Fajri vs Jurnal X: Self-Plagiarism?

 

Belum lama ini ada kejadian menarik yang terjadi kepada saya, kaitannya dengan submisi tulisan saya kepada sebuah jurnal ilmiyah yang akan saya sebut dengan Jurnal X. Barangkali ini bisa menjadi diskursus menarik terkait jurnal ilmiah dan self-plagiarisme. Agak panjang sedikit so please bear with me ya hehehe

Cerita bermula ketika saya mensubmit tulisan saya kepada Jurnal X sebagai pertimbangan untuk publikasi. Perlu dicatat tulisan ini berasal dari essay yang pernah saya submit untuk tugas kuliah semasa menjalani studi S2 di University of Edinburgh. Tulisan saya ini adalah seputar teori hukum internasional, dan tidak banyak yang berubah dalam diskursus teori ini maka saya pede saja melakukan submisi dengan sedikit revisi. Pun kalau ternyata kurang mutakhir, itu nanti reviewer yang akan berbicara.

Untuk transparansi, pada saat submit saya memasukkan disclaimer sebagai berikut:

Sehingga, harapannya adalah pihak pengelola tidak akan terkejut dan dapat memaklumi. Maaf gambarnya kecil, harus diklik dulu baru keliatan. Intinya saya memberitahu pihak jurnal bahwa tulisan saya adalah berdasakan sebuah tugas yang tersimpan di repository University of Edinburgh sehingga  pasti terdeteksi di software Turnitin (anti-plagiarisme). Tapi, karena ini cuma tugas kuliah dan bukan ‘prior publication’ harusnya tidak masalah. Jadi dari awal sudah saya warning.

Waktu terus berlalu, alhamdulillah menurut para reviewer jurnal tersebut, tulisan saya layak publish dengan revisi. Saya pun melakukan revisi yang diminta dan mensubmit kembali. Sempat sekali lagi harus balik ke saya karena kekurangan jumlah kata, dan setelah saya tambahkan akhirnya saya submit kembali.

 

Nah, beberapa waktu kemudian barulah negara api menyerang.

 

Tiba-tiba saya dihubungi oleh redaksi jurnal tersebut, katanya tulisan saya terdeteksi sebagai self-plagiarisme melalui software. Saya terkejut karena saya fikir ini harusnya tidak masalah karena sudah dari awal saya disclaimer, dan ternyata oke saja waktu itu. Lalu redaksi menyampaikan bahwa screening software baru mereka lakukan di akhir proses, bukan di awal. Bagi saya ini praktek yang agak berbeda (biasanya di awal), tapi tetap tidak menjawab kenapa dari awal sudah diloloskan padahal sudah saya disclaimer.

Sepenangkapan saya, jurnal ini sedang dalam SCOPUS assessment, dan khawatir jika tulisan saya mengganjal assessment tersebut akibat mempublikasikan tulisan saya yang ‘self-plagiarism’.

Tapi ya sudahlah, saya diberi dua alternatif:

  1. Memparafrase ulang seluruh papernya, atau
  2. Menghubungi universitas saya dulu dan meminta essay saya dikeluarkan dari repository.

Pilihan pertama terlalu berat untuk saya, maka saya mencoba melakukan pilihan kedua. Sampai saat saya menulis ini saya masih memprosesnya, agak makan waktu karena awalnya saya dilempar lempar, cuma belakangan nampaknya agak positif. Saya masih sedang menunggu jawaban.

Tapi, saya masih penasaran dengan semua ini. Saya merasa ini tidak termasuk self plagiarism. Sudah merupakan praktek yang sangat biasa untuk seseorang mempublikasikan thesis atau disertasinya, baik seluruh maupun sebagian, dalam media lain. Padahal thesis dan disertasi pasti masuk dalam repository universitas masing-masing. Apalagi cuma sekedar tugas kuliah saja?

Sambil menunggu proses pencabutan essay dari repository, saya mencoba “appeal” kepada Jurnal X. Pada intinya argumen saya adalah:

A. Sekedar essay tugas kuliah saja, walaupun tersimpan di repository, tidaklah termasuk ‘prior publication’. Maka dari itu, tidak mungkin tergolong plagiarism (atau self plagiarism).

B. Tujuan disimpannya tugas kuliah dalam repository adalah mencegah mahasiswa untuk mencontek tugas mahasiswa lain.

Untuk mendukung argumen ini, saya mencantumkan bukti-bukti dari Committee on Publication Ethics (COPE) yang dirujuk oleh SCOPUS untuk anti-plagiarism serta beberapa editorial board member dari jurnal-jurnal terindeks SCOPUS. Bukti-bukti tersebut adalah di bawah ini:

===================================== (untuk skip bukti-bukti, silahkan langsung ke pembatas ==== berikutnya)

BUKTI PERTAMA: COMMITTEE ON PUBLICATION ETHICS (COPE)

Poin 1: Thesis dan Disertasi sebagai analogi lebih tinggi (qiyas awla)

COPE merilis dokumen tentang self-plagiarism dalam kasus Thesis atau Disertasi yang tersimpan dalam repositori universitas dan dapat diakses umum.

