Legend of Legends : Chapter XIX – Finally Over

Just the last chapter before the Epilogue 🙂

————————————————————————————————————————————-

CHAPTER 19

FINALLY OVER……

                Dari tubuh Rafdarov, mulai terpancar cahaya berwarna hitam. Luka-luka yang tergores pada tubuhnya juga memancarkan cahaya yang sama. Di tengah pancaran cahaya tersebut, tampak sesosok bayangan, bayangan Lucifer, sedang menguar ke atas, lalu menguap lenyap. Setelah itu, kini cahaya putih menyembur dari tiap luka tersebut dan pandangan semuanya menjadi silau.

Saat cahaya yang membutakan mata itu sudah hilang, semua terkejut melihat tubuh Rafdarov yang kini sudah menjadi mayat, tapi berupa manusia normal. Mayat itu tergenangi oleh sedikit cairan hitam. Ada sebuah bandul, yang beberapa tahun lalu pernah dilihat Marino berada di tangan Rafdarov, tapi sekarang telah pecah. Melayang sekitar sejengkal dari tanah, ada sebuah buku besar berwarna hitam dan dipenuhi ukiran-ukiran, yang Marino pernah lihat pada segel iblis.

Daffy mengambil buku itu dan membukanya. Setelah dibaca, ternyata itu ditulis dengan bahasa Devilmare kuno dan dengan huruf Mez-tulisan Devilmare kuno.

“Kita harus mengetahui isi buku itu. Mungkin penting,” kata Eko.

“Kalau begitu, kita harus mengirimnya ke Luminaire dengan mengalamatkannya pada ahlinya,” kata Meissa.

Langit pagi yang cerah untuk pertama kalinya, menembus kota dan menerangi semuanya. Daisy memeluk Marino dengan erat. “Kita bisa menikah sesegera mungkin.”

Semuanya bertepuk tangan. Bimo mendekat sambil membawa pedang yang tidak asing lagi. Pedang iblis. “Ini pedang Rafdarov. Kuserahkan padmu,” katanya.

“Nasib pedang ini akan kita bicarakan nanti. Untuk sementara letakkan di markas besar The Chain dan beri pengawalan ketat,” kata Ratu Darpy. Meissa mengangguk mengiyakan.

“Omong-omong tentang pedang,” Pavatov mendekat, “ini adalah pedang Rido Matius,” katanya sambil menyerahkan pedang yang tak salah lagi merupakan pedang besar milik Rido pada Marino.

“Di mana pemiliknya?” tanya Daffy. Pertanyaan jitu. Semua langsung melupakannya ketika dia menyelamatkan Marino dari serangan terakhir Rafdarov. Rido tidak pernah ditemukan lagi. Mayatnya pun tidak.

“Harus dibuat sebuah monumen penghargaan kepadanya. Letakkan pedang ini di sana,” kata Marino, sambil memandang berkeliling ke arah semuanya yang berada di situ. Ada ratusan ribu prajurit. “Juga untuk yang lainnya. Untuk semua yang gugur dalam perang kali ini, akan dibuat pemakaman khusus dengan monumen di tiap makamnya, yang akan ditulisi oleh pihak kerajaan Crin’s Blade dan keluarga yang ditinggalkan. Jika tidak ada keluarga, pihak kerajaan saja yang akan menuliskannya. Biaya ditanggung oleh kerajaan,” kata Marino.

“Untuk Eleador juga,” kata Meissa.

“Pasukanku belum sempat bertempur,” kata Ratu Darpy.

“Adapun dengan Rafdarov sendiri, kalau saranku, kita tidak usah pindahkan lagi mayatnya. Kita timbun saja, dan buat semacam tugu,” usul Meissa.

“Ya, dan anggarannya ditanggung oleh Crin’s Blade, Eleador, dan Apocalypse secara tanggung-renteng,” kata Marino, berhenti sejenak, lalu berbicara dengan lantang, “Untuk semua prajurit asal Crin’s Blade, silahkan kembali ke kastil, dan beristirahat.”

“Demikian juga pasukan dari Apocalypse. Para komandan bertanggung-jawab,” kata Darpy.

“Oke. Besok kita mengadakan pertemuan. Markas The Chain, siang,” kata Marino. Hanya beberapa prajurit saja yang tinggal untuk mengamankan lokasi mayat Rafdarov dan sisanya pulang ke asalnya masing-masing.

Sesampainya kembali di istana, Marino, para ksatria, para komandan, dan anggota-anggota parlemen mengadakan pertemuan santai (sambil makan). Bendahara istana, pejabat di bawah menteri ekonomi, dipanggil.

Setelah evaluasi, didapatkan bahwa pasukan gelombang pertama yang menyerang ibukota Eleador dari barat di bawah pimpinan Marissa, Jasmine, Dalel, Pavatov, dan Ullyta berangkat dengan total jumlah prajurit sebesar 97.450 personil, dan pulang dengan jumlah 47.200 personel. Berarti, mereka telah mengalami pertempuran yang teramat dasyat. Karena itu, Marino mengusulkan agar mereka mendapatkan penghargaan dari istana berupa medali militer, dan mendapatkan hadiah. Perundingan hanya berlangsung selama dua jam, parlemen setuju atas usul tersebut. Dari pasukan yang tadi disebutkan, tiap prajurit mendapatkan medali Zhalanx, medali emas dengan satu bintang (untuk tiap jenis medali militer, tiga bintang paling tinggi.

