Apakah Kita Berhak Asal Memfatwa Sesat atau Kafir? Hukum Indonesia vs Hukum Internasional vs Hukum Islam

Pengantar

Sekarang di zaman ‘pluralis’ dan ‘toleran’ ini, sangat popular di satu sisi kita mendengar orang berkata “A itu kafir! B itu sesat!”, dan di sisi lain ada yang membantah orang tadi dengan berkata “kita tidak berhak untuk asal memfatwa sesat atau kafir orang lain!”. Menariknya, kecenderungan kalangan intelektual dari golongan kedua itu adalah dari kalangan liberal pengusung Hak Asasi Manusia dan anti-Syariat Islam. Kenapa saya menyebut ‘kalangan intelektual’ adalah karena tentu ada porsi besar orang awam yang hanya ikut-ikutan, dan porsi ini ada di kedua belah pihak.

Saya sangat tertarik tentang posisi orang-orang kalangan liberal pengusung HAM ini yang malah mengatakan tidak boleh asal memfatwa sesat atau kafir orang lain. Apakah stance mereka ini konsisten dengan kerangka kerja hukum-hukum non-Agamis yang cenderung mereka agung-agungkan di atas hukum Islam?

Karena itulah, saya mencoba membandingkan hukum non-Agamis (hukum Indonesia umum dan hukum internasional) dengan hukum islam: apakah kita berhak asal memfatwa sesat atau kafir?

 

Menurut Hukum Indonesia: BERHAK

Dalam hukum Indonesia, Pasal 28E UUD 1945 tegas mengatur kebebasan seseorang untuk berpendapat dan memeluk kepercayaan. Karena itu, justru sangat boleh sekali seseorang dengan alasan apapun menyatakan bahwa ajaran atau orang lain itu adalah sesat atau kafir serta mempercayai hal tersebut sebagai ajaran agamanya.

Batasan yang ada dua, yaitu pertama Pasal 28J(2) UUD 45. Pasal ini pada intinya membatasi kebebasan saat bertentangan dengan ketertiban umum. Bukan hanya bahwa memfatwa sesat atau kafir tidak serta merta bertentangan dengan ketertiban umum (itu masalah kedewasaan menyikapinya saja, mensesatkan kan tidak harus melulu berarti kemudian menyerang),[1] melainkan juga bahwa pasal tersebut menjadikan norma agama sebagai pembatas hak. Artinya, monggo saja yang difatwa sesat/kafir merasa tidak sesat/kafir, ya monggo juga yang merasa orang tersebut sesat/kafir ya berhak mempercayai hal itu.

Batasan kedua ada pada Pasal 156 KUHP tentang Penistaan Agama. Pertama, pasal ini berbicara mengenai penghinaan. Menurut saya beda sekali antara penghinaan dan telaah kritis terhadap suatu ajaran agama. Beda sekali antara menghina seseorang karena kepercayaannya, dengan menjelaskan kenapa kita lebih suka kepercayaan kita sendiri dibandingkan kepercayaan orang lain. Bedanya ada di etiket dan tutur kata. Kedua, pasal ini pun dikritisi oleh aktivis-aktivis Hak Asasi Manusia (silahkan lihat gugatan ke Mahkamah Konstitusi, Perkara No.  140/PUU-VII/2009, siapa saja yang mengajukan).

Kesimpulan: Menurut hukum Indonesia, BERHAK asal-asalan dan suka-suka mensesatkan dan mengkafirkan orang lain.

Menurut Hukum Internasional: BERHAK

Menurut the International Covenant on Civil and Political Rights 1966 Pasal 19, kebebasan berpendapat diatur dengan sangat tegas. Artinya, sangat sah saja seseorang menyalah-nyalahkan agama lain atau bahkan orang lain yang seagama tapi tidak sealiran. Pasal 19(3) mengatakan bahwa kebebasan berpendapat dapat dibatasi untuk:

  1. Menghargai hak dan reputasi orang lain: Orang lain tersebut dapat terus berpendapat bahwa agamanya benar kok. Dan saya tidak melihat ada masalah dalam reputasi.
  2. Keamanan dan ketertiban nasional, kesehatan, dan moralitas public. Ini sama dengan di hukum Indonesia. Intinya bagaimana orang bersikap dewasa, dan tidak lantas karena kafir atau sesat langsung diserang lempar bom Molotov

Pasal 18 pada Kovenan yang sama juga mengatur kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan, sehingga terserah saja jika seseorang percaya bahwa orang lain itu kafir atau sesat. Percaya pada alien saja boleh. Pembatasan yang dimungkinkan untuk hak ini ada pada Pasal 18(3) yang pada prinsipnya serupa dengan Pasal 19(3) yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kesimpulan: Menurut hukum Indonesia, BERHAK asal-asalan dan suka-suka mensesatkan dan mengkafirkan orang lain.

Menurut Hukum Islam: TIDAK BERHAK

“Seseorang tidak boleh berbicara tanpa ilmu” adalah sebuah aturan yang tegas diatur dalam Al Qur’an maupun Hadist.[2] Terutama soal mengkafirkan sesama Muslim, itu juga tidak boleh sembarangan dan banyak hadist yang melarangnya.[3] Ulama-ulama besar termasuk dari Salafi-Wahabi (yang konon dibilang mudah mengkafirkan dan mensesatkan) juga sudah menyebutkan bahwa hak mengkafirkan hanya ada pada Allah, sehingga yang boleh dihukumi kafir hanya yang sudah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[4] Maksudnya adalah misalnya orang mushrik, Nasrani, Yahudi, dll, itu sudah pasti kafirnya karena Allah sendiri yang bilang di Al Qur’an.

Orang yang secara dzahir (jelas atau ‘kasat mata’) mengaku Muslim berarti adalah by default dianggap Muslim dan bukan kafir. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Muslim, walaupun bersifat dosa besar, itu adalah perbuatan kafir tetapi tidak serta-merta menjadikan orang tersebut kafir. Karena seseorang yang dosanya sangat banyak pun, walau ‘mampir’ dulu dan ‘dicuci’ dulu di neraka, tapi jika ada iman walau sebesar dzarrah (atau atom).[5]

Untuk melihat apakah seseorang yang mengaku Muslim dapat dihukumi kafir adalah bersifat case per case. Bayangkan betapa banyak yang harus diketahui oleh seseorang untuk menghukumi orang yang mengaku Muslim sebagai kafir:

  • Dia harus tahu sejauh mana perbuatan seseorang dapat dihukumi kafir beserta kaidah-kaidahnya, karena sudah dijelaskan sebelumnya bagaimana pelaku dosa-dosa besar pun belum tentu kafir.
  • Dia harus tahu keadaan orang yang hendak dikafirkan itu. Karena walaupun perbuatannya sudah cocok dengan ciri-ciri kekafiran, harus diselidiki dulu keadaan fikirannya. Karena ada banyak sekali kemungkinan keadaan udzur (alasan ‘pemaaf’) pada yang hendak dikafirkan, yang juga harus diketahui dulu oleh orang yang mengkafirkan.[6]

Apakah mungkin ada orang yang awam yang bisa melakukan hal di atas? Seorang Ulama pun, dengan ilmunya, paling hanya bisa memenuhi yang pertama kalau tidak melakukan investigasi yang komprehensif pada orang yang hendak dikafirkan. Karena itulah, misalnya Syiah, mereka sudah jelas kesesatannya. Semua ulama mazhab dari zaman dahulu sampai sekarang sudah menunjukkan bukti-bukti kekafiran dan kesesatan mereka.[7] Akan tetapi, kenapa Pemerintah Arab Saudi mengizinkan mereka masuk Mekkah dan Madinah (yang hanya boleh dimasuki oleh Muslim)? Karena seseorang yang mengaku Muslim, akan dianggap Muslim sampai terbukti sebaliknya. Jadi harus dicek satu persatu dong kalau mau betul-betul dilarang masuk Mekkah dan Madinah.

