Selamat Tinggal, Pak Kasim! Bagian 3: Dasar Pakde!!!!

Setelah lumayan lama vakum, akhirnya muncul Bagian 3 dari Cerbung “Selamat Tinggal, Pak Kasim!” yang berjudul “Dasar Pakde!!” yang diambil dari sudut pandang Bi Nunung. Selamat membaca!

.

16 Maret 2018

Saya, Ibu, dan Mbak Sur turun dari mobil. “Saya cari parkir, dan tunggu di sana ya Bu.” Kata Pak Kasim. “Heh, jangan! Habis cari parkir, Pak Kasim balik ke sini kita tungguin.” Kata Bu Fiah. Haduh, batin saya, kalo Pak Kasim ikutan repot deh ini. Pasti bikin rusuh. Tapi, yah, kalo Ibu yang sudah bicara mau bagaimana lagi?

“Ini tempat apa toh Bu?” tanya Mbak Sur, berusaha mengamati sekeliling. Bu Fiah memang tidak bercerita detail, katanya disuruh lihat sendiri nanti. Tapi ketika Ibu sempat bilang Sea World, walaupun saya pembantu tapi saya faham lah sedikit-sedikit Bahasa Inggris. Melihat gambar ikan di mana-mana, nah pasti ini tempat banyak ikan ikan laut untuk kita lihat-lihat. “Ini tempat liat-liat ikan Mbak Sur!” saya jawab. Kalau Mbak Sur, dia memang tidak sekolah. Baca tulis saja belum begitu bisa, padahal lebih tua daripada saya.

“Kayak di pasar gitu, tah?” tanya Mbak Sur polos. Bu Fiah pun tergelak sampai perutnya sakit. Pak Kasim pun akhirnya datang. “Udah liat aja lah nanti.” Kataku, tidak sabar. Kami pun menuju ke pintu masuk.

Begitu masuk, Mbak Sur langsung menganga melihat beraneka ragam ikan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Komentarnya lucu-lucu. Terkadang katanya “wah, ini warna warni”, terkadang katanya “Ini dimasak enak nggak ya?”. Tapi saya lebih tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang ikan-ikan tersebut. “Itu di depan tiap akuarium ada penjelasannya tuh.” Kata Bu Fiah.

“Ikan Kakatua”, aku mulai membaca. Tiba-tiba Pak Kasim muncul di samping saya dan nyerocos. “Wah, ini dulu atasan saya di Bir Bonteng punya yang begini. Katanya impor dari Jerman!” katanya dengan bangga. “Pakde, ini nemunya di Indo-Pasifik Pakde.. Mana ada di Jerman!” kataku, sambil menunjuk papan informasi tentang ikan tersebut. “Wah itu nggak lengkap.” Kilah Pak Kasim, lalu lanjut bercerita tentang atasannya itu. Aduh, aku masih mau liat-liat ini kok malah jadi harus dengar beginian sih.

“Udah ah Pakde, aku masih mau liat-liat.” Protesku. Pak Kasim cuma berhasil menahan diri beberapa menit saja. Ketika aku sampai pada Belut Moray, aku harus membaca sambil berusaha tahan telinga karena diceramahi lagi oleh Pak Kasim tentang Didin (anak tertua Bu Fiah) yang pernah menang lomba tangkap belut. Duh, harus banget ya Pakde? Rese betul!

“Pakde kasian itu Bi Nunung pengen liat-liat kok malah diajak ngobrol terus. Sini sama saya aja Pakde.” Panggil Mbak Sur. Bu Fiah cekikikan saja. “Pak Kasim liat-liat juga lah itu ikannya. Tiap hari bisa ngobrol sama Bi Nunung dan Mbak Sur, tapi nggak tiap hari liat ikan yang begini.” Pak Kasim ketawa cengengesan. “Ya kan sekalian Bu, sambil liat ikan sambil ngobrol.”

Aku, Mbak Sur, dan Bu Fiah pun menepuk jidat masing-masing.

16 Maret 2016

Yes! Sebentar lagi Telenovelanya mulai! Kuangkat talenan dan kubawa wortel-wortel dan kobis ke ruang samping. Kemudian aku lari ke dapur lagi untuk mengambil mangkuk besarnya. Pak Kasim sedang kipas-kipasan di sana sambil berbaring.

“Pak permisi Pak saya mau nonton.” Kataku. Pak Kasim Cuma menggumam “mmmmmmmmm” tapi tidak bergerak. “Wooyyy” protesku, sambil menyalakan TV dan mengancam akan menduduki kepalanya. Beliau pun tertawa dan minggir. Aku menyusun benda-benda yang kuambil tadi di depanku, lalu aku mulai mengiris-iris wortel. “Masak apa Bi Nunung?” tanya Pak Kasim, berusaha ngintip apa yang aku kerjakan. “Mau bikin bakwan.”

