TERNYATA SEDEKAH ITU HARUS PAKE OTAK!!

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2011 atau awal 2012, tapi sampai sekarang masih membayang-bayangi benak saya. Entah harus ketawa atau meringis kalau ingat, barangkali campuran antara keduanya. Tapi, hikmah yang saya dapatkan adalah jelas: kalau sedekah harus mikir!

Pada penghujung masa studi S1, ada kalanya saya cukup dekat dengan dua orang. Sebut saja namanya Gigi dan Kiki (bukan nama sebenarnya), dan hampir setiap hari kami makan siang bersama di warung makan di Gang Flamboyan. Kami akan naik mobil Gigi (saya dan Kiki adanya motor) dari kampus untuk ke sana. Alhamdulillah, kami diberi rejeki yang cukup sehingga bisa memilih lauk pauk yang lumayan oke atau bahkan lebih dari satu. Setelah makan sambil ngobrol, kami kembali ke kampus.

Gigi punya kebiasaan yang luar biasa. Keyakinannya sebagai nasrani yang taat membuatnya selalu membungkus satu porsi nasi dengan lauk tahu, tempe, telor, atau kombinasinya, dan sayur. Intinya, seporsi makanan sehat. Di depan gerbang warung makan selalu ada pengemis yang menunggu diberi uang receh oleh pengunjung. Ketika kami keluar untuk pulang, Gigi akan memberikan nasi bungkus itu kepada sang pengemis.

Saya kemudian iri, masa sih saya ndak bisa melakukan hal yang sama atau bahkan lebih baik? Qadarullah, selalu saja tiap kami makan bareng saya selalu lupa dan si Gigi mendahului saya dalam membelikan makan untuk si pengemis itu. Selalu saya bilang, “lain kali inshaAllah”, tapi selalu saja keduluan.

Pada akhirnya saya punya ide: emangnya harus pengemis yang itu, pada saat itu? I could do better! Allaahu Akbar!

Jadilah suatu hari saya sudah memantapkan hati, lalu memutuskan untuk mengeksekusi misi saya. Saat itu saya habis makan di rumah makan padang, lalu memutuskan untuk meminta bungkus. Setelah diambilkan nasi, sayur, dan sambal, saya pilih dua lauk yang paling mewah menurut saya. Saya harus bisa lebih hebat daripada Gigi.

Pertama, saya pilih rendang yang potongannya besar dan mantap. Kedua, saya pilih sate udang goreng tepung, yang udangnya besar-besar dan kelihatan super renyah. Saya aja nggak makan dua ini tadi. Tidak lupa saya minta masing-masing item dibungkus terpisah, supaya tidak cepat basi. Sambil senyum-senyum saya naik motor.

Akhirnya saya menemukan seorang pengemis tua yang cacat di sekitar Galeria Mall saat itu. Memang selalu ada di sana, jadi saya tahu mencari ke mana. Saya turun dari motor, lalu berlutut di samping beliau (karena beliau duduk di lantai, kakinya cacat). “Sudah makan belum Mbah? Ini untuk Mbah, moga-moga suka.” Mungkin semacam itulah yang saya katakan pada beliau.

Ketika melihat bungkusan di tangan saya, beliau menerimanya dengan senyuman yang sangat lebar tapi tidak akan bisa saya lupakan dan menjadi pelajaran seumur hidup bagi saya.

Cerita Sakit Gigi | Ahmad Takbir
ini bukan beliau, tapi representatif (image: https://ahmadtakbir.wordpress.com/)

Ya Allah ternyata beliau GIGINYA OMPONG wahai saudara-saudaraku sekalian…

Gimana caranya dia makan rendang dan sate udang goreng tepung tadi ya Allah :((((((