Demonstrasi 411 dan 212 dalam Tinjauan Maqashid Shari’ah

 

 

Pengantar

Kasus gubernur incumbent DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias BTP yang “diduga” (sesuai terminologi hukum) menista agama telah menunjukkan reaksi yang sangat besar dari beraneka pihak. Antara lain, yang sangat epic adalah demonstrasi besar besaran tanggal 411 dan 212 menuntut Polisi memproses hukum kasus BTP.

Kontroversi bertebaran dari kalangan sekuler maupun agamis yang menentang demonstrasi tersebut. Tulisan ini akan fokus kepada kontroversi dari kalangan agamis. Kontroversi pertama adalah bahwa demonstrasi, oleh sebagian kalangan, dianggap merupakan tindakan bermental khawarij. Hal ini membutuhkan analisis nash, dan tidak termasuk dalam cakupan tulisan ini. Kontroversi kedua adalah berdasarkan klaim beberapa kalangan bahwa demonstrasi akan menimbulkan kekacauan lebih besar seperti di Suriah. Seperti kata seorang Ulama besar dari Madinah, kekacauan Suriah adalah bukti nyata kebenaran ‘Manhaj Salafi’ yang ingin menghindarkan mudharat yang besar: demonstrasi adalah awal dari kekacauan. Dari kalangan yang lain, ada kekhawatiran bahwa demonstrasi akan ditunggangi pihak-pihak tertentu untuk makar antara lain PBNU –dan inipun merupakan analisis berdasarkan maslahat.

Yang kedua inilah yang akan dianalisis dalam tulisan ini, apakah betul memang demonstrasi tersebut bertentangan dengan maslahat dan membawa mudharat. Yang akan dilakukan adalah analisis berdasarkan Maqashid Shari’ah. Utamanya sebagai latihan dari kelas Ushul Fiqih yang sedang saya ikuti.

 

Tentang Maqashid Shari’ah

Singkatnya, Maqasid Shari’ah adalah tujuan-tujuan Shari’ah Islam. Jika sesuatu memenuhinya, maka ia merupakan maslahat. Jika tidak memenuhinya, maka ia adalah mudharat. Imran Ahsan Nyazee Khan menyebutkan bahwa para ulama mengklasifikasikan adanya lima tujuan Shari’ah Islam, yaitu:

  • Menjaga Agama,
  • Menjaga Nyawa,
  • Menjaga Keturunan,
  • Menjaga Akal,
  • Menjaga Harta,

Dan demikian pula urutan prioritasnya, walaupun Imam Al Ghazali mengatakan bahwa bisa saja ada pendapat bahwa Menjaga Nyawa adalah lebih utama dari Agama karena tanpa Nyawa tidak ada Agama. Akan tetapi beliau juga mengakui bahwa banyak sekali hukum yang menunjukkan lebih utamanya menjaga Agama daripada menjaga Nyawa. Beliau menyatakan bahwa empat Maqashid Shari’ah yang No. 2-5 itu bertujuan untuk mendukung Menjaga Agama sebagai tujuan utama.

Ada perdebatan mengenai apakah ada lebih dari lima Maqashid Shari’ah, tapi kalau dalam diskusi kelas Ushul Fiqih minggu lalu, tampaknya lebih kuat yang mengatakan bahwa bisa ada lebih.

 

Tentang Demonstrasi 411 dan 212: Menjaga Agama

Satu hal yang sangat jelas adalah bahwa aksi demonstrasi tersebut adalah dalam rangka Menjaga Agama (Maqashid Shari’ah No.1). Bukannya agama ini akan rusak kalau tidak dibela, tapi ketersinggungan akibat dihinanya agama adalah ghiroh sedangkan ghiroh adalah tidak bisa lepas dari cinta, dan cinta adalah tanda Iman. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. pun, yang paling paham soal agama Islam karena belajar dari Sang Nabi sendiri, pun siap cabut pedang ketika ada yang menghina agama –bukan karena takut agamanya lemah (lengkapnya lihat tulisan Kang Abu Aishah ). Islam akan bertahan, dan ia akan bertahan antara lain melalui wasilah para pemeluknya yang berjuang dan berdakwah: pertanyaannya tinggal apakah kita termasuk yang diam atau ikut bergerak. Setahu saya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa penista Nabi Muhammad s.a.w. dihukum mati, dan jika Muslim maka dihukumi murtad. Bukannya sedikit orang yang menghina Islam. Tapi jika seorang Public Figure melakukannya, lalu lolos tanpa tindakan, tentunya dampaknya besar.