Urutan jenis medali militer dari yang terkecil adalah perunggu, perak, emas, dan platinum. Medali paling tinggi adalah Crin’s Crest. Medali platinum tanpa bintang, tapi ada ukiran dua buah pedang legendaris Crin yang saling menyilang pada medali itu), dan mendapatkan hadiah sebesar seribu uang emas.

Pasukan The White Garda, pasukan Rido Matius, pasukan Daffy, dan pasukan Adin yang turut serta menyerang dari selatan mendapatkan medali Vicez-perak dengan dua bintang, dan hadiah lima ratus uang emas. Marissa, Jasmine, Pavatov, Saphirre, Ullyta, Dalel, Phaustine, Yogin, Kaine, Phaustine, dan Black, sebagai ksatria dan komandan pasukan, mendapatkan Zhachant, medali platinum dengan satu bintang, dan hadiah seribu uang emas.

Marino terkejut sekali saat parlemen menganugerahi dirinya, Eko, Daisy, Adin, Daffy, dan Rido Matius dengan medali Crin’s Crest. Medali untuk Rido akan dikalungkan pada monumennya. Upacara pengalungan medali akan dilaksanakan tiga hari lagi. Untuk pengalungan Crin’s Crest, akan dilaksanakan oleh Ralph Gusrizant, anggota parlemen yang pernah menjabat sebagai pemimpin darurat waktu Marino melaksanakan misi ke Zenton.

Parlemen juga menyetujui pembangunan monumen-monumen dan pemakaman yang dijanjikan oleh Marino bagi yang gugur di ibukota Eleador.

Pertemuan telah usai, dan semua kembali ke kamarnya masing-masing. Semua yang tadi ikut penyerangan ke ibukota Eleador tertidur seketika. Marino saja tertidur di lantai kamarnya saking lelahnya. Armor saja belum ia lepas.

Menjelang sore hari, Marino terbangun dengan merasa sangat segar dan lapar. Ia mengganti armor dan melepas senjatanya. Dengan pakaian kebesaran istana, ia melangkah keluar dari kamarnya, dan berjalan menuju singgasana. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan Adin.

“Daisy mencarimu. Kurasa ia pergi ke kamarmu,” katanya. Tapi baru saja Marino melangkah menuju pintu keluar, Daisy masuk.

“Kau mencariku?” tanya Marino.

“Kau yang harusnya mencariku,” kata Daisy.

Marino paham. “Mengenai pernikahan kita, ya? Aku ingin melaksanakannya setelah pengalungan medali. Kau setuju?” tanyanya pada Daisy.

“Tentu saja aku setuju. Aku sangat mencintaimu. Nah, bagaimana kalau kita pergi makan?” Daisy menawarkan. “Aku punya ide. Rasanya enak kalau sekali-sekali kita makan di rumah makan milik rakyat. Kan lama sekali kita tidak berjalan-jalan di sini,” usul Marino.

“Kelihatannya enak juga. Daffy? Yang lainnya mau ikut, tidak?” tapi Marino menggeleng. “Kita berdua saja.”

Tanpa pengawal, mereka berdua pergi ke kota dengan berpakaian orang kota biasa. Saat berjalan, Daisy menggandeng tangannya, dan Marino tersenyum. Di kota, entah karena sibuk sendiri atau memang tidak tahu, tidak ada yang mengenali Marino, Caliph mereka. Tapi Marino tidak peduli. Keduanya masuk ke dalam sebuah rumah makan kecil yang bertuliskan ‘Raja Panci Crin’. Di dalam, nyaris tidak ada satupun pengunjung. Hanya sepasang suami istri dan tiga orang anaknya sedang menikmati roti dan gulai. Daisy tersenyum melihat keluarga itu yang tampak bahagia dan makan sambil bercanda.

“Nanti, kau mau punya berapa anak?” bisik Daisy, membuat Marino memerah. “Yah, bagaimana nanti sajalah….”

“Paduka Marino?” pekik seorang pria dari balik meja layan. Ia adalah pemilik rumah makan itu, tapi entah mengapa, wajahnya tidak begitu asing bagi Marino dan Daisy. “Apa yang membuat anda masuk ke restoran saya yang hina ini?” tanya sang pemilik yang masih muda dan kekar.

“Tidak ada restoran yang hina. Restoran ini bagus, kok. Eh, apakah kita pernah bertemu?” tanya Marino.

“Saya seorang prajurit dari pasukan Jendral Marissa. Kita bertemu waktu anda tiba-tiba muncul di tengah ibukota Eleador bersama dia,” dia menunjuk Daisy, “dan tiga orang lainnya. “ katanya.

