Selamat Tinggal, Pak Kasim! Bagian 2: Supir atau Bos?

Ini adalah Bagian 2 dari Cerbung “Selamat Tinggal, Pak Kasim!” yang dijuduli “Supir atau Bos?”. Ayo diikuti ceritanya, kali ini dari perspektif Uli 🙂

.

16 Maret 1996

Waktu pulang sekolah sudah tiba. Aku pun berlari menuju lobby sekolah, dan di sana sebuah wajah yang tak asing telah menungguku. “Pak Kasim, aku mau main dulu ya” kataku, sambil memberikan beliau tasku. “Duh jangan Dek Uli, tunggu sini aja lah Bang Didin pulang sebentar lagi.” Katanya.

Tapi abangku itu, yang sudah kelas 3 SD, pulangnya satu jam setelahku. Satu jam itu waktu yang lama. Aku pun mendengus dan protes kepada Pak Kasim. “Pak, itu masih lama.” Tapi belum selesai kata-kataku, tiba-tiba ada yang mengelus kepalaku dari belakang. Akupun menoleh. “Eh Dek Uli apa kabar? Masi inget tante nggak?” kulihat dari ujung kepala ke ujung kaki tante berrambut Panjang sepunggung itu, dengan blouse perlente berwarna pink dari atas ke bawah. Aku suka!

“Nggak inget tante. Siapa ya?” kataku jujur. “Eeh kamu pasti lupa. Ini tante Rinta! Tante pernah ke rumah kamu, tapi udah lama sih mungkin kamu lupa. Kelas berapa kamu sekarang?” tanyanya. “Aku sudah nol besar tante.” dan ia pun senyum. “Wah, waktu tante ke rumah kamu masih nol kecil!” katanya. Ia menoleh ke Pak Kasim. “Kalau Pak supirnya masih ingat saya ndak?” tanyanya? Pak Kasim mengangguk. “Masa sih lupa?” katanya, lalu keduanya tertawa.

“Tante mau daftarin anak tante untuk masuk sini juga. Namanya Fera. Tapi kayaknya kalo dia masuk, kamu sudah lulus ya?” tanyanya. Aku menggeleng, karena tidak tahu. “Iya, karena masuknya tahun ajaran depan. Sedangkan ini kan kamu nol besar. Tahun ajaran berikutnya sudah masuk SD!” katanya. Mataku pun membesar dengan gembira.

Tante Rinta pun pamit untuk masuk ke Gedung sekolah. “Pak Kasim, iyakah tahun depan aku bisa masuk SD?” tanyaku. “Wah, ya kalo kamu lulus. Dek Uli pinter nggak di sekolahnya?” tanyanya, kok rasanya setengah meledek. Aku pun mendengus dan protes “Aku pinter kook.”

Setelah ngobrol beberapa waktu dengan Pak Kasim, Bang Didin pun datang berlari. Aku pun melambai-lambaikan tangan dengan sangat bersemangat. Akhirnya, bisa pulang!

“Pak Kasim, tunggu sebentar ya aku mau main lima belas menit saja sama teman.” Kata Bang Didin. Aku pun protes “Aku mau pulang, udah nungguin dari tadi lho Bang.” Kataku. “Iya udah langsung pulang aja lah. Ditanya Bapak nanti.” Kata Pak Kasim. Bang Didin melihat ke arahku dengan nakal. “Dek Uli ikut aja yuk, ke kantin lho nanti aku beliin siomay.” Sogokan berhasil! Aku pun setuju.

“Nggak boleh!” kata Pak Kasim. “Harus pulang sekarang, karena nanti ditanya Bapak.” Aku dan Bang Didin pun merengut. “Ya nanti bilang sama Bapak kalo aku main sebentar. Bisa toh?” kata Bang Didin protes. “Nggak bisa, nanti saya yang dimarahin.” Balasnya. “Yaudah, nanti aku aja yang ngomong.” Kata Bang Didin. Baru saja Pak Kasim buka mulut untuk ngomel lagi, tapi Bang Didin berkata padaku “Dek, ayo lari!” dan reflek aku ikut lari. “Eh jangan lari! Nanti Bapak marah!” kata Pak Kasim, tapi Cuma mengejar beberapa langkah lalu menyerah.

Lagipula, Bapak itu nggak pemarah kok. Pak Kasim aja nih, batinku, belum ada setahun kerja dengan kami tapi galaknya ngalahin yang punya mobil!