Sebetulnya koridor pertama yang ada dalam sistem hukum Indonesia adalah memproses melalui hukum pidana sebab ada pasal 156a KUHP terkait penistaan agama. Para ulama dan ormas Islam pun menyampaikan laporan sesuai prosedur. Hanya saja tampak sekali prosesnya akan mandeg, mengingat kepolisian terlihat sangat membela BTP. Akhirnya para ulama dan ormas Islam melakukan aksi unjuk rasa yang merupakan cara sah juga untuk melaksanakan kebebasan berekspresi. Yang dituntutkan tidak neko neko, bukan sesuatu yang di luar kebiasaan. Yang diminta hanya supaya kepolisian menjalankan tugasnya saja. Ini adalah tahap yang diperlukan ketika cara pertama (pelaporan) sudah gagal atau tampak gagal.

Belum lagi, ternyata 411 dan 212 dapat menjadi momentum besar untuk menyatukan umat dari berbagai firqoh (kecuali sebagian kecil saja), serta secara umum meningkatkan ghiroh keislaman bagi mereka yang ikut demonstrasi maupun yang mendukung secara moril. Karena itu, sulit dibantah bahwa demonstrasi ini adalah memenuhi Maqashid Shari’ah pertama yaitu menjaga Agama.

Menjaga Nyawa

Yang menjadi kekhawatiran adalah terpenuhinya Maqashid Shari’ah kedua ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa demonstrasi memang dapat menjadi sangat sangat alot. Ribuan terbunuh dan lebih banyak lagi yang terluka pada revousi di Mesir tahun 2011 dan 2013. Apalagi Suriah, berawal dari demonstrasi kini menjadi luar biasa parah. Korban tewas hampir 500.000 dan puluhan juta menjadi pengungsi atau internally displaced persons. Tidak jarang pula terjadi bentrok di berbagai demonstrasi, apapun motivasinya (demo soal kenaikan harga bahan pokok kah, atau yang lainnya). Belum lagi ada dugaan bahwa akan terjadi makar untuk menggulingkan pemerintahan.

Jika urusan nyawa ini dipandang remeh, apalagi jika terjadi betul makar besar-besaran, revolusi yang terjadi bisa meluas seperti di Mesir atau bahkan Suriah. Dan jika itu memang betul terjadi, luar biasa berabe sekali. Konon di Suriah, ada laporan menyatakan bahwa Masjid-pun dibom oleh pasukan Amerika Serikat, yang terjadi baru baru ini (sebelumnya banyak laporan serupa akibat bombardir Pemerintah Suriah). Akhirnya Maqashid Shari’ah yang utama, Menjaga Agama, pun jadi terkompromikan.

Memilih Prioritas: Sulit Mencari Alat?

Ketika tampaknya dua Maqashid Shari’ah bertemu seperti ini, ada beberapa cara memilih yang dapat dilakukan.

Pertama, adalah Maslahah yang diterima vs ditolak, antara lain bisa ditolak karena bertentangan dengan nash. Ini perdebatan lain yang tidak saya bahas, sebagaimana dijelaskan di awal.

Kedua, Maslahat Daruriyah vs Hajiyah vs Tahsiniyah, dan semakin ke kiri akan semakin utama. Daruriyah adalah ketika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas sosial sedemikian rupa sehingga akan kacau luar biasa. Sudah dijelaskan tadi, dampak kedua poin di atas sama-sama seperti itu: direndahkannya agama dalam skala lebih luas atau makar yang bisa memakan korban lebih. Jelas bukan Hajiyah (penting tapi tidak urgent) atau Tahsiniyah (pelengkap saja).

