Wa al-Tīni wa al-Zaytūn

Suatu hari saya pernah menghadiri ceramah Ustadz Ridwan Hamidi di sebuah masjid di Jl. Kaliurang pada sekitar awal tahun 2016. Ceramah beliau singkat, tapi betul-betul memberikan banyak hikmah yang masih melekat di benak saya sampai sekarang. Lalu apa hubungannya dengan Wa al-Tīni wa al-Zaytūn?

.

Banyak sebetulnya hikmah yang saya rasakan dari ceramah tersebut, yang rasanya masih saya ingat sampai sekarang. Semoga Allah menjaga beliau, betapa dari ceramah beliau bukan hanya substansinya yang bisa saya ambil pelajaran melainkan hal di luar itu juga.

Misalnya, saya ingat betul saat ceramah beliau ada bocah kecil (mungkin umur 2 tahun) jalan-jalan di sekitar beliau sambil ngunyah sate usus. Saya (dan mungkin beberapa orang lain yang melihat) langsung tidak fokus ceramah karena beberapa hal tapi terutama: mikrofon yang dipegang Ustadz Ridwan tidak wireless, dan sebagian kabelnya di atas tanah, dan si anak itu berjalan menuju kabel itu.. Ya Allah kalo anak itu kesandung kabel sambil megang sate yang ujungnya tajam itu gimana ya Allah emaknya mana sih 😮

Ternyata begitu si anak sudah dua langkah dari kabel, Ustadz Ridwan menurunkan tangannya yang memegang mikrofon sehingga kabelnya rata ke tanah sehingga si anak melintas dengan aman. Saya yang nggak ikut ceramah saja tidak fokus gara-gara si bocah, sedangkan Sang Ustadz tidak terganggu sama sekali ceramahnya tapi sigap bertindak.

Mungkin beginilah hakikatnya para ahli ilmu ya: selalu fokus dan sigap bertindak. Beda dengan saya yang fakir ini, fokus enggak nolong pun enggak. Cuma kebagian sakit jantungnya aja.

.

Anyways. Salah satu poin yang beliau sampaikan yang sangat melekat di benak saya adalah tentang bagaimana kita bisa membuat Al-Qur’an masuk ke hati. Khususnya anak-anak, beliau mengatakan intinya bahwa internalisasi Al-Qur’an itu akan sangat membantu apabila kita berikan mereka ‘mengalami’ sehingga ‘can relate to it’. Daripada, misalnya, memberikan penjelasan kepada hal-hal yang tidak pernah mereka saksikan sehingga tidak bisa memvisualisasi.

Contoh yang beliau sampaikan adalah sesuatu yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang. Beliau mencontohkan ayat pertama Surah al-Tin: وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ

Wa al-Tīni wa al-Zaytūn, atau dibaca wattiini wazzaituun.

.

Di sana Allah menyebut dua macam buah, yaitu buah Tin (Fig) dan buah Zaitun (Olive). Kalau buka kitab tafsir, sejauh yang saya tahu (Ibn Kathir, Jalalayn, dll) memang tidak ada yang menyuruh kita mengetahui seperti apa bentuk dan rasanya kedua buah tersebut. Tapi, jelas Ust. Ridwan, kalau anak-anak bisa disuruh cicipi kedua buah tersebut supaya tahu rasanya, tahu bentuk dan warnanya, tahu rasa teksturnya di tangan dan di lidah, akan memberikan kesan dan makna berbeda bagi pengalaman si anak. Sehingga, Surah Al-Tīn tersebut kemudian lebih berkesan dalam perasaan dan fahaman si anak.

Sebenarnya ada banyak lagi hikmah dari ceramah beliau ini, tapi ada beberapa pengalaman yang saya ingin bagi khusus terkait hal yang satu ini.

Kalau buah zaitun, saya sudah pernah makan buahnya dan menggunakan minyaknya untuk masak. Akan tetapi, buah Tin saat itu saya belum pernah memakannya. Jadi ketika beliau menjelaskan, saya kok jadi agak baper. Pengen makan buah tin.

.

Akhir tahun 2016, saya hijrah balik ke Jakarta untuk kemudian lanjut ke Malaysia untuk melanjutkan studi doctoral. Selama di Jakarta, saya tinggal di rumah orangtua saya (dan alamat KTP saya juga hehe). Bukan sekali dua kali saya pulang ke Jakarta, tapi di masa inilah (kalau tidak salah ingat) pertama kali nenek saya cerita bahwa beliau suka dengan Surah al-Tīn. Terlebih lagi, saya menemukan bahwa di kulkas ada beberapa buah kering antara lain buah tin kering!

Saya pun memakannya dengan penuh haru, dan akhirnya tau oh begini rasanya. Dan, believe it or not, Surah al-Tīn terputar di benak saya.

(buah tin kering, ilustrasi saja)

.

Akan tetapi, sesuatu yang lebih hebat terjadi pada tahun 2018. The International Committee of the Red Cross (ICRC) mengundang saya ke Geneva (Switzerland) untuk menghadir sebuah Expert Workshop terkait International Humanitarian Law and the Islamic Law of War. Luar bisa, ketika saya datang ke markas pusat mereka The Humanitarium, eventnya luar biasa. Dari semua hadirin, saya merasa begitu kecil di antara para peserta 20an alim ulama terpilih dari seluruh dunia, antara lain wakil rector Universitas Al-Qarawiyyin (universitas pertama di dunia) Syekh Fassi Fehri Driss. Saya sebut nama beliau karena nanti ada cerita.

Luar biasa, ICRC sangat memanjakan kami. Salah satu yang saya ingat adalah makan siang, khususnya di hari kedua. Modelnya three course meal. Di hari pertama, pembukanya adalah semacam sup jamur liar yang amat lezat. Makanan utama, mereka menyajikan ikan dengan nasi beras hitam dengan saus labu. Mewah, lezat, dan inshaaAllah bergizi. Tapi, yang paling istimewa adalah makanan penutupnya.

Saya bukan orang yang biasa makan dessert atau suka makanan manis, tapi di hari kedua ini sangat istimewa. Ketika dessert dihidangkan, saya langsung melotot.

(udah kayak nonton Master Chef haha)

Pertama kali seumur hidup saya, ada buah tin segar yang siap disantap. Betapa indahnya, dan betapa lezatnya. Segar rasanya, manis tapi tidak terlalu, dan teksturnya unik dibandingkan buah-buah lain yang pernah saya makan. Sebagaimana yang tampak di gambar, ada banyak unsur dalam hidangan tersebut (walau kelihatannya simple), tapi yang paling menonjol adalah buah tin-nya.

Sekali lagi, Surah al-Tīn terputar di benak saya sambil saya menikmatinya, dan saya membatin ‘andaikan saya bisa menceritakan ini kepada Ustadz Ridwan’. Kebetulan saat itu Syekh Fassi Fehri Driss duduk semeja dengan saya. Saya cerita kepada beliau betapa bermaknanya momen ini. Saya cerita betapa sekian tahun saya hafal dan membaca Wa al-Tīni wa al-Zaytūn tapi ini kali pertama saya makan buah tin segar. Beliau tertawa lepas mendengarnya. Kata beliau, saya harus berkunjung ke Maroko pada musim semi karena di sana banyak tumbuh buah Tin tapi hanya musim semi saja.

(Syekh Driss adalah yang tengah. Beliau adalah sosok ‘alim yang sangat tawadhu)

.

Kenapa saya tiba-tiba menceritakan ini? Hari ini saya baru saja selesai makan di sebuah warung Mamak (Indian Muslim). Ketika mau bayar, saya melihat kulkas mereka dan subhanAllah saya melihat ini.

AIR TIN

.

Apakah ini air buah Tin??? Sayangnya bukan. Maksudnya “Air Tin” itu “minuman kaleng”.

Penonton kecewa. Tapi setidaknya jadi terfikir lagi tentang perjalanan saya dengan Buah Tin, dan teringat lagi dengan Ustadz Ridwan Hamidi, semoga Allah selalu memberkahi ilmu dan dakwah beliau.