Primordialisme dan Pemilu: Antara Sekuler dan Islam

Image result for manusia purba
(image from bbc indonesia)

 

Pemilu presiden semakin dekat, dan kesemua kubu sedang bertarung sengit khususnya di media sosial. Beraneka tuduhan dan label disematkan oleh satu kubu kepada yang lain, antara lain ‘primordial’. Penggunaan kata ini sangatlah menarik karena ia membawa pandangan alam dari si penggunanya ketika disematkan kepada pihak lainnya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ‘primordial’ sebagai ‘termasuk dalam bentuk atau tingkatan yang paling awal’. Ketika disematkan pada manusia, misalnya ‘ia adalah manusia yang primordial’ maksudnya adalah manusia pada tahap terbelakang dibandingkan yang lainnya. Dalam konteks ilmiah, primordialisme hanya dianggap sebagai fase yang pasti dilalui oleh manusia. Akan tetapi implikasinya adalah bahwa barangsiapa yang di masa sekarang (yang dianggap sudah maju) tapi ternyata masih primordial, maka ia adalah keterbelakangan sehingga ‘harus menyusul’.

Apa sih primordialisme dalam pemilu ini? Ternyata antara dua pandangan alam yang berbeda memiiki perspektif yang berbeda.

Di sudut biru, ada kalangan sekuleris. Kalangan ini bukan hanya memisahkan negara dan agama. Sekularisme adalah sebuah pandangan alam yang, menurut Van Peursen, membebaskan akal dan Bahasa dari kekangan agama dan metafisika. Bagi mereka, dunia dan alam ini hanya sekedar apa yang bisa diamati secara inderawi saja. Apa yang tidak dapat diindera dianggap tidak ada dan tidak relevan.

Karena itulah, Auguste Comte yang dijuluki ‘Bapak Sosiologi Dunia ‘ mengatakan dalam Law of Three Stages bahwa manusia memiliki tiga tingkatan. Manusia paling modern adalah manusia yang mengambil ilmunya dari scientific inquiry saja. Tingkatan manusia yang lebih belakang dari manusia modern ini adalah manusia yang mengambil ilmunya dari metafisika. Sedangkan manusia yang paling primordial adalah manusia yang mengambil ilmunya dari agama.

Bukannya agama tidak penting, justru ia adalah tahap penting. Hanya saja, menurut para sekuleris, agama adalah tahapan awal yang mana seiring waktu manusia harus move on darinya. Makin modern seorang manusia, maka semakin ia harus jauh dari agama. Sedangkan ketika zaman now di mana ilmu pengetahuan sudah ciamik, orang yang masih merujuk pada agama adalah orang yang terbelakang. Kalau masih mau beragama silahkan pribadi saja tidak perlu bawa-bawa orang lain.

Sehingga, ketika masuk pada ranah pemilu, seorang sekuleris tidak akan setuju dengan kampanye apapun yang berbau agama. Bagi mereka, itu adalah sebuah isu primordial yang mana sekarang bukan zamannya lagi untuk difikirkan. Bila ada yang masih ikut pemilu dengan mengangkat-angkat isu agama, nah inilah kalangan yang primordial menurut kalangan sekuleris. Mereka akan mengatakan bahwa ‘agama ditunggangi untuk kepentingan politis’.

Kalangan sekuleris melihat bahwa lebih baik konkrit saja mengurusi isu-isu ekonomi, kesehatan, hukum, dan lain-lainnya yang ‘lebih konkrit’, jelas, dan sepadan untuk zaman now. Karena itulah, mereka tidak akan mengatakan ‘ekonomi ditunggangi untuk kepentingan politis’.

Di sudut merah, ada Islam. Kalangan ini diberi kitab suci oleh Allah yaitu Al-Qur’an. Pertama kali Al-Qur’an menyebutkan kata taqwa adalah di Surah Al-Baqarah ayat 2, dan langsung dilanjutkan pada ayat 3 dengan disebut ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa itu. Dari kesemua ciri itu, yang paling pertama disebut adalah ‘(yaitu) yang beriman pada hal yang ghaib’. Senada dengan Surah Al-Asr dan berbagai tempat lain dalam Al-Qur’an, amal sholeh pasti disebut tapi sebelumnya selalu soalan batiniyah yang disebut yaitu keimanan pada yang ghaib.

