SERANGAN DARI SESAMA MUSLIM: JAWABAN SAYA (PART 1)

  1. Itu Kan Budaya Arab

Ada banyak hal yang termasuk dalam topik ini, misalnya soal jilbab atau makan menggunakan tangan. Bukan menutup kemungkinan bahwa beberapa hal memang bisa jadi terkait budaya, tapi dari sekian tuduhan yang saya dengar itu sangat salah.

Soal hijab à Justru saat ayat hijab diturunkan (Surah An Nur ayat 31), para wanita Muslim baru memakai jilbab setelah sebelumnya tidak memakainya. Kisah ini diriwayatkan di Sahih Al Bukhari, Hadist No. 4758-4759. Ini bukti bahwa jilbab bukan budaya Arab.

Soal makan dengan tangan à memang betul, tidak ada larangan menggunakan sendok atau alat makan lainnya. Tapi kalau dibilang “tidak ada sunnahnya, karena Nabi Cuma melakukan itu karena zaman itu tidak ada sendok”. Ini adalah dusta. Sendok sudah ada dari zaman Mesir kuno, dan jazirah Arab bolehlah tandus tapi bukannya terkucilkan dari perdagangan dunia. Ditambah lagi, James E. Lindsay menulis dalam bukunya berjudul “Daily Life in the Medieval Islamic World” yang diterbitkan tahun 2005 terbitan Greenwood Publishing Group, pada halaman 128 menjelaskan bahwa masyarakat Muslim awal sudah mengenal sendok.

Belum lagi saya lihat orang-orang yang dengan asal sekali menghina orang yang menggunakan gamis Arab atau menggunakan istilah-istilah bahasa Arab, tapi sendirinya begitu bangga menggunakan pakaian atau istilah-istilah barat. Mungkin mereka lupa sejarah kita dengan barat jauh lebih berdarah daripada sejarah kita dengan Arab.

Lagipula, kalangan hukum Indonesia berbangga sekali dengan “Hukum Adat” dan menolak dibilang sama dengan “Hukum Kebiasaan”, dan lebih suka diterjemahkan menjadi “Adat Law” jika membicarakan hukum adat di Indonesia daripada mengatakan “Indonesian Customary Law”. Saya tidak menyalahkan hal ini. Monggo saja, saya juga senang ada keunikan Indonesia. Tapi, just for your information, kata ADAT ini adalah dari BAHASA ARAB.

Tanggapan saya pada yang mengatakan “itu kan budaya Arab”: ELU SOK TAU APA GIMANA?

Dusta kok atas nama Nabi.

 

  1. Sekarang Sudah Beda Zaman

Dalam Islam, setiap hukum memiliki illat. Ketika illat berubah, hukum pun berubah. Bukan tidak dikenal dalam hukum Islam, dalam aliran paling konservatif dan ekstrim pun, perubahan beberapa hukum karena maqasid shari’ah. Tapi, yang saya kesal adalah banyak sekali hal yang diserang oleh kalangan liberal dan fasiq ini yang berbasiskan sok tahu. Apapun yang tidak disukai oleh mereka, dibilang “kini sudah beda zaman”. Ini adalah hermeneutika digunakan tidak pada tempatnya.

Wajarlah kalau sebuah teks buatan manusia hanya akan cocok dengan kenyataan sosio-historis sekitar si penulis. Namanya manusia kan terbatas. Lah ini Allah lho chuy, dan Rasul-Nya yang dijamin oleh Allah lisannya (lihat Surah Al Haqqah ayat 44-47). Jika sampeyan memang nggak percaya sama Islam ya monggo. Tapi kalo Muslim ya percayalah pada Allah yang memiliki Asma antara lain Al-‘Ilm (Maha Tahu). Masa iya Dia memiliki keterbatasan selayaknya manusia? Belum dengarkah tepatnya ramalan di balik Surah Ar-Rum ayat 1-5? Headset saja sudah diramalkan sejak dulu (lihat hadist di Sunan ibn Majah No. 4020).

Ruang-ruang perubahan penafsiran melalui maqasid shari’ah adalah Rahmat Allah. Ada hal-hal yang sudah tegas tanpa celah, dan ada hal-hal yang memang dibukakan ruang untuk penyesuaian. Dan ini justru bukti lagi bahwa Allah Maha Tahu, karena Mengetahui urusan apa saja yang harus dibuat agak renggang supaya manusia bisa menyesuaikan dengan zaman.

Pertanyaannya adalah tentang “perubahan zaman” ini, apa yang berubah? Misalnya soal hukum waris Islam yang konon diskriminatif terhadap perempuan? Pertama, ini ucapan sok tahu. Perempuan jauh lebih dilindungi dalam hukum waris Islam daripada laki-laki. Kedua, ada klaim bahwa hukum waris seperti ini dan juga hukum lain terkait keluarga adalah berillatkan nafkah –karena perempuan tidak bekerja. Ini nonsense, karena dari zaman Rasulullah s.a.w. pun bukan tidak ada perempuan yang bekerja dan bahkan kaya, tapi hukumnya sama saja.

Lalu, perkembangan soal Hak Asasi Manusia. Pertama, dari kacamata hukum internasional, beberapa asas dasar HAM memang bolehlah diklaim universal. Tapi banyak aspeknya yang tidak universal, misalnya apakah perbedaan hukum yang berlaku antara laki dan perempuan adalah serta merta merupakan diskriminasi? Menurut the Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW), ya. Akan tetapi, mayoritas Negara Islam dan non Islam (misalnya Israel, Singapore, dll) yang mengecualikan pasal-pasal khusus ini saat meratifikasi CEDAW, artinya norma ini tidak bisa dianggap universal. Lagipula, sejak kapan suara manusia itu mengalahkan Suara Allah? Memangnya kalau seluruh manusia di muka bumi ini menentang Allah, maka Allah bisa salah?

