Legend of Legends: Chapter VI — Old Friend

Here comes Chapter VI ^_^

____________________________________________________________________________________________________

CHAPTER 6

OLD FRIEND

                Jalan yang mereka lalui bukan jalan yang bisa dibilang enak, tapi lumayan menantang. Regu ini dikawal oleh dua puluh lima personil the white garda, tapi nanti saat misi berlangsung, mereka ini cuma akan menanti di persembunyian saja. Kali ini bukan hutan lebat yang mereka lalui, melainkan sabana yang amat tinggi dan luas. Tak jarang monster-monster padang rumput yang berbahaya datang mengganggu, tapi semua berhasil diatasi dengan mudah. Agak sulit melewati medan seperti itu di tengah kegelapan malam, dan hanya obor saja yang membantu. Di tengah sabana yang tak ada habis-habisnya itu, kiri kanan depan dan belakang kelihatannya sama saja.

Akhirnya mereka menemukan sebuah hutan. “Sudah dekat,” kata seorang prajurit the white garda. Karena bersemangat, hutan itu diarungi dengan cepat, dan saat mereka mencapai tepi hutan yang lain, sebuah siluet kastil nampak dari kejauhan. Mereka perlu menyebrangi area selebar sekitar lima ratus meter sebelum bisa mencapai kastil.

“Tunggulah di sini. Aku akan ke sana. Akan kuberi tanda jika sudah saatnya beraksi,” kata Jasmine, lalu ia berlari menembus kegelapan malam menuju kastil raksasa itu.

“Kita menunggu di sini saja,” kata Gusrizant.

Sekitar sepuluh menit kemudian, ada sebuah kilatan api di kastil yang meluncur ke atas.

“Itu tanda untuk kita. Ayo, jangan buang waktu,” kata Daffy dan semuanya berlari ke kastil. Dengan tali, mereka memanjat pagar kastil, dan bertemu Jasmine yang menanti di depan sebuah jendela. Empat mayat prajurit berseragam hitam-biru, seragam Apocalypse, terkapar tak bernyawa.

“Aku, Dalel dan Jasmine pernah mengunjungi ruang tahanan kastil ini tahun lalu saat seorang kriminal penting ditangkap, jadi kami tahu betul seluk-beluk mencapai ruang tahanan. Biar kami yang berjalan di depan,” kata Gusrizant.

“Tapi pasti telah dipasang berbagai hambatan untuk mencapainya. Kudengar Meissa dan pengawalnya hanya dijaga satu penjaga saja. Tapi, itu artinya pengamanan sudah begitu kuat sampai tak perlu banyak-banyak yang menjaga. Bagaimana dong?” tanya Jasmine khawatir. Daffy merangkul dan mencubit pipinya.

“Hei, dik… bagaimana kau? Kita ini prajurit. Begitu saja sudah rewel, bikin gemas saja. Ayo, kita masuk,” katanya, dan satu persatu mereka memasuki jendela, menuju sebuah kamar besar. Ini pasti gudang makanan, sebab daging dan sayuran ada di mana-mana dalam gundukan es hasil magic.

“Kenapa di sini? Kita pasti akan bertemu dengan para koki! Bagaimana ini?” tanya Daffy agak kurang senang.

Kini Jasmine yang merangkul dan mencubit pipinya. “Koki di sini pasti dari Eleador, jadi bisa diajak kerja sama. Sengaja aku cari dapur,” katanya. Benar, mereka keluar dan berhadapan dengan sepuluh lebih koki dan satu penjaga dari Apocalypse, diketahui dari seragamnya. Dengan sigap, Gusrizant melepaskan sebuah anak panah. Panah itu melesat melewati sela-sela kepala para koki dan mengenai si penjaga.

“Tenang. Kami dari Crin’s Blade, dan misi kami adalah menyelamatkan Meissa Apilla. Maukah kalian bekerja sama?” tanya Gusrizant, dan para koki itu mengangguk. “Begini, setelah kami beri isyarat, kalian keluar dapur, dan katakan pada semua prajurit Eleador yang kalian bisa temui, dan katakan bahwa Meissa sudah bebas. Sementara itu, kalian di sini saja. Mengerti?” tanya Gusrizant, dan mereka bergumam tanda mengerti. Dengan ayunan tangannya, Gusrizant memberi isyarat untuk keluar dapur.

Mereka menemukan  diri mereka di sebuah lorong besar. Ada beberapa prajurit yang bersiap menyerang, tapi berseragam khas Eleador, yaitu motif seperti batik berwarna cokelat-hitam. “Kami mau menyelamatkan Meissa,” kata Dalel. Para prajurit itu langsung tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu. Tapi, kalian berhati-hatilah. Meissa tidak ditahan di ruang tahanan, melainkan di kamar ratu, lantai tujuh. Mulai lantai empat keatas dipasang berbagai macam jebakan. Semoga berhasil, tapi maaf kami harus tetap di sini,” kata seorang prajurit.

Mereka melanjutkan perjalanan menaiki tangga demi tangga. Di lantai ketiga, mereka harus bertarung melawan empat prajurit Apocalypse. Dalam perjalanan mereka ke lantai empat, mereka berhasil mendapat dukungan dari dua puluh lebih pasukan Eleador.

Mereka sudah tiba di lantai empat. Kini di hadapan mereka ada sebuah lorong yang amat panjang dengan banyak pintu di kiri dan kanannya. Lorong tersebut tampak sepi dan aman. Tapi justru keadaan seperti ini yang pantas ditakuti. Ternyata memang berbahaya. Saat berjalan melewati sebuah pintu di kiri mereka, dari pintu itu keluar beberapa panah yang melesat menyeberangi lorong, tapi dengan mudah dihindari. Meski satu bahaya lewat, mereka tidak boleh merasa aman dulu. Benar saja. Pintu-pintu di kiri dan kanan berkali-kali menyemburkan bahaya, seperti bola api, kampak terbang, panah, dan sebagainya. Tapi, di balik pintu-pintu itu tak ada orang, hanya alat saja yang menyerang orang lewat.

Dengan penuh perjuangan, mereka berhasil mencapai lantai lima. Di depan mereka ada lorong yang serupa. Tapi ada sebuah pagar kayu yang menutup lorong, seekor monster di balik pagar itu, dan sebuah pagar lagi. Berarti mereka harus melawan monster tersebut. Yang berada di depan mereka itu tingginya dua kali lebih tinggi dari Marino, dan panjangnya hampir sepuluh meter. Bentuknya seperti seekor buaya gharial.

“Ada ide?” tanya Michael.

“Itu sejenis buaya. Dia sangat kuat terhadap apa saja yang berada di hadapannya, tapi amat sulit menyerang apapun di samping atau belakangnya, ditambah di sini ruang geraknya sedikit, tapi untuk mencapai samping dan belakangnya itu sangat sulit dan berbahaya. Menembus kulitnya saja perlu senjata khusus. Aku tak yakin senjata kita bisa menembusnya. Apa yang kita punya? Aku hanya punya ini,” Marino menunjukkan senjata kembarnya.

“Aku punya busur panah, dan sebagian panahku beracun. Tapi tak berguna melawan musuh begini. aku juga ada pedang, tapi kecil,” kata Gusrizant.

“Aku ada pedang, tapi jelas tak cukup kuat,” kata Jasmine yang memegang sebuah pedang yang panjangnya sekitar delapan puluh senti.

“Pedangku sama saja dengan dia,” kata Daffy, menunjukkan pedang yang diukir sangat artistik, tapi ukurannya kurang lebih sama dengan pedang Jasmine.

“Pedangku lemah terhadap kulit tebal begitu,” kata Dalel. Pedangnya sangat panjang dan melengkung, tapi agak tipis.

“Mungkin pedangku agak bisa melukainya,” kata Michael yang pedangnya memang besar, sekitar satu setengah meter.

“Aku punya ide. Kita buka sebuah lubang yang cukup untuk kepala monster itu. Michael, kau bisa melakukannya dengan cepat karena pedangmu besar. Pancing dia agar berusaha keluar dan memakan kita. Gusrizant, kau ambil jarak, dan persiapkan panah beracun. Bidik lidah atau tenggorokannya saat dia membuka mulut,” kata Marino.

“Ide yang sangat cemerlang.” kata Gusrizant, lalu mengambil jarak sejauh mungkin dari pagar kayu itu. Michael menghunus pedangnya, dan mulai mendekati pagar yang di baliknya ada monster buas. Saat Michael mendekat, monster yang tidur itu mulai bergerak sedikit. Michael mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dan mengayunkannya dengan kuat dua kali, menciptakan dua buah lubang yang kecil tapi panjang, dan saling berpotongan. Monster tersebut mulai beringas dan menerjang pagar tersebut. Titik yang diterjang tepat di perpotongan dua lubang panjang yang dipotong Michael, sehingga kepala monster itu bisa dengan agak mudah menembus pagar itu. Ujung rahangnya menabrak Michael hingga badannya yang setengah raksasa itu melayang ke belakang.

Tapi Michael tak semudah itu bisa dipentalkan. Ia mendarat dengan salah satu kakinya, dan menerjang ke depan. Marino melirik ke belakang dan melihat Gusrizant sudah menarik busurnya, bersiap melepaskan tiga panah sekaligus. Ketiganya dicat dengan warna merah, tanda bahwa itu merupakan panah beracun. Satu ayunan pedang Michael berhasil membuat moster itu meraung menghancurkan sebagian pagar lagi. Saat itu Gusrizant melepaskan tiga panahnya. Ketiganya menancap tepat di langit-langit mulut monster raksasa itu. Langsung saja makhluk itu  menggelepar-gelepar menghancurkan pagar di depan dan belakangnya, juga pintu-pintu di kiri dan kanannya. Tak lama, dia terbaring diam.