“Oh, betul!” Daisy ingat. “Kau yang memberi tahu bahwa ada monster di tengah kota, bukan?” dan sang prajurit menangguk senang. Keluarga yang sedang makan tadi ternyata sedang melihat ke arah mereka.

“Kalian mau makan apa? Pesan saja. Gratis,” kata sang pemilik.

“Tidak. Hukum negara kita melarang seseorang yang membeli sesuatu tanpa dipungut biaya, hanya karena pangkat atau jabatannya,” Marino duduk di sebuah bangku.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kalian memesan menu istimewa kami, yaitu Gulai Asmara?” si pemilik menawarkan. Isinya adalah gulai kambing atau ayam, silahkan pilih, roti, dan porsinya untuk dua orang. Tapi kami hanya menghidangkannya dalam satu piring saja. Yah, ini biasa dipesan oleh orang yang sedang berkencan, dan kelihatannya anda berdua…,” Marino dan Daisy langsung memerah, “ Ah.. maaf atas kelancanganku. Mungkin anda mau pesan yang lain…,” sang pemilih mulai salah tingkah.

“Tidak, kok. Kami memang sedang berkencan…,” kata Daisy, Marino mencubit kakinya dari bawah meja.

“Iya, kami pesan yang itu saja,” kata Marino.

“Terima kasih. Sekali lagi terima kasih telah memilih tempat di restoranku,” oceh sang pemilik tanpa henti sambil masuk ke dapur.

“Apa-apaan, sih?” omel Daisy saat sang pemilik restoran telah pergi ke dapur.   “Malu, tahu. Kalau kau mau pesan, pesan saja. Jangan bilang itu segala,” bisik Marino.

“Ya sudah. Jangan diributkan. Tidak enak kencan sambil ribut…,” balas Daisy, dan Marino tertawa.

Beberapa saat kemudian, sepiring besar Gulai Asmara telah dihidangkan. Keduanya makan sambil mengobrol. Gulai itu rasanya enak, hingga tak terasa sudah habis. Marino memesan sepiring lagi larena keduanya masih lapar. Setelah menghabiskannya, Marino membayar delapan keping emas, lalu pergi. Keduanya berjalan-jalan di kota tersebut. Di jalan, Marino membelikan Daisy sebuah kalung yang terbuat dari kerang yang indah.

Malam sudah larut, barulah Marino dan Daisy kembali ke istana. Rupanya para aparat istana sedang ribut mencari keduanya. Mereka bernafas lega melihat Marino kembali.

“Lain kali tolong lapor. Kami sangat khawatir,” kata seorang prajurit.

“Mau kencan masa lapor?” bisik Marino sambil mencium pipi Daisy. “Eh, aku baru ingat. Kita harus siap-siap. Besok ada pertemuan di markas The Chain. Pastikan kita tidak lupa untuk datang. Kita harus berangkat pagi-pagi,” kata Marino, lalu mengantar Daisy ke kamarnya. “Sampai jumpa besok.” kata Daisy, lalu mereka berciuman.

Marino pergi ke kamarnya sendiri, lalu berbaring di kasurnya. Ia tidak bisa tidur, tapi terus berusaha tidur. Marino terus memikirkan apa yang dialaminya kemarin malam. Melawan Lucifer… membunuh Rafdarov… banyak sekali yang telah ia lalui. Kini ia bingung. Apa yang harus dia lakukan berikutnya? Menikah dengan Daisy. Tapi ia sedang memikirkan petualangan. Dulu, cita-citanya adalah mengalahkan Devilmare dan Rafdarov, dan itu sudah tercapai. Rasanya ia tidak akan merasakan petualangan lagi untuk selamanya.

Pikirannya beralih ke Daisy. Ia mencoba mempertimbangkan ulang pernikahannya itu. Ia memang sangat mencintai Daisy. Apa yang kurang darinya? Umurnya memang kurang akibat dikurung sekian lama. Dia sangat manis, ramah, selera humor tinggi, cerdas, lincah, kuat, ahli bela diri, apa lagi yang harus dimiliki oleh seorang istri? Rasanya Daisy sudah memilikinya. Dulu, sebelum ia merantau, yaitu waktu ia masih delapan tahun, Marino mengenal orang tuanya. Daisy juga berasal dari keluarga baik-baik.

Kini sebuah pertanyaan lain bangkit di dalam batinnya. Apakah dia sendiri pantas untuk menikah dengan Daisy? Tapi pantas atau tidak, setelah semua yang telah mereka lakukan bersama, setelah perjuangan yang mereka lakukan selama ini rasanya mereka memang harus, dan ingin menikah.

Setelah bertanya-tanya pada batinnya sendiri, lalu menjawabnya sendiri pula, akhirnya ia lelah, dan tidur. Ia bermimpi tentang kilas balik hidupnya selama ini. Terlintas di matanya kenangan waktu ia bermain pedang-pedangan bersama Eko, Daffy, Adin, dan Daisy, belajar bela diri bersama, Daisy memberikan senjata kembar padanya. Ia juga melihat waktu dia dan tiga temannya bertarung melawan sekitar seratus pasukan Devilmare sebelum rumahnya diledakkan… banyak sekali memori di dalam batinnya terbangkit kembali. Detik-detik terakhir bersama Gabriela, menjadi Caliph, semuanya.