Ini mencampur antara dua standar kebenaran yang terpisah. Yang satu adalah kebenaran diukur dari consensus, yang satu adalah kebenaran diukur dari divine authority. Nggak masuk akal kalau dua standar ini dicampur. Kalaupun mau dipaksa campur, maka hanya akan masuk akal jika “divine authority” berada di atas “consensus”. Kalau tidak, maka sudah bukan “divine authority” lagi. Makanya, pertanyaannya adalah: ente percaya dengan Allah atau tidak? Jangan maunya ngaku Islam, maunya mati dikafanin dan disholati, tapi pada kenyataannya malah melakukan hal-hal yang hanya masuk akal bagi orang yang tidak percaya dengan Allah.

Prinsipnya, peluang untuk berubah hanya ada pada hal-hal yang oleh Shari’ah diberi kelonggaran atau sengaja didiamkan (tidak ada “tidak sengaja didiamkan”, karena Allah Maha Tahu)

Jadi tanggapan saya pada yang mengatakan “sekarang beda zaman” adalah: SAMPEYAN KALO DI ALAM KUBUR DITANYA “MAA RABBUKA” DAN NJAWAB “UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS”, KIRA-KIRA NASIB ANDA GIMANA?

 

  1. Salafi Itu Suka Mengkafirkan

Saya mulai dengan tanggapan saya: SIAPA MEMANG YANG DIKAFIRKAN OLEH SALAFI?

Memangnya siapa yang dikafirkan, sampai berani bilang “suka mengkafirkan”? Maksudnya orang agama lain misalnya Nasrani? Allah sendiri yang mengkafirkan mereka dalam Surah Maryam ayat 17.

Justru kalau ada Muslim yang tidak mengkafirkan mereka maka bisa jadi dihukumi murtad Muslim tersebut, karena ada kaidah “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesusah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”. Walaupun tentu tidak semudah itu juga mengaplikasikan kaidah ini (lengkapnya baca di sini), tapi intinya seserius itulah jika tidak mengkafirkan orang yang telah jelas kafir.

Apakah maksudnya adalah Syiah? For your information, Syiah Rafidhah ini sudah dikafirkan oleh sekian banyak ulama zaman dahulu, antara lain: Imam Malik, Imam Shawkani, Imam Shafi’i, Imam Ahmad, Imam ibn Hazm, Imam ibn Kathir, Imam Ar-Razi, Imam Al Qurthubi, Imam ibn Taymiyyah, dll. Semua Imam ini adalah panutan dari beraneka mazhab di seluruh dunia sekarang. Bagaimana tidak? Antara lain, mereka menisbatkan Nama dan Sifat Allah pada para Imam mereka yang mana hal tersebut adalah syirik al akbar. Belum lagi masalah penghinaan kepada Sahabat Rasulullah s.a.w. yang, antara lain, merupakan hujjah Imam Malik  atas kekafiran Syiah (dan diamini oleh Imam ibn Kathir dan Imam al Qurthubi). Banyak lagi hujjahnya.

Okelah, sekarang zaman sudah berubah. Syiah sudah berevolusi menjadi beraneka sekte dan tentu itu harus dipertimbangkan lagi. Akan tetapi, apa illat kekafiran syiah? Jika melihat syirik al-akbar mereka, untuk sekte Imamiyah dan yang lainnya, ya masih. Jika melihat penghinaan dan pengkafiran sahabat, ya masih juga. Bukankah ini mudah sekali artinya dijadikan hujjah untuk para salafi wahabi untuk mengkafirkan syiah?

Ternyata tidak.

Jangankan Salafi Saudi yang menurut banyak orang sudah sangat konservatif. Al Qaeda pun tidak berpendapat demikian! Fatwa ulama-ulama Saudi dan Al Qaeda mengatakan bahwa aqidah syiah Imamiyah jelas adalah akidah kafir, tapi untuk para pemeluknya yang awam dan masih mengaku Muslim secara hukum tetap dianggap Muslim sampai secara masing-masingnya secara individu terbukti sebaliknya secara case per case. Makanya, antara lain, ini sebab orang Syiah masih dibolehkan masuk Mekkah dan Madinah.

Inikah “asal mengkafirkan” ala Salafi?

Justru banyak awam dan liberal yang mudah sekali mengkafirkan dari lisannya. Contoh saja, saat mendengar serangan-serangan teroris yang konon dilakukan oleh kelompok ekstrimis Al Qaeda atau ISIS. Mudah sekali mengatakan “mereka bukan Islam”. Saya tidak tahu apa yang ada di balik pikiran orang-orang yang mengatakan hal ini, maka saya berpegang pada apa yang dzahir yaitu kata-kata yang terlontar: “bukan Islam” ini ya artinya kafir.

Kalau Salafi akan bilang bahwa aksi ekstrimis ini “tidak sesuai dengan ajaran Islam”, dan para pelakunya “Muslim, tapi melakukan kesalahan-kesalahan yang sangat besar”. Tapi sampai mengkafirkan? TIDAK.

Belum lagi, kata “SUKA mengkafirkan” ini adalah dusta yang sangat berlebihan. Lihatlah, Salafi pun sama seperti kelompok lain yang sangat bersyukur jika ada orang masuk Islam. Senangnya juga luar biasa kok. Dikira enak mengkafirkan orang? Enggak bro!

 

(….. bersambung ke Part 2)