Mereka sudah tiba di lantai enam. Sepanjang lorong, tiap sepuluh meter dijaga oleh seekor singa tapi berkepala manusia.

“Bersiap, mahluk ini tak begitu besar,” kata Daffy yang bersiap menyerang, tapi Gusrizant mencegahnya.

“Mahluk-mahluk ini bernama Sphinx. Mereka amat kuat karena saat satu saja menyerang, rasanya seperti dihajar seribu singa. Tapi, mereka akan memberikan teka-teki. Jika kita bisa jawab, dia akan minggir. Kita coba.”

Mereka mendekat ke sphinx yang pertama. Sphinx itu berdiri tenang di depan mereka. “Mau menantangku atau tidak. Jika tidak kalian boleh pergi, jika iya, kau kuserang jika kalah. Bagaimana?” tanya sphinx itu.

“Terima. Berikan teka-teki itu,” kata Gusrizant, dan sphinx itu tersenyum.

“Pada jaman dahulu kala hidup seorang pangeran. Dia belum dinobatkan jadi putra mahkota. Suatu ketika, ada seorang pemberontak menyerbu istana, dan sang raja terbunuh bersama permaisurinya. Para pemberontak berhasil menguasai pemerintahan. Pertanyaannya, si pangeran itu menjadi apa setelah pemberontakan itu?” begitu teka-teki si sphinx.

“Tentu dia jadi seorang raja,” kata Gusrizant dengan mantap.

“Itukah jawaban kalian?” tanya si sphinx dan matanya menyala merah. “Betu…” Gusrizant hampir mengatakan ‘betul’ tapi Marino mencegahnya.

“Bukan. Pasti pimpinan pemberontakan yang menjadi raja. Lagipula dia bukan putra mahkota. Jawabannya adalah… anak itu menjadi YATIM PIATU,” kata Marino

Sphinx itu langsung minggir, “Jawabanmu tepat sekali. Silahkan lewat.”

Sphinx yang kedua memberikan sebuah tebakan yang jauh lebih sulit. “Seorang menteri sedang berjalan-jalan di sebuah taman yang sepi dan tak ada seorangpun. Tiba-tiba datanglah bangsawan. Bangsawan itu punya enam istri, tiap istri punya enam anak, dan tiap anak punya enam pelayan. Sementara, si menteri mempunyai dua istri, masing-masing punya tiga anak, masing-masing anak punya enam anak. Berapa orang yang berada di taman itu saat itu?” dan semua orang berpikir keras dan berhitung.

Marino berfikir sejenak, meminta sphinx itu untuk mengulang pertanyaannya dua kali, dan menjawab, “Dua. Si menteri dan si bangsawan,” si sphinx melompat minggir.

“Kok bisa?” tanya Michael. “Siapa bilang anak-anak dan istrinya itu dibawa?” jawab Marino singkat.

Akhirnya mereka berhasil melewati sphinx terakhir, yaitu yang kelima. Pertanyaannya adalah,”Apa yang bisa kau bawa dengan tanganmu, padahal gunung, laut, bumi, dan langit bisa dimasukkan di dalamnya.” Marino menjawab, “Buku.”

Tadi Dalel bertanya apakah mereka harus menjawab teka-teki lagi saat kembali nanti. Kata sphinx yang terakhir, tidak perlu. Keenamnya tiba di depan tangga terakhir, yaitu tangga menuju lantai tujuh. Mereka menaikinya dengan hati-hati, bersiaga terhadap apapun yang mungkin mereka akan temui.

Saat tiba di atas, mereka berhadapan dengan delapan prajurit Apocalypse, yang mereka habisi dengan mudah.

“Katanya cuma dijaga satu orang,” kata Jasmine.

“Mungkin di dalam sana,” kata Gusrizant. Di ujung lorong, tampak sebuah pintu. Di baliknya ada sebuah ruangan besar dan seorang ksatria raksasa yang besarnya sekitar dua meter, sedikit lebih tinggi dari Michael.

“Kita akan melawan orang ini. Marino, Dalel, kalian selamatkan Meissa,” perintah Gusrizant. Saat Dalel dan Marino mulai berlari ke sebuah pintu di belakang, si ksatria menerjang mereka, tapi Michael menjegalnya dengan sebuah sleretan keras.

“Jangan harap,” kata Michael. Si ksatria itu berdiri dan menghunus sebuah golok besar. “Empat lawan satu? seimbang, kok. Aku boleh membunuh Meissa, lho, jika ada penyusup,” dan mereka bertarung.

Di balik pintu yang mereka masuki ada sebuah ruangan dengan kerangkeng besi raksasa. Di sebelah pintu ada sebuah pedang besar yang gagangnya berbentuk ekor kalajengking. Kerangkeng itu berisi satu tempat tidur, satu lemari, dan sebuah area kecil yang tertutup tirai. Di balik tirai tersebut terdengar suara air. Dengan sekali ayunan, Dalel menghancurkan gembok dengan pedangnya. Baru saja Dalel masuk, sesosok pria besar melompat dari balik tirai dan menghadang mereka berdua.

