Terima Kasih Atas Ilmunya Pak Liberal

Gambar ini tidak relevan
Gambar ini tidak relevan tapi gemes

 

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabaraatuh,

 

Pengantar

Saya sebagai seorang Muslim banyak sekali butuh belajar. Mungkin baru agak serius sejak tiga tahun belakangan ini, itupun masih banyak ngawur dan serabutan sambil juga sering sok tau soal agama dalam banyak hal. Dalam keadaan seperti ini, saya menemukan artikel menarik yang ditulis oleh Pak Ade Armando ini yang berjudul Mengapa Sunnah dan Hadits Tidak Perlu Dipatuhi Sebagai Hukum?’ (silahkan klik untuk membaca tulisannya, supaya nyambung ke bawahnya hehehe). Beliau ini adalah seorang rekan seprofesi akademisi tapi dari jurusan dan universitas lain. Saya belajar banyak sekali dari tulisan ini, karena itu saya berterima kasih kepada beliau.

Di satu sisi, kalau kita berbicara sumber hukum Indonesia, mungkin agak sulit mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadist adalah sumber hukum. Masa mau sidang pembunuhan pake ayat Qishash? Ya pake KUHP Pasal 338 lah (ini orang HTI akan teriak TUH SISTEM KUFUR KITA BUTUH KHILAFAH, dan takfiri akan teriak KAFIR SEMUA KALIAAAN YEAY). Kecuali dalam hal tertentu, di mana memang hukum Islam ini tegas dipositifkan misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam.

Akan tetapi, di sisi lain, apapun sistem pemerintahnya, saya adalah seorang Muslim. Dari kecil kalau di pelajaran Agama Islam saya sudah diajari untuk patuh pada Al Qur’an dan Hadist. Tapi kemudian datanglah tulisan yang begitu mencerahkan.

Sebagai seorang yang sudah bertemu beraneka ragam guru (jangan disamakan dengan ulama ya, misalnya Imam Bukhari punya 1000 guru), saya menyimpulkan bahwa guru yang baik bukanlah yang mencekoki ilmu melainkan antara lain menstimulasi adanya transfer of value. Bukan sekedar memberi ilmu, tetapi menggelitik rasa penasaran yang kemudian menjadi gerbang bagi kami para murid untuk mencari ilmu dan mendapatkan ilham. Dan inilah yang saya rasakan dari tulisan Pak Ade.

 

Berikut ini pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dari tulisan beliau.

 

  1. Hadist membawa kerusakan di bumi

Beliau mengatakan bahwa banyak hadist yang menyebabkan bisa menyebabkan kerusakan di muka bumi. Tentu saya penasaran maksudnya apa, karena dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. diutus sebagai Rahmatan lil ‘Aalamiin. Banyak orang mengartikan ayat ini bahwa artinya islam harus bisa disesuaikan dengan kearifan lokal, padahal logika sederhana pun cukup untuk memahami bahwa apa yang dibawa Islam pasti cocok dengan semuanya kecuali hal-hal di mana urf bisa dipertimbangkan dalam ajaran Islam (atau kalo orang ngeyel, tentunya).

Aliran hermeneutika dalam Islam ini memang agak kacau, melihat bahwa Islam turun sesuai jamannya sehingga harus dipahami sesuai zaman. Mereka berkata “ajaran islam cocok untuk zaman itu yaitu untuk membenarkan apa yang salah. Sekarang sudah beda zaman”. Tanpa menafikkan bahwa ada ruang-ruang ijtihad untuk beraneka (dan mayoritas) perkara, tapi ini semua sesuai dengan koridor dalil yang ada.

Sepemahaman saya, kita harus melihat bagaimana Islam justru datang untuk mereformasi kebiasaan yang ada. Dari dulu argument orang kafir adalah “itu bukan hal yang biasa kami lakukan atau percayai atau sepakati”, dan sekarang pun tidak berubah argument mereka.

