Ketika Mahasiswa Mengalami Masalah Psikologis: Perspektif Dosen

Barangkali sebagian dari anda akan bertanya-tanya, kenapa untuk tema seperti ini malah ditulis oleh dosen fakultas hukum dan bukannya dosen fakultas psikologi. Akan tetapi, justru tulisan ini lahir dari pengalaman saya sebagai bukan orang psikologi tapi berhadapan dengan masalah psikologi. Sama seperti bidang saya yaitu hukum, masalah-masalah psikologi ternyata menyentuh semua kalangan selama mereka merupakan ‘manusia’.

.

KISAH SIFA

Kisah dimulai di sebuah kelas pada tahun 2016, dan saya selalu memulai dengan membacakan absen. Ada dua nama yang sebelum mid-semester mereka cukup rajin masuk, tapi kok setelah mid semester ini ndak pernah hadir. Saya pun menanyakan kepada kelas, apakah ada yang kenal dan kira-kira kenapa mereka tidak masuk. Salah satu mahasiswa tidak kunjung ada kabar dan hingga semester usai saya pun tidak mengetahui nasibnya. Akan tetapi kisah ini adalah tentang mahasiswa yang satunya, kita sebut saja Namanya Sifa.

Setelah sekian kali sesi kuliah, suatu kali ketika kuliah bubar seorang mahasiswa kawannya Sifa (sebut saja namanya Safa) mendekati saya. Kalau saya tidak salah ingat, saat itu dia memberitahu saya bahwa Sifa menderita psikosomatis. Komunikasi lebih lanjut membuat saya mengetahui bahwa nampaknya ini kasusnya adalah depresi, dan –menurut penuturan Sifa saat itu—ada sebuah masalah yang terkait dengan studi. Ciri-ciri depresi, setidaknya bagi saya, sangat nampak. Sebab, menurut informasi, kemampuan Sifa menyerap pelajaran semakin menurun drastis saat itu.

Selanjutnya, saya mengenalkan Sifa dengan kawan saya yang alumni fakultas psikologi, niat saya bukan untuk ‘mengobati’ tapi supaya memiliki teman yang bisa berempati sekaligus juga memiliki ilmu. Kemudian, setelah bekerjasama dengan pembimbing akademiknya, kami pun membawanya ke psikolog. Setelah menjalani sesi terapi pertama, saya tidak masuk ke ruang konsultasi, tapi ada sedikit yang saya dengar (dari burjo di seberang klinik haha, detailnya tidak penting untuk saya bagi).

Yang jelas, ternyata masalahnya tidak sama dengan yang saya duga di awal. Tidak perlu saya bagi persisnya apa masalahnya, yang jelas ini satu pelajaran. Terkadang kita merasakan dampak sebuah masalah dan salah mengidentifikasi akar sebab masalah itu. Padahal tadinya merasa yakin sekali, dan rasanya kok ‘sangat masuk akal’. Apalagi dalam kasus masalah psikologis, itu biasanya lebih susah sekali. Karena terkadang yang teridentifikasi hanya sekedar trigger saja. Pun ketemu akar masalahnya, apa aspek pada akar masalah tersebut yang membuatnya memanifestasi jadi masalah psikologis? Seringkali ada orang mengalami hal yang sama tapi tidak memiliki gangguan. Artinya, ada dimensi-dimensi lain yang lebih dipahami oleh para pakar psikologi itu.

Hasil ke psikolog bagaimana? Awalnya nampak ada perbaikan, dan itu saya syukuri. Tapi ya karena pengalaman, saya tahu bahwa tidak ada yang namanya solusi instan. Terapi psikologi itu bisa berbulan-bulan kalau intensif dan bahkan bertahun tahun. Nggak kayak demam berdarah yang opnam seminggu bisa pulang. Bukan suudzon, tapi ya memang seperti itu. Makanya bagi para pembaca yang merasa pernah ke psikolog dan stop karena ‘kok udah beberapa sesi ga ada perubahan’, mohon bersabar ya ke psikolog karena memang begitu hehehe… Dan, qadarullah, betul malamnya saya mendapat informasi bahwa Sifa mengalami relaps yang cukup parah sehingga harus dibawa ke UGD. Sang Psikolog yang menangani, kita sebut saja Bu Afis, adalah seorang dosen Fak Psikologi UGM. Semoga Allah memberkahi ilmu dan komitmennya, konon malam itu juga beliau mendatangi Sifa.

Keputusannya adalah bahwa Sifa harus menjalani perawatan yang agak intensif. Ibunya datang ke Jogja untuk menjemput dan membawanya pulang ke salah satu daerah luar Jogja (ya iyalah). Menurut informasi dari Bu Afis dan juga Ibu Sifa, perawatan yang lebih akan dilakukan di daerah tempat tinggal Sifa sana dengan ada koordinasi juga dengan Bu Asif. Seingat saya, saya tidak menjumpai Sifa sebelum dia dan Ibunya pulang. Rasanya saya terakhir berjumpa adalah setelah dari Bu Afis.

Waktu itu sudah mendekati akhir semester dan menjelang ujian. Ada fikiran bahwa ‘tanggung amat’. Akan tetapi, akhirnya diputuskan lebih maslahat untuk tidak ikut ujian. Langsung pulang saja. Nampaknya kalau dipaksakan ikut ujian saat itu bukan hanya tidak akan maksimal hasilnya, tapi akan memperberat keadaan Sifa juga. Alhamdulillah, berkat upaya yang dilakukan oleh sang Ibu dan juga dosen pembimbing akademiknya, dan juga Ketua Program Studi, semester tersebut bisa dihitung cuti. Sepanjang semester berikutnya pun Sifa terus menjalani terapi dengan keadaan cuti kuliah juga.

Ternyata bukan hanya Sifa yang tidak merasakan semester berikutnya di UGM. Pasca berakhirnya semester tersebut, saya pun meninggalkan Jogja ke Malaysia untuk tugas belajar dalam rangka studi Doktoral (periode awal 2017). Komunikasi saya dengan Sifa cukup lama terputus, hingga kemudian awal 2018 baru ada mahasiswa lain temannya Sifa sebut saja namanya Sanni yang menghubungi saya. Saya mendengar bahwa, alhamdulillah, keadaan Sifa sudah jauh membaik.

Baru menjelang akhir 2018 saya bertemu dengan Sifa secara tidak sengaja. Sejak saya berangkat S3 ke Malaysia, bukan sekali dua kali saja saya pulang ke Jogja dan main ke kampus. Tapi terakhir saya ke Jogja tahun 2018 itulah, ketika saya berada di Gedung IV lantai 2, saya mendengar sebuah suara memanggil nama saya.

Suara itu tidak saya kenal. Suara itu begitu kuat, dan sumbernya berasal dari seseorang yang awalnya tidak saya kenali. Seseorang yang sorot mata dan ekspresinya begitu ceria. Sepersekian detik kemudian barulah saya sadar bahwa itu adalah Sifa. Terakhir saya melihat dia, suaranya begitu kecil dan tidak nampak keceriaan. Tapi sekarang? Saya sudah mengucapkan ‘alhamdulillah’ ketika mendengar kabar baik dari Sanni, tapi beda rasanya dengan ‘alhamdulillah’ yang saya ucapkan ketika melihat langsung hasilnya.

Alhamdulillah, kombinasi antara banyak hal: terapi oleh professional yang intensif, orangtua yang selalu sabar dan mendukung dengan penuh kasih sayang, absennya sumber stress lain seperti kuliah, semua berpadu selama masa cuti satu semester itu. Sehingga, akhirnya Sifa bisa kembali ke kampus dengan dahi yang seakan-akan ada papan besar bertuliskan “success story” dengan emot smiley yang besar di sana.

.

RENUNGAN

Sifa bukan kasus pertama dan jelas bukan yang terakhir yang saya saksikan. Jumlah jari tangan yang saya miliki tidak cukup untuk menghitung jumlah kasus serupa yang saya saksikan dan hadapi. Apatah lagi yang belum saya saksikan! Akan tetapi, ada yang istimewa dengan kasus Sifa: ini adalah kasus happy ending pertama yang saya lihat. Dan, setidaknya sampai detik ini, masih merupakan satu-satunya.

Okelah, the true happy ending adalah Jannah, khaalidiina fiihaa. Akan tetapi, bagi saya jelas bahwa setidaknya happy ending adalah sebuah beautiful beginning untuk sebuah tahapan dalam hidup berikutnya. Dan, harus diingat bahwa dengan standar yang jauh lebih rendah dari Jannah atau bahkan Disney Endings saja, Sifa masih satu-satunya sejauh ini.

Rasanya perlu kita renungkan bagaimana kita sampai pada happy ending ini.

.

Sebagaimana saya pernah tulis bareng Ibu saya di Republika tentang Autisme dan Hukum (bisa diklik di sini), gerbang menuju penyelesaian itu diawali dari kepekaan untuk menyadari ada masalah. Tidak realistis meminta semua orang menjadi ahli untuk menyelesaikan masalah, tapi setidaknya diperlukan kesadaran umum untuk mengenali sehingga bisa mengarahkan pada ahlinya itu.

Seringkali memang harus orang lain yang menyadarinya duluan, sebab klaim masyhur ‘aku paling kenal diriku’ itu sesungguhnya sangat menyesatkan. Atau, terkadang seseorang merasa ada masalah tapi terlalu ragu dan tidak mampu mengekspresikan, sehingga konfirmasi dan dorongan dari orang lain menjadi sangat penting.

Masalahnya, ada kesan bahwa ‘mahasiswa sudah dewasa, bisa urus diri’ dan ‘kami bukan babysitter’. Tanggapan saya: jangan pelaku pelecehan seksual dong yang ditanggapi dengan ‘mahasiswa itu seperti anak-anak kami sendiri, kami pendekatannya pendidikan’. Harus diakui bahwa seorang dosen memiliki posisi unik di mana profesinya adalah untuk mengamati dan mengevaluasi mahasiswa. Faktor besar yang membuat dosen tidak bisa mengidentifikasi masalah psikologis pada mahasiswa adalah simply karena tidak aware saja.

Bukanlah saya mengatakan bahwa semua dosen harus mengurus sampai bawa ke psikolog, tidak semua keadaan bisa disamakan. Bukan pula saya menyarankan dosen untuk melakukan psikotes kepada tiap mahasiswa. Tapi setidaknya dengan dosen aware dengan setidaknya ciri-ciri umum depresi atau gangguan-gangguan psikologi secara umum, ditambah dengan punya hati sedikit lah, inshaaAllah secara default laksanakan tugas sebagai dosen dengan baik saja. Nanti kalau tiba-tiba ada mahasiswa menunjukkan tanda-tanda masalah, inshaaAllah ‘radar’ akan merespon.

.

Kadang masalah bisa kelihatan agak lebih jelas ketika terjadi interaksi yang agak personal. Misalnya, saat bimbingan skripsi atau bimbingan akademik. Tapi, tidak mesti selalu seperti itu juga. Saya pernah menemukan tanda-tanda gangguan psikologis ketika melihat lembar jawaban mahasiswa juga. Kadang dengar dari rumpi mahasiswa lain, atau via media sosial. Selain itu, saya sering bertanya kalau ada mahasiswa yang jarang muncul kuliah atau kalau nilainya jelek. Dengan saya tanya, kemungkinan masalah-masalah ini diketahui akan lebih besar, barangkali saya bisa bantu atau setidaknya mengarahkan pada pihak lain yang bisa membantu. Lumayan ada beberapa mahasiswa yang terkuak masalahnya ketika saya sering bertanya begitu, antara lain misalnya ada kesalahan metode belajar atau ekstrimnya ya seperti kasus Sifa ini.

Masalahnya, terkadang depresi atau gangguan psikologis terwujud dalam bentuk penurunan performa mahasiswa, dan direspon dengan kurang maksimal dosen. Apalagi dalam konteks skripsi di mana hubungan lebih personal.

Ada sebagian dosen yang bereaksi dengan marah dan antipati, atau terkadang niatnya baik ingin menyemangati tapi caranya adalah dengan mengancam atau menakut-nakuti. Tanpa menafikkan bahwa pastilah ada mahasiswa yang perlu dikemplang supaya kerja. Tapi apabila kedapatan mahasiswa yang mengalami masalah psikologis, reaksi dosen seperti ini malah bisa memperburuk keadaan si mahasiswa.

Ada juga dosen yang merespon dengan lebih menyemangati secara positif. Ini adalah permulaan yang baik, tapi perlu diketahui bahwa stress dan depresi itu dua hal yang berbeda. Menyemangati itu mungkin cukup untuk kasus stress biasa, tapi untuk depresi itu sudah ‘beda level’. Masalahnya seringkali istilah ‘depresi’ digunakan oleh orang awam untuk hal yang remeh temeh. Padahal ‘depresi’ adalah sebuah term klinis yang maknanya lebih berat dari sekedar stress saja, sebagaimana dijelaskan dalam American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (ulasan dalam Bahasa Indonesia bisa diklik di sini).

Di sini juga peran pembimbing akademik cukup penting. Saya paham, prakteknya kebanyakan mahasiswa akhirnya hanya bertemu pembimbing akademik untuk meminta tandatangan saja untuk hal-hal administratif. Tapi, setidaknya di kasus saya, tidak sedikit mahasiswa bimbingan saya yang berkonsultasi serius untuk masalah akademik dan terkadang personal juga. Sama dengan pembimbing skripsi lah. Ada baiknya sesi-sesi bimbingan ini lebih diseriusi. Saya paham kadang kita bukannya selalu punya waktu juga. Overload beban ajar dan proyek memang sesuatu yang merupakan evaluasi baik bagi pihak universitas maupun bagi dosen yang bersangkutan. Tapi, poinnya adalah melalui bimbingan akademik ini juga adalah salah satu tempat di mana kalau ada mahasiswa yang memiliki masalah akan bisa diidentifikasi. Bisa jadi si mahasiswa yang curhat sendiri, bisa juga si dosen yang menangkap ciri-ciri masalah.

.

Nah dari sekian banyak jalur di mana dosen berposisi untuk bisa menangkap tanda-tanda apabila mahasiswa memiliki tanda-tanda depresi atau gangguan psikologis lainnya, berikutnya bagaimana?

Tentu si dosen bisa diam saja. Itu pilihan. Bisa juga dosen selain menyemangati bisa saja juga mencoba menanyakan masalahnya. Saya paham tidak semua dosen senang dicurhati mahasiswa (dan tidak semua mahasiswa mau curhat dengan dosen), tapi tentu ada nilai lebih yang bisa diraih kalau misal memungkinkan.

Atau, sekurang-kurangnya sekali, setidaknya dosen dapat menunjukkan empati. Kemudian, apabila dosen dapat merekomendasikan untuk konseling atau bahkan merujuk pada koneksi yang dimiliki, itu adalah salah satu upaya yang kecil sekali bagi dosen tapi inshaaAllah maknanya besar sekali bagi mahasiswa.

.

PENUTUP

Ahli di semua bidang ilmu pasti akan mengatakan ‘bangsa ini punya banyak masalah terkait bidang ini’, dan barangkali semuanya benar. Kita memang banyak masalah kok. Masalah psikologis adalah masalah yang berada pada jiwa manusia, yang akan menghambat performanya sebagai manusia. Dampaknya ada pada keseluruhan aspek hidupnya, mulai dari interaksinya dengan manusia lain hingga menjalankan keseharian dan tanggung jawabnya.

Nampaknya saya belum dengar ada pelajar atau ahli psikologi yang menyangkal bahwa kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa ini sangat minim. Akibatnya, masalah psikologisnya tidak teridentifikasi, tidak mendapatkan penanganan yang dibutuhkan, dan bahkan dipersulit dan dibuat lebih buruk keadaannya. Dan faktornya banyak mulai dari masyarakat maupun pada diri si penderita.

Merekonstruksi masyarakat untuk lebih sadar dan tanggap terhadap berbagai permasalahan, termasuk masalah psikologis, tentu adalah PR yang sangat panjang dan sulit.

Tapi, lingkungan akademik universitas adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang paling berpendidikan yang bukan hanya memiliki banyak ilmu melainkan membuat ilmu baru. Karena itu pelajarnya disebut MAHA siswa, di mana kata MAHA juga kita gunakan untuk Tuhan (walaupun tentu dengan makna yang beda level). Heran juga kenapa kami para dosen bukan dipanggil Mahaguru.

Tentunya, bukan hal yang terlalu muluk untuk berharap bahwa lingkungan universitas bisa dibuat menjadi tempat yang lebih maju dan bahkan memimpin dalam kesadaran dan ketanggapan dalam berbagai masalah sosial, termasuk masalah psikologis ini.

..


PS: Terima kasih kepada Sifa yang sudah izinkan saya membagi ceritanya, walaupun tidak utuh dan nama disamarkan sebagaimana yang saya janjikan 😀