Dalam dokumen tersebut mengutip diskusi oleh pakar-pakar dan editorial board. Kesemuanya mendukung bahwa thesis atau disertasi yang tersimpan dalam repositori universitas dan dapat diakses umum adalah tidak termasuk ‘prior publication’. Bahkan sebagian mengatakan bahwa justru penting sekali jika karya-karya bagus seorang mahasiswa untuk dapat lebih dipublikasikan demi diseminasi ilmu.

Sebagian menyebutkan pentingnya si penulis melakukan disclaimer di awal kepada pengelola jurnal bahwa karya tersebut adalah bagian dari disertasi.

Dokumen dapat diakses di link berikut:

https://publicationethics.org/files/u7141/Summary%20of%20the%20discussion%20at%20the%20COPE%20Forum%20and%20of%20the%20comments%20on%20the%20COPE%20blog%20%281%29.pdf

Walaupun ini bukan kasus yang sama persis dengan saya, tapi tentu ini analogi yang sangat relevan berdasarkan qiyas awla. Selevel thesis atau disertasi, apalagi dapat diakses umum, itu saja tidak termasuk dalam ‘prior publication’. Apalagi kalau thesis atau disertasi yang tidak dapat diakses umum. Terlebih apalagi sekedar tugas kuliah saja, dan tidak dapat diakses umum pula. Tentu lebih tidak termasuk dalam ‘prior publication’.

Catatan: Scopus merujuk pada COPE untuk masalah publication ethics, sebagaimana dapat terlihat di laman Elsavier tentang Plagiarisme di bagian agak bawah pada “Further Publishing Ethics Resources”. Dapat dilihat di tautan berikut:

https://www.elsevier.com/editors/perk/plagiarism-complaints/plagiarism-detection

Poin 2: “Redundant Publication” dan “Text-Recycling”

Self-plagiarism dapat termasuk “redundant publication” karena intinya seseorang mempublikasikan dua karya yang kontennya sama. Sebagaimana dijelaskan dalam Guidelines on Good Publication Practice, Pasal 6, intinya adalah bahwa yang dapat dihitung adalah dua (atau lebih) publikasi yang kontennya sama. Sulit untuk menyebut sebagai publik-asi bila ia tidak dapat diakses publik.

link: https://publicationethics.org/files/u7141/1999pdf13.pdf

Self-plagiarism juga dapat dikatakan ‘Text-Recycling’. Sekali lagi, menurut COPE ini adalah hanya berlaku pad dua (atau lebih) publikasi. 

link: https://publicationethics.org/text-recycling-guidelines

BUKTI KEDUA: PENDAPAT BEBERAPA EDITOR JURNAL SCOPUS

Ada beberapa pengelola jurnal terindeks Scopus yang saya ambil keterangannya, kesemuanya pada pokoknya mengatakan bahwa tugas kuliah yang tersimpan dalam repositori universitas.

Pendapat 1: Dr Barbara Robson (Australia). Editor di dua jurnal internasional: “Limnology and Oceanography Letters” dan “Environmental Modelling & Software”(SCOPUS)

No, as long as the assignment was not published. It will be a good idea to mention the history of the paper in your cover letter

Pendapat 2: Editorial Board dari International Review of the Red Cross (SCOPUS)

 

Dear Mr. Muhammadin and Ms. Wahab,

Thank you for your interest in the International Review of the Red Cross. We will give due consideration to your article and get back to you as soon as possible with an answer on the opportunity for publication. However, given the exceptional amount of spontaneous submissions we are receiving, we may not be able to provide you with an answer before the next 8 to10 weeks. We also would like to bring to your attention the fact that we will proceed to review this article on the basis that it cannot be simultaneously submitted to any other journal pending the decision of the Review.

Thank you for your remarks about the footnote style and the fact that the article was presented as a conference paper before. This is well-noted.

We would like to thank you for your patience in the meantime.

Best regards,

The editorial team of the Review 

Catatan: Ada perbedaan praktek soal conference proceeding. Sebagian jurnal tidak menghitung conference proceeding sebagai ‘prior publication’ dan dapat menerimanya (misalnya IRRC ini), sebagian lainnya menghitung sebagai ‘prior publication’ dan menolaknya (misalnya jurnal Intellectual Discourse, Scopus Indexed).