Tapi intinya, saya jadi penasaran. Apa standar kebenaran dari HAM ini? Kita memahami bahwa landasan dari kebenaran HAM ini adalah sesuai dengan consensus bersama, yang tentu dalam hukum internasional dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi dalam peradaban dunia. Tapi kalau kita melihat landasan kebenaran ini, maka dengan alasan yang sama maka semua masalah rasisme dan diskriminasi yang ada di masa lampau pun juga benar menurut masanya sebagaimana HAM benar di masa ini.

Jadi atas standar apakah saat itu dikatakan bahwa Islam membawa kebaikan? Menurut standar zaman itu, awalnya, Islam jelas salah besar. Dan Islam hanya berubah jadi benar ketika standar ini diterima oleh banyak orang saat itu. Standar ganda deh.

Jadi, bukankah hakikatnya Islam memang mendobrak konstruksi kebiasaan yang sudah ada bukannya malah ditundukkan oleh hal itu?

Metode hermeneutika ini lebih panjang dan komprehensif dibahas oleh Fahmi Salim, M.A., Dr. Adian Husaini, dan lainnya. Kajian tentang konsep HAM dan Islam secara ontologis dan epistemologis juga bisa panjang lebar dan bukan di sini tempatnya lah.

Saya jadi belajar banyak, bagaimana berbedanya memandang sesuatu yang didasari otoritas pewahyuan dan tidak. Secara ontology dan epistemology tentunya berbeda. Mari berfikir logis saja. Apakah mungkin Allah, Al-‘Ilm, bisa salah dan dikoreksi oleh manusia yang fakir? Bukankah berbeda perdebatan tentang orang yang percaya dan tidak percaya adanya Yawmid Diin? Maka di sini kita memasuki perdebatan aqidah: apakah betul Islam datang dari Allah?

Nah lho jadi beda deh perdebatannya kan dan jadi tidak apple to apple diskusinya. Dan tulisan beliau ini saya jadi makin paham, kesulitan dari diskusi ini dan bahwa tidak dapat dilakukan perbandingan seperti ini.

 

  1. Pelecehan Ilmu Pengetahuan

Menarik statement Pak Ade bahwa Rasulullah s.a.w. makan dengan tangan kanan adalah karena biasa, dan bukan karena jin. Padahal jelas redaksi hadistnya jelas seperti kata Pak Ade. Riwayat Jabir:

لا تأكلوا بالشِّمالِ ، فإنَّ الشَّيطانَ يأكلُ بالشِّمالِ

janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena setan makan dengan tangan kiri” (Sahih Muslim, Hadist No. 2019, dan Sunan ibn Majah Hadist No. 3392)

Jelas Rasulullah s.a.w. menyebut jin sebagai alasannya, atau mungkin Pak Ade ingin menyiratkan bahwa Rasulullah s.a.w. berdusta? Ya betul sekali memang kata Pak Ade yaitu bahwa bukan cuma jin yang makan pakai tangan kiri. Siapa? Kita dengarkan kata Imam ibn al-Qayyim dalam Zaadul Ma’ad: “yang makan dengan tangan kiri, kalau ia bukan setan maka ia menyerupai setan.” Atau tambahan dari Shaykh Shalih al-Uthaymeen, orang-orang yang diberi udzur (udzur ini bisa akibat kondisi fisik, atau ketidaktahuan, atau.. yah.. udzur gila). Atau tambahan dari saya, saya pernah lihat monyet makan pakai tangan kiri.

Tapi mari kita kesampingkan dulu lah itu. Lebih menarik membahas komentar beliau bahwa hadist-hadist semacam ini adalah pelecehan terhadap ilmu pengetahuan.

Saya sangat terarik pada statement ini karena ilmu pengetahuan justru tidak bisa mengatakan bahwa jin tidak ada setidaknya karena dua alasan.

Pertama, ilmu pengetahuan, dengan metode penelitian empiris, hanya bisa mengatakan “tidak ditemukan jin” dan bukannya “jin tidak ada”. Silahkan lihat semua laporan penelitian ilmiah yang nggenah, semua akan berbahasa seperti itu. Tes TBC saya sebelum sekolah di UK dulu pun bukan mengatakan “tidak ada TBC” tapi “tidak ditemukan indikasi TBC”. Sifat dan karakter penelitian empiris atau lanjut ke masalah positivism yah panjang lah penjelasannya tapi singkatnya begitu.