 

Suara ribut di depan pintunya membuat dirinya terbangun. Saat ia keluar, Yogin dan Phaustine sedang berkelahi dengan pengawal di depan pintunya.

“Ada apa, sih, ribut sekali?” tanya Marino.

“Kami mau membangunkanmu. Kau harus ke markas The Chain hari ini,” kata Yogin, sambil menjitak seorang pengawal.

“Oh, kenapa kalian tidak bilang? Kalau kalian bilang dari tadi, aku kasih lewat,” omel seorang pengawal.

“Iya. Tadi mereka cuma nyelonong saja. Masa kami mau biarkan lewat? Meskipun dia Jendral Yogin…,” gumam pengawal yang satunya lagi.

“Iya, maaf,” celoteh Phaustine.

“Oke. Aku ganti baju dulu. Tunggulah di bawah,” gerutu Marino sambil masuk ke kamarnya.

Sepuluh menit kemudian, Marino telah siap dengan baju kebesaran istana, dan memulai perjalanan ke markas The Chain yang berada di Eleador. Seratus prajurit The White Garda ikut mengiringi kuda perang yang ia tunggangi. Anggota-anggota The Chain asal Crin’s Blade mengikutinya di belakang. Tentunya sekarang Fraksi peradilan Crin’s Blade sedang kosong, sebab Lothar, Isabel, dan Phalus sudah bukan aparat Crin’s Blade lagi karena telah kembali pada negara masing-masing, tapi berhubung mereka sudah ada di sini, maka mereka ikut pergi ke pertemuan ini.

Menjelang siang, akhirnya mereka tiba di depan markas yang besar tersebut. Gerbang dibuka begitu mereka sudah dekat.

Begitu memasuki pintu depan markas, yang mereka lihat adalah sebuah monumen kecil dengan pedang iblis di atasnya. Marino dan yang lainnya melewati lorong-lorong. Akhirnya mereka tiba di ruangan besar yang berisi sebuah meja raksasa yang berbentuk bundar. Anggota yang lain telah berada di sana, dan sedang mengobrol riuh. Ratu Darpy, yang masih menjabat sebagai ketua umum The Chain, segera mengembalikan keadaan menjadi tenang.

Saat Marino dan teman-temannya duduk, Ratu Darpy membuka rapat. “Yang perlu kita bahas sekarang, adalah mengenai fungsi The Chain. Seperti yang telah kita ketahui, tujuan khusus dibentuknya The Chain adalah untuk membasmi Devilmare dan membebaskan Zenton darinya. Kini, hal itu sudah kita capai. Sekarang apa yang akan dilakukan The Chain berikutnya? Kita belum pernah membahasnya. The Chain tidak mungkin bengong saja menunggu sebuah negara lain menjadi Devilmare kedua, menyerang negara lain, lalu kita damaikan. Adakah yang mempunyai usulan?” tanyanya.

Chezzy dari Eleador mengangkat tangan. “Kalau menurutku, kita bubarkan saja. Kan tujuan kita adalah menciptakan kedamaian, dan itu sudah tercapai,” katanya. “Tapi masih ada yang mengganjal hatiku. Kedamaian tidak akan berlangsung selamanya. Pasti akan ada-ada saja masalah nantinya,” katanya lagi.

“Masalahnya kita tidak bisa bengong saja sambil menunggu,” gerutu Aldyan dari Apocalypse. Suasana hening sejenak.

“Tapi tidak apa-apa. Ini kan tindakan preventif,” ujar Eko.

Marino yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kalau saranku, tidak apa-apa The Chain  tetap berdiri, tapi tidak bengong saja menunggu negara lain perang. Kitalah yang memulai perang!” Seluruh ruangan ribut.

“Maksudmu?” tanya Meissa.

“Aku bercanda. Begini. Kalian melupakan tujuan umum The Chain. Bersatu bahu membahu dalam mengentaskan kemungkaran dan menciptakan perdamaian,” katanya, membuat ruangan hening. “Kita masukkan negara-negara di Zenton menjadi anggota, lalu buat perserikatan bangsa-bangsa, dan membuat hukum internasional, yang mengatur mengenai hubungan antar negara, seperti perdagangan, perang dan yang lainnya.” Semuanya bertepuk tangan menyetujui.

“Gallowmere ikut,” kata Phalus.

“Roxis juga,” sahut Lothar Night.

“Usul yang bagus. Jadinya akan seperti begini. The Chain seolah olah menjadi ‘pemerintah pusat’, dan negara-negara anggotanya seolah menjadi ‘provinsi-provinsi’ dengan otonomi khusus. Begitukah?” tanya Meissa.