“Ratu sedang mandi, dan kalian tidak boleh masuk. Tapi… kalian lain. Siapa kalian?” tanya pria itu.

“Kami dari Crin’s Blade, mau menyelamatkan Ratu Meissa Apilla,” kata Dalel dan air mata langsung bercucuran dari si pria itu.

“Betulkah? Eh… Ratu sedang mandi. Tunggu sebentar, biar kupakaikan sesuatu. Kau tahu, kan… dia lumpuh,” lalu dia kembali menghilang di balik tirai. Bunyi dentingan pedang masih terdengar di luar.

“Sudah selesai, tuan putri,” terdengar suara pria tadi dari balik tirai.

“Kau keluar saja duluan. Hanya kau yang bisa mengalahkan ksatria yang di luar itu, Bathack,” terdengar suara wanita. “Siapa yang akan membawamu?”

“Nanti saja. Kalahkan dia dulu, atau biar utusan Crin’s Blade yang membawaku jika mereka mau,” lalu pria yang bernama Bathack itu muncul. “Jika tidak keberatan, tolong bawa ratu keluar, tapi jangan macam-macam. Aku mau bertarung,” kata Bathack, mengambil pedang di dekat pintu, lalu keluar.

“Biar aku yang membawa Ratu,” kata Marino dan ia membuka tirai.

Di sana ada sebuah tempat tidur lagi dan sebuah bak mandi kecil. Di tempat tidur itu terbaring Meissa Apilla. Dia memang cantik sekali, rambutnya cokelat lurus sepunggung dan diikat. Indah sekali, dipadukan dengan pakaiannya yang amat sederhana, tapi indah. Di bagian depannya ada sebuah motif bunga yang amat indah.

Ia telah mengangkat Meissa dan mulai membawanya keluar. Sambil berjalan, ia berpikir. Rupanya inilah orang yang diceritakan sebagai sosok yang cantik, pintar, bijak, dan ramah. Cerita itu benar. Marino diajaknya ngobrol. Di luar, ksatria tadi sudah terkapar. Saat Bathack mau menggantikan Marino untuk mengangkat Meissa, Meissa menolak karena masih di tengah obrolan. Mereka berdua terus mengobrol tentang berbagai hal, seperti masalah perang, pemerintahan, dan sebagainya. Sisanya mengawal di depan.

Sepanjang jalan, mereka berpapasan dengan banyak prajurit Eleador, yang langsung senang melihat Meissa.

“Biar aku ke dapur dan beri tahu para koki,” kata Gusrizant.

“Cepatlah. Pasukan Apocalypse dan tawanan Eleador sudah tiba di dekat gerbang. Rupanya mereka sudah bosan mengejar-ngejar pasukan Crin’s Blade,” kata seorang prajurit.

“Tidak ada waktu. Aku mau kibarkan bendera Eleador,” kata Bathack, lalu ia berlari ke atas lagi, menuju puncak kastil. Ia langsung naik dan menurunkan bendera Apocalypse dan mengibarkan bendera Eleador.

Sinar pagi yang baru saja tiba membuat pergantian bendera tersebut menjadi pusat perhatian pasukan yang berada di gerbang. Di sana, ada ribuan prajurit, ada yang memakai seragam Apocalypse, tapi jauh lebih banyak yang memakai seragam Eleador. Melihat bendera yang kini berkibar, dan siapa yang mengibarkannya, tahulah semua prajurit Eleador yang berada di bawah bahwa Meissa telah bebas. Mereka langsung menyerang pasukan Apocalypse yang berbaur dengan mereka. Di satu pihak, ada pasukan yang jumlahnya jauh lebih kecil, dan panik, sementara di pihak yang lain ada pasukan yang jauh lebih banyak dan sedang di puncak semangat yang mungkin pernah mereka miliki. Ribuan prajurit Apocalypse tewas, dan beberapa ratus yang tersisa melarikan diri.

Marino dan yang lainnya telah mendudukkan Meissa di ruang utama kastil saat Bathack datang kembali. “Kita sudah bebas!” pekiknya. Meissa tersenyum. Air mata samar mengalir dari matanya yang sayu ke pipinya yang cantik. Seluruh prajurit Eleador yang baru saja tiba memasuki ruangan dengan penuh sorak sorai. “Dengan begini, Apocalypse bisa kita usir dari tanah persada leluhur kita! Eleador!” seru Bathack disambut sorakan riuh pasukan Eleador.

Benar saja. Semenjak bebasnya Meissa, pasukan imperial Eleador melakukan perlawanan sengit di mana-mana terhadap pasukan Apocalypse. Akhirnya dua hari setelah bebasnya Meissa, Apocalypse menyerah tanpa syarat pada Eleador saat raja Apocalypse tewas terkena panah saat seseorang yang tidak dikenal menyusup ke kamarnya. Belakangan baru diketahui bahwa pembunuh raja itu adalah seorang anti-pemerintahan yang radikal. Para penyihir Apocalypse menawarkan diri untuk menyembuhkan kelumpuhan Meissa. Tanpa diminta.