Poinnya adalah jika sebuah paper yang sudah pernah dipresentasikan di conference adalah berarti sudah merupakan semacam publikasi, dan tersedia untuk umum, ini saja oleh sebagian jurnal terindex Scopus bisa diterima (maka ini bukan berbahaya bagi indexing di SCOPUS, hanya komitmen pribadi saja). Apalagi sekedar tugas kuliah yang, walau tersedia di repository universitas, tidak dapat diakses oleh umum. Ini juga qiyas awla.

BUKTI KETIGA: PENDAPAT BEBERAPA PROFESSOR

Berikut adalah pendapat beberapa professor yang telah banyak publikasi dan pengalaman, untuk menunjukkan pemahaman terkait self-plagiarisme.

Pendapat 1: Prof Emiritus Alan E. Boyle (University of Edinburgh)

Dear Mr Muhammadin,

Good to hear from you. The solution to this problem is most probably to explain to the journal that your work started life as an LLM dissertation. All our LLM dissertations go on this platform, in order to detect plagiarism and to prevent others from using your work. You simply need to convince the publishers that you are the author, in which case there should be no problem. The university would not withdraw the text from the system – indeed it may not be possible. In any event I retired from the university last June so there is nothing I can do officially to help, except that you could forward this e-mail to the publishers as proof that you are indeed not a plagiarist. 

I hope you secure a successful outcome

Best regards

 

Alan Boyle

Catatan: Beliau nampaknya salah paham mengira bahwa tulisan yang mau saya masukkan ke PJIH adalah dari disertasi saya. Walaupun demikian, substansi poinnya sama dan dapat berlaku secara analogi pada kasus saya.

Selain itu, the University of Edinburgh jelas mengatakan bahwa tujuan anti plagiarism software adalah hanya supaya karya seorang mahasiswa tidak dicontek mahasiswa lain.  Bukan karena submisi tugas kuliah tergolong “publikasi”. Tautan:

https://www.ed.ac.uk/information-services/learning-technology/assessment/plagiarism/turnitin

Catatan 2: mungkin akan terdengar seperti pendekatan yang agak konyol, tapi saya belum menemukan satupun pakar atau akademisi yang menyebutkan tugas kuliahnya (yang hanya bersemayam di repositori) dalam daftar publikasinya. Ini salah satu bukti berdasarkan academic practice global bahwa tugas kuliah tidak digolongkan sebagai publikasi, padahal semua konsep plagiarisme hanya berbicara tentang publikasi mencontek publikasi saja.

Pendapat 2: Prof Jeffery Hoffstein (Brown University)

Good lord, no. You have written a term paper, thesis, or other research document that contains original results which you believe warrant publication? By all means write them up in a suitable format and submit them to a journal or conference if you want to. The fact that your original document is stored in a university repository is more-or-less irrelevant.

 

This notion of “self plagiarism” grew up in the face of flagrantly inappropriate practices by people wishing to maximize the lengths of their publication lists. In some cases, two or three papers with different titles would be submitted for publication in different vehicles when the papers were virtually identical. In recent years, backlash against such practices may have gone overboard to the point of restricting, or at least threatening to restrict, perfectly reasonable and ethical practices in dissemination of research results in some cases.

Pendapat 3: Prof Aj. Raymond James Ritchie (Prince of Songkla University)

As long as you say that in the acknowledgements I do not think there would be trouble. Is the authorship different. I assume the essay just has one name on it. The paper might have more than one name on it. The trouble comes where you do not mention a conference proceedings or a poster at a conference.

Catatan: dapat tersirat dari pendapat beliau adalah bahwa bahkan tidak perlu menyebutkan bila artikel tersebut berasal dari tugas kuliah. Menurut beliau, baru mulai masalah bila tidak disebutkan bahwa tugas tersebut adalah dari conference paper (karena tidak semua jurnal mau menerima).

===========================================================

 

beberapa bukti tambahan yang belum saya sampaikan:

Praktek universitas di Indonesia pun bukan hanya mendorong tapi bahkan mendanai mahasiswa untuk mempublikasikan thesisnya (yang tentu ada dalam repository universitas) di jurnal internasional. Ini adalah praktek oleh antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Universitas Padjadjaran. Artinya, praktek universitas di Indonesia pun tidak melihat ‘tersimpan di repository universitas’ sebagai ‘prior publication’, bahkan didorong untuk dipublikasikan.