“Tentu tidak. Setiap negara tetap memiliki kedaulatan masing-masing. Perserikatan ini adalah tempat dimana kita semua bisa duduk sama tinggi dan sama rendah untuk menjaga perdamaian serta menjalin hubungan baik. Salah satunya, kita harus mengatur suatu hukum perang. Misalnya alasan-alasan yang memaksa perang, tata cara berperang yang untuk melindungi warga sipil, dan hukuman untuk pelanggar-pelanggarnya.” Marino menjelaskan. “Memangnya ada alasan yang tepat untuk melakukan perang?” tanya Tiza dari Apocalypse.

“Tentu,” jawab Marino. “Ambil contoh saja Devilmare. Apa itu tidak pantas diperangi?” lalu Phalus angkat suara juga “Melihat kisah Gallowmere dulu, rasanya sebuah pemerintahan yang menindas rakyatnya butuh campur tangan dari negara tetangganya, demi kebaikan.” Pandangan tersebut menuai ribut karena pro dan kontra, tetapi Marino menghentikan perdebatan tersebut.

“Sebaiknya kita membahas ini detail nanti saja kalau semua negara sudah terkumpul. Butuh forum khusus untuk itu. Bagaimana kalau kita sekarang membahas hal-hal yang lain, seperti misalnya pedang iblis?” usul Marino, mereka pun membahas hal tersebut. Akhirnya diputuskan bahwa pedang iblis itu akan disegel di ruang bawah tanah markas The Chain.

“Kalau begitu, kita harus mengadakan pertemuan dengan negara-negara di Zenton. Kalau saranku, kita sebaiknya mengadakannya di Zenton saja, agar bisa lebih mudah dan cepat. Kita akan ke sana minggu depan. Setelah pernikahan Marino,” kata Natasha dari fraksi politik Apocalypse, membuat Marino memerah.

“Ah, betul! Kapan kalian akan menikah?” tanya Ratu Darpy.

“Err… lusa, setelah acara pengalungan medali.” kata Marino.

“Medali?” tanya Meissa.

“Oh. Crin’s Blade menghadiahi semua yang berjasa dalam perang terakhir dengan Rafdarov, dengan medali. Prosesnya mungkin akan lama, jadi kurasa pernikahanku harus diundur sehari,” jawab Marino. “Dan tentu saja The Chain akan kuundang,” dia menambahkan.

Rapat akhirnya dibubarkan, kemudian semua makan siang di ruangan itu juga saat ada beberapa pelayan masuk dan mengantarkan berpiring-piring makanan yang lezat. Setelah makan dan istirahat sejenak, semuanya pulang ke negara masing-masing.

Di istana Crin’s Blade, para Blacksmith sudah lama bekerja keras membuat medali. Sebenarnya mudah sekali, yaitu tinggal mengambil seraup logam panasnya dengan sebuah alat cap yang sudah tersedia dan berjumlah puluhan, lalu diberi magic es dan dijatuhkan saja ke lantai menunggunya betul-betul padat. Tapi mereka harus membuat ribuan dan jenis medali tidak cuma satu. Untunglah ada yang berinisiatif membuat lebih banyak lagi alat cetak dan tenaga kerja yang turun mencapai ratusan orang.

Saat Marino dan yang lainnya tiba kembali, para Blacksmith telah menyelesaikan kira-kira sembilan puluh persen dari yang dibutuhkan. Diperkirakan bisa selesai besok malam, sehari sebelum acara, dan pendinginan medali sudah di hitung. Yang lama adalah pembuatan Crin’s Crest yang penempaannya memiliki cara khusus dan mempergunakan jenis magic unik yang macamnya lumayan bervariasi, untuk menyempurnakan medali tersebut.

Untuk persiapan acara tersebut, Marino mempercayakan penyusunannya pada kakaknya, Marissa. Kalau untuk acara pernikahannya, Daisy sendiri yang akan mengurusnya, karena dia begitu semangat. Karena acara masih lama, Marino memutuskan untuk mengecek data para pasukan yang akan diberi medali. Ia menghubungi jendral masing-masing pasukan untuk memastikan. Ia pun bertemu dengan Black.

“Kurasa… rahasiaku akan kubawa sampai kematianku nanti. Hanya kau yang tahu,” katanya pada Marino. Memang. Beberapa waktu yang lalu, Black menunjukkan identitas aslinya pada Marino. Dia ternyata kembaran kakaknya yang bernama Marcia Obelos. Black melakukan penyamaran ini sejak masih kecil, dan entah mengapa, ia terus saja menyimpan rahasia ini.

Acara pengalungan medali akhirnya tiba juga. Ia mengambil tempat di lapangan raksasa sebuah kota yang bernama Azaras untuk mengadakannya. Setelah pidato singkat dari Marino, akhirnya acara dimulai.  Pertama, dilakukan pengalungan medali Vicez-perak dengan dua bintang oleh Marino untuk pasukan Adin, Rido, dan The White Garda yang ikut dalam penyerangan ibukota Eleador dari selatan. Lalu dilanjutkan dengan pengalungan Zhalanx, medali emas satu bintang, untuk pasukan yang menyerang lewat barat. Setelah itu, Marino mengalungkan Zhachant, medali platinum dengan satu bintang, kepada Marissa, Jasmine, Pavatov, Saphirre, Ullyta, Dalel, Phaustine, Yogin, Kaine, Phaustine, dan Black.

