Legend of Legends : Chapter XVII – Lucifer Arise
Here goes Chapter 17!
—————————————————————————-
CHAPTER 17
LUCIFER ARISE
Mortwood telah membentuk pemerintahan baru dan mengubah sistemnya menjadi republik. Devilmare yang baru saja dihancurkan, telah menjadi kerajaan baru, dengan nama baru, dan berdiri sebagai jajahan Eleador. Michael Rafdarov menjadi raja baru di kerajaan yang kini bernama Luminaire dan hubungannya sebagai jajahan Eleador hanya sebatas pembayaran pajak ringan saja, serta aksi militer apapun harus dilaporkan. Sebagai gantinya, Eleador memberikan kekuatan militer yang lumayan pada Luminaire.
Pengangkatan Michael sebagai raja adalah salah satu bentuk pengawasan pada sisa-sisa kekuatan Devilmare lama. Toh rakyat juga setuju, saat diadakan perundingan antara The Chain dan Dewan Rakyat.
Lothar juga kembali ke Roxis dan mulai membangunnya kembali. Selain itu meski ia kembali pula pada jabatannya, tapi ia sesegera mungkin akan mencari penggantinya sebagai ksatria pemimpin.
Tanah Zenton telah terbebas dari penjajahan (kecuali Devilmare, yang sekarang bernama ‘Luminaire’, tentunya) dan kini dipenuhi kedamaian lagi. Semua negara yang kini telah merdeka, membayarkan upeti pada semua negara yang tergabung dalam The Chain, berhubung kini hubungan Zenton dengan Dark Land telah terbuka.
Meski Devilmare sudah hancur, tapi Marino, Meissa, dan Darpy tetap menghimbau untuk siaga sebab Rafdarov masih ada entah di mana, tapi dia akan kembali sekitar tiga bulan lagi. New Belsampos dan Lovenia mengirimkan pasukan gabungan yang berisi 2000 prajurit khusus untuk mengamankan wilayah tepat di mana Rafdarov akan kembali.
Rido Matius mengatakan bahwa sihir yang melindungi Lucifer’s Den hanya akan punah jika Lucifer telah dibangkitkan. Menurutnya, Lucifer’s Den sudah berhasil dipenuhi, dilihat dari pasukan iblis yang telah mengelilinginya. Tapi kata seorang mantan pejabat Devilmare, masih ada satu syarat yang belum dipenuhi oleh Rafdarov, yaitu memasukkan pedangnya ke ruangan utama Lucifer’s Den. Ia belum melakukannya karena saat baru mengetahui syarat tersebut, ia baru mau menghadapi pasukan Marino. Ia memilih untuk sekalian menghabisi pasukan Marino sebelum membangkitkan Lucifer dan ternyata malah menghilang.
Berbagai alternatif cara telah dipergunakan untuk mencoba membobol perisai sihir tersebut, tapi semuanya gagal.
Marino mengumpulkan semua panglimanya yang ikut ke misi pembebasan Zenton, juga Bimo. Pertama, ia meminta, agar beberapa ariel cannon dipasang mengelilingi area di mana Rafdarov V menghilang, berapa lamapun waktu yang dibutuhkan. Kedua, ia memerintahkan agar pasukan asal Crin’s Blade dipulangkan ke Crin’s Blade kecuali pasukan Jasmine, Black, dan Daffy. Ketiga, selain ariel cannon, ia memerintahkan dipasangnya meriam-meriam api, tapi berisi pecahan-pecahan besi dan mata panah seperti yang pernah dilakukan oleh Daisy, mengelilingi area tadi.
Beberapa hari kemudian, Marissa melapor pada Marino bahwa Meissa telah tiba di pelabuhan Gallowmere untuk berkunjung. Marino dan seluruh pasukan yang masih ada di Devilmare langsung bermigrasi ke Gallowmere untuk berkunjung pula.
Setibanya di sana, Marino mendapati bahwa ternyata Ratu Darpy telah tiba terlebih dahulu. Mereka mengobrol panjang lebar tentang apa yang telah mereka raih, dan berhasil didapatkan dengan, sayangnya, kurang sempurna.
“Bagaimana kalau Rafdarov kembali?” tanya Meissa yang menggendong anaknya.
“Kita bisa menggempurnya. Toh yang terbawa olehnya cuma beberapa prajurit saja. Betul, Marino?” tanya Darpy.