 

Setelah saya mengajukan bukti-bukti di atas, ternyata saya mendapatkan jawaban sebagai berikut (dengan saya rubah nama Jurnal X untuk menyamarkan identitas):

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih atas atensi Bapak dalam memilih Jurnal X untuk mempublikasikan tulisan ilmiah Bapak. Kami juga mengucapkan terima kasih atas penjelasan dan klarifikasi Bapak dan kami sangat memahami isu utama yang dipermasalahkan adalah terkait self/auto plagiarism. Perlu kami informasikan sesuai dengan kebijakan Jurnal X kami tidak dapat menerima artikel yang memuat self plagiarism. Ekspektasi kami adalah apabila penulis menggunakan kembali karya atau tulisannya maka hasil tulisannya yang baru harus mempunyai perubahan yang berarti. Dapat diartikan bahwa karya lama ini merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan. Sehingga pembaca akan memperoleh hal baru, yang penulis tuangkan pada karya tulis yang menggunakan karya lama. Hal ini terlepas dalam media mana tulisan sebelumnya tersebut dimuat sepanjang dapat diakses secara online. 
Sebetulnya jawaban ini bagi saya tidak menjawab masalah.
Alasan pertama: selama tidak dapat dibuktikan bahwa tugas saya saat S2 tersebut adalah “prior publication”, maka sebetulnya tidak ada bedanya tulisan saya yang tersimpan di repository universitas tersebut dengan sebuah tulisan lain yang tersimpan di hard disk saya. Sama-sama bukan “prior publication”.
Concern bahwa “supaya pembaca akan memperoleh hal baru” akan tetap berhasil didapatkan, mengingat pembaca tidak memiliki akses terhadap “karya lama” saya. Ini adalah poin utama, yang -sebagaimana saya cantumkan dalam bukti-bukti di atas- merupakan academic practice jurnal-jurnal ilmiah internasional.
Alasan kedua: email ini diakhiri dengan “…terlepas dalam media mana tulisan sebelumnya tersebut dimuat sepanjang dapat diakses secara online.” Masalahnya, essay tugas saya kuliah tersebut tidak dapat diakses secara online. Dia hanya tersimpan dalam repository saja, dan perlu izin khusus untuk mengaksesnya. Saya sudah mencoba dengan Turnitin sendiri, dan ini benar adanya. Bahkan, ketika saya iseng mencoba mengklik “minta izin khusus”, itu tidak diperkenankan oleh sistem.
Alasan ketiga: pun memang dapat diakses online, ternyata -sebagaimana saya cantumkan dalam bukti-bukti di atas- praktek yang ada menunjukkan bahwa itu pun tetap tidak termasuk dalam prior publication. Walaupun kenyataannya tugas saya itu tidak dapat diakses online.
Alasan keempat: sebagai konsekuensi alasan pertama, solusi parafrase atau penghapusan dari repository (yang ditawarkan oleh Jurnal X sendiri lho) akan bertentangan dengan tujuannya sendiri bukan? Karena parafrase dan ‘mencopot dari repository’ tidak akan ‘membawa hal baru’ sebagaimana yang dimaksud oleh redaksi Jurnal X.
Akhirnya
Pada akhirnya saya memutuskan untuk legowo saja. Pada akhirnya memang sebuah jurnal ilmiah punya prerogatif dalam menentukan standarnya sendiri. Kalau Jurnal X mau menetapkan standar anti-plagiarisme sendiri (walaupun itu berbeda dengan praktek yang ada di jurnal-jurnal internasional), itu kewenangan mereka. Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap standar mereka, itu monggo saja. Kalau dalam ilmu fiqih dan ushul al-fiqh, ada mazhab yang cenderung lebih berhati-hati dan ada yang longgar. Kita bisa berbeda pendapat tentang kapan kelonggaran adalah terlalu longgar dan kapan kehati-hatian adalah terlalu hati-hati. Barangkali inilah kasusnya.
Hanya saja saya berharap bahwa ketika hal ini sudah saya beri disclaimer sejak awal, kalau memang ini masalah ya mbok disebut dari awal. Bagi saya, ‘memakai Turnitin di akhir proses’ mungkin memang praktek yang tidak wajar, tapi ya terserah itu prerogatif. Hanya saja, tidak perlu memakai turnitin di awal untuk mengetahui bahwa tulisan saya akan terdeteksi ‘self-plagiarisme’: karena saya sudah bilang dari awal tanpa ambigu. Tapi kenapa kemudian di akhir baru kena masalah? Tidak saya bayangkan bahwa ini terjadi pada jurnal hukum, padahal justru ilmu hukumlah yang akan mengajarkan sejak semester satu tentang kepastian hukum.
Yah, ini jadi pelajaran. Saya tidak tahu sebagai penulis saya mau belajar apa dari sini, selain bahwa saya harus sabar saja. Saya belum menemukan apa kesalahan saya, jika ada yang tahu saya mohon pencerahannya. Tapi kalau saya kelak menjadi pengelola jurnal lagi seperti dulu, mungkin saya akan berusaha lebih adil dan bijaksana dalam menghadapi kasus kasus seperti ini.