Layar masih menunjukkan iklan, jadi aku masih menunggu. “Kok nggak ada udangnya? Atau jagungnya?” tanya Pak Kasim. “Saya mau bikin bakwan sayur ajah. Terus, Bang Didin bilang dia nggak mau pake jagung. Jadi yaudah deh kayak gini aja.” Kataku. “Oh yaudah. Tapi sbenernya enak lho kalo pake udang. Ada nggak udang?” tanyanya. “Yah, si Pakde, Ibu maunya sayur aja. Ga ada udang, belom beli.” Protesku. Ih bawel amat nih Pakde. Kemudian muncul di layar sebuah tulisan ‘Sesaat lagi: Marimar’. Asyik!

“Ma! Ri! Mar! AWWW!!! Costeñita soy!” lagu pembukaan Marimar pun mulai dimainkan, dan aku pun duduk tegak. “Oh nonton Marimar? Itu yang ceritanya tentang cewek itu, kan?” tanya Pak Kasim. “Iyalah Pak, namanya juga Marimar. Udah ah Pak diem dulu saya mau nonton.” Protesku. “Eeeh itu masih lagunya aja kok.. Kan tiap episode lagunya sama aja.” Balasnya. Aku tidak menggubrisnya. Duh, aku sudah harus membagi perhatian antara nonton dan mengiris wortel. Males banget meladeni Pak Kasim?

Episode pun dimulai, dan aku pun mulai lupa dengan Pak Kasim. Selama beberapa waktu ia diam. Tapi baru satu wortel selesai kuiris, dan begitu aku ambil wortel kedua, bunyi lagi dia. “Lucu ya itu, gerakan mulutnya nggak sama dengan kata kata yang keluar. Hehehe” Komentarnya. IiihhH!!!!!! “Duh Pakde ya beda lah, itu pemainnya kan bule nggak bisa Bahasa Indonesia. Jadi ada yang ngisi suaranya.” Jelasku. “Ya saya tau kok.” Jawabnya. Iiiihhh!! Aku melemparnya dengan sebiji potongan wortel “Ih udah tau kok nanya, ganggu aja nih Pakde orang lagi asik-asik nonton.” Pak Kasim cuma tertawa sambil menghindari , “saya kan becanda aja kok gitu amat.”

Ih. Aku pun kembali fokus ke layar. Tiba tiba aku merasakan sesuatu di kepalaku. Ternyata potongan wortel yang tadi aku lempar telah melayang kembali. Pak Kasim tertawa keras, “saya balikin wortelnya! Hahaha!” iiiiiiiiiiiiiiiiiiiih! Terfikir melempar wortel utuh sekalian, tapi tidak lah. Biar saya cuekin saja mungkin bosan sendiri dia.

Ternyata tetap saja dia bicara. “Itu kok tadi kayaknya marah-marah, kok ini jadi baik lagi?” katanya. Tapi mungkin selain beliau yang ceriwis, aku juga yang tidak bisa tahan diri. “Pak, itu udah beda orang Pak.” Jawabku. “Lho, itu rambutnya sama-sama coklat kok.” Protesnya. “Ya elah Pak, rambutnya sama tapi mukanya beda lho itu Pak.” Kataku. “Itu yang rambut coklat yang panjang itu Marimarnya. Nah itu yang tokoh utamanya Pak. Kalo yang satu lagi, itu namanya Angélica. Nah itu yang jahatnya, ibu tirinya Sergio. Nah Sergio itu yang laki-laki ganteng tadi Pak, itu yang ditaksir Marimar dan Marimar naksir juga.” Aku menjelaskan.

Beberapa detik, kok diam saja ya? Aku pun menoleh, dan ya ampun! Ternyata Pak Kasim sudah ketiduran! Panjang-panjang dijelasin, malah tidur. Asem iki! Tapi yasudahlah, setidaknya aku bisa menonton dengan tenang.

Tapi lima belas menit kemudian… “Lho… Itu siapanya Sergio?”

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

16 Maret 2014

Aku menata sayur daun papaya di sebuah mangkuk kecil, kemudian kubuka ricecooker untuk menciduk satu sendok nasi putih. Lauk ikan sudah ada di sebuah piring kecil, karena nenek memang maunya setiap benda ada di tempat yang berbeda. Semoga kakek suka, karena aku sudah habis akal mau masak apa lagi. Kemarin siang sudah makan ikan, sore sudah dikasih siomay. Malam dikasih daging, dan tadi pagi sudah ayam. Semoga kakek sudah lupa kalau kemarin ngomel karena bosan makan ikan. Masalahnya, sudah kehabisan jenis protein nih! Kemarin ikannya dimasak gule, jadi kali ini harus ikan goreng.