Marino menggeleng. “Memang, tapi yang kita perlu khawatirkan bukanlah pasukannya, melainkan Rafdarov sendiri. Pedangnya dapat menyerang dalam radius sepuluh meter, itu tidak ada kontak. Tapi tenaga yang terpancar… pedang iblis. Makanya itu, aku memasang senjata jarak jauh di sekeliling areanya dan jaraknya lebih dari sepuluh meter. Meski begitu, aku yakin dia tidak mungkin dihentikan dengan semudah itu. Setidaknya, kita harus memperlambatnya,” kata Marino. Semua terdiam sejenak.
“Marino… eh… bisakah para pengawal keluar sebentar saja?” minta Meissa, lalu Phalus memberi isyarat agar para penjaga keluar dari ruang pertemuan tersebut.
“Kapankah kau akan menikah?” tanya Meissa, membuat wajah Marino memerah, juga Daisy yang duduk persis di sebelahnya. “Eh, belum tahu. Yang jelas, aku ingin agar dilaksanakan setelah semua telah berakhir,” ungkapnya.
Makan malam telah usai, lalu semua tamu dipersilahkan ke kamarnya masing-masing. Marino terlebih dahulu pergi ke pandai besi untuk sedikit mengasah senjatanya. Setelah selesai, ia bergegas ke kamarnya yang terletak di lantai empat. Sesampainya ia di sana, ia melihat bahwa telah ada orang di situ. Eko dan Daisy.
“Hai. Kupikir kita bisa mengobrol di sini untuk beberapa saat saja,” kata Marino, tepat saat Daffy, Jasmine, dan Adin masuk ke dalam ruangan. “Wah, ramai sekali.”
Semalaman penuh mereka tidak tidur. Mereka mengobrol dan cekikikan sampai pagi, membuat beberapa prajurit di luar protes karena berisik. Baru paginya mereka dilanda kantuk yang luar biasa. Karena mengantuk, semuanya pergi ke kamarnya masing-masing, kecuali Daisy.
“Bagaimana menurutmu jika pernikahan kita dipercepat saja? Seperti… besok, misalnya?” pinta Daisy, membuat Marino melotot.
“Besok? Yang benar saja! Tapi aku setuju jika dipercepat. Mana bisa kita menunggu saja si iblis itu bangkit dulu? Bisa saja kita mati….”
Daisy memotong kalimat Marino, “…dan tidak sempat menikah. Kan sayang, Sayang.”
“Benar, sayang. Eh, bagaimana kalau dua minggu lagi? Kita pulang dulu ke Crin’s Blade,” Marino menawarkan, luluh begitu melihat tatapan mata Daisy yang dalam.
“Kalau minggu depan, bagaimana? Hei, jangan melihatku seperti itu…,” Daisy masih menatap Marino yang kini membalas dengan tatapan yang sama. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.
Sudah menjelang siang, melihat matahari yang mulai tinggi. Keduanya segera bergegas bangun. Sepuluh menit kemudian telah siap dengan pakaian kerajaan yang mereka bawa. Marino merogoh sakunya, menemukan mahkotanya di situ, tapi ia tidak mau memakainya. Ia memakaikannya di kepala Daisy.
“Eh, apa-apaan?” Daisy amat terkejut. “Aku ini bukan siapa-siapa. Mahkota ini kan diharamkan jika dipakai oleh…,” Marino tersenyum, membuat Daisy berhenti. “Kau adalah ratu. Ratuku.”
Tapi toh Daisy tidak memakainya. Mereka pergi ke ruang pertemuan, mendapati semuanya telah hadir… kecuali yang semalam ikut mengobrol.
Rombongan Daffy, Jasmine dan yang lainnya tiba beberapa saat kemudian. “Kami tidak tidur semalaman…,” gerutu Eko yang masih setengah bangun.
Sementara itu, Luminaire sedang dilanda teror, sebab timbul gerombolan pemberontakan yang berisi sisa-sisa prajurit Devilmare lama. Mereka menamakan dirinya Devil Rebellions. Kekuatannya lumayan besar, sekitar 300 orang dan beroperasi secara rahasia. Michael pernah mengirimkan pasukan ke daerah-daerah yang diperkirakan dihuni oleh mereka, tapi mereka tidak ditemukan. Gerakan tersebut jelas sangat profesional. Karena masalah ini, Michael memilih untuk menyebarkan mata-mata ke masyarakat untuk mencari informasi, dan memperkuat benteng-benteng.