Pesta perayaan dilaksanakan di istana ibukota Eleador. Kareensath. Gusrizant dan para jendralnya ikut berkunjung. Setelah pesta usai dan semua tamu telah pulang, beberapa orang dipanggil secara khusus oleh Meissa untuk diajak bicara. Tentu mereka adalah regu yang menyelamatkannya. Gusrizant, yang merupakan raja Crin’s Blade ditemani oleh tiga prajurit the white garda. Mereka bercerita-cerita tentang misi penyelamatan yang dilakukan untuk menyelamatkan Meissa. Selama pembicaraan, Meissa berkali-kali menunjukkan kekagumannya pada Marino. Bathack yang senantiasa berada di sisi Meissa juga setuju.

Tiba-tiba seorang prajurit dari pasukan pengawal Meissa datang. “Maaf. Ada dua tamu. Satu untuk Yang Mulia Gusrizant, satu lagi untuk anda. Siapa yang saya persilahkan duluan?” tanyanya.

“Yang untuk Gusrizant saja duluan,” kata Meissa. Seorang prajurit Crin’s Blade masuk.

“Ada dua orang strategis dari Apocalypse datang dan ingin bicara dengan anda begitu anda tiba di ibukota. Kelihatannya mereka ingin bekerja untuk kita,” kata prajurit tersebut.

“Baik. Terima kasih, dan kau boleh kembali,” Gusrizant lalu mempersilahkannya pulang.

Lalu, seorang pria masuk. “Saya mau memberikan sebuah informasi,” katanya.

“Silahkan,” kata Meissa, tersenyum ramah.

Tiba-tiba si pria itu mengacungkan sebuah panah. “Makan ini!” dan ia melemparnya lurus ke Meissa. Seorang prajurit the white garda dengan sigap menghalangi panah itu. Tapi kelihatannya panah tersebut terkena magic, karena dengan mudah armor dan tubuh si prajurit ditembus. Nasib yang sama dialami oleh satu lagi prajurit the white garda. Tapi, setelah menembus prajurit kedua, panah tersebut melemah. Gusrizant sendiri ikut melompat menghadang panah itu. Panah itu menancap di dadanya dan berhenti. Gusrizant tewas seketika.

Upacara pemakaman telah selesai dilaksanakan, dan Crin’s Blade dipenuhi suasana duka yang amat mendalam. Akan tetapi Crin’s Blade tetapi harus berjalan. Mereka dengan segera mempersiapkan pemilihan Caliph baru.

Yogin adalah kerabat Gusrizant yang  paling dekat, tapi tidak ingin menjadi seorang Caliph. Tidak ada batasan umur untuk menjadi seorang Caliph, tapi Yogin merasa tidak pantas.

Para panglima negara dan wakil-wakil rakyat diundang untuk membahas masalah ini selama berhari-hari dengan mengundang Meissa Apilla, Phalus Light, Andry Kaperpasky, serta Lothar Night diundang untuk ikut membahas calon-calon pemimpin berikutnya.

“Kau belum pernah jalan-jalan di Crin’s Blade, ya kan?” tanya Marissa pada suatu hari. “Aku pernah. Sana, supaya kau tahu seperti apa Crin’s Blade. Aku dipanggil oleh rapat para pimpinan.” kata Marissa. Marino setuju, dan berjalan menuju gerbang istana. Ia bertemu Gabriela di sana.

“Kau mau jalan-jalan, ya? Bolehkah aku ikut? Lama sekali kita tidak saling bicara,” pintanya penuh harap. Marino mengangguk. Mereka berkeliling ibukota hingga tengah hari. Gabriela merasa tidak nyaman karena di mana-mana orang selalu memandangnya. Mereka pergi ke sebuah desa yang terpencil, sekitar enam ratus meter dari perbatasan Eleador-Crin’s Blade. Di sana suasananya jauh lebih tenang dan damai. Mereka berhenti di sebuah rumah makan.

“Biar aku yang bayar.” kata Marino. “Tidak, biar aku saja.” protes Gabriela, dan selama setengah jam mereka ribut menentukan siapa yang akan bayar. Akhirnya Gabriela mengalah. Rumah makan itu cukup besar, namun sedang agak sepi. Mereka berdua duduk di dekat pintu. Sang pelayan, yang kebetulan juga pemilik rumah makan itu menghampiri mereka. Setelah Marino menyampaikan pesanan, si pemilik rumah makan bertanya. “Bulan madu, ya?” dan wajah Marino memerah. “Kami ini teman. Tak lebih dari itu.” kata Gabriela. “Oh, begitu, ya? Tunggulah. Lima belas menit tidak datang makanannya gratis. Eh…” ternyata sesuatu membuat perhatiannya teralih.

Ada seseorang terpuruk di depan pintu. Pria tersebut memakai jubah panjang yang sudah compang-camping. Rambutnya panjang sebahu, beruban dan acak-acakan sehingga wajahnya tidak tampak. “Lapar…tak punya uang… tiga hari…,” suara pria tersebut sangat serak. “Wah, aku perlu memberikan makanan padanya,” kata si pemilik rumah makan. “Tidak usah. Gabriela, tolong pesankan makanan untuknya.” kata Marino dan segera bangkit untuk membantu orang tersebut berdiri.

“Tidak apa-apa. Ayo, duduk di meja kami,” kata Marino pada orang itu.

“Tunggu… aku kenal suaramu. Marino?” tanya pria tersebut. Marino terkejut, dan setelah pria itu menyibakkan rambutnya yang beruban dari wajahnya, tahulah Marino siapa itu.

“Eko! Akhirnya kita bertemu! Bagaimana kau bisa di sini? Mari duduk!” Marino membantunya jalan menuju meja di mana Gabriela duduk. Gabriela spontan berdiri membantu mereka. Makanan untuk mereka bertiga segera tiba dan mereka mulai makan. “Ceritakan kisahmu,” kata Marino. Sebelum bicara, Eko yang kelaparan menelan dulu sepotong besar roti.

“Bagaimana, ya? Begini. Waktu ledakan besar itu, aku terkena efek balik mantraku sendiri dan terpental jauh ke hutan. Saat Jester Riddikulo bersiap untuk teleport, aku melompat untuk menyerangnya. Tapi aku terlambat. Ia telah ber-teleport dan aku kena gelombang teleport-nya. Jika terkena itu, aku akan terkirim ke sebuah tempat secara acak, dan kebetulan aku muncul di Eleador. Tanpa uang atau apapun. Setelah sekian lama hidup mengemis, aku akhirnya tiba di sini dan bertemu kau. Kalau kau?” dan Marino menceritakan perjalanannya.

Gabriela dari tadi hanya diam, dan Eko menyadarinya. “Ini pacarmu, ya?” tanyanya.

“Bukan. Kami hanya teman, dan sedang berjalan-jalan saja,” meski begitu, tapi Eko yang bermata jeli melihat bahwa mendengar jawaban Marino, Gabriela memandang Marino penuh harap. Eko tersenyum geli. “Eh, kau ikut saja ke Istana, Daffy ada di sana. Aku belum ada kabar tentang Adin,” kata Marino, berusaha mengubah topik.

“Itu ide yang bagus. Ayo kita pulang,” kata Gabriela. Eko, yang tenaganya sudah pulih, berdiri bersama Marino, lalu ketiganya pergi. Tentu setelah Marino membayar bonnya.

Di depan pintu, Eko mendadak berhenti. “Ada apa, sih?” tanya Marino.

“Tunggu di sini,” kata Eko pada Marino. Ia merangkul Gabriela dan menariknya agak menjauh. “Pilihanmu tepat,” kata Eko pada Gabriela dengan gaya sok berbisik, padahal suaranya sengaja dikeraskan. Eko masih suka bercanda, rupanya.

“Maksudmu apa?” tanya Gabriela yang mukanya memerah. Marino paham, dan ia tahu betul bahwa sebetulnya Gabriela juga mengerti.

“Ah, aku bercanda, kok,” dan ia tertawa.

Di istana, sedang terjadi pelantikan strategis baru. Ada dua dan keduanya tadinya kerja pada Apocalypse, tapi kabur karena pemerintahan yang diktator. Yang pertama adalah Feizal Zuchry, dua puluh enam tahun. Seorang pria tinggi kurus, yang rambutnya coklat pendek, disisir rapi ke depan. Pakaian yang ia kenakan mirip seragam El-Peso dulu. Sebuah rompi kecil tanpa kancing dan celana panjang ketat. Walau agak kurus, tapi kelihatan sekali bahwa Feizal ini memiliki otot yang kekar. Yang lain adalah Aisha Zuchry, enam belas tahun. Gadis ini berwajah sangat manis, dan tingginya persis seperti Gabriela. Rambutnya hitam lurus sebahu dan agak mengembang. Ia juga memakai pakaian yang sama persis seperti Feizal. Mereka berdua menikah dua tahun yang lalu dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki bernama Bismah.

Aisha dilantik jadi strategis III dan Feizal jadi strategis IV. Dua hari kemudian, Eko masuk ke pasukan magic. Eko dan kedua sohib karibnya sedang berbincang di beranda kastil.

“Benar-benar kejutan. Tinggal Adin saja. Pasti ia akan muncul. Aku sangat percaya akan hal itu,” kata Daffy.

“Betul. Aku juga yakin,” kata Marino.

Tiba-tiba Yogin datang dan duduk di sebelah Daffy. “Bisa kami minta waktu sebentar? Aku perlu bicara dengan Daffy,” tanyanya.

“Silahkan,” kata Eko.