Acara puncak akhirnya tiba. Pengalungan medali Crin’s Crest untuk Marino, Daisy, Eko, Adin, dan Daffy oleh Ralph Gusrizant. Kelimanya maju ke depan, lalu berlutut. Prosesi untuk menerima Crin’s Crest berbeda dengan penerimaan medali lainnya. Ralph memegang pedang legendaris Crin. Marino sendiri belum pernah melihatnya, meski tahu bahwa pedang itu terus berada di ruang singgasana raja di dalam sebuah kubah kaca.

Ia meletakkan pedang itu di bahu kanan mereka secara bergiliran dan pada tiap orang yang bahunya ia kenakan dengan ujung pedang, ia berkata “Dengan nama Godrin, Crin atas nama Ralph Gusrizant, menganugerahi Crin’s Crest pada Caliph Crin’s Blade Marino Obelos (Namanya berganti tiap ia meletakkan pedang pada orang yang berbeda.).” Setelah selesai mengalungkan medali pada kelimanya, ia mengambil sebuah medali, dan mendekati Daffy, yang berlutut di ujung paling kiri. Seorang prajurit mendekat dan membawa semangkuk air bening. Konon air itu diisi semacam magic yang tidak diketahui fungsinya. Ralph mencelupkan ujung medali tersebut di air tersebut, saat diangkat, medali itu mengeluarkan cahaya putih menyilaukan selama beberapa detik, lalu meredup, tapi cahaya tersebut masih ada sedikit. Medali Crin’s Crest tersebut dikalungkan ke Daffy. Kemudian, ia melakukan hal yang sama pada Eko, Adin, Daisy, dan akhirnya pada Marino. Pada saat medali untuk Marino tersebut dicelupkan ke air, lalu diangkat, cahaya menyilaukan muncul, dan tidak hilang dalam beberapa detik seperti yang lainnya, melainkan selama hampir lima menit. Barulah medali tersebut dikalungkan.

“Medali Crin’s Crest untuk Rido Matius akan dilaksanakan di istana negara Crin’s Blade, di monumen untuk dirinya berada. Hari ini juga,” Marino mengumumkan dalam pidato penutupnya. “dan kalian semua diundang ke istana negara besok siang untuk mengikuti upacara pernikahan saya. Semua akan dijamu, makanlah apa saja yang tersedia. Jangan berpikir bahwa ada jatah rakyat, jatah bangsawan, jatah prajurit, atau sebagainya. Semua boleh mengambil apa saja,” Marino menambahkan.

Saat Marino mengakhiri pidatonya, langit telah gelap, menandakan bahwa malam telah tiba. Semua kembali ke rumah masing-masing. Marino dan Daisy menemui semua panitia penyelenggara upacara dan perjamuan pernikahannya. Ternyata semua telah berjalan lancar dan acara siap dilaksanakan. Marino kembali ke kamarnya untuk beristirahat, dan Daisy mengikutinya.

“Besok adalah hari terbesar kita, ya?” kata Daisy yang berbaring di sebelah Marino.

“Betul. Aku tidak sabar menunggu besok. Sangat tidak sabar,” jawab Marino yang masih duduk di atas tempat tidur, sambil mengoret-oret di atas selembar perkamen, yang isinya rancangan undang-undang internasional The Chain yang akan ia usulkan pada sidang The Chain berikutnya.

“Tidurlah,” kata Daisy dengan penuh perhatian.

Marino mendekatinya, dan membelai pipinya. “Ini tidak akan merusak persahabatan kita semua, bukan?” tanya Marino. Daisy menggeleng. Marino tersenyum agak gugup. Hatinya berdebar-debar menanti besok.

Keesokan paginya, ia terbangun saat merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuhnya dan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh pipinya. Rupanya Daisy telah melompat ke atas tubuhnya dan mencium pipinya.

“Kita akan menikah hari ini. Bagaimana kalau kita turun sekarang?” tanya Daisy. Dan Marino mengangguk. Setelah berganti pakaian, keduanya turun. Sepanjang jalan, para pengawal dan seluruh aparat istana yang mereka jumpai bertepuk tangan saat mereka lewat.

Semuanya pergi makan di dapur istana. Seperti biasa, para koki menggeleng-geleng melihat tingkah pemimpin mereka, yang tidak mau makanannya diantar ke kamarnya. Para koki sedang sibuk memasak untuk sarapan, sekaligus mempersiapkan makanan untuk pesta pernikahan Marino. Karena ribuan porsi dibutuhkan, maka tidak cuma koki-koki istana ini saja yang bekerja, melainkan juga melibatkan ratusan koki lain di kastil-kastil lainnya.