Nah, kalau untuk orang-orangnya  kan tidak boleh asal memfatwa kafir atau sesat. Kalau ajarannya bagaimana? Tetap tidak boleh asal-asalan, tetapi orang yang memang mengetahui ilmunya tentu saja boleh.

Kenapa boleh?

Kalau ajaran-ajaran yang memang sudah dikafirkan oleh Allah langsung di Al Qur’an, ya itu memang hak Allah untuk mengkafirkan, jadi kalau ada yang bilang “Kamu (Muslim) tidak boleh asal mengkafirkan, mentang-mentang Yahudi dibilang kafir.” Lah itu yang ngomong adalah Allah sendiri berkali-kali misalnya di Surah An Nisa ayat 46.

Nah, kalau dia mengaku ajarannya adalah “Cuma penafsiran yang berbeda” boleh tidak?

Jawabannya adalah iya tapi ada syaratnya. Ingatlah bahwa penafsiran itu ada kaidahnya, di mana jika keluar dari kaidah tersebut maka penafsirannya dianggap menyimpang. Hukum Indonesia mengakui hal ini, misalnya adanya asas lex superiori derogat legi inferiori sehingga hukum yang lebih rendah tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.[8]

Hukum internasional juga sama, silahkan rujuk the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Pasal 31 mengenai kaidah-kaidah penafsiran perjanjian internasional. Penafsiran tidak boleh bertentangan dengan makna dzahir serta maksud dan tujuan perjanjian internasional tersebut. Bahkan, sebetulnya dalam hukum internasional sebuah Negara dalam menandatangani perjanjian internasional prinsipnya boleh pilih-pilih mana aturan yang dia mau kecualikan pada perjanjian tersebut yang disebut reservasi. Akan tetapi, itu pun ada pengecualian yaitu jika:[9]

  • perjanjian tersebut melarang reservasi baik sebagian atau seluruhnya
  • reservasi tersebut akan bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian tersebut

Tentu hukum Islam juga sama. Tentu ada kaidah-kaidah penafsiran yang tidak boleh diterabas, dan kalau diterabas maka akan menyimpang. Misalnya aliran Ahmadiyah Qadiyani yang mengaku Muslim sedangkan meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Rasulullah Muhammad s.a.w., Penafsiran macam apa yang bisa membuat Sabda Allah “…beliau adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi…” (Surah Al-Azhab ayat 40) untuk membenarkan keyakinan tersebut? Kecuali memang mereka tidak mempercayai ayat tersebut adalah Sabda Allah sehingga telah kafir karena iman pada Al-Qur’an adalah rukun iman.[10]

Akan tetapi tentu untuk menyatakan suatu ajaran adalah kafir atau sesat, dibutuhkan sebuah analisis komprehensif terhadap struktur dan metode penafsiran pada ajaran tersebut.[11] Tentu hanya orang-orang yang memiliki ilmu yang berkompeten untuk melakukan hal ini, makanya tadi saya bilang boleh mensesat/kafirkan ajaran yang mengaku Islam tapi ada syaratnya: hanya dilakukan setelah analisis komprehensif oleh orang yang punya ilmunya.

Nah, bagaimana kalau ada yang mengaku Muslim tetapi mengikut ajaran yang sudah divonis sesat atau kafir? Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, walaupun ajarannya sesat/kafir tetapi pengikutnya (jika mengaku Muslim) dianggap Muslim kecuali dibuktikan sebaliknya secara case per case sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

Kesimpulan: Menurut hukum Indonesia, TIDAK BERHAK asal-asalan dan suka-suka mensesatkan dan mengkafirkan orang lain. Ada kaidah-kaidah, syarat-syarat, baik dalam melakukannya juga siapa yang boleh melakukannya.

