusahaan swasta yang siap membayarkan ganti rugi beasiswa dan menggaji jauh lebih tinggi. Ibu saya mengelola terapi penyandang autisme.  Kakek saya tokoh Masyumi, anggota MPRS 1960, dan secara politik ‘bertempur’ melawan PKI. Tentu jawaban yang dihasilkan berbeda.

Sampai hari ini, banyak pihak yang menyebutkan saya sebagai berprestasi adalah karena sederet lomba lokal, nasional, dan internasional, yang saya juarai. Ditambah lagi, menurut mereka, saya sudah sering dipercaya untuk berbicara di berbagai seminar serta mengajar berbagai institusi. Akan tetapi, darah yang mengalir di keluarga saya tidak berfikir seperti itu.

Bukannya hal-hal tersebut bukan merupakan prestasi. Akan tetapi, bagi kami, prestasi terbesar dalam hidup adalah saat kita dapat melakukan pilihan yang baik walaupun pilihan tersebut belum tentu enak.

Saya memiliki peluang untuk berkarir di dunia praktek hukum, dan sudah sempat memulainya. Penghasilan saya saat masa percobaan dulu saja sudah jauh lebih tinggi dari apa yang saya dapat sebagai tenaga pengajar sekarang. Akan tetapi, walaupun law firm di mana saya bekerja adalah satu diantara sedikit yang bermain jujur, dunia praktek hukum sangat dekat maksiat dan keburukan. Bukan hanya saya tidak berani bermain api di sana, tetapi panggilan hati saya menyatakan bahwa bukan di sana tempat yang saya akan maksimal mengabdi bagi negara dan masyarakat.

Saya pun memilih menjadi pengajar dan peneliti yang idealis. Materi selalu saya sampaikan dengan substansi dan cara yang sedapat mungkin membangun pemahaman serta karakter yang baik. Bukan hanya bisa menjawab soal apalagi hanya mendapat nilai. Semua penelitian yang telah dan sedang saya lakukan juga selalu berlandaskan keadilan semurni mungkin, dan menolak untuk menjustifikasi pragmatisme negara –yang sangat sarat dalam konteks hukum dan politik internasional.

Karena itulah, bagi saya, prestasi terbesar yang sudah saya capai adalah berhasil memilih dan memasuki jalan hidup sebagai akademisi seperti ini.

Apa prestasi terbesar yang ingin saya capai? Dalam hidup, hanya ada satu prestasi yang ingin saya capai: hidup selamanya.
Baik kaum agama maupun atheis akan mengatakan bahwa saya gila, tetapi saya akan mengatakan bahwa pemahaman saya berbeda. Sepemahaman saya, manusia adalah makhluk sosial. Tubuh pasti akan mati, tetapi kontribusi dapat hidup selamanya. Menurut saya, ada dua yang dimiliki manusia tapi tidak dimiliki hewan: nama dan sejarah. Sejarah pasti berlangsung, tetapi ada dua macam manusia berdasarkan namanya: nama yang diingat dan yang dilupakan sejarah.

Nama-nama yang diingat sejarah mengindikasikan bahwa pemilik nama-nama tersebut masih hidup secara kontribusi. Diingatnya nama saya bukanlah tujuannya, itu tergolong riya’ dan dilarang islam. Diingatnya nama hanyalah indikator bahwa apa yang telah diperjuangkan ternyata selalu bermanfaat bagi negara.

Dalam meneliti, saya telah mensitasi nama-nama Sudikno Mertokusumo, Cherif Bassiouni, dan lainnya. Jika suatu hari kelak, walaupun tubuh saya telah mati, karya saya masih disitasi dan terus dikembangkan, maka sesungguhnya secara kontribusi saya masih hidup. Jika hari itu tiba dan terus berlanjut, maka itulah prestasi terbesar hidup saya.

Saya selalu berdoa agar Inshaa Allah jalan dan usaha yang saya tempuh tepat mengarah ke sana, atau sekurang-kurangnya di Yaumil Akhir saya dapat bersaksi: “saya sudah mencoba semampu saya”.