“Kemarin aku memintanya untuk jadi pacarku…err…dia bilang akan memutuskannya sekarang,” bisik Daffy pada Marino.

“Yogin kan masih kecil dan imut sekali,” kata Marino saat mereka mengambil jarak sekitar lima meter dari tempat Daffy mengobrol dengan Yogin.

“Tapi dia sudah dewasa. Umurnya sebelas, lumayan, bukan? Lihat saja badannya,” kata Eko. Daffy dan Yogin tampaknya berbicara dengan amat santai. Daffy terus menerus mencubiti pipi Yogin yang menggemaskan sambil bicara.

“Memang dia seksi sekali, dan… wow!” kata Marino, saat akhirnya Yogin mengangguk, dan Daffy memeluknya.

Tapi perhatian mereka langsung teralih saat Ullyta datang. “Marino, kau dipanggil ke ruang strategi,” katanya.

Marino berpikir sejenak, melirik ke Eko, lalu ke Daffy, yang tangannya ditarik Yogin pergi, lalu ia berkata. “Baiklah. Aku segera ke sana.”

Tadinya ia pergi dengan perasaan biasa saja. Mungkin ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Tapi, setibanya ia di sana, semua orang menatapnya dengan sangat serius. Nyalinya tiba-tiba saja ciut. Di sana ada Lothar, Phalus, Meissa, Andy, Rido, Michael, Marissa, Dalel, Bathack, Ullyta, dan seorang jendral Eleador.

“Meissa, kau saja yang mengatakan padanya,” kata Rido. Meissa sudah membuka mulut, tapi tidak jadi bicara melihat Marino yang berdiri dengan amat gugup. Ia tersenyum lalu berdiri. Ia cuma setelinga Marino. Diletakkan kedua tangannya di bahu Marino. “Tenang. Duduklah,” tapi ketegangan membuat badannya tak bisa bergerak. Meissa menekan sedikit bahu Marino, sehingga ia terduduk di kursi di belakangnya.

“Jadi begini. Tak seorang pun dari aparat militer maupun kementrian Crin’s Blade mau menjadi Caliph menggantikan Gusrizant. Dari hasil diskusi kami, dari semua pengalaman kami denganmu, kami mencalonkanmu jadi Caliph Crin’s Blade. Baru mencalonkan,” kata Meissa.

“A…apa…? Aku…calon Caliph? Aku mimpi, ya? Masa tidak ada yang lain?” tanya Marino bertambah gugup.

“Tadinya kami juga berpikiran begitu. Tapi, betul-betul tidak ada yang mau. Nanti calon lainnya berasal dari tokoh masyarakat,” kata Rido.

“Di sistem pemerintahan Crin’s Blade, Caliph dipimpin oleh the right man in the right place. Hanya ada tiga macam calon. Keturunan Caliph sebelumnya, rekomendasi istana, dan wakil-wakil rakyat dari tiap wilayah. Begitu. Kau sanggup?” tanya Black.

“Apa yang kalian pertimbangkan, hingga kalian merasa harus mencalonkan saya?” tanya Marino. “Meissa dan Andy Kaperpasky yang paling kuat serta menggebu-gebu, coba kau tanyakan pada mereka” kata Phalus. “Aku bisa membaca kepribadian seseorang hanya dengan mengobrol. Saya hanya berkata atas dasar perasaan saja. Tapi setelah kita mengobrol, walaupun baru kenal. Saat ditanya siapa kandidat Caliph, hatiku entah kenapa mengajukanmu. Awalnya aku melirik Dalel, tapi dia menolak. Akhirnya kuungkapan saja perasaanku. Andy juga merasakan hal yang sama denganku” kata Meissa, dan Andy mengangguk.

“Karena itulah kami kemudian memanggil orang-orang terdekatmu, dan panglima-panglima serta beberapa prajurit yang pernah merasakan kepemimpinanmu.” Kata Dalel. “Secara kepemimpinan, kau baru berpengalaman sedikit tetapi memiliki performance yang luar biasa. Dari kami selaku panglima-panglima Crin’s Blade, semua menolak untuk dicalonkan. Lothar dan Phalus sudah menjadi pemimpin di tanah merek masing-masing, dan akan kembali ke sana. Namamulah yang pertama muncul, dan tidak ada yang menandinginnya.” Lanjutnya.

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Marino setuju. Tapi, ia yakin sekali bahwa ia tidak akan terpilih, sebab tak ada seorang pun rakyat Crin’s Blade mengenalinya. “Jangan kau fikirkan fakta bahwa kau bukan berasal dari sini. Caliph kedua, langsung setelah Crin, bukan berasal dari Crin’s Blade melainkan dari Apocalypse, seorang ksatria luar biasa yang tadinya musuh tetapi kemudian bergabung dengan kami. Ternyata dia memang kandidat terbaik dari kemauan dan kompetensi, dan dia pun terpilih. The right man in the right place.”. kata Black.