Black melaporkan bahwa pasukan The White Garda membutuhkan dana untuk mengganti armor dengan yang baru, sebab blacksmith Gallowmere telah menemukan armor jenis baru yang dirancang khusus untuk penunggang kuda berikut kudanya sekalian. Kekuatannya pun lebih besar dalam menahan serangan. Pihak istana mengatakan bahwa produksi armor ini sangat terbatas, dan sebetulnya hanya diproduksi untuk pasukan Scherduke Gallowmere, tapi mereka memberikan penawaran khusus untuk pasukan The White Garda dan dengan harga yang murah pula. Marino menyetujuinya.
Khusus untuk pasukan The White Garda, armor-armor tersebut dibuat berwarna perak-putih dan ada emasnya juga agar cocok dengan nama pasukannya, sebab yang asli berwarna hitam abu-abu dan emas. Sekitar tiga minggu baru armor-armor tersebut selesai dibuat. Memang, bentuknya saja sangat artistik , Marino pun mengakuinya.
Ternyata Marino dan keempat kawannya, yaitu Eko, Adin, Daffy dan Daisy, juga diberikan armor secara cuma-cuma. Desainnya beda dari yang diberikan untuk The White Garda. Kata Phalus, cuma dibuat sepuluh buah armor semacam ini, tujuh armor pria dan tiga armor wanita. Armor-armor ini dibuat dari platinum murni dan dilapisi dengan sedikit emas dan perak untuk memberikan ukiran yang indah. Armor yang didapatkan oleh Daisy berbeda sendiri dari empat lainnya, karena dia wanita, dan motifnya paling indah. Selain besi, armor-armor tersebut dilapisi magic api tipis sehingga dari kejauhan tampak merah mengkilat.
Sebagai balasannya, Marino mengirim surat dengan Amber untuk memerintahkan pengiriman upeti berupa meriam-meriam api sejumlah dua ratus kepada Gallowmere. Selain itu, Marino membeli tiga ratus kapal kecil dari Fraternite, yang memilliki Ariel cannon, dan seratus diberikan pada Gallowmere.
Marino menghabiskan waktunya di Zenton untuk mengadakan beberapa pertemuan antar pemimpin negara untuk membangun hubungan diplomatik. Setelah itu, ia kembali ke Crin’s Blade. Rakyat menyambutnya dengan penuh sorak sorai. Meissa dan Ratu Darpy, yang telah tiba lebih dulu, juga berada di situ. Semua mendesaknya untuk melakukan pidato akbar di istana ibukota mengenai keberhasilannya. Marino tiba-tiba menjadi tegang. Ia belum pernah melakukan pidato di depan seluruh rakyat seperti ini.
Perjalanannya menuju istana ibukota diiringi oleh berbagai macam pawai dan hiburan, dan kiri-kanannya dipenuhi oleh rakyat yang ingin melihatnya dari jarak yang lebih dekat. Daisy berjalan dengan bangga di belakangnya bersama Eko, Adin, dan Daffy. Di belakangnya lagi ada Kaine, Black, Yogin, Aisha, Marissa, beberapa ksatria kehormatan lainnya lalu diikuti dengan pasukan The White Garda dengan armor baru.
Akhirnya ia berhasil tiba di podium halaman depan istana. Di atas podium itu ada sebuah alat pengeras suara.
“Ayo, rakyat menunggumu,” kata Marissa, mendorongnya ke podium. Marino mendekat ke podium, dan mengecek dulu alat pengeras suaranya, yang ternyata tidak bermasalah. Ia pun mulai berbicara.
“Semua sahabat yang hadir di sini. Ibu-ibuku, Ayah-ayahku, saudara-saudariku, serta anak-anakku” ia memulai, tanpa mengucapkan ‘rakyatku’. “Dengan bangga saya umumkan bahwa hal yang saya kampanyekan telah berhasil saya capai. Zenton telah merdeka!” rakyat pun bersorak riuh. Marino mengangkat tangannya dan rakyat pun diam. “Tentu, ini tidak akan tercapai tanpa bantuan negara-negara sahabat kita, Apocalypse,” ia melirik Ratu Darpy dan suaminya, “dan tentu saja, Eleador.” Rakyat bertepuk tangan saat ia melirik ke Meissa. “Tak lupa saya ucapkan terima kasih pula pada Fraternite, suku fantastis yang kini menjadi persemakmuran dengan Apocalypse. Semuanya telah memberikan berbagai macam dukungan yang membuat misi ini menjadi mungkin, dan yang paling penting, membuat misi ini berhasil!” rakyat bersorak lagi. “Tapi,” Marino memelankan suaranya. “sangat banyak korban yang jatuh dalam pelaksanaan misi ini, dan diantaranya adalah strategis kita yaitu Feizal Zuchry,” rakyat berbisik ribut. “Wafatnya beliau tidak sia-sia, dan pasti akan dikenang dalam sejarah Crin’s Blade. Jenasah beliau telah dimakamkan di Zenton, tepatnya di Gallowmere, tapi saya berencana memindahkannya kemari dengan izin istrinya, yaitu Aisha. Atas nama Crin’s Blade kami mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya.” keadaan menjadi hening. “Feizal hanya salah satu dari puluhann ribu orang yang menjadi korban dalam misi ini, jadi hendaknya kita tidak usah terlalu senang,” Marino terus berbicara selama sekitar setengah jam mengenai berbagai hal yang terjadi di Zenton, apa yang terjadi pada Devilmare, dan juga bahwa Rafdarov V belum mati.
Selesai pidato, ia pergi ke markas The Chain untuk mengadakan rapat evaluasi dengan seluruh anggota lainnya.
Beberapa hari kemudian, Marino sedang berbaring di taman bunga bersama Adin, Eko, Daffy, Daisy, dan Jasmine, saat Marino tiba-tiba terpikir sesuatu.
“Tidak lama lagi Rafdarov akan kembali. Sepertinya tidak baik jika kita hanya bengong saja di sini dan menanti. Kalian tahu hanya kita yang bisa menghentikan semua ini,” kata Marino.
“Kalau menurutku, kita harus kembali ke sana. Kita harus mencegah kebangkitan Lucifer. Kan lebih bagus kalau dia tidak perlu bangkit sekalian,” Adin bergumam.
Marino mengangguk. “Besok. Kita akan berangkat besok pagi dengan The White Garda.”
Keesokan paginya, mereka sarapan bersama-sama, dan mengadakan rapat. “Dalam misi ini, saya akan membawa keempat sahabatku, Black dan Rido Matius,” kata Marino.
Rido angkat bicara, “Tapi aku tidak setuju jika pasukanku ikut juga.”
“Tidak apa-apa. Cukup The White Garda saja. Akan kubawa lima ratus personil. Memangnya kenapa pasukanmu?” tanya Marino. “Aku ingin agar pertahanan dalam negeri ditingkatkan. Kalau kita gagal….”
Marino mengggeleng, “Kita tidak akan gagal, tapi boleh juga untuk mengantisipasi kemungkinan. Nah, kita berangkat satu jam lagi. Rapat selesai.”
Saat semua telah keluar dari ruangan, Rido bergumam sesuatu tapi tidak ada yang mendengarnya. Ia berkata, “Sumpah abadi itu ada untuk dilaksanakan. Bukan untuk dicegah.”
Kapal-kapal tempur telah berangkat. Marino berencana untuk melakukan pendaratan perang saja di wilayah New Belsampos agar lebih cepat. Ia mengirimkan Amber untuk menyampaikan berita bahwa ia akan mendarat secara langsung kepada raja New Belsampos.
Setelah ia mendarat di Zenton dengan kekhawatiran yang semakin meningkat, tanpa menunggu disambut pihak kerajaan, ia memerintahkan agar pasukannya segera melesat ke area kebangkitan Rafdarov V. Dia dan pasukannya memacu kuda masing-masing dengan kecepatan maksimum.
Saat mereka telah tiba di lokasi, mereka terkejut melihat keadaan. yang telah porak poranda. Mayat bergelimpangan di mana-mana dan meriam-meriam telah hancur. Langsung Marino memacu kudanya lebih cepat dan melesat menuju Lovenia. Marino menduga bahwa Rafdarov pasti melewati Lovenia untuk mencapai Lucifer’s Den.