Setelah dijamu dengan ayam panggang yang lezat, kelima bersahabat ini pergi mengecek ruangan tempat penyelenggaraah pesta, yaitu ruang singgasana, dan aula depan. Puluhan ahli dekorasi terkenal dikerahkan untuk menata ruangan-ruangan tersebut. Sebetulnya ruangan-ruangan itu diberi berbagai macam hiasan, termasuk renda-renda dan korden-korden emas, lalu banyak yang lain. Orang lain pasti menganggap hiasan ini luar biasa, bahkan orang yang berkelas sekalipun. Tapi Marino menanggapinya dengan kikuk. Dia menganggap hiasan-hiasan itu lucu dan berlebihan, tapi dia tidak mengemukakannya di depan para ahli dekorasi, karena pasti akan membuat mereka tersinggung.

Matahari mulai meninggi, menandakan bahwa upacara pernikahan akan dimulai sekitar dua jam lagi. Marino dan Daisy dipisah di sudut istana yang berbeda, lalu dipojokkan oleh ahli-ahli busana pernikahan yang mendandani mereka dengan berbagai macam dandanan. Pakaian yang mewah sekali, yang tentu saja aneh bagi Marino. Bentuknya seperti kimono berwarna putih, dan ada berbagai macam renda dan motifnya. Mahkotanya diambil, untuk kemudian dipoles dan dibuat lebih mengkilat. Pedang Legendaris Crin diambil, dan diselipkan ke ikat pinggangnya. Akhirnya ia disuruh memakai sepatu yang aneh sekali, sebab bagian depannya seperti lidah ular, bercabang dua. Daffy, Adin, dan Jasmine yang menungguinya tertawa melihat gaya jalan Marino yang ajaib setelah diberi berbagai macam dandanan dan aksesoris.

Marino disuruh menunggu di sebuah kamar, yang merupakan kamar Jasmine. Menurut tradisi, pengantin harus menunggu di sebuah kamar sebelum pernikahan dilangsungkan, dan kamar yang paling jauh dari ruang singasana adalah kamar Jasmine. Jasmine dan Eko mengunggu bersamanya saat Adin dan Daffy pergi untuk mengecek ruangan dan segala persiapan lainnya.

“Bagaimana perasaanmu, sobat?” tanya Eko.

“Aneh. Baju ini… gila….”

Jasmine tertawa. “Ini adalah baju pernikahan untuk Caliph Crin’s Blade. Ini ada nilai sejarahnya,” Jasmine menjelaskan, “sebab baju yang kau pakai adalah baju asli yang dipakai oleh Crin sendiri waktu menikah. Karena itu, penggantinya yang kebetulan merupakan anaknya, memutuskan agar baju itu dijadikan baju resmi untuk pernikahan istana.”

“Kalau untuk pengantin wanita?” tanya Marino.

“Oh, aku baru pernah melihatnya sekali waktu aku sedang memeriksa gudang istana beberapa tahun lalu, pernah dikabarkan bahwa ada penjahat menyelinap masuk. Indah, tapi aku tidak bisa mendeskripsikannya sekarang, sebab kau harus melihatnya sendiri nanti,” kata Jasmine.

“Eh, kalian sendiri kapan berencana untuk menikah?” tanya Marino, lalu Eko dan Jasmine saling berpandangan.

“Rasanya… entahlah.” Jasmine agak ragu.

“Aku sudah mengajaknya berulangkali. Bahkan aku sudah menemui orangtuanya di desa Chaanar, tapi menurutnya dia masih terlalu muda. Adatnya berbeda,” kata Eko. “Kalau begitu hanya tinggal tunggu waktu saja.” Balas Marino, dan mereka semua tersenyum.

 

Akhirnya tiba juga saatnya Marino pergi ke ruangan singgasana untuk melangsungkan upacara pernikahan. Beberapa pengawal datang untuk mengiringinya pergi.

Sepanjang perjalanannya menyusuri lorong-lorong kastil, di kiri-kanannya berbaris prajurit yang mengangkat senjata mereka begitu Marino melintas di depannya. Di belakang Marino, berbaris dua puluh prajurit The White Garda dengan armor, tapi dengan ditambah beberapa macam aksesoris lainnya pada senjata mereka.

Marino tiba juga di ruang singgasana. Di sana sudah ada seorang pendeta, Meissa, Ratu Darpy, Bimo, para ksatria, dan semua aparat istana beserta semua anggota parlemen. Duduk di singgasana, ada Daisy. Dia tampak sangat cantik. Sangat. Rambutnya yang sebahu diikat ke belakang dengan pita berwarna keperakan. Tapi Marino hampir tertawa melihat bajunya. Daisy mengenakan semacam gaun yang bagian atasnya cukup ketat, tapi roknya mengembang seperti payung. Apalagi baju itu tampak agak kebesaran untuknya. Tatapan keduanya saling bertemu, Marino dapat melihat ada tawa yang ditahan di sana.

“Calon pengantin wanita silahkan berdiri, dan maju ke depan. Calon pengantin pria, dekatilah calon pasanganmu,” kata sang pendeta.

Dia dan Daisy berdiri sejajar, memunggungi penonton, menghadap pendeta. Di sebelah pendeta itu, ada Meissa. Sang pendeta mengambil sejumput serbuk dari semacam vas di sebelahnya, lalu menaburkannya pada Marino, lalu pada Daisy. Perasaan sejuk menerpa keduanya saat serbuk itu menyentuh kulit mereka.

“Silahkan,” kata sang pendeta kepada Meissa.

Meissa berdehem, lalu berkata, “Marino Obelos. Caliph Crin’s Blade yang sah. Kau akan dinikahkan dengan Daisy Asalaz. Apakah kau keberatan?” Marino terdiam sejenak. Konyol sekali, pikirnya. Tentu saja tidak keberatan. Mau menikah masa keberatan? Kalau keberatan, untuk apa mereka menikah?

“Tidak. Saya tidak keberatan,” jawab Marino dengan suara pelan, namun jelas.

Meissa berdehem lagi. “Apakah kau sanggup dinikahkan dengan Daisy Asalaz? Siap menanggung segala resiko yang akan ditemui? Siap memperlakukannya dengan baik, mempertaruhkan nyawamu sendiri untuk melindunginya, dan membesarkan keturunan kalian dengan baik dan bertanggung jawab?” sekali lagi, Marino terkikik dalam hati. Tentu saja ia akan mempertaruhkan nyawanya. Tidak harus istrinya. Ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk siapapun. Membesarkan keturunan dengan baik? Memangnya dia orang gila yang akan menelantarkan anaknya?

“Saya sanggup, dan akan melaksanakannya,” jawab Marino.

Meissa ganti menanyakan pertanyaan yang sama. Entah perasaan saja atau memang benar, Marino merasakan bahwa dalam hati Daisy, terbersit lelucon yang sama tiap kali dia ditanya.

“Mereka sanggup,” kata Meissa pada sang pendeta, yang kini mendekati keduanya. “Dengan nama Godrin dan dewa lainnya. Dengan nama cinta suci yang berada di lubuk hati kalian yang paling dalam. Saya nyatakan bahwa kalian berdua sebagai suami istri yang sah,” kata sang pendeta, semua penonton langsung bertepuk tangan. Seorang prajurit datang membawa sebuah bantal merah, yang diatasnya terdapat sebuah mahkota mengkilat. Persis punya Marino dari segi bentuk, tapi bahannya terbuat dari campuran emas dan platinum, sedangkan milik Marino terbuat dari seratus persen platinum. Itu membuat warnanya agak berbeda. Susunan permata di atasnya sama, tapi warnanya berbeda. Pada mahkota yang ini, warna permatanya sangat bervariasi namun teratur, mulai dari putih, biru, hingga merah. Permata pada mahkota Marino berwarna putih semua.

Bantal itu didekatkan pada Marino, dan Ralph Gusrizant maju ke depan. “Sekarang, kau akan meletakkan mahkota ratu kepada istrimu, menandakan bahwa kini ia berjabatan sebagai ratu,” kata sang pendeta, saat Ralph mengambil mahkota tersebut dari bantal, kemudian diserahkan pada Marino.  Marino agak terkejut saat Daisy membungkuk di depannya. Kenapa dia tidak diberi tahu skenario ini, sedangkan Daisy diberi tahu? Ah, ia sibuk mengobrol. Marino memakaikan mahkota itu pada kepala Daisy. Para penonton bertepuk tangan lagi.

“Sekarang, selain suami istri, kalian juga CALIPH… dan… RATU. Paduka Marino Obelos, sekarang kau boleh mencium mempelaimu,” kata sang pendeta. Sebelum sang pendeta selesai bicara, Marino sudah memeluk Daisy dan menciumnya.

Pesta berlangsung hingga larut malam. Akhirnya saat pesta berakhir, ribuan orang memberi selamat, membuat tangan Marino dan Daisy pegal karena terus bersalaman. Sekitar pukul satu dini hari barulah hampir semua tamu pulang, kecuali para ksatria dan anggota The Chain. Yang terakhir memberi selamat pada mereka adalah Ratu Darpy. “Kalian memang masih muda sekali, tapi kalian sudah bisa mengemban tanggung jawab orang dewasa. Kalian memang pasangan yang luar biasa,” katanya.

“Aku sangat lelah, tapi aku sangat senang,” kata Daisy di kamar Marino begitu pesta sudah benar-benar usai. Marino memeluknya. Petualangan kita berakhir bahagia,” katanya.

“Sangat bahagia. Aku hanya takut ini akan berakhir,” Marino berbisik di telinga Daisy.

“Tapi tidak akan kubiarkan berakhir,” kata Daisy bersemangat. “Malahan,” Daisy tersenyum, lalu meletakkan tangannya di pinggang Marino, yang membelai pipinya dengan lembut. Daisy kemudian melanjutkan kalimatnya, setelah Marino mencium pipinya, dan memeluknya.

“Kebahagiaan ini baru saja akan kita mulai. Bukankah begitu, Marino Obelos, sayangku?”

 

 

 

 

[End of Chapter XIX]

[Coming up next, Chapter XX: Epilogue…]