Pengkhianat Di Antara Kita: Ulamanya Para Penjajah (terjemahan dari tulisan Akh. Daniel Haqiqatjou)

Kali ini saya menerjemahkan sebuah artikel luar biasa karya Akh Daniel Haqiqatjou yang merupakan da’i internasional dari Amerika Serikat yang telah memberikan kuliah di berbagai universitas dan masjid di dunia. Saya merasa tulisan beliau sangat penting untuk dibaca umat Islam di Indonesia, maka saya telah meminta izin untuk menerjemahkan dan membaginya.

Sebagai tambahan informasi, penulis merupakan lulusan Harvard University (Fisika) dan Tufts University (Filsafat) dan telah menimba ilmu secara tradisional kepada para masyaikh. Beliau dan karya-karya tulisnya telah dimuat di media-media top seperti The Washington Post, CNN, Aljazeera, dan lain-lain.

Berikut tulisan beliau yang aslinya berjudul Traitors in Our Midst: The Scholars of Colonization:

 

 

Pengkhianat Di Antara Kita: Ulamanya Para Penjajah

Oleh: Daniel Haqiqatjou

Terjemah: Fajri M. Muhammadin

Apa yang salah apabila para ulama semisal Hamzah Yusuf, Abdallah bin Bayyah, Habib Ali Jifri dll mendukung para dictator Arab dan melegitimasi rezim mereka? Ada banyak analisis terhadap forum “Promoting Peace” di Uni Emirat Arab (UEA) tahun 2018, tapi sebagian analisis tersebut kurang tepat.

Misalnya, yang selalu saya dengar berulang kali, adalah bahwa Saudi dan UEA tidak sungguh-sungguh toleran dan tidak demokratis, maka sangat salah apabila para ulaa mendukung mereka. Kritik ini aneh. Sejak kapan sekulerisme demokratik dan toleransi liberal menjadi standar penentuan sah atau tidaknya pemerintah dalam pandangan moralitas Islam? Ini tidak masuk akal.

Kritik lain, misalnya, adalah bahwa rezim-rezim brutal ini telah menumpahkan darah umat Islam yang sangat banyak dan menindas lebih banyak lagi umat Islam. Ini kritik yang baik. Sangat menimbulkan tanda tanya bagaimana seseorang yang berilmu dapat membiarkan, apalagi membela, seorang ulama yang ‘karir’nya dibangun dari puja puji terhadap penindas dan rezim penindas tersebut. (dan tentu kita paham bahwa ada sebagian individu yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya pada rezim-rezim penguasa penindas tersebut yang harus diperlihatkan padanya dampak dari pembiaran dan pembelaan terhadap ulama-ulama semacam itu).

Tidak ada urusan apakah anda mengira si ulama tersebut merupakan seorang wali. Bagaimana dengan ratusan ribu nyawa yang hilang atau tertindas oleh para ‘Firaun’ yang dipuja puji oleh ‘wali’ anda itu? Apa menurut anda tidak ada awliya yang terkubur di bawah reruntuhan atau tewas ditembak di Yaman, Palestina, Misr, Suriah, atau lainnya? Hanya ulama favorit anda saja yang merupakan wali, tapi tidak satupun di antara sekian ratus ribu Muslim yang dibunuh atau ditindas oleh dikator-diktator ini? Bagaimana dengan para ulama yang telah dipenjara atau dihukum mati oleh para dictator ini: apakah di antara mereka tidak mungkin ada awliya? Klaim ‘wali’ sebagai argumen pembelaan ini sangatlah ngawur, tidak koheren, dan, kalau kita fikirkan lebih dalam, sangat menjijikkan.

 

(mungkin ada Awliya yang kena bom di sebuah kota di Yaman ini?)

 

Poin yang lebih penting di sini adalah ulama-ulama ini merupakan pewaris ulama-ulama yang, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, menggunakan argument-argumen agamis untuk mendukung para penjajah. Sejak zaman penjajahan terhadap umat Islam sejak 200 tahun yang lalu, para penjajah menemukan bahwa cara terbaik untuk menghindari retaliasi dari umat Islam adalah dengan menggaet para ulama.

Para ulama ini kemudian menghabiskan waktunya untuk mengajarkan keutamaan-keutamaan patuh dan setia terhadap para ‘penguasa’ (baca: penjajah) dan betapa indahnya damai dan kebersamaan dengan mereka, ‘hikmah’ dari budaya dan agama mereka, dan lain sebagainya. Ulama semacam ini akan mengajarkan umat Islam untuk menolak pemerintahan Islam, menolak khilafah, menolak jihad, menolak syariat, menolak ekslusivisme beragama, dan lain sebagainya. Mereka akan mempromosikan konsep الإنسانية قبل التدين (kemanusiaan sebelum religiusitas), yang merupakan pilar utama dan sentral dari pemikiran humanisme liberal. Pada akhirnya, apapun yang dapat mengancam kekuasaan colonial akan dilabel sebagai ‘terbelakang’ atau ‘primordial’ dan, pada akhirnya, ‘tidak Islami’. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa umat Islam tidak akan melawan rezim politik yang baru yang telah dipaksakan keberadaannya kepada mereka. Bahkan, umat Islam malah akan menjadi submisif dan menerima dengan sukarela para penjajah itu dan dominasi sistematik yang mereka lakukan.

Ulama-ulama besar yang memainkan peran di atas bagi para penjajah dalam 150 tahun belakangan ini termasuk di antaranya Muhammad Abduh, Uthman bin Yahya, Mohammad al-Hajwi, Mustafa al-Maraghi, Syed Ahmad Khan, dan banyak lagi. Tentunya ada juga ulama lain yang memilih untuk melawan para penjajah karena hal tersebut merupakan sebuah jihad untuk membela umat. Ulama-ulama semisal ini antara lain Omar mukhtar, Abd al-Qadir al-Jazairi, Imam Shamil, Imam Bonjol, and Muhammad ‘Abd Allah al-Hasan. Para ulama semisal ini dilabel sebagai ‘barbar’ (untuk zaman sekarang, label serupa menggunakan nama ‘ekstrimis’ atau ‘Islamis’) oleh para ulama yang telah di’pegang’ oleh para penjajah. Saya bersyukur, kebanyakan ulama sekarang adalah serupa dengan para sosok pemberani ini yang berjuang untuk umat Islam dan bukannya minoritas yang berkhianat.

Intinya, inilah masalah yang paling utama pada ulama-ulama yang melegitimasi dictator-diktator sekuler Arab. Mereka inilah yang menyokong proyek neocolonial masa kini untuk melakukan sekulerisasi dan men’jinak’kan dunia Islam melalui dictator-diktator brutal yang merupakan ‘boneka’ negara-negara Barat, yang mana mereka sendiri adalah agen-agen imperialism Barat. Kelakuan seperti inilah yang dilakuan para ulama semacam ini untuk menarik umat Islam ke bawah kendali Barat (dan Israel) secara ekonomi, politik, social, budaya, dan –tentunya—agama. (Dan, perhatikanlah bagaimana acara-acara ‘perdamaian’ semacam ini selalu menghadirkan perwakilan Zionis, Barat, dan kelompok-kelompok ‘anti ekstrimis’). Inilah ‘perdamaian’ yang mereka sokong: damailah ketika dunia Barat memperkosamu! Damailah ketika para dictator membantaimu! Berdamailah ketika para misionaris dan zionis mengindoktrinasimu dan menjauhkanmu dari diin-mu!

Kelakuan semacam ini adalah sebuah pengkhianatan besar terhadap umat Islam dan harus dikecam dengan sekeras mungkin, agar kelakuan tersebut tidak dinormalisasi dan diterima dalam umat Islam secara keseluruhan.

Tapi, mari kita jangan lupakan para ulama ‘keadilan sosial’ di Barat yang juga melegitimasi tirani. Bukannya memuji MBS atau MBZ dan lain-lainnya, mereka memuja-muji Hillary Clinton dan berkampanye untuknya, menyokongnya, dan lain sebagainya. Pada pemilu Amerika Serikat lalu, mereka memilih Hillary Clinton bukan sekedar sebagai ‘mudharat terringan’ melainkan sangat antusias dan bahagia ketika membayangkan beliau sebagai presiden. Padahal, beliau telah secara langsung bertanggungjawab atas hancurnya minimal satu negara Islam dan telah mengancam perang terhadap beberapa negara Islam lainnya. Lantas apa bedanya para ulama yang mendukung Hillary Clinton dengan mereka yang menyokong para dictator?

 

Abu Dzar berkata “Aku berjalan Bersama Rasulullah s.a.w. kemudian beliau bersabda ‘Selain Dajjal, ada yang lebih aku takuti atas ummatku’ beliau mengucapkannya tiga kali, maka aku bertanya, ‘wahai Rasulullah, yang engkau takuti atas umatmu selain Dajjal itu apa?’ beliau menjawab: ‘Para pemimpin yang menyesatkan.’” (Musnad Ahmad)

 

Dan kalau bicara soal menyokong proyek kolonial berupa sekularisasi dan liberalisasi, seorang ulama tidak harus menghadiri sebuah forum perdamaian yang disponsori UEA untuk melakukannya. Ada sebagian Imam yang telah melakukannya tanpa perlu meninggalkan negaranya masing-masing. Mereka hanya perlu menyokong platform-platform politik liberal yang, dampaknya (atau niatnya untuk memberikan dampak) penyokongan terhadap perennialisme (semua agama ‘suci’ diterima oleh Allah), LGBT, feminism radikal, hak aborsi, penghapusan institusi keluarga dan pernikahan, dan lain sebagainya. Dukungan kuat mereka terhadap faksi-faksi politik sayap kiri beserta segala kebijakannya telah menjajah fikiran umat Islam di Barat dan mendukung berlangsungnya proyek-proyek colonial di dunia Islam juga. Mereka memberikan topeng berupa ‘legitimasi agamis’ atas pandangan-pandangan yang sangat-sangat bertentangan dengan Islam dan merusak kepentingan umat Islam secara keseluruhan.

Lebih lanjut, mereka menikmati kucuran dana dari kelompok-kelompok liberal dan memiliki akses kepada lingkar-lingkar kekuasaan yang berpengaruh dalam organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah dan juga Lembaga-lembaga ‘think tank’, Lembaga dan Yayasan ‘kemanusiaan’, serta perusahaan-perusahaan multi-biliyuner. Maka tidak ada yang lebih munafik daripada ulama-ulama serta aktivis-aktivis ‘keadilan sosial’ yang sok marah dan mengeluarkan kartu ‘ente merasa lebih suci dari mereka?’ terkait Hamza Yusuf dan lainnya. Mereka semua setali tiga uang.

Tentunya, mayoritas Imam dan ulama di Barat dan Timur berlepas diri dari kekejian tersebut, alhamdulillah. Kita perlu menyokong ulama-ulama (hanif) ini atas keberanian dan prinsipnya dalam melawan arus. Mereka inilah Omar Mukhtar zaman ini. Semoga Allah selalu memberi barakah untuk para ulama al-haqq dan kita juga, dan semoga Allah melindungi umat Islam dari semua dictator serta ulama pengkhianat.

CATATAN: kami di MuslimSkeptic.com dengan tegas menyatakan tidak mendukung aksi kekerasan dan terror.

 

==================

untuk mengakses tulisan asli oleh Akh. Daniel Haqiqatjou, Please Click Here.


==================

Beberapa catatan dari Fajri:

  1. Pendapat penulis terkait event di UEA secara khusus dan ulama-ulama yang berpartisipasi secara khusus tidak mewakili pendapat saya. Saya tidak tahu detil event tersebut, sehingga saya baiknya tidak berpendapat tentang event tersebut secara khusus.
  2. Saya senang ada ulama Indonesia yang disebut, yaitu Tuanku Imam Bonjol!
  3. Dalam konteks Indonesia, penting untuk saya sebut bahwa naskah proklamasi dan pembukaan Undang Undang Dasar 45 dengan tegas dan keras mengutuk penjajahan. Banyak umat Islam telah berjihad mengusir penjajah. Akan tetapi, ingatlah bahwa mengusir penjajah secara fisik maknanya jauh berkurang apabila kita masih terjajah secara intelektual.
  4. Hadits yang dikutip di atas ada dua riwayat serupa di Musnad Ahmad, dengan jalur periwayatan yang serupa tapi tidak sama. Mayoritas perawinya baik, tapi kedua riwayat memiliki perawi bernama Abdullah bin Lahi’ah yang didhaifkan oleh para ulama hadits semisal Al-Hakim dan Adh-Dhahabi.
  5. Yang terpenting: apakah setelah membaca artikel ini ada beberapa sosok yang muncul di benak anda?