Setibanya mereka di sana, ternyata tidak ada apa-apa. Setelah minta izin lewat pada pasukan penjaga perbatasan, Marino melesat lagi menuju Luminaire. Dari pantai timur laut Luminaire, Lucifer’s Den bisa tampak,. Marino amat yakin bahwa pasti akan ada sesuatu.
Benar saja. Begitu Marino tiba di salah satu benteng Luminaire, ada pasukan yang siap diberangkatkan. “Pasukan iblis dari Lucifer’s Den keluar dan menyerang kami,” kata komandan pasukan tersebut.
“Kami akan membantu kalian,” kata Marino, ia segera bergegas.
Begitu tiba di wilayah utara dekat pantai, Marino menyaksikan pertempuran yang dasyat. Pasukan iblis yang ini bisa terbang rendah, sekitar empat meter dari permukaan tanah. Panah-panah dan tombak beterbangan kesana-kemari. Mayat-mayat berserakan, baik mayat iblis maupun manusia.
Tiba-tiba armor yang ia pakai, yang ia dapatkan dari Gallowmere, terasa hangat di tengah musim dingin yang terjadi di Luminaire. Keempat kawannya merasakan hal yang sama. Ini pasti akibat magic apinya. Segera saja Marino memberikan perintah menyerang.
Akan tetapi dia sadar bahwa ada yang lebih penting daripada membantu Luminaire bertahan. Ia memanggil keempat temannya, lalu terus menderu ke arah utara. Sekitar dua puluh ksatria mengikutinya. Saat ia tiba di pantai, ia melihat dengan alat pembesar bahwa ratusan pasukan iblis kini sedang beterbangan keluar dari Lucifer’s Den, bukan ke arah Luminaire, melainkan ke arah Dark Land.
Di sekitar lucifer’s Den, tampak ada puluhan kapal perang mencoba menembaki pasukan iblis tersebut. Lumayan juga yang tertembak jatuh, tapi hanya satu banding seribu yang berhasil lolos terus. Ada pula beberapa kapal yang mencoba menembaki Lucifer’s Den. Rido Matius mendekat. “Kalian tidak bisa mencegah takdir kalian! Sumpah abadiku akan terwujud!” katanya sambil melihat ke arah Lucifer’s Den. “Lucifer belum bangkit,” bisiknya. Beberapa pasukan iblis menghantam Daffy dari belakang, mengalihkan perhatian semuanya dan mereka bertempur sejenak dengan beberapa iblis.
Setelah berhasil mengalahkan mereka, Marino menoleh lagi ke arah Lucifer’s Den, dan melihat bahwa sudah tidak ada pasukan Iblis yang keluar dari sana. Ada beberapa kapal tempur Luminaire yang tampak berusaha mengejar para iblis tersebut. Tapi puluhan kapal lainnya mulai membombardir habis Lucifer’s Den. Marino melirik ke arah Rido. “Kalau hancur lebur sebelum prosesnya selesai?” tapi Rido hanya diam.
Lucifer’s Den hancur menjadi berkeping-keping. “Nah, Lucifer tidak akan bang…” Daisy tidak menyelesaikan kalimat itu dengan semestinya, “…sat…” sebuah bayangan yang amat besar melesat dari reruntuhan Lucifer’s Den dan melayang-layang di langit. Rupanya tidak jelas, hanya seperti gumpalan awan hitam raksasa.
Rido mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan berteriak, “Kemari kau!!!!!” tapi bayangan tersebut langsung meluncur ke arah Dark Land. “Marino,” geram Rido, “kita harus kembali sekarang. Lucifer sedang menuju ke Dark Land. Mungkin ke Crin’s Blade.”
Rido terbang ke salah satu kapal tempur. Setelah beberapa menit, sebuah suitan panjang terdengar. Kapal-kapal tersebut langsung mendekat ke pantai, dan sekoci-sekoci diturunkan. Marino menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pasukannya telah kembali.
Pasukannya langsung menaiki kapal-kapal tempur tersebut dan mulai berlayar menuju Dark Land. Marino menyadari bahwa negaranya kini berada dakam bahaya. Bahkan, seluruh pulau juga berada dalam bahaya. Marino dan kawan-kawannya yang lain adalah yang pasti paling dibenci oleh Rafdarov V dan Lucifer. Karena itu, kelihatannya sudah pasti bahwa Crin’s Blade-lah yang akan diserang Lucifer.
Sudah berjam-jam sejak ia berangkat dengan kapal-kapal ini. Beberapa kapal lain ikut bergabung, yang ternyata berasal dari Gallowmere dan Grandminister. Kapal-kapal itu juga berisi pasukan untuk membantu Marino.
Tiba-tiba ada gumpalan awan hitam tampak dan kian mendekat. Mario menyuruh semua kapal siap tembak. Awan tersebut ternyata sebenarnya merupakan kawanan pasukan iblis terbang yang berjumlah ratusan. Berbeda dari yang dihadapi Marino di utara Luminaire, mereka bisa terbang tinggi.
Seiring dengan perintah Marino, isyarat peluit panjang dan nyaring terdengar, dan kapal-kapal serentak menembakkan meriam-meriam api ke udara. Banyak sekali iblis yang berjatuhan dari langit terkena meriam dan jatuh ke air dalam keadaan hangus terbakar. Puluhan dari mereka berhasil lolos dan mencoba menaiki kapal-kapal, tapi langsung disambut oleh pedang-pedang dan tombak para prajurit.
Dalam keadaan hiruk pikuk seperti itu, datang lagi awan yang terdiri dari ratusan pasukan iblis terbang. Beruntung, datanglah konvoi besar armada laut gabungan Apocalypse dan Fraternite. Langit yang mulai gelap kini dipenuhi percikan-percikan api dan kilatan cahaya. Malam membuat pasukan iblis makin sulit dilihat, tapi lumayan bisa diatasi.
Menjelang pagi, pasukan iblis telah dapat dikalahkan, dan diperkirakan secara total sekitar seratus lima puluh prajurit terbunuh dan ratusan lainnya terluka.
Perjalanan menuju The Dark Land yang lama membuat kesabaran Marino habis. Akhirnya setelah mereka tiba Marino dan pasukannya bergegas menuju ibukota. Ternyata ibukota aman-aman saja. Marino dan keempat kawannya berlari ke dalam istana dan bertemu beberapa orang prajurit Eleador.
“Ibukota Eleador dikuasai oleh iblis,” kata komandan regu prajurit tersebut.
Eko berpikir sejenak, dan akhirnya berkata, “Kusarankan agar kita menyerangnya dengan kekuatan yang besar,” ia melirik Rido, yang mengangguk setuju.
“Baiklah. Marissa, Jasmine, Dalel, Pavatov, dan Ullyta serang langsung dari arah barat. Masing masing kekuatan lima puluh persen. Ksatria yang lainnya juga ikut. The White Garda kekuatan penuh, Rido, Daffy, dan Adin, serang dari selatan untuk kejutan. Pasukan ini menyerang belakangan. Bergerak SEKARANG!” perintah Marino dan semuanya bubar.
Pasukan kini telah diberangkatkan. Pasukan pertama yang secara umum dipimpin oleh Dalel kini mendekat ke ibukota Eleador. Kota tersebut terlihat sangat gelap, padahal masih siang. Tanpa ragu, semuanya menderap maju ke kota. Segerombolan iblis menghadang mereka, tapi dapat diatasi dalam waktu yang relatif singkat. Akhirnya mereka berhasil juga memasuki kota yang kelam dan sepi itu. Begitu seluruh pasukan telah memasuki kota, sesuatu terjadi….
Untuk menyerang ibukota Eleador dari arah selatan, rintangan yang dilewati lebih banyak. Marino memimpin pasukannya, pertama ke sebuah kota kecil bernama Kerbon. Di sana, ada pasukan iblis yang jumlahnya sedikit sedang bertempur dengan prajurit-prajurit Eleador dan tentara rakyat. Segera saja Marino membantu. Pertempuran berlangsung tidak singkat, tapi selama sekitar dua hari, karena begitu sengitnya. Saat Marino sudah bersiap untuk ke kota berikutnya, pasukan Eleador yang berjumlah sekitar dua ratus orang itu menawarkan diri untuk ikut, tapi Marino meminta agar mereka tetap di situ untuk melindungi kota itu.
Berikutnya, Marino melewati sebuah benteng Eleador yang juga sedang diserang oleh pasukan iblis. Tapi berbahaya jika Marino mendekat, sebab pasukan iblis sendiri sedang susah payah mendekati kastil yang menghujani mereka dengan semburan panah dan magic. Karena itu, Marino memerintahkan agar pasukan magicnya maju dan membantu benteng tersebut. Sisanya melanjutkan perjalanan, dan melewati sebuah benteng yang lebih kecil. Di sekitarnya, banyak berserakan potongan-potongan tubuh manusia dan iblis. Sebuah pasukan yang terdiri dari sekitar enam ratus orang sedang berbaris bersiap untuk menolong benteng yang satu lagi.