.

16 Maret 2002

Pak Fajar mendekatiku, dan memintaku untuk ikut dengannya. Aku fikir, apa ya yang mau dibicarakannya? Setelah agak menjauh dari teman-teman yang lain, ia pun berhenti. “Uli, Bapak lihat kamu sebagai mayoret bagus sekali.” Katanya. Duh, biasanya yang begini-begini akan dilanjutkan dengan ‘tapi..’. Aku menelan ludah, lalu berterima kasih.

Beliau berdehem sekali sebelum melanjutkan. “Tapi,” katanya. Tuh kan, fikirku. Ini pasti ada sesuatu. Apa aku mau dipecat? “Ada satu posisi yang kita belum pilih siapa yang pegang. Kamu tahu kan apa?” jantungku langsung melompat. Iya, aku tahu! “Bapak berharap kamu mau mengisi posisi itu.” Mataku langsung berbinar-binar, dan aku mengangguk. “Mau sekali Pak! Terima kasih banyak atas kepercayaannya.” Beliau tersenyum atas persetujuanku, lalu mengatakan bahwa posisi baru akan dilaksanakan mulai latihan besok. Setelah diarahkan sebentar, aku pun berlari ke Pak Kasim yang sudah menunggu di tepi lapangan.

Keesokan harinya, ketika mulai jadwal latihan, dengan bangga aku menaiki panggung. Aku membawa sebuah tongkat baton kecil, dan di hadapanku semua teman-temanku sudah berbaris mengikut formasi masing-masing. Aku mengamati semuanya, dan khususnya Fira yang tersenyum padaku. Ia menggantikan posisiku sebagai mayoret. Aku mengayun-ayunkan baton sebagaimana arahan Pak Fajar, dan lagu Stupid Cupid pun berkumandang. Latihan sebulan sudah menuaikan hasil: Kita bagus banget!

 Akan tetapi, lomba masih dua minggu lagi dan tentunya kita harus latihan lebih giat lagi. Performa pertamaku sebagai dirigen sangat baik, karena memang tidak terlalu sulit. Tapi rasanya masih agak kaku, dan Pak Fajar pun mengatakan demikian. InshaaAllah aku akan berbuat yang terbaik! Aku pun berlari ke Pak Kasim yang sudah menunggu di tepi lapangan dengan tekad kuat untuk berlatih lebih kuat.

“Wah keren, naik pangkat jadi jirigen ya!” komentarnya. “Dirigen Pak, bukan Jirigen!” omelku. Beliau ketawa saja. “Pak, jangan bilang siapa-siapa ya.. Aku mau kasih kejutan.” Kataku padanya. Beliau pun setuju. Orangtuaku, Bang Didin, dan kakek nenekku hanya tahu bahwa aku adalah mayoret. Aku sudah senyum-senyum membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka hadir di lomba Marching Band di Pekan Raya Jakarta, dan bungsu kesayangan mereka bukannya jadi mayoret melainkan maju ke depan menjadi dirigen. Ketika saat itu tiba, aku tentu tidak akan bisa melihat ekspresi mereka. Tapi aku membayangkannya… Hehehe.. Aku pun ketawa sendiri di mobil. “Eh ketawa sendiri.” Ledek Pak Kasim, tapi tidak kuhiraukan.

“Dek, makan malam! Ayo!” panggil Bang Didin. Kami sekeluarga pun duduk di meja makan, sebagaimana kebiasaan di rumah kami. “Ayo pimpin doa.” Kata Kakekku pada Bang Didin, yang langsung mengangkat kedua tangannya ke muka dan diikuti yang lain. “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.. Allaahumma Bariklana Fiimaa Razaqtana Wakina Adzaabannaar.” Lafalnya dengan fasih. Sebagaimana biasanya, aku pun langsung menyahut. “Artinya. Yaa Allah, berkatilah rezeki yang Engkau berikan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.” AAMIIN kata semua orang, lalu makan malam dimulai.

Selama beberapa detik aku mengamati wajah mereka dengan sedikit senyum-senyum, membayangkan bagaimana kiranya keterkejutan dan bangganya mereka ketika mereka menyaksikanku nanti! Tapi kemudian…

“Katanya adek nanti mau jadi dirigen ya di lomba marching band?” tanya Kakekku tiba-tiba. Aku sangat terkejut dan memandang beliau. “Tadi Pak Kasim cerita.” Katanya. Sontak bapak ibuku dan Bang Didin menyelamatiku, tapi selera makanku langsung hilang. “Tadi aku bilang Pak Kasim jangan cerita-cerita siapa-siapa dulu.” Hatiku begitu sakit dengan hal ini. Aku langsung berdiri, kutinggalkan meja makan lalu kukunci diriku di dalam kamar.

