How Indonesia Got Our Freedom: Bambu Runcing
I can remember vividly how my Elementary School teachers used to say this:
“Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaannya karena kekuatan dan keberanian para pendahulu kita”
(Indonesia won its independence through the strength and valor of our ancestors)
Well, I dont have problems there. Then it goes on.
“Jepang sebenarnya akan memberikan kemerdekaan untuk kita. Tapi kita memilih untuk memerdekakan diri”
(The Japanese would have given us our independence, but we chose to claim it ourselves)
Now comes the drama part.
“Silih berganti, para penjajah berdatangan dengan senapan dan meriam mereka”
(One after another, the invaders came with their guns and cannons)
And it goes on to this terrible, terrible, terrible statement.
“Kita merebut kemerdekaan kita dari mereka, dengan hanya bermodalkan bambu runcing melawan senapan-senapan dan meriam-meriam mereka”
(We snatched back our freedom from them, with mere bambu runcing in our hands against those guns and cannons of theirs)
Now what is this exquisite bambu runcing?
Here’s a picture of one.
Made of bamboo sticks, sharpened. And of course, with the famous panji merah putih (red and white standards) with it.
Badass.
I am not at all against the fact on how useful these things were. We poked a lot of those Dutch with these. Well, I do wonder how in the dramatizations our teachers love to only mention the bamboo. While a lot of us actually used swords, spears, and other non-bamboo. Oh, guns too, in fact. Teuku Umar, for instance, stole a hell lot of guns from the Dutch and used them to fight. And we can see many pictures of our national heroes and heroines in our history books holding things such as keris, rencong, badik, and more (check pics of Pangeran Diponegoro, Kapiten Pattimura, etc).
It was not debatable, however, that our heroes were outpowered by fire superiority by real far. Thus, we had so much trouble and fighting the Dutch was definitely not that easy.
But take a look of a picture of our independence day.
Any bamboos?
Boys and girls, no doubt that our past heroes used a lot of stuff including bambu runcing to try fight off the dutch and other invaders of our lands.
But in the end, it were scholars and pens and intelectual movements that brought us to where we are now. Therefore, kids, stop brawling and study well.
Just a final note. If bambu runcing were really the backbone of our resistance forces, thank God it wasnt CHINA who attacked us.
They’ll nom nom our bambu runcings.
*munch*
nGui
Trus foto ini apakah tidak ckp membuktikan bahwa bambu runcing sbg senjata para pahlawan kita dulu yah?
http://2903vn.files.wordpress.com/2011/01/pasukan-bambu-runcing.jpg
teuku Umar mencuri senapan?, ok, saat mau mencuri tsb kira2 senjata teuku umar nya apa yah??…
apakah pedang, badik , keris, bukankah kemampuan nya sama dgn bambu runcing, dlm arti ‘tidak bisa mengeluarkan peluru’ ?
Come on, jgn di telen mentah2 sm otak kiri gt lah, apalagi ud keseringan nonton film action AS,
bambu Runcing itu mjd sejarah bahwa kita berhasil merdeka walaupun kalah dlm hal SENJATA PERANG, namun MENANG dalam SEMANGAT MERDEKA.
Yeah, sangat setuju. Tapi saya nggak mengatakan bahwa bambu runcing itu tidak penting.
Hanya saja, pada akhirnya bukan bambu runcinglah yang membawa kita pada kemerdekaan. Hampir semua pasukan kita yang memakain bambu runcing itu akhirnya dilibas, atau berusaha mencari senjata yang lebih baik.
Come on, jangan terlalu termakan oleh pernyataan-pernyataan yang hiperbolis. Mari evaluasi lagi sejarah kita. Semangat kita luar biasa, benar. Leonidas of Sparta juga sangat semangat saat melawan pasukan raja Xerxes –membantai banyak sekali pasukan Persia, tapi insignifikan dan akhirnya malah Leonidas dibantai.
Coba evauasi lagi sejarah kita. Salut dengan semangat bambu runcing. Tapi mari kita realistis, pasukan belanda maupun jepang pergi dari indonesia bukan karena dilibas pasukan bambu runcing. Politik untuk mempersatukan negara ini tidak mudah, dan akhirnya berhasil dengan kinerja para intelektual sebagai ujung tombaknya.
Kiai Bamburuncing
Bismi Allahi, Ya Hafidzu Allahu Akbar…
Itulah bekal doa dari KH Subeki kepada para tentara Hizbullah dan Sabilillah daerah Parakan-Temanggung, Jawa Tengah. Setelah diberkati doa, pasukan memperoleh kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah dengan keberanian dan keikhlasan.
Tidak hanya tentara Hizbullah dan Sabilillah, laskar-laskar dari kesatuan lain dan anggota Tentara Keamanan Rakyat juga berbondong-bondong menghadap sang kiai, tak kenal siang atau malam. Mereka meminta supaya senjata bamburuncingnya dilumuri tuah dari doanya. Karena itulah beliau terkenal dengan julukan kiai bamburuncing.
Sekali waktu, Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah saat itu, juga pernah meminta berkahnya. Bahkan Panglima Besar Jendral Soedirman, sebelum pergi ke Ambarawa, melakukan hal serupa.
Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri (1974), KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai.
Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.
“Apa yang Bapak lakukan itu sudah benar dan meraka sudah mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka jadi tambah berani dalam perjuangan, dan ini sangat penting. Apa yang biasa sampaikan kepada mereka?” demikian kata Kiai Wachid.
Kiai Subeki merespon, “Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa dan Tanah Air. Ingat selalu kepada Allah. Jangan menyeleweng dari tujuan dan hendaklah selalu ingat kepada Allah.”
Dalam revolusi fisik yang berkecamuk 1945-1950, Kiai Subeki tidak hanya ongkang-ongkang kaki, memberi tuah di rumahnya. Ia juga turun ke medan laga. Ia bersama KH HM Siradj Payaman, KH M. Dalhar Watucongol, serta KH Mandur Temaggung, dan bersama tentara rakyat berhasil mengusir NICA dan Sekutu dari Magelang sampai ke Ambarawa. Dari Ambarawa, ia bersama Jendral Sudirman dan tentara rakyat, berhasil juga mengusirnya.
Dalam catatan Mahbub Djunaidi (1974), KH. Subeki juga diamati dari kacamata seorang anak. Ia mendengar kabar, para pejuang miminta bamburuncingnya dituahi KH Subeki. Para pejuang kemudian bertempur seperti orang keserupan memukul mundur Sekutu dari Solo. Sebagai seorang anak, Mahbub menginginkan bamburuncing itu untuk kebanggaan di mata teman-temannya.
Tepatlah ujaran Bung Karno, “Sejarah, apalagi bagian yang dalam, yakni mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat; yang menyebabkan kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, tidak banyak diperhatikan. Padahal, di sinilah padang penyelidikan yang maha-maha penting.” (Abdullah Alawi, dari pelbagai sumber)