HUKUM INTERNASIONAL: SEBUAH PERENUNGAN DENGAN PENDEKATAN KRITIS POST-COLONIAL

Hasil gambar untuk united nonsense

Pendahuluan

Beberapa bulan lalu, diskusi santai semi-ilmiah dengan Dian Agung yang merupakan rekan sejawat, nyaris seumuran, dan nyaris seberat badan (saya jauh lebih kurus), membawa kesan tersendiri. Apakah betul hukum internasional adalah merupakan sebuah hukum? Bukan pertama kali saya mendiskusikan hal tersebut, tapi barangkali dengan Agung itulah saya pertama kali debat lucu lucuan tentang topik ini.

Istilah “hukum internasional” sendiri sudah masyur sekali, sehingga banyak orang akan garuk garuk kepala kalau ditanya “emang hukum internasional adalah hukum”?

John Austin pada awal tahun 1800an ber’fatwa’ bahwa “tidak ada yang namanya hukum internasional, yang ada cuma moral internasional”. Statement ini sangat diamini oleh Agung, dan jadi perenungan wajib di bab awal kelas hukum internasional untuk pengantar terhadap konsep hukum internasional sendiri. Biasanya, diskusi di kelas akan membawa pada kesimpulan bahwa pendapat Austin ini adalah pendapat zamannya. Belum lihat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dia, menurut sebagian mahasiswa. Hukum internasional adalah ‘rezim hukum sui generis’, menurut sebagian lainnya.

Menarik pada tahun 2015 saat kami di Departmen Hukum Internasional merapatkan soal ujian tengah semester. Soal “Bagaimana pendapat anda tentang argument Austin bahwa tidak ada hukum internasional” muncul dalam pertimbangan, dan akhirnya ditolak. Sebagian dari kami menolak Karena soal ini sudah pernah dikeluarkan, tapi penolakan Prof Sigit Riyanto (sekarang dekan fakultas hukum UGM) sangat menarik. Pendapat Austin, menurut beliau, mungkin menarik hanya dalam tinjauan sejarah saja, tapi sudah tidak relevan lagi untuk ditekankan sebegitunya sampai dikeluarkan dalam ujian.

Pendapat saya bagaimana?

John Austin berpendapat demikian karena pandangan hukumnya adalah positivisme. Beliau melihat bahwa tidak mungkin ada yang namanya hukum tanpa sebuah sosok daulat yang menjadi penguasa. Apa urusannya penguasa kok bisa punya hak untuk ngatur ngatur? Dari mana sih hukum punya kekuatan untuk mengikat kita?

Kami di fakultas hukum menjalani satu semester pertama dengan mata kuliah antara lain Ilmu Negara, yang buanyak sekali menjelaskan justifikasi kenapa pemerintah punya hak untuk mengatur kita.  Banyak sekali lah teorinya untuk menjelaskan sumber kekuasaan pemerintah untuk memerintah subjek hukumnya. Dalam pengantar ilmu hukum juga kami pelajari tentang hukum positif, dan bagaimana kewenangan pembuat hukum itu esensial sekali dalam otoritas produk hukumnya.

Satu semester kami digembleng dengan itu. Lalu jika kita di semester dua, mengambil hukum internasional yang tidak memiliki sosok pemerintah (PBB pun bukan pemerintah), masa kita tidak mempertanyakan keabsahannya sebagai hukum? Bagi saya, pertanyaan ini tetap sah dan justru sangat fundamental sekali. Tapi barangkali tempatnya bukan di mata kuliah hukum internasional, karena mungkin terlalu berat diskursusnya untuk mahasiswa semester dua.

Belajar hukum internasional akan membuat kita mengerenyitkan dahi jika dihadapkan dengan kasus-kasus konkrit. Makin tampak teori teori dengan seenaknya berubah dan memiliki pengecualian seiring dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Siapa yang salah: cara beroperasi tatanan dunia? Atau cara kita memahami hukum internasional?

Perkembangan Hukum Internasional Modern: Peran Eropa

Ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada ubi), ini sebuah slogan yang semua anak hukum pasti hafal. Ketika ada unit sosial terbentuk, hukum pasti ada. Ketika antar unit sosial mulai saling berinteraksi, ada juga hukum yang mengaturnya. Makin lama unit sosial dan politik makin besar dan kompleks maka mulailah ada cikal bakal hukum internasional. Di Romawi kuno misalnya ada Jus Gentium yaitu hukum antar bangsa. Di millennium pertama setelah masehi, sebagai salah satu cabang ilmu fiqih ada fiqih al-siyaar yaitu hukum interaksi negara Islam dengan negara lain.

Dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, Prof Sugeng Istanto mengatakan bahwa hukum internasional modern adalah kebanyakan dipengaruhi oleh Eropa. Hugo Grotius alias Hugo de Groot pun dikenal sebagai “Bapak Hukum Internasional Modern”. Akan tetapi, yang mungkin tidak banyak dijelaskan adalah bagaimana hukum internasional berasal dari Eropa?

Dalam kuliah hukum internasional, jarang sekali dibahas tentang hubungan antara hukum internasional dengan kolonial dan imperialisme. Mungkin sekali-sekali hanya sebagai tinjauan sejarah mengenai “apa yang dulu pernah dibenarkan, tapi sekarang sudah tidak”. Seakan-akan topik tersebut adalah peripheral saja, padahal sesungguhnya sangat sentral.

Tergantung kedalaman kuliah hukum internasional yang dijalani (kalau kelas saya sih tidak sedalam ini), harusnya ada terbahas The Peace of Westphalia tahun 1648 atau Perjanjian Westphalia. Di sana banyak lahir hal-hal penting dalam hukum internasional misalnya konsep kedaulatan dan imbasnya kepada larangan menyerang negara lain karena dianggap melanggar kedaulatan. Tapi Anthony Anghie (2004) menulis bahwa ada sisi gelap di balik Perjanjian Westphalia dan rezim hukum internasional saat itu.

Argumen beliau: Hukum internasional Eropa dilahirkan untuk mendukung imperialisme dan kolonialisme.

Argumen ini kuat. Karena konsep kedaulatan yang lahir dari Perjanjian Westphalia adalah integral dengan konsep modern state. Artinya apa? Kalau bukan modern state, yang mana indikatornya ya negara-negara Eropa itu juga, maka tidak punya kedaulatan. Kalau tidak punya kedaulatan, tidak ada salahnya menyerang mereka. Makan tuh Eropa.

Sebelum lahirnya Grotius, Fransisco de Vitoria yang bermazhab ‘hukum alam’, menjelaskan bahwa bangsa Indian adalah manusia dan berakal tapi sayangnya mereka belum beradab menurut standar Eropa. Karena itu bolehlah “diberadabkan”. Anghie dalam tulisannya yang lain (1996) mencatat bahwa Grotius sangat dipengaruhi oleh Vitoria dalam karya akademiknya. Ram Prakash Anand (1982) juga mencatat bagaimana Grotius merupakan penasehat hukum kerajaan Belanda yang aktif membantu menjustifikasi kelakuan Belanda dalam kolonialisme atau hal-hal lain terkait kolonialisme (misalnya monopoli jalur laut untuk menarik pajak dari kapal lewat) –walaupun terkadang bertentangan dengan posisi intelektual beliau sendiri .

Akhirnya pola hubungan antar negara, yaitu hukum internasional secara esensi, pada kebanyakan wilayah dunia menjadi jatuh ke tangan Eropa untuk membentuknya. Mereka memaksakan standar-standar mereka sendiri yang mereka anggap ‘lebih beradab’ kepada masyarakat yang ‘kurang beradab’ dan melihat bahwa kolonialisme adalah demi kebaikan si terjajah itu sendiri.

Mazhab hukum alam, secara teori, adalah berasaskan moralitas dan keadilan. Tapi pada kenyataannya ia bermuara pada satu justifikasi : might is right. Yang kuatlah yang benar.

Abad Ke 20-21: Dekolonialisasi dan Rekolonialisasi?

Pasca Perang Dunia II, hanya ada tiga macam negara: pemenang perang, kalah perang, dan jajahan. Indonesia sendiri termasuk di sana. Perubahan trend hukum internasional drastis sekali zaman ini. Muncul Piagam PBB, banyak sekali dilakukan kodifikasi hukum kebiasaan internasional menjadi konvensi konvensi internasional, sehingga hukum internasional dianggap semakin mendekati universal.

Masalahnya begini.

Dalam kuliah hukum internasional kita belajar bahwa hukum kebiasaan internasional terbentuk dari (i) keseragaman praktek negara-negara yang berulang-ulang, dan (ii) keyakinan hukum bahwa praktek tersebut adalah berdasarkan suatu kewajiban hukum (Shaw, 2008, lihat juga Lotus Case).