Setelah beberapa lama mengobrol dengan mereka, Marino dipersilahkan pergi. Ia duduk termenung sendirian di kamarnya saat Gabriela masuk. “Phalus cerita padaku. Aku sangat bangga padamu. Kau harus berjuang untuk jadi Caliph. Berjanjilah padaku,” pinta Gabriela.

“Tapi…ta…,” Marino tergagap saking gugupnya dia dicalonkan sebagai ekuivalen raja, tapi Gabriela memegang telapak tangan kanan Marino dengan kedua tangannya, dan entah mengapa, ini memberikan sebuah semangat dalam hati Marino.

“Berjanjilah,” kata Gabriela, lalu mencium pipi Marino.

Saat itulah Marissa menghambur masuk. “Cukup pacarannya! Adikku tersayang! Aku sangat sangat bangga punya kau!” pekiknya senang dan menyambar Marino hingga terguling dari kasur. “Kau calon raja. Aku sudah tahu kau akan jadi pemimpin, dan aku tahu kau akan menang dan memegang jabatan Caliph! Raja!” katanya penuh harap. Marino melirik Gabriela yang wajahnya terbalik. Gabriela tersenyum.

Ia perlu bertemu Eko. Ia menyusuri lorong-lorong kastil, dan akhirnya menemukan Eko… sedang mengobrol dengan Jasmine. Mereka berbicara dengan sangat antusias. Rasanya kedua orang itu tak boleh diganggu. Lebih baik ia mencari Daffy saja. Ia menemukannya di taman bunga, hanya berdua dengan Yogin, di bawah terangnya sinar bulan dan jejeran obor yang menerangi jalan menuju pintu istana. Daffy sedang duduk menyandar pada sebuah pohon, dan Yogin sedang tertidur di pelukannya.

Marino curiga dan bertanya,”Kalian sudah  jadi, bukan?” dan Daffy mengangguk. “Duduklah. Kau pasti ingin bicara padaku,”  lalu Marino duduk. “Betul”.

Yogin terbangun sejenak, lalu tidur sambil merangkul perut Marino.

“Nah, ada apa?” lalu Marino menceritakan segalanya, bahwa ia dipilih untuk menjadi calon Caliph. Setelah bercerita sampai mendekati tengah malam, mereka pun berpisah.

Gabriela masih ada di situ, membaca sebuah potongan kertas. Ia telah berganti pakaian dengan pakaian yang hampir sama persis dengan pakaian Meissa saat ia selamatkan, tapi yang dipakai Gabriela sedikit lebih kecil, warnanya biru tanpa motif, dan bahannya jauh lebih tipis dan ringan, sehingga terkesan santai. “Bagaimana mengenai pencalonanmu?” tanyanya.

“Ya. Aku akan berusaha. Besok akan ada kuliah panjang tentang sistem pemerintahan Crin’s Blade, dan sebuah ujian kelayakan,” kata Marino singkat, dan asal saja. Ia berbaring dan memejamkan mata, tapi ternyata ia tidak bisa tidur. Ia merasakan Gabriela berbaring di sebelahnya.

“Kau tak keberatan bila aku di sini?” tanya Gabriela, dan Marino menggeleng.

“Katanya kau tiga hari lagi akan diperkenalkan kepada rakyat juga? Meissa yang akan memperkenalkanmu pada mereka. Siap-siap saja.” kata Gabriela tiba-tiba, lalu memeluk lengan Marino. “Kau harus berhasil. Kau harus menunjukkan pada mereka yang terbaik dan apa adanya. Aku yakin kau akan mampu memimpin negeri ini.” gumamnya. Marino baru pernah merasakan nikmatnya dan hangatnya berat tubuh seorang wanita. Asal tahu saja, ini bukan karena sesuatu yang negatif. Hanya saja karena lengannya dipeluk, dan Gabriela menopangkan sebagian berat badannya ke Marino.

Mereka tertidur setelah lama saling membisu, akhirnya mereka tertidur. Keesokan paginya, Gabriela membangunkan Marino, lalu menertawainya saat ia diseret Marissa ke ruang mandi. Di depan kamar mandi, telah ada Meissa yang menunggunya berpakaian.

Kuliah ternyata tidak sampai separuh hari, tetapi ujian berlangsung selama dua hari. Dari pagi hingga malam, tidak keluar-keluar ruangan kecuali untuk buang air dan tidur malam, makan pun sambil ujian. Marino diuji dengan berbagai skenario pengambilan keputusan, dan juga sumber-sumber informasi. Isu-isu diambil dari hal-hal militer, kebijakan dalam negeri, hingga luar negeri. Bahkan tiga kali dia diminta memberikan pidato, awalnya semua orang terpingkal. Tapi dua kali berikutnya dia bisa memukau semua orang.

Akhirnya dia keluar pada malam kedua, dengan memuaskan para panglima yang mengujinya. Tinggal publikasi.

[End of Chapter VI]

[Coming up next, Chapter VII: The Caliph]