Kedua, ilmu pengetahuan ini dilandasi oleh metode penelitian empiric yang berupa pengamatan panca indera. Terlepas dari cerita cerita horror. Menggunakan metode panca indera untuk mencari jin itu seperti mencari beruang kutub di dasar laut Jawa.

Banyak hal yang tidak bisa diteliti dengan metode empiric. Misalnya moralitas dan nilai. Kita bisa sih meneliti empiris tentang persebaran orang yang mengikuti nilai tertentu, tapi nilai dan moralitas itu sendiri tidak bisa diteliti secara empiris. Atau bahkan MATEMATIKA. Tidak ada bukti ilmiah bahwa 1 + 1 = 2. Kenapa 2 itu 2? Kenapa angka harus seperti itu? Itu kesepakatan saja. Bukan suatu kebenaran ilmiah.

Tidak bisa kita gunakan prinsip bahwa “semua hal bisa dibuktikan dengan ilmiah”, karena dengan kaidah ilmiah pun hal ini tidak bisa kita buktikan toh? Karena itu, saya pun jadi bertanya-tanya kenapa ya Pak Ade ini melakukan analisis seperti ini?

Akhirnya saya memahami. Beliau memberi contoh praktek langsung bagaimana melakukan pelecehan terhadap ilmu pengetahuan.

 

  1. Hadist itu belum tentu Sahih

Betul sekali yang disampaikan beliau. Apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. sudah di’back up’ langsung oleh Allah. Tapi manusia-manusia yang mengumpulkan hadist bukannya tidak mungkin berbuat salah. Mereka tidak maksum, dengan beraneka alasan yang barangkali sesuai dengan apa yang Pak Ade sampaikan.

Akan tetapi, itulah manusia. Kita banyak keterbatasan, dan karena itulah metode ilmiah berkembang pesat untuk sedapat mungkin mengurangi resiko tersebut. Walaupun banyak ulama Islam abad pertengahan tentu sangat mengimani dan mengamini hadist-hadist tentang khasiat madu (saya tambah lagi yuk, khasiat rukyah dan surah Al Faatihah sebagai pengobatan dll) ternyata bukannya jadi menolak ilmu pengetahuan tapi justru berkontribusi besar pada perkembangan ilmu pengetahuan serta metodologi ilmiah.

Akhirnya beraneka metode penelitian ditemukan untuk sedapat mungkin memperkuat akurasi hasil penelitian. Dalam penelitian empiris tidak bisa 100% benar, tapi bisa dibuat sedekat mungkin dengan itu, dan metode-metode ini pun terus dikembangkan.

Karena itulah, secara ilmiah yang tidak bisa benar 100% pun, sangat konyol sekali jika kita menemukan sebuah penemuan ilmiah yang ditemukan dengan metode ilmiah terbaik oleh ahli terbaik, lalu sekonyong-konyong ditolak karena “bisa saja salah”. Lah wong bisa saja 95% betul, kok malah 5% mungkin salahnya yang dipakai? Dalam kerangka ini, konyol orang yang misalnya meragukan bahwa sebuah obat bisa bekerja karena “itu ilmiah, belum tentu benar dan bisa saja salah” padahal konon obat itu baru bisa dapat izin jual kalau sudah efektif 95%. Masa iya sebuah metode ilmiah yang diaplikasi dalam riset berdana milyaran dollar, sekonyong-konyong ditolak karena “yah bisa aja salah” segitu saja.

Tidak cukup menyanggah sebuah penelitian dengan menunjukkan beberapa kekurangan umum dari metode ilmiah, melainkan juga bagaimana metode ilmiah spesifik tersebut tidak bisa secara signifikan (yang diterima secara ilmiah) untuk memitigasi kekurangan-kekurangan tersebut.

Ilmu hadist pun demikian. Dari sekian kemungkinan kesalahan yang mungkin terjadi, dibuatlah ilmu hadist yang sangat komprehensif. Kajian sanad, mattan, dan lain sebagainya, dan ilmu ini terus berkembang bahkan hingga sekarang. Dengan logika ilmiah yang sama, bukankah konyol jika kita menolak hadist dengan alasan sekedar “yah bisa aja salah”?

Padahal para Imam hadist (yang tentu tidak maksum) sudah mempelajari siapa saja perawi hadistnya, melihat biografi mereka yang juga bersanad lho btw, yang berisi bukan hanya siapa nama dan pekerjaan tapi juga kekuatan hafalan, testimony tentang kejujuran dan kesholehan mereka, juga riwayat hidup dan perjalanan mereka sehingga bisa dikroscek apakah masuk akal satu sanad dan sanad lainnya. Dan ternyata terkadang hadist itu diriwayatkan lebih dari satu jalur, terkadang kesemuanya ada kecacatan terkadang sebagian cacat sebagian bagus, terkadang semuanya bagus atau bahkan banyak yang bagus sampai akhirnya derajad hadist tersebut adalah muttawatir. Ini belum lagi kita berbicara tentang pengkajian mattannya yang ada ilmunya sendiri juga dan lain sebagainya.

Lalu dengan segala jerih payah bertahun-tahun meneliti suatu hadist dan membuang ratusan ribu hadist dan sekelompok kecil saja yang hasan dan lebih sedikit lagi yang sahih dan leeeebih sedikit lagi yang sampai sahih muttawatir, ditolak dengan: “yah bisa aja salah. Kan mereka manusia.”

Sekali lagi saya mendapat pelajaran berharga, yaitu contoh lain dari pelecehan ilmu pengetahuan.

 

  1. Al Qur’an dan Sunnah jangan dijadikan hukum mengikat, Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengatakan demikian.

Mungkin ini adalah poin utama, makanya saya simpan sampai akhir.

Walaupun judulnya dan banyak analisisnya tentang Sunnah dan Hadist saja, tapi sempat disinggung juga Al-Qur’an. Apakah memang demikian halnya? Saya jadi mencari-cari, dan menemukan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurayra r.a.

مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى ‏

Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk Surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” (Sahih Al-Bukhari, Hadith No.7280)

Jika ada yang mengatakan bahwa “perintah itu kan kepada orang di zaman beliau saja”, maka jawabannya adalah itu palsu. Karena Irbad bin Sariyah r.a. meriwayatkan bahwa Beliau s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya siapa saja yang nanti hidup setelahku maka dia akan melihat terjadinya perselisihan yang banyak; oleh karena itu, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah ia(sunnahku tersebut) dengan gigi geraham.” (Sunan Abu Dawud, Hadist No. 4607)

Diriwayatkan juga ada wasiat beliau saaat khutbah wada (perpisahan):

فَاعْقِلُوْا أَيُّهَا النَّاسُ قَوْلِي، فَإِنِّي قَدْ بَلَّغْتُ، وَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَاإِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تُضِلُّوْا أَبَدًا، أَمْرًا بَيِّنَتًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Perhatikanlah kata-kataku ini, saudara-saudara! Aku sudah menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas kutinggalkan ditangan kamu, yang jika kamu pegang teguh kamu tidak akan sesat selama-lamanya; Kitabullah dan sunnah rasul.” (Sirah ibn Hishaam)

Bahkan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an Allah secara tegas telah berfirman berulangkali tentang ini, saya kutipkan sebagian saja:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak [pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka…” (Surah Al Azhab ayat 36)

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا‌ۚ

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, maka mereka berkata: ‘Kami mendengar, dan kami patuh….” (Surah An-Nur ayat 51)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul [Nya], dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah [Al Qur’an] dan Rasul [sunnahnya], jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (Surah An-Nisa ayat 59)

Saya jadi tahu bahwa Pak Ade memang betul. Di sana memang bahasa yang digunakan untuk taat pada perintah Rasul-Nya (yang terrekam dalam hadist) adalah bahasa yang imperatif. Tapi semua ini, paling tidak sekilas menurut saya yang fakir ilmu ini, jelas tidak bisa diberlakukan sebagai wajib mutlak. Mungkin memang tepat Pak Ade mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut harus dipahami dengan lebih jeli.

Ayat-ayat tersebut hanya berlaku untuk orang yang beriman saja, bukan untuk kalangan kafir dan murtad.