Bagaimana kita ingin sungguh sungguh mendapatkan ‘praktek yang seragam’ ketika mayoritas wilayah dunia adalah jajahan dari segelintir saja negara Eropa, yang mempraktekkan standar “beradab” mereka sendiri kepada sisanya? Pada akhirnya praktek Eropa saja yang memiliki suara di sini. Itupun sebagian Eropa saja, plus Amerika Serikat dan Cina karena mereka menjadi negara yang kuat (akhirnya Amerika dan Cina pun jadi memiliki pemahaman hukum internasional yang cenderung antik sendiri dan dapat bertahan dengan itu).

Negara-negara jajahan pun, saat dekolonisasi, mengalami masalah lain lagi. PBB memiliki salah satu organ yaitu Dewan Perwalian, di mana sebagian negara jajahan “dibantu” oleh negara Eropa untuk dapat berdiri sendiri. Tidak perlu saya jelaskan lagi ya soal ini, kelihatan kira-kira apa dampaknya. Masalah mereka lebih banyak lagi, karena ternyata mereka menemukan bahwa tidak ada gunanya mereka merdeka secara politik tapi ternyata sumberdaya mereka dimiliki oleh asing. Fikirkan saja. Yang satu adalah bangsa yang besar, kuat, kaya (berkat eksploitasi jajahan), dan yang satu lagi eks jajahan yang belum pernah punya pengalaman memerintah dan mengelola sumber dayanya sendiri.

Karena hal-hal inilah Anthony Anghie terus menyoroti kuatnya hubungan antara kolonialisme, imperialism, dan hukum internasional. Dan tampaknya sejarah masa lalu tersebut masih berdampak kuat sampai dengan sekarang.

Muncullah negara-negara baru yang terkejut dengan nasib mereka. Hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum mengikat bagi mereka, tapi mereka tidak pernah merasa turut serta dalam unsur “keseragaman praktek”. Tapi apa daya mereka? Mereka adalah negara-negara yang rapuh, baru merdeka, tergantung, bisa apa mereka selain melakukan apa saja demi diterima di ‘masyarakat internasional’?

Akhirnya Eurosentrisme terus kental dalam perkembangan hukum internasional dari zaman kolonial sampai era dekolonialisasi.

Hukum Hak Asasi Manusia Internasional: Realita Menggugat Universalitas

Hukum HAM Internasional bagi saya adalah topik yang sangat menarik untuk saya diskusikan secara khusus. Selain karena ini memang salah satu bidang minat saya, tapi rasanya banyak sekali diskursus tentang masalah ini di sekitar saya yang berdampak pada serta diperbincangkan orang banyak.

Rezim hukum HAM internasional modern sebetulnya dimulai dari Piagam PBB tahun 1945 saat menyebutkan ‘human rights’ di Pasal 1 ayat 2 dan 3. Tapi substansi dari HAM itu sendiri lebih masyur dianggap bermula dari munculnya the Universal Declaration of Human Rights atau UDHR pada tahun 1948, yang memberikan sederet hak hak yang dianggap universal.

Kata “universal” memang wah sekali. Powerful. Barangkali karena ia berasal dari kata “universe” yang artinya “jagat raya”. Mwantap wis. Sebetulnya deklarasi ini cuma resolusi Majelis Umum PBB saja, bayangan saya adalah negara-negaranya (saat itu cuma 40an) melingkar bergandengan tangan lalu bersabda “kami berjanji…!!!”. Tapi, kemudian, banyak konvensi internasional tentang HAM yang lahir dengan berdasarkan UDHR ini.

Tapi apakah betul universal?

Kenyataannya, ada 8 negara yang abstain dalam UDHR. Antara lain ada Saudi Arabia, Uni Soviet, Polandia, dlsb. Dalam konvensi-konvensi HAM yang lain, ada sebagian negara yang tidak ikut ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat tidak meratifikasi Konvensi Hak Anak (UN CRC), Saudi Arabia dan Singapura tidak ratifikasi ICCPR dan ICESCR, Sudan tidak ratifikasi CEDAW, dan lain sebagainya.

Kalaupun ratifikasi, angkanya lumayan juga yang melakukan reservasi (mengecualikan sebagian pasalnya). Misalnya pada CEDAW (konvensi hak perempuan) yang spiritnya adalah kesetaraan (equal rights). Apakah setara harus berarti sama? Menurut Pasal 16 (terkait kedudukan dalam keluarga), ya. Akan tetapi ternyata lebih dari 20 negara mengecualikan pasal in sebagian atau seluruhnya, misalnya: Pakistan, Singapura, Irlandia, Thailand, Israel, Inggris, dlsb.

