RUU PKS dan Jalan Pancasila (Republika, 21 Februari 2019)

Tulisan saya di Republika (Islamia) pada tanggal 21 Februari 2019, berjudul “RUU PKS dan Jalan Pancasila”..

Perdebatan terhadap Rancangan Undang Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) semakin hari semakin panas. Sering kali per debatan yang ada hanyalah pada level dangkal sehingga dalam banyak kasus perdebatan hanya terbatas pada poin-poin singkat yang tidak terpaparkan dengan baik.

Contohnya, ketika kalangan kontra mengatakan bahwa RUU PKS hanya mengatur pidana terhadap hubungan seks yang dipaksa, karena pasal-pasalnya berkata demikian. Lalu, menyimpulkan “berarti RUU ini pro zina dan LGBT!”. Kemudian pihak pro membalas dengan mengatakan hal tersebut adalah hoaks, lalu menjelaskan bahwa kesimpulan tersebut tidaklah benar. Mereka katakan, kalau zina bukanlah ‘kekerasan’ sehingga tidak cocok diatur di RUU PKS, tetapi di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang draf sementara memang mengkriminalisasi zina dan LGBT.

Kalangan pro RUU PKS memang benar. Penafsiran dari pihak kontra tersebut, apabila dilihat sesederhana itu memang kurang tepat. Akan tetapi, tentu akan membuat penasaran apabila pihak yang mengatakan bahwa zina dan LGBT ‘tempatnya di RKUHP, bukannya di RUU PKS’ ternyata juga merupakan pihak yang mengadvokasi penghapusan pidana zina (antara sepasang yang lajang) dan LGBT dari RKUHP.

Belum lagi bila membahas kritik yang menuding kalangan anti-RUU PKS sebagai pro-kekerasan seksual. Semacam man tan presiden Amerika Serikat George Bush Jr. yang berkata “You are either with us or against us.” (CNN, 2001) seakanakan dia saja yang memegang kunci kebenaran. Tentulah kritik ini tidak benar, dan merupakan strawman fallacy. Dengan berbasis agama dan budaya yang merupakan jiwa di peraturan-perundangundangan serta masyarakat Indonesia, kalangan ini ingin menghapuskan kekerasan seksual tapi bukan dengan RUU PKS. Namun, sebagian hal yang dianggap bukan kekerasan seksual oleh kalangan anti-RUU PKS, justru merupakan kekerasan seksual bagi kalangan pro RUU tersebut.

Apalagi, kritik bahwa kalangan antiRUU PKS ingin mencampuri urusan pribadi orang karena ingin melarang zina dan LGBT. Padahal, kalangan pro-RUU PKS pun ingin mencampuri urusan pribadi orang karena mau mengobok-obok institusi keluarga. Dalam level dangkal ini, keseimbangan antara ‘institusi keluarga bukan untuk melanggar hak individu’ dan ‘hak individu harus diperspektifkan dalam konteks keluarga’ tentu tidak dapat terbahas dengan baik.

Saling lempar pendapat yang sifatnya dangkal ini tidak ditolong oleh generasi meme yang hanya senang melempar kalimat-kalimat singkat dengan gambargambar lucu. Akhirnya, kita memiliki elephant in the room, yaitu isu penting yang sangat besar tapi seakan dicueki dan tidak dibahas: konstruksi konsep seksualitas.

Pembahasan perlu kita mulai dari tuduhan pro-zina dan pro-LGBT kepada kalangan pro-RUU PKS. Tudingan ini apabila didasarkan pada pasal-pasal yang sekadar memidanakan hubungan seks kon sensual, memang sulit diterima. Akan te tapi, kalau dikaji lebih mendalam, mungkin akan ditemukan hal yang berbeda.

Bukan hanya pasal per pasal tindak pidana yang hanya mengkriminalisasi seks konsensual. Dari pasal-pasal awal yang bersifat definisi (Pasal 1 ayat 1), juga dalam naskah akademik yang melandasi perumusan RUU, poin asasi yang dapat ditangkap adalah kekerasan maksudnya adalah pemaksaan kehendak. Selalu dikatakan bahwa permasalahan utama adalah ketimpangan relasi gender yang kemudian berdampak, sekali lagi, pada pemaksaan kehendak. Maka dipahami, a contrario, konsep utama yang ingin dihadirkan dalam RUU PKS adalah seksualitas adalah sepatutnya merupakan kedaulatan penuh milik individu.

Belum lagi melihat draf awal RUU PKS yang menyatakan bahwa kekerasan seksual, antara lain, memaksa seseorang untuk mengenakan atau tidak mengenakan busana tertentu. Padahal, sudah mafhum bahwa dalam Islam mengenakan jilbab adalah merupakan sebuah kewajiban dan bukannya hak. Tapi ternyata, kalangan ini mendahulukan kedaulatan milik individu dibandingkan kewajiban. Poin ini sudah dihapus, dan tidak ada lagi di draf RUU PKS yang baru, tapi dapat kita lihat bagaimana ada benang merah di sini terkait konsep seksualitas yang mereka usung.

Menyeberang sedikit, kalangan pro-RUU PKS ini, ketika mengusulkan penghapusan ayat bawah Pasal Zina pada RKUHP yang mengkriminalisasi hubungan seks konsensual antara dua orang yang masih lanjang, membawa argumen yang menarik. Katanya, hal tersebut tidak cocok diatur di Pasal Zina, prinsip zina adalah pengkhianatan terhadap komitmen pernikahan saja (Komnas Perempuan, 2017). Padahal, istilah ‘zina’ baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ataupun dari kata aslinya dalam bahasa Arab maknanya mencakup juga hubungan seksual antara dua orang yang masih lajang. Juga, mencakup hubungan seksual oleh orang menikah dengan bukan pasangannya, walaupun disetujui oleh pasangannya itu. Pen dapat aneh ini tampaknya tidak mencerminkan posisi asli mereka. Posisi asli kalangan ini tampak ketika mengusulkan pidana perkosaan di RKUHP dipindah dari ‘Bab Tindak Pidana Kesusilaan’ ke ‘Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang’ (Komnas Perempuan, 2017).

Maka itu, dapat ditemukan bahwa konsep utama tentang seksualitas yang ada pada kalangan pengusung RUU PKS adalah ia merupakan kedaulatan dan kemerdekaan pribadi seorang individu. Jargon sederhananya adalah “tubuhku, milikku”. Jargon ini tentu sangat indah, apalagi bila ia dipertentangkan dengan para pemerkosa yang tidak segan menggunakan kekerasan untuk memuaskan hawa nafsunya. Sampai sini, kalangan anti-RUU PKS pun akan mendukung. Jargon ini menjadi landasan dari banyak sekali turunannya.

Apabila seksualitas merupakan ke daulatan penuh individu dan tidak berhubungan dengan kesusilaan, apa yang mencegah ideologi yang sama untuk menjustifikasi LGBT dan hubungan seks di luar nikah asalkan konsensual?

Mungkin sementara bisa dikesampingkan dulu penelitian oleh Joan R. Kahn dan Kathryn A. London di Journal of Marriage and the Family (1991) yang menemukan bahwa hubungan seks pranikah berdampak kuat terhadap perceraian. Juga, penelitian oleh Wendy Shalit dalam bukunya A Return to Modesty (1999). Ia men jelaskan bahwa seks pranikah ber dampak pada tingginya gangguan psikologis pada perempuan. Menurut Shalit, ini akibat ‘revolusi seksual’ yang malah menindas perempuan di masyarakat yang kini menjadi sangat terseksualisasi. Ini hanya dua di antara banyak karya yang membahas tema serupa, yang barangkali memerlukan pembahasan ilmiah yang lebih dalam.

Setidaknya dalam konteks Indonesia dapat kita pahami bahwa hal-hal ini bertentangan dengan spirit agama yang ada dalam Pancasila dan peraturan perundang-undangan. Hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan tubuh, hubungan antara individu masyarakat dan negara, tidak dapat dipisahkan. Ini sebagaimana antara hukum, agama, dan moral, tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana kritik Majelis Ulama Indonesia (2001), konsep Hak Asasi Manusia (HAM) internasional terlalu condong pada hak individu dan melupakan hak masyarakat, dan terlalu condong pada hak dan melupakan kewajiban.

Sebagian kalangan yang pro-RUU PKS beranekdot ‘jangan sampai perempuan menjadi sekadar Rahim berjalan’. Setidaknya dalam Islam, justru reproduksi adalah hal yang sangat mulia. Diriwayatkan dalam sebuah hadis qudsi bahwa Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa Allah SWT berkata, “Aku adalah Ar-Rahman. Aku ciptakan rahim dan Kuberikan nama untuknya yang berakar dari NamaKu,” (Abu Dawud, 2008). Kemuliaan ini tidak akan didapatkan oleh kaum Adam, seberapa keras pun mereka memintanya.

Karena itulah, tentu tidaklah boleh konsep seksualitas diasingkan dari nilainilai agama dan moral. Sebagaimana disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1995), desakralisasi terhadap nilai-nilai adalah salah satu poin utama dari sekularisme. Memang, konsep seksualitas yang mengusung “tubuhku, milikku” adalah produk dari sekularisme sebagaimana telah dibahas oleh banyak pakar, seperti Dr Dinar Dewi Kania (2018) dan Dr Henri Salahuddin (2012).

Ideologi ini juga termaktub dalam the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Berbagai pasal di CEDAW (misalnya Pasal 16) adalah bertentangan dengan ajaran Islam sehingga banyak negara Islam mengecualikan pasal tersebut. Di Indonesia, posisi semua organisasi Islam tidak sejalan dengan ketentuanketentuan tersebut, tapi pemerintah tetap meratifikasi tanpa pengecualian substantif. Konon rezim saat itu memang cenderung represif terhadap keislaman di Indonesia (Okirisal Eka Putra, 2008). Kini, ratifikasi terhadap CEDAW menjadi duri dalam daging dan menambah disharmoni ideologis dalam sistem hukum Indonesia.

CEDAW menuntut, antara lain, rekonstruksi adat dan budaya masyarakat-masyarakat yang dinilai masih ‘bias gender’. Rupanya, dalam pelaksanaannya, agama pun tidak luput dari objek rekonstruksi ini. Dalam berbagai dokumen, termasuk naskah akademik RUU PKS dan lainnya, agama dilihat hanya sebagai hal yang perlu direkonstruksi kalau tidak sejalan dengan agenda mereka. Rekonstruk si agama terhadap nilai-nilai sekuler ini hanya akan masuk akal bagi siapa yang tidak menjadikan Ketuhanan sebagai poin pertama dalam falsafahnya.

Dengan demikian, seseorang yang beragama tidak akan berkata “tubuhku, milikku”, melainkan “tubuhku, amanahku”. Tubuh bukan sekadar tempat nyawa kita bersarang dan menampakkan diri di dunia. Tubuh adalah sebuah amanah yang tugasnya bukan sekadar memenuhi kesemua apa yang kita inginkan sebagai individu, melainkan juga memiliki peranan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tubuh adalah juga bagian dari individu yang harus berbuat baik dan menghindari keburukan, bukan sekadar memenuhi keinginannya semata.

Sebuah peradaban yang kuat berisi masyarakat yang kuat, yang ditopang oleh unit-unit keluarga yang kokoh, yang tentu ditunjang oleh individu-individu yang kuat. Kesemua tingkatan harus sinergis sehingga tidak bisa sekadar condong kepada individu tanpa memikirkan yang lainnya. Semua terikat dengan kesatuan visi misi dan nilai yang jiwanya secara umum telah termaktub dalam Pancasila.

Pada akhirnya, kita berada pada pertempuran antara dua konsep seksualitas yang berbeda, dan kita kembali pada diskursus yang ternyata sifatnya mendasar hingga epistemologinya. Diskursus ini tentu akan sangat panjang dan barangkali membutuhkan diskusi yang terpisah.

Mungkin lebih mudah memilih: yang mana kiranya yang lebih sesuai dengan Pancasila dan Peraturan Perundang-Undangan? Rasanya, RUU PKS sendiri yang memberi jawabannya ketika pada Pasal 2 (asas-asas) tidak disebut sama sekali soal Pancasila, agama, ataupun adat istiadat. Memang, makna seksualitas dalam konstruksi RUU ini tidak harmonis bila diletakkan bersama-sama dengan Pancasila, agama, dan adat istiadat. Bukan tempatnya.

Apabila memang Indonesia ingin konsisten dengan Pancasila dan peraturan perundang-undangan, tentunya jangan hanya Hizbut Tahrir Indonesia dan ‘Islam radikal’ saja yang dibubarkan dan disuruh pulang ke Arab. Kalau demikian, harusnya sekularisme beserta turunannya (termasuk feminis sekuler radikal) juga disuruh pulang ke Eropa. Akan tetapi, usir-usiran ini bukan jalan yang baik dan bukan cara Indonesia mengatasi masalah.

Masalah kekerasan seksual adalah nyata. Penggolongan ‘kekerasan seksual’ yang dilakukan oleh pengusung RUU PKS tentu harus dikritisi sebagiannya, tapi masalah yang disepakati tetap banyak. Masih banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi dan tidak tertangani dengan baik. Jangan dikira buruknya penanganan kasus Agni di Universitas Gadjah Mada hanya dikecam kalangan pro-RUU PKS. Hal serupa juga diduga banyak terjadi di berbagai universitas dan lembaga.

Akan tetapi, masalah lain pun banyak. Dr Rida Hesti Ratnasari (2018) dari Majelis Ulama Indonesia menyampaikan, misalnya, adanya ‘ritual’ seks di Gunung Kemukus di Sragen yang melibatkan hingga 5.000-an orang yang belum saling menikah. Dr Rida menyampaikan bahwa yang mengamini aktivitas ini hanya yang menikmati seksnya atau penghasilan yang dihasilkan darinya. Sejatinya, selain masalah penyakit-penyakit menular seksual, hal-hal seperti ini bertentangan normanorma dan meresahkan bagi masyarakat Sragen.

Banyak lagi masalah serupa yang meresahkan masyarakat yang bukan hanya ‘ikut campur urusan orang’. Masyarakat yang hak atas maslahat kolektifnya terkompromikan ini tidak menghen daki adanya hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral di sekitar mereka.

Karena itulah, RUU PKS dalam draf yang ada sekarang tidak bisa diterima. Ia tidak sesuai dengan konsep seksualitas yang dianut di Indonesia, serta tidak secara utuh melibatkan agama dan adat istiadat sebagai sumber secara adil. Ia juga tidak secara utuh menyelesaikan masalah-masalah yang ada terkait seksualitas.

Akan tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa ada adat istiadat yang mengamini hal-hal yang tidak dapat diterima. Contohnya adalah ritual seks di Gunung Kemukus tadi. Karena itulah UUD 1945 pun mengakui adat istiadat sepanjang ia masih bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan. Islam pun mengakui adat istiadat sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.

Karena itulah, sangat penting untuk membuat suatu RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Dengan beda satu kata saja dan singkatan yang sama (RUU PKS), RUU ini akan harus menginkorporasi nilai-nilai agama dan moral sebagaimana amanah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Ia tidak akan berbasis sekadar kehendak semata, apalagi sampai menolak nilai moral serta agama sebagaimana ideologi sekuler. Sehingga, ia berbasis “tubuhku, amanahku.”

Dengan demikian, RUU Penghapusan Kejahatan Seksual bisa melakukan social engineering dengan pemidanaan juga pendidikan masyarakat yang bukan sekadar diambil dari nilai-nilai HAM, melainkan juga mempertimbangkan agama dan moral sebagai acuan yang utama. Dengan demikian, “Aku Pancasila” dapat menjadi slogan yang bermakna. ■