Ketiga, Maslahat Umum vs Maslahat Pribadi. Sekali lagi keduanya pun sama saja di Maslahat Umum, sehingga situasi kita tidak terbantu di sini.

Keempat, prioritas urutan antara jenis Maqashid Shari’ah. Di satu sisi, mungkin sekilas akan tampak bahwa mendukung demonstrasi 411 dan 212 akan menang karena dia tergolong pada Menjaga Agama yang tingkatnya lebih tinggi daripada Menjaga Nyawa. Hanya saja, di sisi lain, argument bahwa tidak terpenuhinya tujuan Menjaga Nyawa dapat berimbas pada tujuan Menjaga Agama. Jika revolusi terjadi maka ada kemungkinan tidak terpenuhinya tujuan Menjaga Nyawa juga, sehingga langsung kena dua maqashid sekaligus? Akhirnya poinnya jadi seri pula di sini.

Solusi Dalam Memilih: Perbandingan Hujjah

Akhirnya saya pribadi menyelesaikan pertentangan ini dengan membandingkan hujjah dari masing-masing pihaknya. Sejauh apa kuatnya para pihak memiliki argument untuk mendukung klaim Maqashid Shari’ah-nya?

Bagi yang mengatakan bahwa demonstrasi itu penting untuk Menjaga Agama, secara kasat mata akan tampak bahwa tidak ada kelemahannya. Sudah mafhum bahwa kelakuan seorang public figure, yang didukung banyak sekali orang, akan berdampak sangat luas. Inilah sebabnya banyak ulama mensyaratkan akhlaq pada seorang pemimpin, dan saya yakin ‘bermulut comberan’ jelas akhlaq yang buruk. Maka sangat logis jika perilaku buruk seorang public figure –apalagi terhadap Agama Islam—lolos saja, dampaknya pun akan luas.

Dugaan tersebut pun terbukti benar. Jelas sebelum demonstrasi, tidak diprosesnya kasus BTP ini adalah pengelakan tanpa dasar. Tidak butuh bukti konkrit untuk penetapan tersangka, melainkan bukti permulaan saja. Yang dituntut oleh demonstran hanya proses hukum sebagaimana mestinya kok, dan akhirnya tercapai setelah adanya demonstrasi. Baru penetapan tersangka dan sekarang sidang, perjuangan belum selesai, akan kita kawal prosesnya.

Kita bandingkan dengan hujjah pihak yang mengkhawatirkan terjadinya makar dan kekacauan yang dapat menghambat terpenuhinya tujuan Menjaga Nyawa.

Pertama, sekuat apakah bukti pendukung dugaan akan adanya makar? Dan, ketika ada bukti kuat, sedasyat apakah kemungkinan makar tersebut? Sejauh yang saya telusuri, informasi yang ada hanyalah bahwa ada dugaan pihak-pihak yang akan melakukan makar. Saya tidak menemukan adanya informasi atau spekulasi mengenai kemungkinan kedasyatan apapun. Misalnya, aliran senjata? Atau, ormas-ormas besar tertentu?

Kedua, seberapa besarkah kemungkinan rusuh yang mengeskalasi menjadi runyam seperti di Suriah atau Mesir? Penting dilakukan perbandingan situasi politik. Di satu sisi, ada gelombang Arab Spring yang sedang menghantam negara-negara Timur Tengah sehingga memang secara umum keadaan sedang panas luar biasa dengan semangat revolusi. Di sisi lain, terutama sekali soal Suriah, mereka adalah sebuah tipikal rezim militer diktator yang sudah punya track record pembantaian masal . Di Mesir pun, tahun 2011 pemerintahnya terkenal diktator (tapi tidak terkenal pembatasan beragama, hanya politik saja). Apakah pemerintah Indonesia terkenal dengan diktatorismenya? Mungkin dulu. Okelah, sedikit. Tapi apakah bisa dibandingkan? Memang betul gara-gara kasus BTP ini jadi ada pergolakan di Indonesia apalagi di tengah aura pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tapi apakah bisa dibandingkan? Apalagi tidak ada kompleksitas pemerintah yang berbeda agama dengan mayoritas rakyat, sebagaimana di Suriah, yang dapat menggelinding menjadi konflik Agama.

Ketiga, seberapa besarkah biasanya demonstrasi menghasilkan korban? Oke memang Mesir dan Suriah adalah contoh yang sangat ekstrim. Tapi dibandingkan seluruh trend demonstrasi lain yang terjadi di dunia atau malah di Indonesia? Tidak ada satupun statistic penyebab kematian di seluruh dunia yang menyebut demonstrasi sebagai salah satu penyebab kematian. Justru yang ada adalah kematian sebagai akibat kecelakaan. Padahal, biasanya orang berkendara untuk mencari nafkah (Menjaga Harta) atau Sekolah (Menjaga Akal), keduanya lebih rendah daripada  tujuan Menjaga Nyawa, atau bahkan untuk hiburan saja (Maslahat Tahsiniyah). Tidak ada fatwa ulama yang melarangnya atau bahkan menghimbau untuk tidak melakukan perjalanan. Yang ada hanya menghimbau untuk berhati-hati saja selama berkendara, karena jika berhati-hati akan mengurangi (tidak mengeliminasi 100%) angka kecelakaan.

Maka keempat pun, dapat dilihat bahwa kemungkinan adanya makar yang akan meluas dengan jalan provokasi pun dapat dikurangi sedapat mungkin dengan persiapan dan disiplin yang tinggi. Dan hal ini pun dilakukan dengan koordinasi yang sangat baik dari berbagai elemen yang terlibat demonstrasi. Akhirnya semuanya sangat tertib sekali. Kerusuhan sempat terjadi di demonstrasi 411 tapi itu sebentar saja dan terlokalisir dan itupun jauh setelah mayoritas peserta demonstrasi telah pulang. Pada demonstrasi 212 pun juga berjalan dengan luar biasa damai sekali, beda dengan aksi tandingannya.

Kelima, ketika dikhawatirkan ada pihak yang menunggangi aksi demonstrasi (yang mana dampaknya pun tidak jelas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya). Apakah tidak dikhawatirkan adanya pihak pihak lain yang akan menunggangi tidak ditindaknya BTP atas penistaan agama yang dilakukannya, yang kemudian dikhawatirkan akan meluas jika lolos tanpa hukuman?

Kesimpulan

Dengan demikian, tampak jelas bahwa menjalankan aksi demonstrasi 411 dan 212 adalah pemenuhan Maqashid Shari’ah yang utama yaitu Menjaga Agama. Ia bersifat Maslahat Umum, Daruriyat, dan berada pada tingkat tertinggi di antara kelima maqashid lainnya. Sulit ditemukan kelemahan pada hujjahnya sebagai pemenuh tujuan Menjaga Agama tersebut.

Bandingkanlah dengan tidak dianjurkannya demonstrasi tersebut karena alasan Menjaga Nyawa (dan bisa jadi meningkat jadi Menjaga Agama). Belum konkrit bahwa makar tersebut akan terjadi, terlebih lagi tidak ditemukan bukti penyokong kekhawatiran berskala besar sehingga dapat menimbulkan kekacauan dan pembunuhan besar-besaran. Kaidah fiqih “ragu tidak bisa mengalahkan yakin” pun berlaku di sini. Terlebih lagi, kemungkinan mudharat demonstrasi pun sangat bisa diminimalisir (walaupun tidak bisa 100%) dengan disiplin dan perencanaan dan koordinasi yang baik. Dan hal tersebut pun terwujud.

Dengan demikian, tampak bahwa argument para pendukung demonstrasi 411 dan 212 adalah lebih kuat daripada yang tidak mendukung demonstrasi tersebut, jika ditinjau dari Maqashid Shari’ah. Walaupun demikian, sekali lagi ini bergantung pada kuatnya bukti-bukti yang dimiliki oleh kalangan yang tidak mendukung demonstrasi. Jika ternyata ada bukti-bukti yang menunjukkan indikasi kuat akan terjadinya makar besar-besaran dan revolusi, kesimpulan ini dapat berubah.

Wallaahu’alam

Rujukan utama:

Imran Ahsan Nyazee Khan, 2000, Islamic Jurisprudence, The International Institute of Islamic Thought, Islamabad