Mungkin sebagian dari kita akan berkata “ih, itu negara-negara apaan sih kok gamau ratifikasi? Berarti mereka mau melanggar HAM ya?”

Di sinilah seorang pelajar hukum harus mengingat posisinya sebagai pelajar hukum. Dalam ilmu hukum itu kita bukan bicara semau apa yang enak untuk kita tapi harus punya dasar hukumnya lho. Sebuah standar hukum tidak dapat diterapkan pada subjek yang mana hukum tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat. Karena, misalnya, konyol sekali kalau ada orang berciuman di tengah jalan di Inggris lalu kita marahi karena tidak sesuai budaya Indonesia. Aneh kan?

Mari kita ingat-ingat lagi, apa saja sumber hukum primer dalam hukum internasional. Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38(1) menyatakan sumber-sumber primer adalah : perjanjian internasional (bagi yang meratifikasi), hukum kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip umum hukum. Ini penting sekali.

Dari perspektif hukum perjanjian internasional, negara-negara yang tidak meratifikasi sebuah perjanjian tentu tidak akan terikat oleh perjanjian tersebut. Atau, jika ia meratifikasinya tetapi juga melakukan reservasi, maka ia terikat perjanjian tersebut secara umum kecuali pada pasal-pasal yang ia reservasi.

Dari perspektif hukum kebiasaan internasional, negara-negara yang tidak ratifikasi atau melakukan reservasi memang dari awal sudah punya praktek yang berbeda. Jika demikian, apakah mungkin dikatakan bahwa ada ‘praktek universal’ dalam perkara tersebut? Kalau jawabannya ‘tidak’, apakah terpenuhi unsur-unsur ‘hukum kebiasaan internasional’? Para ahli hukum internasional kemudian merumuskan konsep persistent objector (Shaw, 2008). Maksudnya ketika ada praktek sebagian negara yang menyimpang dari kebiasaan umum, maka hukum kebiasaan internasional tetap dianggap berlaku bagi negara-negara umumnya sedangkan para persistent objector akan dikecualikan. Ini baru diterima jika para penyimpang ini melakukan penyimpangannya sejak awal, bukannya awalnya ikut mayoritas tapi seenaknya ganti ganti posisi di tengah jalan.

Karena itu, secara hukum sebetulnya agak sulit untuk benar-benar mengklaim bahwa semua bagian dari HAM internasional adalah bersifat universal.

Hukum HAM Internasional: Universalitas Menggugat Realita

Helen Quane dalam tulisannya di Oxford Journal of Legal Studies (2013) mengenai pluralisme hukum dan kompatibilitasnya dengan hukum HAM internasional, mengatakan sesuatu yang menarik. Antara lain, katanya, ada fenomena praktek berbasis agama yang bertentangan dengan hukum HAM internasional. Kemudian, ia ber’fatwa’ bahwa hendaknya agama ditafsirkan dengan cara yang sesuai dengan hukum HAM internasional.

Dengan logika hukum sederhana, tentu mudah dipahami bahwa statement Quane tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa posisi hukum HAM internasional adalah lebih tinggi dari agama. Dengan kata lain, menurut beliau, konsensus elit elit politik dunia (kita pura pura dulu deh mereka konsenus) posisinya lebih tinggi dari pada Tuhan.

Ini kebanyakan makan sabun atau bagaimana ya?

Atau ada alternatif penjelasan lain: logika Quane hanya masuk akal bagi orang yang either tidak percaya Tuhan, atau mempercayai bahwa Tuhan itu tidak Omnipotent. Mungkin Quane orangnya begitu. La kum diinukum waliyadiin. Tapi kenapa dia menyuruh orang yang percaya pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk turut mengutamakan hukum buatan manusia? Ini sudah perdebatan dua hal yang memiliki landasan ontologis yang sangat berbeda, dan sebetulnya tentu tidak comparable.

(oke saya paham bisa ada perdebatan di sini, masalahnya tidak sesimpel itu, oke, saya layani lain waktu inshaaAllah)

Kemudian, mantan dosen saya waktu S2 yaitu Prof Alan Boyle bersama rekannya Prof Christine Chinkin (2007) menulis bahwa dokumen yang dikeluarkan oleh komite resmi konvensi internasional biasanya diikuti oleh negara-negara. Ternyata kenyataan tidak selalu demikian. Terlepas dari sekian banyak negara yang reservasi di Pasal 16 CEDAW, ternyata Komite CEDAW dalam General Recommendations No. 1 mengatakan bahwa “reservasi terhadap Pasal 16 adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan CEDAW sehingga harusnya tidak boleh” dan mereka “menyesalkan banyaknya negara yang melakukan reservasi terhadap Pasal 16”. Kenapa komisi ini memaksakan pendapatnya itu?