Di sebuah mangkuk yang super kecil, sudah tersedia ‘sambal abal-abal’. Kakek selalu merengek minta sambal, padahal perutnya sudah tidak kuat dan pasti diare. Jadilah aku akali dengan membuatkan ‘sambal’ yang intinya tomat saja sebetulnya. Hanya sangat sedikit saja cabe supaya ‘ada rasa-rasa sedikit’.

“Bang Didin!” panggilku. Biasanya kalau dia sedang pulang dari kuliahnya di Surabaya, dia yang suka mengantar makanan ke Kakek. Maklum lah, semacam “superstar” karena kakeknya selalu kangen, jadi kalau dia yang mengantar makanan pasti moodnya baik. Tapi aku lupa, Bang Didin tadi pamit keluar sebentar. Yah sudahlah, berarti aku yang harus mengantar.

Kubuka pintu, dan kudapati Kakek sedang berbaring. “Bi Nunung, ambilkan saya cabe itu.” Katanya. “Ini sudah saya buatkan sambel kok Kek.” Jawabku. “Tapi sekarang Bi Nunung kalau bikin sambel nggak pernah pedas! Ndak suka saya.” Protesnya. Sambil kutata makanan di mejanya, kujelaskan bahwa perut Kakek sudah nggak kuat. Entah berapa ribu kali aku, Bu Fiah, dan dokter sudah menjelaskan.

“Saya nggak bisa tidur. Kamu ambilkan saya obat tidur di dapur ya.” Kakek mengganti topik. “Sudah habis, Kek. Ibu belum beli lagi.” Jawabku, tentu berbohong. Sebetulnya masih ada beberapa di kotak obat, tapi Ibu bilang bahwa Kakek tidak boleh minum itu lagi. “Tadi pagi saya waktu anter sarapan, Kakek tidur kok.” Tambahku. “Nggak sih itu, saya Cuma baring-baring saja.” Bantahnya. Beliau memang suka begini. Nggak sadar kalau sudah tidur. Ya sudah, tidak saya gubris lagi. “Ini ya Kek makanannya sudah siap.” setelah selesai menata makanannya, aku pun keluar. Dari sudut mata aku melihat bahwa Kakek bangun pelan-pelan untuk makan.

Beberapa jam kemudian, alarmku berbunyi. Sudah waktunya membuatkan snack sore untuk Kakek. Untungnya Bang Didin membawa pulang Ubi Cilembu, tapi ia pergi lagi tadi jadi aku lagi yang mengantar makanan. Dan, ketika kubuka pintunya, ternyata Kakek sudah tertidur. Tuh kan, batinku.

Aku meletakkan snack sore berupa Ubi Cilembu dan teh panas di atas meja beliau, sambil agak membatin juga. Kakek ini memang agak susah tidur sih sebenarnya. Kalau kata Ibu, namanya juga orang tua ya begitu. Tapi, tadi pagi sudah tidur sampai jelang siang. Kok jam segini sudah tidur lagi? Tapi makan siangnya habis sih. Mungkin kekenyangan, fikirku.

Lalu aku melihatnya. Sebuah bungkusan kecil di lantai. Ya ampun, ini bungkus obat tidur! Kubereskan sisa makan siang, lalu aku pun kembali ke dapur. Kuperiksa kotak obat, obat tidurnya masih utuh. Lagipula, nggak mungkin Kakek keluar kamar ambil obat ke dapur dan aku nggak sadar. Wah, ini pasti kelakuan…

“Pakdeeeeeeeee!!!!!” teriakku. Pakde pun terbangun dari tidurnya di lantai. “Ada apa e?” tanyanya, masih loading setelah dibangunkan paksa. “Pakde beliin Kakek obat tidur ya tadi??” tanyaku, sambil meletakkan bungkusan obat tidur di hadapan Pak Kasim. “Iya, tadi saya waktu potong rumput di samping Kakek keluar terus minta saya belikan. Ya sudah saya belikan sesuai perintah.”

Ya ampun, murka lah aku. “Lho Bu Fiah kan sudah bilang, kalo Kakek minta dibelikan obat itu harus lapor dulu ke Bu Fiah! Jangan langsung diturutin!” omelku. “Lah, Bu Fiahnya kan nggak di rumah, saya harus tanya siapa dong?” tukasnya, sambil mencomot gorengan di sampingnya. “Iiiih Pakde harusnya kalo gitu ya bilang aja iya iya aja tapi nggak usah dibeliin!” omelku lagi. Pak Kasim malah ketawa, “Kalo gitu kan bohong namanya Bi!” jawabnya. “Yeee ini untuk kebaikan Pakde.”

Tapi Pak Kasim cuma menjulurkan lidah, lalu ngeloyor pergi ke toilet. Awas saja, aku laporin Bu Fiah nanti!

(Bersambung Ke Bagian 4)

================================================================

Kembali ke muka

Ke Bagian 4: