Pengalaman Ujian Tulis UGM 2007: Kisah Si Mufti

Tadi ada salah satu eks mahasiswa saya yang bercerita tentang pengalamannya masuk ke UGM. Saya pun jadi teringat proses saya masuk ke Fakultas Hukum UGM, dan ada sebuah kejadian luar biasa yang terjadi saat itu dan rasanya saya tidak akan bisa melupakannya.

Saat itu saya sudah hampir dua tahun berkuliah di Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, dan sudah memantapkan niat mau pindah jurusan. Semua pendaftaran sudah saya lakukan, sekarang tinggal ikut test. Dulu saat tes tahun 2005 kesalahan saya adalah mengira bahwa kalau SMA saya jurusan IPA maka saya tidak bisa ambil ujian IPS saja, bolehnya hanya IPA atau IPC. Maka saat itu saya mengambil IPC, pilihan pertama Ilmu Hukum dan pilihan kedua adalah Fisika. Kesalahan saya yang lebih besar adalah karena tidak belajar IPS sama sekali, sehingga wajar saja saya hanya dapat pilihan kedua (yang bagian IPA-nya saya jago mengerjakannya kecuali biologi).

Akan tetapi saya datang tahun 2007 itu dengan mantap, karena kali ini sudah persiapan belajar IPS. Menarik sekali, Allah menakdirkan ruang ujian saya ada di gedung kuliah Fakultas MIPA UGM dan tepat di ruang kelas saya ketika pertama kali masuk kuliah di FMIPA UGM (ktsi namanya Ruang M2-09). Di situlah saya pertama masuk, dan di situ pula saya berjuang untuk keluar.

Saya datang ke lokasi sekitar 2 jam sebelum jadwal, dan menemukan ribuan peserta lain sudah ada di sana. Semua sedang buka bahan sambil ‘murojaah’ materi ujian. Saya pun duduk di pinggir pinggir, di sela-sela ratusan orang lain yang melakukan hal yang sama.

Dari sudut mata saya melihat ada seorang laki-laki nampaknya sepantaran dengan mayoritas orang yang ada di sana, dan pakai kemeja rapi juga. Satu persatu ia mengajak bicara para calon peserta ujian itu, nampaknya menawarkan dagangan atau minta sumbangan? Entah, tapi kelihatan tiap orang yang diajak bicara menjawabnya dengan ekspresi dan gesture tubuh menolak, dan ia pun beralih ke orang di sampingnya, terus menerus. Saya fikir, mungkin saya tidak akan tahu apa masalahnya, karena ia bergerak menjauh dari saya, dan menanyai orang-orang yang di samping-sampingnya lagi dan terus menjauh.

Saya hanya melihat itu sebentar saja, dan kembali baca-baca bahan.

“Permisi mas, maaf mengganggu.”

Mungkin lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba laki-laki tersebut sudah di depan saya. Ya Allah rupanya dia sudah berkeliling dan balik lagi ke titik ini. “Ya, ada yang bisa saya bantu?” saya tanya. Dan, ternyata apa masalahnya?

“Mas, boleh saya minta tolong ngajari saya matematika nggak mas?” begitu katanya. Spontan saya terkejut, “ha? maksudnya gimana mas?” Lalu katanya “Saya mata pelajaran lain sudah lumayan paham mas, tapi sekian bulan saya belajar matematika nggak ada yang bisa nyangkut mas.. Boleh saya minta tolong diajarin?”

Betapa desperate atau gilanya orang ini? Sampai dia minta tolong pada peserta lain. Tapi dia sampai sudah bertanya pada entah berapa ratus orang. Apakah saya tega menolaknya? Saya pun setuju, dan mencoba mengajarinya. Saya ngikut saja apa yang dia mau tanya, itu yang saya jelaskan.

Mufti namanya, menurut pengakuannya dia adalah putera seorang anggota pemerintah daerah di wilayah Jawa Timur. Ternyata kami adalah saingan, karena pilihan satunya adalah sama dengan pilihan dua saya (Ilmu Pemerintahan). Dan, ternyata untuk urusan matematika, nampaknya memang anak ini ‘bukan bakatnya’. Jadi teringat teman saya yang lain bernama Qisthi yang saat itu juga akan ujian, dan kemudian kami sama-sama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM (saya pernah mengajari Qisthi matematika, dan hopeless, dan berujung pada Qisthi minta maaf ke Pak Parjo hahaha inside joke sorry selain Qisthi nggak akan paham hehe).

Yah, tapi saya berusaha mengajarkan apa yang saya bisa. Kebetulan matematika memang forte saya. Kami terus belajar sampai kemudian para peserta sudah dipanggil masuk ke ruangan masing-masing. Ternyata kami satu ruangan, walaupun kursinya berjauhan.

Alhamdulillah, saya merasa bahwa saya lancar mengerjakan soal-soalnya, tapi tidak berani terlalu berharap juga karena kan bersaing dengan orang-orang lain yang mungkin jawara-jawara IPS dari sekolah masing-masing yang masih fresh. Saya keluar dengan lega, tapi agak deg-degan karena menunggu pengumuman ini saya tidak bisa apa-apa selain menunggu dan berdoa saja.

Di sisi lain, Mufti keluar dengan lesu. Katanya ia kurang yakin untuk mata pelajaran selain matematika, sedangkan untuk matematika ia hanya mengerjakan satu nomor saja. Saya ingat betul, satu nomor tersebut adalah soal yang intinya ‘diketahui penghasilan suatu warung adalah Rp X, lalu ia menghasilkan Y % dari rokok. Rp berapakah penghasilan dari rokok tersebut?’ yang mana ini saya fikir kok memang seperti pertanyaan bonus saking mudahnya. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan lainnya.

Kami pun bertukar nomor HP, dan berjanji untuk saling mengabari hasilnya.

 

………………………..

 

Sekian bulan setelahnya, pengumuman pun datang. Pertama, pengumuman datang via SMS Service menjelang tengah malam, dan alhamdulillah saya diterima. Kemudian paginya lewat surat kabar pun saya menemukan nomor ujian saya pada daftar yang diterima. Kemudian saya sadari dari daftar yang tertulis di koran, mungkin sampai 20-30 orang dengan nomor urut sebelum dan sesudah saya ternyata tidak diterima. Padahal, satu ruangan berisi mungkin 30-50 orang saja, artinya saya satu-satunya di ruangan saya yang diterima.

Sedangkan SMS yang saya kirim semalam ke Mufti untuk mengabari, dibalas oleh sebuah laporan ‘Failed to be Sent’ oleh provider.