Komisi Konvensi Penghapusan Penyiksaan (atau Komisi KPP) pada tahun 2002 mengeluarkan laporan bahwa Saudi Arabia melanggar larangan menyiksa, antara lain dalam pelaksanaan hukuman cambuk. Saya khususkan di sini karena saya habis meneliti tentang ini. Publikasi resmi hasil penelitian dalam Bahasa Inggris dapat didownload di sini (bagi yang lebih suka membaca dalam Bahasa Indonesia, dapat didownload di sini). Lengkapnya dapat dibaca di link-link tersebut. Tapi, simpelnya, Komisi KPP telah berbuat sangat ngawur bahkan menurut standar hukum mereka sendiri!

Dalam konteks hukum kebiasaan internasional dan persistent objector tadi, ternyata Shaw mengatakan bahwa ‘pembiaran oleh negara-negara lain’ adalah syarat dari persistent objector. Hal ini didukung oleh Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case. Tapi jika demikian, bukankah berarti dari awal tidak terpenuhi syarat “keseragaman praktek”? Bukankah lebih tidak mungkin mengklaimnya sebagai jus cogens, yang mana jus cogens dibangun dari hukum kebiasaan internasional (Bassiouni, 1998)?

Kemudian, saya mendapatkan informasi yang inshaaAllah reliable dan tangan pertama dari sebuah negosiasi ruang tertutup antara delegasi pemerintah Indonesia dan sebuah negara Eropa. Delegasi Eropa tersebut meminta Indonesia menghapus hukuman mati karena melanggar HAM. Padahal hukuman mati tidak dilarang di ICCPR (yang diratifikasi Indonesia), hanya dibatasi saja. Sumber saya menambahkan bahwa aura intimidasi sangat terasa dalam pertemuan tersebut, tapi perwakilan pemerintah Indonesia tidak bergeming.

Kenapa seperti itu?

Fransisco de Vitoria Belum Mati: Perlukah Vampire Slayer?

Benoit Mayer (2014) menulis bahwa setiap masyarakat punya ‘Geng Super’ (Mayer menyebutnya Magic Circle) dengan sebuah consensus implisit –antara anggota geng tersebut saja—bahwa sebagian dari masyarakat tersebut tidak perlu dilibatkan. Meminjam istilah Eleanor Sharpston yang dikutip oleh Mayer, hanya ada “kesetaraan … (hanya) bagi anggota ‘Geng Super’”.

Ketika dari perspektif hukum perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional tidak dapat dijustifikasi pembebanan norma HAM internasional tertentu pada suatu negara, kenapa negara tersebut tetap dihakimi dan diperintahkan untuk mengikuti norma tersebut?

Dalam skripsinya yang saya bimbing dan mendapatkan nilai maknyus, Fatimathush Sholihah menunjukkan bahwa banyak kritik terhadap konsep HAM dalam Islam. Menariknya, kalau saya telusuri, banyak kritik ini dilayangkan kepada negara-negara yang tidak meratifikasi konvensi HAM yang dijadikan landasan kritik, atau melakukan reservasi pada pasal yang relevan. Apa maksudnya kelakukan ini?

Tidak lain tidak bukan, rezim HAM internasional ini merasa bahwa standar HAM yang ia miliki –terlepas dari keberlakuannya sebagai sumber hukum internasional—adalah yang paling baik. Barangkali karena itulah Komite KKP menabrak pengecualian dari konvensinya sendiri. Mungkin karena itu pula Komite CEDAW memaksakan konsep feminismenya sendiri. Mungkin pula karena ini juga, akademisi seperti Quane menerabas akal sehat dalam argumentasinya, dan tuli selektif hanya mau mendengar pendapat bahwa ‘agama bisa disesuaikan dengan standar internasional’ dan dan tidak pada yang berpandangan lain.

Bukan berarti mereka tidak mengakui adanya pluralism dalam pemahaman hukum HAM. Hanya saja, bagi mereka standar HAM yang mereka miliki adalah standar yang lebih beradab dibandingkan yang lainnya.

Ternyata Fransisco de Vitoria masih hidup, dan –to some extent—kita masih hidup pada era kolonial. Hukum internasional diarahkan sedemikian rupa oleh Geng Super yang memiliki ‘misi suci’ untuk memberadabkan semua yang (menurut standarnya sendiri) belum beradab.