Penutup

Menurut saya adalah hal yang sangat menarik jika:

  1. Ada yang mengatakan ‘tidak boleh asal memfatwa sesat/kafir’ dengan mindset liberal Hak Asasi Manusia. Padahal justru dalam kerangka hukum Indonesia maupun hukum Internasional (tepatnya hukum Hak Asasi Manusia Internasional) malah boleh asal mensesatkan atau mengkafirkan orang lain, sebagai bagian dari kebebasan beragama dan berekspresi.
  2. Ada yang mengatakan ‘tidak boleh asal memfatwa sesat/kafir’ padahal dia tidak memeriksa sama sekali hujjah yang dibawakan oleh pihak yang mengkafirkan itu. Yang ‘asal’ berpendapat siapa ya sebenarnya?
  3. Ada yang mengatakan ‘tidak boleh asal memfatwa sesat/kafir’ padahal dia bahkan tidak tahu apa arti istilah–misalnya—ushul fiqih, ta’wil, atau bahkan Al Fatihah belum bisa baca dengan sempurna tajwidnya, belum hafal terjemahannya, dan tidak tahu cara menafsirkannya, sedangkan pihak yang mengkafirkan adalah seorang Ulama besar yang hafal Al Qur’an, paham tafsir, dan hafal puluhan ribu hadist beserta sanadnya, dll.

Prinsipnya sih sederhana. Kalau kita tidak paham ya jangan berpendapat, kalau dikasi tau ya di dengerin, kalau nggak paham ya tanya.

Tambahan Catatan:

Fatwa kafir atau sesat itu tidak berarti kita tiba-tiba berhak untuk mengejar, membacok, membunuh, atau apapun yang bersifat anarkis, karena itu bukan ajaran Islam melainkan ajran YAHUDI (silahkan lihat Kitab Perjanjian Lama, Deuteronomy 13: 6-11). Perang pun dilakukan hanya kalau kita diserang kaum kafir, atau dalam saat tertentu jika dibenarkan untuk melakukan perang ofensif (yang juga terkadang dapat dibenarkan dalam jus ad bellum menurut hukum internasional. Untuk bacaan lebih lanjut bisa lihat sumber-sumber lain: carilah keyword ‘military intervention’ atau ‘humanitarian intervention’).

Berikut beberapa dampak nyata secara hukum jika seseorang dihukumi sesat/kafir:

  1. Tidak shalat bermakmum padanya.
  2. Tidak memakan daging sembelihannya.
  3. Saat dia meninggal, tidak menshalati jenasahnya.
  4. Dia tidak mewariskan harta pada ahli warisnya yang Muslim, tidak pula berhak menjadi ahli waris dari seorang Muslim.
  5. Tidak mengambil ilmu agama darinya (kecuali untuk melihat kesesatannya)
  6. dll

————————————

[1] analogi lain: ingatlah bahwa walaupun sesuatu itu benar salah (misalnya pelaku pencurian), itu tidak berarti boleh berlaku anarkis. Apakah karena ada potensi anarkisme, hukum pencurian harus diubah sehingga jadi dibolehkan?

[2] Misalnya Surah Al Isra ayat 36, Hadist dalam Sahih Bukhari No. 100,

[3] Sahih Bukhari No. 6104 dan No. 6105, Sahih Muslim No. 60 dan 110, dll

[4] Misalnya Imam ibn Taymiyya r.a. dan Shaykh Salih al-Uthaymeen. Rujukan lengkap silahkan lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/kaidah-kaidah-dalam-pengkafiran.html

[5] Sahih Muslim No. 183a, see also Surah An-Nisa ayat 40

[6] Lihat blog Abul Jauzaa di Note 4 untuk lengkapnya.

[7] Untuk lengkapnya dalil-dalilnya beserta siapa saja ulama yang sudah menjelaskannya: http://salafy.or.id/blog/2012/09/03/membongkar-kesesatan-syiah/

[8] Sudikno Mertokusumo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Penerbit: Liberty Yogyakarta, Hlm. 74

[9] Pasal 19 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

[10] Sahih Muslim, Hadist No. 8 dan 10. Ingat juga bahwa “rukun” artinya kalau satu tidak terpenuhi, maka semuanya batal, misalnya rukun shalat.

[11] Lihat bagaimana komprehensifnya dalil-dalil yang ada pada link di note 7? Sekilas akan tampak sangat komprehensif, padahal banyak sekali bukti yang bisa ditunjukkan dan dianalisis, dan para ulama sudah melakukan ini