Melihat bahwa tidak ada masalah, Marino lewat saja. Kini Marino dan pasukannya harus melewati hutan belantara yang juga dihuni oleh iblis. Pasukan Marino sering sekali berpapasan dengan pasukan penjaga hutan yang sedang bertempur dengan iblis. Marino menyarankan agar mereka meninggalkan saja hutan itu dan melindungi kota-kota dan desa sekitar.
Setelah keluar dari hutan, mereka kini berhadapan dengan benteng terbesar Eleador, yaitu Gryffin. Benteng yang berkapasitas lebih dari 100.000 prajurit ini baru beberapa bulan yang lalu selesai dibangun. Marino dan yang lainnya memutuskan untuk masuk dulu ke benteng itu. Ternyata, pasukan di dalam juga sedang kacau. Marino melihat dari menara utara kastil (tadi mereka masuk lewat selatan) ke arah hamparan padang rumput di utara kastil. Tampak dari kejauhan, ada ribuan, mungkin puluhan ribu pasukan iblis pejalan kaki dan penerbang rendah sedang melesat menuju ke kastil.
“Kami mengirim 20.000 prajurit ke ibukota, tapi mereka tidak kembali. Mereka cepat sekali, entah dari mana,” kata komandan benteng ini.
“Kita harus cepat,” kata Rido.
Setelah berunding beberapa saat, akhirnya diputuskan bahwa pasukan Marino dan pasukan benteng itu akan memimpin pasukan lurus ke arah para iblis itu, dan menahan mereka untuk sementara. Saat itu, Marino, keempat sahabatnya, dan sekitar lima puluh prajurit The White Garda akan menyelinap di pertempuran itu menuju utara.
Gerbang-gerbang raksasa dibuka dan ribuan prajurit menghambur keluar dan menerjang lurus ke arah para iblis. Pertempuran dasyat langsung terjadi. Walau kalah jumlah, tapi pihak iblis lebih terdesak, karena semenjak serangan iblis yang lampau, pasukan Crin’s Blade telah dibekali banyak ilmu tambahan.
Marino, Adin, Eko, Daisy, Daffy, dan lima puluh prajurit lainnya melesat dengan kuda-kuda mereka ke tengah kancah pertempuran. Tapi mereka berusaha mencari jalan di mana kontak banyak terjadi agar semua iblis sedang sibuk bertempur. Setelah beberapa kali terpaksa dihadang iblis, semuanya berhasil mencapai tepi padang rumput di utara. Kini mereka melintasi gunung-gunung tinggi.
Tiba-tiba datang segerombolan iblis menyerang mereka. “Kami tangani. Kalian terus saja!” kata para prajurit The White Garda. Tanpa menanggapi, Marino dan keempat sahabatnya terus memacu kuda mereka secepat mungkin.
Agak lama, tiba-tiba kuda mereka tidak mau berjalan lagi. Mereka berada di tepi sebuah jurang. Di bawah sana adalah sebuah kuburan yang amat luas. Itu adalah makam pahlawan dan prajurit Eleador yang gugur dalam pertempuran atau berjasa besar bagi negara.
Saat Marino memandang lebih jauh lagi, yaitu ke arah bukit lain di utara kuburan tersebut, tampak ibukota Eleador yang ditutupi awan hitam pekat. Sangat kecil, karena sangat jauh, tapi cukup untuk memberi tahu mereka ada apa di situ.
Adin mengeluarkan beberapa gulungan tali, lalu membagi-bagikannya pada teman-temannya. Mereka mengikatkan tali-tali itu pada batu-batu yang kelihatannya mampu menopang.
“Apakah kalian siap?” tanya Eko. “Kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan.” kata Daisy, menggenggam lengan Marino. “Benar, dan segel tersebut pasti telah menunggu di bawah sana. Ayo kita turun,” kata Daffy.
“Kita selesaikan semuanya. Sekarang.”
[End of Chapter XVII]
[Coming up next, Chapter XVIII: Oath of Prophecy?]