Semua yang aku bayangkan, runtuh semua gara-gara supir sialan itu tidak bisa jaga mulut!

.

16 Maret 2017

“Oke, baik. Jadi itu resep sudah saya kasih, dan petunjuknya sudah saya jelaskan tapi nanti di obatnya akan ada keterangannya juga kok. Perlu saya ulangi pantangan-pantangannya?” tanyaku. “Sudah jelas banget Bu Dokter, terima kasih banyak.” Jawab ibu muda itu. Ia menyalami tanganku, lalu pergi membawa anaknya yang berumur tiga tahun. Kasihan, tadi anak itu dibawa ke UGD karena asmanya kumat.

Aku melirik jam yang menunjukkan pukul 13.00. Sebetulnya giliranku harusnya sudah berakhir jam 12 tadi, tapi semenit sebelum usai aku kedatangan pasien darurat. Lalu setelah itu, datang pasien kecil ini yang seharusnya bukan aku yang tangani tapi kok anaknya unyu sekali jadi aku kan gemas. Aku pun meletakkan stetoskopku di rak, dan buru-buru ke mushalla. Habis ini, aku sudah berkomplot dengan teman-temanku untuk memberi kejutan ulangtahun untuk Fira. Teman lama, harus diberi kejutan yang istimewa.

Pak Kasim meluncur ke arah Buaran dan memasuki komplek Duta Pelangi Permai. Aku baru sadar kalau belum melepas jaket putihku, dan langsung kulepas. Kawan-kawan yang lain sudah datang, tapi aku terlambat karena pasien tadi. Untungnya sekarang baru jam 16.00, sedangkan jam seginilah Fira baru selesai jam kantornya dan minimal sejam lagi baru dia bisa sampai. “Pak Kasim, tolong parkir di luar komplek saja ya.. Di ruko sebelah aja Pak, biar nanti Fira dateng nggak liat Pak Kasim.”

Aku mengetuk rumah Fira, dan Ibunya yang membukakan pintu. Kami semua sudah berkomplot untuk memberikan kejutan yang terbaik. Di dalam sudah ada Nanda, Aisyah, dan Stella. Semuanya teman dari zaman TK, dan silaturahmi masih sangat bagus. Aku buru-buru numpang shalat, tapi ternyata mayoritas persiapan sudah dilakukan oleh teman-teman yang lain. “Aduh, maaf ya gue telat.. hehe” akhirnya aku menceritakan tentang pasien menggemaskan tadi.

Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki garasi, dan Ibunya Fira tergopoh-gopoh datang “Fira sudah pulang! Ayo ke posisi!” katanya. Semua lampu sudah dimatikan, dan semua sudah siap.

“Bu, aku pulang Bu!” kata Fira sambil mengetuk pintu, lalu masuk dengan kunci yang ia miliki. Aku terkikik dalam hati, membayangkan bagaimana perasaan Fira masuk rumah kok gelap semua. Aku mendengar langkah kaki Fira melintasi ruang tamu depan, tapi kok dia diam saja ya?

Akhirnya ketika ia masuk ruang tengah, langsung lampu menyala dan confetti ditembakkan dari segala penjuru dan balon balon beterbangan ke arahnya “HAPPY BIRTHDAAAAYYY!!!!!!!” kami berteriak. Fira pun tersenyum sambil kami semua berpelukan.

“Sebenernya gue tau lho kalo kalian mau ngasih surprise.” Kata Fira sambil memotong-motong kue ulang tahun. “Eh, kok bisa?” tanya Aisyah. “Tuh, gue liat mobilnya Uli di ujung jalan. Pak Kasim ada di dalem. Tapi kok nggak ada yang ngomong apa-apa? Nah, gue simpulkan pasti deh pada nyiapin kejutan.” Katanya. Kami pun tertawa, “payah sopir lu Ul” ledek Stella. Aku pun tertawa juga, tapi tertawa dengan senyum yang nanar.

Ini supir kok susah amat sih dikasih instruksi???

(Bersambung Ke Bagian 3)

================================================================

Kembali ke muka

Ke Bagian 3: