Review Tulisan Jurnal tentang ‘Animal Rights’: Tugas Zaman Kuliah S1 Dulu

Foto: https://movies.disney.com/bambi/characters

Zaman kuliah S1 dulu pada mata kuliah Hukum Lingkungan Internasional kami ditugaskan mereview artikel jurnal tentang hukum internasional dan hewan. Saya memilih mereview tulisan tentang Animal Rights berjudul “On the Destiny of Deer Camps and Duck Blinds: The Rise of Animal Rights Movements and the Future of Wildlife Conservation” oleh Robert M. Muth, dan Wesley V. Jamison, diterbitkan di Wildlife Society Bulletin, Vol. 28, No. 4. (Winter, 2000).

Bertahun-tahun kemudian, ketika dosen mata kuliah tersebut (Bu Agustina Merdekawati) sudah menjadi kolega saya, saya iseng buka-buka file lama, dan ketemu lagi tugasnya. Tulisan seorang Fajri yang masih mahasiswa S1 (apalagi yang zaman sebelumnya lagi) selalu membuat saya ketawa. Tapi mungkin tulisan ini masih bermanfaat. Berikut saya share lagi tugas saya itu, siapa tahu ada yang minat baca. Selamat menikmati!

=====================================

Review Artikel Jurnal

On the Destiny of Deer Camps and Duck Blinds: The Rise of Animal Rights Movements and the Future of Wildlife Conservation

(Ditulis oleh Robert M. Muth, dan Wesley V. Jamison)

Reviewer: Fajri Matahati Muhammadin (07/251814/HK/17454)

  1. Latar Belakang Penulisan dan Masalah yang Diangkat

Artikel berjudul “On the Destiny of Deer Camps and Duck Blinds: The Rise of Animal Rights Movements and the Future of Wildlife Conservation” yang ditulis Muth dan Jamison ini memiliki latar belakang bagaimana banyak terjadinya gerakan-gerakan Animal Rights sepanjang sejarah, yang tetap tumbuh dan berkembang walaupun sudah beribu-ribu tahun manusia menikmati hewan sebagai pemuas kebutuhan –baik sebagai makanan, komoditas penjualan, obyek eksperimen dalam penelitian, dan lain sebagainya.

Masalah yang dibahas adalah bagaimana dampak gerakan hak hewan terhadap perburuan dan penangkapan hewan liar.

Instrumen untuk membahasnya dimulai dengan uraian mengenai perkembangan gerakan konservasi lingkungan di Amerika Serikat, artikel ini lanjut membahas sifat-sifat dari klaim pengakuan atas Animal Rights tersebut, serta prediksi implikasinya terhadap hukum mengenai perburuan dan penangkapan hewan.

  • Ringkasan Artikel

Latar Belakang

Gerakan-gerakan pembelaan terhadap hak hewan sudah lama berkembang di Amerika Serikat, dan telah melakukan berbagai aktivitas untuk mendukung kampanye anti-penyiksaan dan perburuan terhadap hewan.

PETA (People for the Ethical Treatment of Animals), organisasi hak hewan terbesar misalnya, telah membiayai banyak sekali demonstrasi dan lobi untuk mendukung hak hewan. Lobi dan demonstrasi dari organisasi-organisasi semacam ini ternyata memiliki dampak yang cukup besar hingga dapat mempengaruhi berbagai kebijakan untuk melarang perburuan, misalnya larangan berburu singa gunung di California dan larangan berburu beruang hitam di Massachusetts.

Walaupun demikian, tetap saja ada antitesis dari gerakan ini yang sangat kuat beredar di masyarakat untuk menunjang berburu baik sebagai sarana konsumsi, produksi, bahkan untuk hiburan. Banyak hukum untuk melarang perburuan yang kandas karena tidak disetujui oleh masyarakat misalnya di Idaho, Michigan, dan Ohio.

Gerakan konservasi lingkungan dimulai pada paruh terakhir abad ke sembilan belas dengan dilatarbelakangi maraknya eksploitasi sumberdaya alam, pembuangan limbah sembarangan, dan lain sebagainya. Adapun dengan konservasi satwa liar dilatarbelakangi oleh mulai langkanya berbagai spesies hewan seperti Tympanucbus cupido cupido (sejenis ayam), banteng Amerika, berang-berang, dan lain sebagainya.

Sayangnya karena tujuan dari kebijakan-kebijakan perlindungan satwa liar awalnya adalah hanya untuk melindungi dari penggunaan ekonomis, perburuan untuk kesenangan dan hobi belaka (dikenal dengan filosofi ‘sportsmanship’) saat itu tidak dapat terhalang. Kegiatan tersebut diikuti oleh para elite dan tokoh masyarakat seperti misalnya Theodore Roosevelt (mantan presiden Amerika Serikat).

Menariknya, perubahan paradigma masyarakat Amerika Serikat pada eksploitasi hewan secara konsumtif dipicu oleh film yang diluncurkan oleh Walt Disney pada tahun 1942: Bambi.

Awal Mula Gerakan Hak Hewan

Sebenarnya gerakan perlindungan hak hewan sudah muncul pada tahun 1866, yaitu Society for Prevention of Cruelty toward Animals yang pada pokoknya ingin menghentikan bentuk-bentuk penyiksaan terhadap hewan –misalnya penggunaan perangkap tertentu yang akan menyakiti hewan. Pada zaman tersebut, sayangnya, masyarakat umumnya memandang miring grup ini sebagai kelompok yang tidak masuk akal dan terlalu sentimentil.

Tetapi dengan diluncurkannya film Bambi, pola pikir masyarakat berubah drastis. Film tersebut bukan yang pertama menampilkan pemburu sebagai sosok jahat dan rusa sebagai korban yang sangat perlu dikasihani. Kemampuan marketing film ini adalah yang bertanggungjawab pada betapa banyaknya masyarakat yang tertarik untuk menontonnya (jutaan lebih) dan secara emosional tersentuh.

Film tersebut sangat sukses menunjukkan bahwa sesungguhnya alam liar itu adalah  bagaikan surga firdaus bagi penghuninya, di mana semuanya sangat bahagia dan sejahtera. Pesan paling penting yang kemudian datang ialah bahwa manusia ternyata adalah mahluk jahat yang datang sekonyong-konyong untuk merusak kedamaian dalam surga firdaus tadi.

Salah satu dialog yang paling monumental yang membuat masyarakat tersentuh ialah saat tokoh Bambi bertanya “Ibu? Kenapa kita harus lari?” dan dijawab “Karena manusia sudah memasuki hutan kita.”

Sindrom Bambi ini kemudian pada tahun 1975 mulai diinstitusionalisasi secara rigid sebagai gerakan-gerakan sosio-politis untuk mengadvokasi hak hewan.

Hak Hewan di masa Kontemporer

Ada dua golongan disini, yaitu Animal Welfarist yang ingin memperlakukan hewan dengan lebih baik (umumnya bergerak melalui reformasi hukum), lalu Animal Rightist yang berpendapat bahwa hewan juga memiliki haknya sendiri sehingga tidak boleh ada sama sekali kegiatan manusia yang mengeksploitasi hewan (lebih cenderung melakukan tindakan langsung bahkan hingga melakukan civil disobedience).

Menurut survei di Amerika Serikat pada tahun 1998, dukungan untuk animal welfare lumayan tinggi. Mereka mengatakan bahwa tidak masalah jika manusia mengkonsumsi hewan, asalkan hewan tersebut tidak dibuat menderita (misalnya diberi makan yang baik dan disembelih dengan cepat). Survei juga menunjukkan bahwa ada 15% dukungan terhadap animal rights, maksudnya untuk tidak menggunakan hewan sama sekali (walaupun dari angka 15% tersebut hanya 3% yang betul-betul tidak memakai hewan sama sekali untuk keperluan apapun).

Perkembangan kebijakan yang sejalan dengan animal welfare makin berkembang pesat terutama di Uni Eropa. Misalnya Jerman melarang kompetisi memancing serta memancing ala catch-and-­release (hobi memancing biasanya hanya menangkap, mengukur ikan, lalu melepasnya kembali) karena dinilai menyiksa ikan.

Cikal bakal Konsep Hak Hewan

Menurut artikel ini, ada empat hal yang merupakan pendahulu dari munculnya hak hewan.

Pertama ialah paradigma kaum urban. Terjadi sebuah konstruksi sosial terhadap hewan “makanan” serta hewan “peliharaan”. Hewan “makanan” sudah tidak dilihat lagi sebagai target buruan yang harus dibunuh untuk dimakan, tetapi sudah muncul di supermarket dalam bentuk potongan daging yang dikemas dalam bungkusan plastik. Hewan “peliharaan” adalah makhluk imut yang disayang oleh manusia, yang seakan-akan menjadi seperti anggota keluarga.

Kedua, ialah perkembangan sains yang populer di masyarakat. Ajaran-ajaran agama mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat berkuasa dan memimpin segala makhluk lain sehingga derajadnya lebih tinggi, tetapi di masyarakat-masyarakat sekuler hal ini mulai ditinggalkan. Apalagi dengan munculnya teori evolusi (Charles Darwin) dan klasifikasi (Carolus Linnaeus) yang membuat perbedaan antara manusia dan hewan menjadi semakin blur. Teori-teori tersebut menempatkan manusia didalam kingdom animalia, dan sejajar dengan hewan-hewan lain (misalnya di bawah primata, bersama monyet). Banyak karakteristik fisik dan psikologis ditemukan serupa antara manusia dan hewan.

Ketiga adalah anthropomorphisme, maksudnya adalah nilai-nilai yang tadinya diatribusikan kepada manusia saja kini juga di atribusikan kepada hewan. Ini adalah hal yang tidak terhindarkan saat batas-batas manusia dan hewan mulai runtuh. Dalam sejarah, berbagai sifat manusia (baik maupun buruk) banyak disimbolkan dalam bentuk hewan (misalnya ular sebagai simbol kelicikan, singa sebagai lambang keberanian, dan lain sebagainya).

Tetapi perkembangan yang muncul di era industrial modern seperti ini ialah bahwa hewan dikarakterisasi sebagai lebih dari sekedar serupa dengan manusia –tetapi bahkan manusia yang baik. Ini adalah salah satu dampak yang timbul dari berbagai film diantaranya Bambi serta Free Willy yang menyajikan hewan sebagai tokoh yang baik, penyayang, penyelamat manusia, dan berbagai atribut lainnya yang dimiliki oleh manusia yang baik.

Setelah anak-anak kita menonton film-film tadi mereka akan keluar rumah melihat lumba lumba mencium mereka, anjing atau kucing yang dengan menggemaskan akan berlari mengejar dan mengolet manja di kaki atau bahkan menyelamatkan manusia. Banyak orang mulai bertanya: jika hewan memiliki karakter-karakter yang sangat serupa dengan manusia, kenapa kita tidak memperlakukan mereka selayaknya manusia?

Keempat, adalah egaliterianisme. Konsep Hak Asasi dan Persamaan adalah dua konsep ideologis yang sangat populer di Amerika Serikat. Konsep ideologi tersebut berkembang sangat pesat dan telah mengompori berbagai perubahan paradigma drastis yang zaman dulu tidak terbayangkan sama sekali. Misalnya adalah hak kaum kulit hitam, kaum homoseks dan lain sebagainya. Dilatarbelakangi kedua konsep tersebut dan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, tidak sulit untuk sekarang membayangkan munculnya konsep hak hewan sebagai gerakan yang memiliki dukungan tinggi.

Dampak pada Perburuan dan Penangkapan Hewan

Artikel ini sepertinya kontra terhadap hak hewan dan menyatakan bagaimana gerakan tersebut dapat menghambat gerakan kesejahteraan hewan (eksploitasi hewan dengan lebih manusiawi dan terencana dengan baik).

Salah satu masalah yang ditimbulkan adalah secara ideologis, di mana kelompok hak hewan tidak menyetujui intervensi manusia dalam perlindungan hewan padahal gerakan kesejahteraan hewan menggunakan intervensi manusia untuk melindungi hewan. Perburuan dan penangkapan hewan juga bisa dibuat ilegal sama sekali jika gerakan hak hewan ini sukses.

Bagian soal dampak gerakan hak hewan ini terpusat pada bagaimana gerakan kesejahteraan hewan harus menyikapi gerakan hak hewan tersebut. Salah satu sarana untuk menyikapi ialah dengan cara pandai-pandai memposisikan diri –apakah cukup bereaksi sesuai perubahan sosial yang ada terkait konflik paradigma mengenai hubungan manusia dengan hewan, atau justru ikut melakukan social engineering dalam membentuk paradigma itu. Muth dan Jamison tidak konklusif menyarankan mana yang harus dilakukan, tetapi menyatakan bahwa jika gerakan ini hendak melakukan social engineering maka banyak pendekatan perlu dilakukan.

Walau secara umum masyarakat menolak untuk memberikan hak yang sama kepada hewan (tetapi tetap tidak menyetujui perlakuan buruk terhadap hewan), tetapi untuk mengakomodasi semua kaum ada baiknya dilakukan berbagai penyesuaian. Negosiasi untuk akomodasi kepentingan sebanyak mungkin pihak sangatlah penting. Salah satu instrumennya misalnya adalah dalam penggunaan terminologi. Selama justifikasi berburu diatasnamakan ‘sports’, ‘recreation’ apalagi “fun” seperti prakteknya selama ini, maka tekanan dari masyarakat yang pro hak hewan atau setidaknya yang condong ke sana akan terus meningkat. Karena konotasi dari kata-kata tersebut di masa sekarang adalah negatif kalau dikontekskan sebagai alasan melakukan pembunuhan terhadap hewan.

  • Komentar

Komentar terhadap Penulisan

  1. Penulisan artikel ini kurang baik dalam hal penekanan elaborasi. Tujuan artikel ini ditulis, menurut abstraknya, adalah untuk mengkaji dampak gerakan hak hewan terhadap kegiatan perburuan dan penangkapan hewan, tetapi hanya porsi yang sangat kecil dialokasikan untuk menjelaskan dampak tersebut. Jauh lebih besar porsi alokasi untuk memaparkan latar belakang kebijakan perburuan dan penangkapan hewan dalam sejarah Amerika Serikat serta tentang asal muasal konsep hak hewan itu sendiri.
  2. Solusi yang diberikan juga tidak konklusif, dan hanya menunjukkan beberapa hal yang perlu dihilangkan tetapi tidak menyajikan alternatif (misalnya dalam hal penggunaan kata untuk menjustifikasi perburuan). Kecuali memang Muth dan Jamison cenderung pro hak hewan, tetapi kemungkinan ini tidak tampak sama sekali dalam pendekatan artikel ini.
  3. Dalam menjelaskan urban epistemology sebagai precursor to the concept of animal rights, kurang dijelaskan kaitannya kepada ketiga precursor lainnya dan hak hewan secara umum.

Komentar terhadap isi tulisan

Isu tentang perlindungan satwa liar sebenarnya sangat menarik kalau dikaitkan dengan apa yang dipelajari di kelas Hukum Lingkungan Internasional. Latar belakang Hukum Lingkungan Internasional adalah rusaknya lingkungan yang akan berdampak langsung pada kualitas serta kelangsungan hidup manusia, misalnya adalah masalah polusi yang melubangi lapisan ozon.

Latar belakang perlindungan satwa liar tidak dilatarbelakangi oleh kebutuhan utilitarianis (atau manfaat untuk kemaslahatan umat manusia)[1] seperti itu. Perlindungan satwa liar dilatarbelakangi oleh aliran Natural Law yang menyatukan hukum dengan moral serta keadilan[2], dan bahkan memiliki konsekuensi yang jauh dari pemenuhan manfaat untuk kemaslahatan manusia.

Prinsip hukum lingkungan yang secara langsung terkait hanya common heritage of mankind. Mungkin memang terkesan memenuhi prinsip intergenerational equity, tetapi preservasi hewan langka agak sulit dianggap sebagai sebuah resource kecuali dilakukan eksploitasi terhadapnya –yang tentunya tidak sejalan dengan maksud dari hukum lingkungan.

Hal ini tampak dalam uraian artikel mengenai asal-usul konsep hak hewan, sebagaimana dapat dilihat semua pertimbangannya adalah berupa perlakuan adil, perlakuan manusiawi (maksudnya ialah manusia sebagai subjek), dan kehendak untuk berbuat baik.

Konflik antara gerakan hak hewan dan kesejahteraan hewan dapat diatasi dengan kajian kritis untuk mengkomparasi kebutuhan moril manusia untuk berbuat baik dengan kebutuhan pragmatis manusia akan berburu (atau secara luas dan ekstrim, untuk mengkonsumsi hewan secara umum dalam bentuk apapun). Karena alasan manusia secara umum tidak dibolehkan menyakiti sesamanya pun memiliki berbagai pandangan mulai dari alasan moral, alasan positivis, hingga alasan pragmatis (jangan membunuh jika tidak ingin dibunuh), sehingga untuk menganalogikan hal tersebut pada hewan melalui prinsip egalitarianism juga perlu ditinjau lebih jauh.

Memang sudah merupakan hal yang benar, bahkan sangat retoris, untuk menyatakan bahwa gerakan yang mendukung hak hewan akan berprospek untuk semakin mengganggu bagi kegiatan pemburuan serta penangkapan hewan liar. Menarik juga melihat bagaimana ternyata pragmatisme manusia dapat bersanding dengan nilai-nilai moral dengan mendekati seimbang (setidaknya menurut kaum kesejahteraan hewan) melalui hasil-hasil survei, tetapi ternyata bagi kalangan tertentu ini masih dinilai kurang sehingga kegiatan lobi dan social engineering masih terus gencar dilakukan.

Penulis sendiri berpendapat dengan aliran kesejahteraan hewan yang tetap ingin mengkonsumsi hewan tetapi dengan cara yang semanusiawi mungkin. Dasarnya jelas bukan pada pengejawantahan hak kepada hewan sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum hak hewan, tetapi adalah bagaimana manusia berperilaku sebagai sebuah subjek (bukan hewannya sebagai objek yang ditekankan oleh penulis) dan tentunya tanpa melupakan kebutuhan pragmatis manusia –karena memenuhi kebutuhan dasar yang primer bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan moral.[3]

Konsep perlindungan hak sebagai sebuah tanggungjawab negara untuk melindungi warganya yang timbul dari hubungan social contract akan sangat janggal jika dikejawantahkan pada hak hewan, padahal hewan tersebut bukan merupakan pemberi mandat pada negara tersebut.[4] Kecuali, tentunya, jika pengakuan terhadap hak hewan itu adalah yang dikehendaki secara kolektif oleh para pemberi mandat (atau dalam konteks ini, masyarakat) yang menurut survei dalam jurnal kurang mendukung konsep hewan.

Konsekuensinya adalah walaupun penulis kurang sependapat dengan kaum hak hewan dalam hal apakah akan ada hak pada hewan itu sendiri, tetapi sepakat dalam hal membatasi sebisa mungkin kegiatan perburuan dan penangkaran hewan yang dilakukan untuk hobi dan rekreasi.


[1] Anshori, Abdul Ghofur.2006. Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran, dan Perkembangannya. Gadjah Mada Press,

[2] ibid

[3] Ini erat kaitannya dengan prinsip-prinsip yang dikenal oleh hukum pidana, di mana merupakan suatu alasan penghapus kesalahan jika sebuah perbuatan dilakukan karena keterpaksaan (Lihat Poernomo, Bambang, 1993. Asas Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta) walaupun gray area pasti ada misalnya mencuri karena terpaksa tetap masuk delik pencurian menurut KUHP pasal 362 atau 363, tetapi di Hukum Pidana Islam (atau jinaiyat) dikenal hakim-hakim yang tidak menghukum bahkan menyantuni mereka yang tertangkap jika mereka memang mencuri karena terpaksa dan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

[4] Social Contract Theory telah berkembang sejak zaman Plato, J.J. Rosseau, John Locke, dlsb. Tetapi pada intinya bahwa antara “pemerintah” dan “diperintah” terjadi semacam kontrak imajiner dimana terjadi pertukaran hak dan kewajiban. Sehingga, menurut reviewer, pemerintah tidak memiliki mandat untuk melindungi hak hewan yang tidak tergolong pemberi mandat dalam konsep Social Contract ini. (Lihat: Soehino. 2004. Ilmu Negara. Liberty: Yogyakarta, dan Budiardjo, Miriam, 1996, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama:  Jakarta untuk mendalami konsep Social Contract)