Bukannya sekarang keadaannya tidak membaik. Tentu membaik. Dan, tampaknya memang Geng Super ini perlahan-lahan makin banyak anggotanya dan yang dikecualikan juga perlahan-lahan makin sedikit. Khususnya dalam HAM internasional, Deklarasi HAM ASEAN sudah ada. Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam juga ada, lalu Liga Arab dan Uni Afrika pun sudah punya instrument HAM mereka sendiri, dan perlahan-lahan mulai digodok konvensi tentang indigenous peoples (UNDRIP). Kesemuanya berusaha untuk tidak lepas dari pengakuan (terbatas) terhadap adanya universalitas pada sebagian hal, tapi dengan tegas menunjukkan bahwa ada keanekaragaman yang sangat kuat.

Akan tetapi, jelas jalannya masih sangat panjang. Perdebatan masih amat sangat kuat, dan bahkan konsep margin of appreciation (untuk mentoleransi perbedaan aplikasi dalam beberapa aspek HAM) pun banyak dihujat. Dibutuhkan gerakan politik internasional yang kuat di tengah badai neokolonialisme (baik ekonomi maupun politik) dan didukung oleh para ahli hukum dalam karya-karyanya.

Penutup: Pekerjaan Rumah bagi para Guru dan Pelajar Ilmu Hukum Internasional

Fenomena Eurosentrisme dalam HAM ini hanya salah satu dari masalah besar dalam struktur keilmuan hukum internasional, dan perspektif postcolonial hanya salah satu perspektif saja. Prabhakar Singh dan Benoit Mayer (2014) menulis bahwa ada masalah kurangnya analisis kritis terhadap struktur keilmuan hukum internasional, dan antara lain penyebabnya sosiologis saja. Menurut mereka, studi hukum internasional pasti melibatkan asumsi, values, worldviews, dan lain sebagainya, yang kebanyakan di antaranya tidak pernah dipertanyakan.

Walaupun ilmu hukum tentu sangat sarat dengan diskursus dalam berbagai aspek, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan kritis dalam hukum internasional saking asingnya sampai belum tentu kita dengar di ruang ruang kelas. Singh dan Mayer bahkan mengatakan bahwa pendekatan kritis ini bahkan sering disalahpahami (baik sengaja maupun tidak) sebagai ‘radikal’, ‘konfrontatif’, atau bahkan ‘berhaluan kiri’. Barangkali ini benar, karena bahkan ada dosen yang dicap ISIS karena pandangannya. Walaupun sebagiannya adalah bercanda, dan sebagian lain adalah karena hal-hal di luar kelas (LOL).

Tapi setidaknya, diskursus satu ini sangat penting untuk diolah lebih lanjut. Para akademisi perlu lebih banyak menginkorporasinya baik dalam penelitiannya maupun dalam pendidikan, dan para mahasiswa pun penting sekali untuk memahaminya. Karena, tanpa perspektif ini, akan sulit memandang hukum internasional dengan benar-benar holistik, apalagi memandang fenomena-fenomena ‘ajaib’ yang terjadi dalam konstelasi politik tatanan dunia.

REFERENSI

Anand, Ram Prakash Anand, 1982, Origin and Development of the Law of the Sea, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague

Anghie, Antony, “Fransisco De Vitoria and the Colonial Origins of International Law”, Social and Legal Studies, Vol 5, No. 3 (1996), pp.321-336

Anghie, Antony, 2004, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law, Cambridge University Press, New York

Austin, John, 1998, The Province of Jurisprudence Determined and The Uses of the Study of Jurisprudence, Hackett Publishing Company Inc, Indianapolis

Bassiouni, M. Cherif, “International Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes”, Law & Contemporary Problems, vol. 59, No. 4 (1996), pp.63- 74

Boyle, Alan and Christine Chinkin, 2007, The Making of International Law, Oxford University Press, New York

Istanto, Sugeng, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya, Yogyakarta

Quane, Helen, “Legal Pluralism and International Human Rights Law: Inherently Incompatible, Mutually Reinforcing or Something in Between?”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 33, No. 4 (2013), pp. 673-702

Shaw, Malcom, 2008, International Law (Sixth Edition), Cambridge University Press, New York

Singh, Prabhakar and Benoit Mayer (eds), 2014, “Critical International Law: Postrealism, Postcolonialism, and Transnationalism”, Oxford University Press, New Delhi