Apakah Islam Mengenal Konsep “Marital Rape”?

Image result for happy muslim family
image: freepik.com

Tulisan ini akan membahas secara ringkas apakah Islam mengenal (dan melarang) pemerkosaan suami terhadap istri atau istri terhadap suami (marital rape). Tulisan ini inshaaAllah dibuat sesederhana mungkin untuk membantu memahamkan dasar-dasarnya, semoga bisa membantu menjelaskan.

Jawaban singkatnya:

Islam melarang menyetubuhi suami/istri dengan paksaan kekerasan, tapi tidak mengenal konsep “marital rape”.

Lho, bukannya “marital rape” itu ya “menyetubuhi suami/istri dengan paksaan kekerasan”?

Jawabannya : no.

PENJELASAN SEDERHANA

Pertama, harus faham secara utuh dulu apa maksud “marital rape”. Karena, sebuah term mewakili sebuah konsep yang khusus. Permainan terminologi dan makna memang membuat sulit, dan impor satu makna dari satu bahasa ke bahasa lain sering mengaburkan konsep.

Kalau melihat konsep asli “rape”, poin utamanya adalah bahwa kejahatan utamanya adalah seks tanpa hak karena melawan kehendak pribadi korban. Artinya, dibenarkan/tidakdibenarkannya seks berporos sekedar pada kehendak pribadi.

Sedangkan “marital rape” adalah “rape” dengan makna di atas yang mana pelaku dan korban terikat hubungan pernikahan. Maknanya, ada atau tidaknya hak seseorang untuk melakukan seks dengan suami/istrinya adalah berporos pada kehendak pribadi suami/istri tersebut terlepas dari status pernikahan.

(Kalau term “marital rape” mau diubah-ubah maknanya, itu urusan lain ya.)

Kedua, dalam Islam, suami dan istri memiliki hak atas seks dengan istri/suaminya itu karena akad nikah menghalalkan seks antara mereka. Dengan kata lain, dirinya melakukan hubungan seks bukan hanya hak dirinya sendiri tapi juga hak istri/suaminya atasnya. Karena itulah, sekedar karena ketidakmauan si istri/suaminya, tidak membuat hilang hak atas seks pada suami/istri tersebut.

Sehingga, secara konsep, “marital rape” menafikkan hak atas seks yang muncul dalam pernikahan sekedar karena ketidakmauan pribadi salah satu pasangan.

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya, sekedar karena seseorang memiliki hak atas sesuatu, tidaklah bermakna dia boleh mengambilnya dengan cara yang buruk. Ada kewajiban dalam Islam untuk melakukan segala sesuatunya dengan ihsan (i.e. dengan sebaik-baiknya cara). Ini termasuk cara mendekati dan memperlakukan anggota keluarga termasuk suami/istri.

Maka, melakukan sesuatu dengan cara yang buruk adalah terlarang. Ini termasuk melakukan kekerasan psikis atau fisik untuk memaksa suami/istri untuk melakukan sesuatu, termasuk seks, kalaupun ia berhak atasnya.

Jadi, Islam memisahkan hukum antara (a) halal-haramnya seks, dan (b) halal-haramnya cara. Makanya, memperkosa orang yang bukan pasangan sah itu kesalahannya dobel. Seksnya haram, caranya pun haram. Kalau menyetubuhi istri sambil menganiaya, seksnya halal tapi caranya haram.

KESIMPULAN

Islam melarang suami/istri memaksa bersetubuh istri/suaminya, walaupun suami/istri tersebut berhak atas seks.

Istilah “marital rape” tidak sejalan dengan Islam bukan karena Islam membenarkan melakukan kekerasan fisik atau psikis antara suami-istri. Islam melarang itu. Yang Islam tidak cocok adalah dengan penafikan terhadap hak atas seks yang lahir akibat pernikahan, yang merupakan makna dari istilah “marital rape”.

REKOMENDASI

(A) bila pemerintah ingin mengatur soal ini, jangan merumuskan hukum meminjam terminologi yang membawa konsep yang bertentangan dengan Islam seperti “marital rape” di atas. Rumuskanlah dengan baik.

(B) jangan melihat “marital rape” cuma sesempit “Islam melarang memaksa fisik/psikis utk seks dgn suami/istri, maka Islam melarang marital rape!”. Fahami dulu term “marital rape” dengan holistik.

Link untuk pembahasan yang agak lebih detil: silahkan klik di sini