Islam tidak memisahkan antara material dan non-material, bahkan menempatkannya sangat tinggi. Bahkan, walaupun ada penekanan yang sangat besar pada amalan yang bersifat lahiriyah, tapi perkara-perkara batiniyah begitu juga sangat besar dan bahkan lebih penting. Umat Islam menyadari bahwa kebenaran tidak sesempit apa yang dapat diamati secara inderawi saja. Mereka juga mengetahui bahwa apabila Allah sudah berfirman atau Nabi sudah bersabda, maka tidaklah rasional untuk menolaknya kecuali dengan menyangsikan keilahian Allah atau kenabian Muhammad bin Abdillah s.a.w. Lalu jika mereka menerima hal tersebut, tidaklah rasional untuk tidak menggunakannya sebagai sumber kebenaran.

Karena itulah, umat Islam tidaklah menolak atau bahkan sangat menginginkan calon-calon pemimpinnya mengedepankan isu-isu agama karena hal tersebut sangat penting. Mereka pun akan sangat kesal apabila sang calon tersebut hanya sekedar ‘menunggangi agama untuk kepentingan politik’, yaitu apabila berjanji mengusung kepentingan agama padahal ternyata ia kemudian tidak melakukannya. Mereka pun akan sangat kesal apabila sang calon ‘menunggangi ekonomi untuk kepentingan politik’, misalnya berjanji memperbaiki ekonomi tapi kemudian malah merusaknya. Inilah keadilan dan keseimbangan menurut Islam: semua ada pada tempatnya.

Jahiliyah atau (kebodohan) adalah istilah yang digunakan dalam Islam sebagai representasi keterbelakangan. Dari sebuah periode jahiliyah atau keterbelakangan itu, memeluk Islam adalah merupakan sebuah kemajuan. Hal ini bukan karena hal-hal yang bersifat keduniawian, melainkan karena keberhasilan mendekati tujuan manusia yang sesungguhnya: beriman kepada Allah semata. Bukan pula iman ini adalah perkara batiniyah saja, mengingat iman kepada Allah akan berkonsekuensi pada amalan sholeh yang dalam skala besar akan membawa manfaat konkrit pada umat manusia juga.

Islam pun selalu menjadikan sosok Amr bin Hisham sebagai percontohan. Amr bin Hisham kini dikenal dengan nama Abu Jahal (jahal = bodoh). Apakah karena ia bodoh? Justru sangat sebaliknya, sebelum kenabian Muhammad s.a.w., Amr bin Hisham dijuluki Abu al-Hakam karena begitu cerdas dan berilmunya sehingga diangkat jadi salah satu pemimpin suku Quraish di usia yang sangat muda. Gagalnya Amr bin Hisham untuk menerima kebenaran dan mentauhidkan Allah adalah alasan kenapa akhirnya ia dijuluki Abu Jahal tersebut.

Maka, seseorang yang berhasil dalam urusan keimanan tapi gagal dalam urusan dunia adalah seseorang yang kurang lengkap agamanya. Akan tetapi seseorang yang gagal dalam urusan keimanannya, adalah keterbelakangan dan primordial menurut Islam terlepas dari apakah ia berhasil atau gagal dalam urusan keduniaannya. Demikian pulalah apabila dalam berpolitik ada kalangan yang hanya terfokus pada keduniawian saja dan melupakan agama, itulah kalangan jahiliyah nan primordial.

 

Siapakah yang akan menang? Banyak yang akan mengatakan bahwa jawabannya akan dapat disaksikan setelah pemilu 2019 nanti, dan mereka akan banyak melakukan spekulasi. Jawaban seperti ini adalah jawaban dari kalangan sekuleris.

Siapapun yang menang di pemilu presiden 2019, bukan itulah kemenangan yabg sesungguhnya. Makna ini termaktub di Surah Al Imran ayat 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
_“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”_

Maka umat Islam, dalam memilih jalan untuk diri dan bangsanya, akan memilih jalan yang membawanya ke surga. Ia akan pahwa ia harus menebar kebaikan, tapi di atas itu ia harus menjadikan iman dan agama sebagai tiang paling utama. Ini beda dengan sekuleris yang justru membuangnya jauh-jauh, dan mengira kemenangan akan diraih apabila calon junjungannya menang.

Siapa yang akan menang? Jawaban pertanyaan ini adalah sama dengan pertanyaan ‘manakah yang sejatinya primordial’, mengingat yang satu adalah primordial bagi yang lain. Jawabannya akan bergantung dari dua pertanyaan yang paling penting yang akan ditanyakan bila saatnya tiba, tapi bolehlah latihan dari sekarang:

Man Rabbuka? Ma Diinuka?