Keunggulan Fiqh (fi) al-Jihad dibandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional dan (Mungkin) Pekerjaan Rumah bagi Ulama?
PENDAHULUAN
Hukum internasional sudah muncul sejak zaman baheula, sejak mulai ada unit-unit politik terbentuk di umat manusia dan antar unit ini kemudian saling berinteraksi. Islam pun memiliki aturan-aturan sendiri untuk berhubungan internasional, yang dikenal dengan Al-Siyaar. Sejak lama ulama-ulama Islam misalnya Imam Al Shaybani dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad mereka yang relevan dengan Al Siyaar.
Ternyata kontribusi ulama-ulama Islam banyak sekali dalam perkembangan hukum internasional. Misalnya dalam asas yang sangat dasar yaitu pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati). Sekarang asas ini sudah diakui sebagai aturan baku, sebagaimana diatur di Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional Antar Negara Pasal 27. Tapi dulu bagaimana? Jean Pictet dalam bukunya Development and Principles of International Humanitarian Law hlm 16 (Henry Dunant Institute, Jenewa, 1985) menulis bahwa di abad pertengahan, kaum Muslim selalu mematuhi perjanjian mereka dalam keadaan apapun padahal kaum Nasrani berpegang bahwa perjanjian dengan orang kafir (dari perspektif Nasrani) boleh ditinggalkan semaunya.
Demikian pula dalam hukum perang, yang mana perang merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia dan terutama hukum internasional, karena itu hukum perang (yang dikenal dengan hukum humaniter internasional alias HHI) sebetulnya sudah memiliki sejarah yang sangat panjang. Jean Pictet di buku yang disebut di atas tadi menjelaskan perkembangannya dari sejak sebelum masehi. Bagaimanakah peran Islam dalam perkembangan HHI tersebut? Jean Pictet sendiri menjelaskan betapa besar kontribusi Islam, misalnya Jean Pictet di hlm 16-17 menunjukkan bagaimana the Principle of Distinction (pembedaan antara kombatan dan non-kombatan) sudah dikenal dalam peradaban Islam sejak abad 13. Beliau mungkin tidak tahu bahwa aturan tersebut sudah lama sekali dikenal dan tersebar dalam banyak hadist, yang dirangkum oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang diriwayat oleh Imam Malik di Al Muwaththa Bab 21 Hadith No. 10 (Cetakan Madinah Press, Granada, tahun 1992).
Sudah banyak kajian di mana Islam ternyata memiliki banyak kaidah yang bersesuaian dengan HHI, walaupun barangkali juga disebabkan karena Islam juga berperan dalam sejarah pembentukan HHI. Ternyata, selain sekedar kesesuaian, ada juga hal-hal di mana Islam menerapkan standar-standar yang lebih unggul. InshaaAllah dalam tulisan ini akan dijabarkan beberapa keunggulan hukum Islam dalam jihad dibandingkan dengan HHI, walaupun barangkali ada beberapa PR untuk para ulama fiqih jihad.
KEUNGGULAN-KEUNGGULAN FIQH AL-JIHAD
Keunggulan-Keunggulan ini saya sarikan dari tulisan saya di Jurnal Mimbar Hukum serta proposal disertasi S3 saya (semoga diterima AMIIN), dengan beberapa pembaharuan seiring dengan beberapa informasi baru yang telah saya dapatkan. Tentu ini membutuhkan banyak koreksi karena itu saya ingin juga mendapatkan masukan dari para pembaca.
Perlakuan Terhadap Tawanan Perang: Kisah Perang Badar
Secara umum, HHI memerintahkan adanya perlakuan yang manusiawi terhadap tawanan perang, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 13-14 Konvensi Jenewa III tahun 1949. Ini lebih dijabarkan lagi dalam standar minimum dalam hal makanan dan pakaian, kebersihan dan kesterilan tempat penahanan, dan lain sebagainya, di Pasal 25-29 konvensi yang sama.
Dalam hukum Islam, secara umum memang ada keumuman perintah untuk memperlakukan tawanan dengan baik. Dalam Tafsir Al Adziim (Vol 10, hlm, 289, cetakan Darussalaam Riyadh), Imam ibn Katheer meriwayatkan bahwa setelah perang Badr, Rasulullah s.a.w. bersabda “Perlakukanlah tawanan perang dengan baik.” Shaykh Yusuf Al Qardhawi juga menuliskan hal yang sama di Kitab Fiqih Jihad (Penerbit Mizan, Bandung, 2010) hlm 693. Karena itu, secara standar minimal, tampak memang standar dalam hukum Islam sejalan dengan HHI.
Akan tetapi, ternyata dalam Sunnah dapat kita temukan ada sedikit kelebihan pada hukum Islam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam ibn Kathiir dalam Tafsir al Adziim (Vol 10 hlm 212), pasca perang Badar Rasulullah s.a.w., para Sahabat (radhiallaahu ‘anhuma) bukan sekedar memperlakukan tawanan dengan baik melainkan mereka memprioritaskan para tawanan di bandingkan diri mereka sendiri. M. Adil Salahi menulis dalam bukunya Muhammad: Man and Prophet hlm 257 (Elements Books, Dorset, 1995) bagaimana para tawanan terkejut ketika mereka ditawari roti dan susu, sedangkan pasukan Muslim sendiri cuma sekedar makan kurma saja.
Sungguh ini amalan yang begitu indah sebagai perwujudan Firman Allah dalam Surah Al Insan ayat 8:
وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينً۬ا وَيَتِيمً۬ا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”
Menariknya, para Ulama mengatakan bahwa ini bukan sekedar dimaksudkan untuk tawanan perang saja. Imam ibn Katheer dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Ikrimah, ibn Jarir, Sa’id bin Jubayr, ‘Ata’, Al-Hasan, dan Qatadah, mengatakan bahwa ayat ini juga dimaksudkan untuk budak. Okelah Islam tidak menghapus perbudakan serta merta, kalau bukan di zaman modern. Tapi, di zaman itu, ajaran mana lagi yang menganjurkan pembebasan budak apalagi memperlakukan budak dengan baik sekali?
Intinya, dalam memperlakukan tawanan perang, jelas tampak ada kelebihan dalam hukum Islam yang berupa amalan sunnah yang dilakukan para sahabat dalam menafsirkan perintah Rasulullah s.a.w.. Ini juga menunjukkan kelebihan hukum Islam yang bukan sekedar memberi batas minimal berupa larangan atau perintah sebagaimana hukum-hukum sekuler, tetapi memberi juga amalan-amalan sunnah yang tidak wajib tetapi sangat baik dan ada insentif berupa pahala.
Mungkin bagi kalangan sekuler atau kafir akan merasa “ini tidak konkrit”. Tapi tentu mereka beda dengan orang-orang bertaqwa, yang dijelaskan oleh Allah dalam Surah Al Baqarah ayat 3 memiliki ciri-ciri antara lain:
… ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
“[yaitu] mereka yang beriman kepada yang ghaib…”
Perlindungan Terhadap Lingkungan dalam Konflik Bersenjata
Antoine Bouviere, seorang pakar HHI dari the International Committee of the Red Cross atau ICRC (ICRC ini terkenal di kalangan awam sebagai Palang Merah Internasional yang sekedar memberi bantuan kemanusiaan, tapi jika anda meneliti lebih lanjut ternyata mereka juga berperan mempromosikan serta mengembangkan HHI), Hukum internasional baru mulai memikirkan tentang lingkungan di tahun 1970an. Tahun 1972 baru muncul Deklarasi Stockholm tentang komitmen internasional dalam menyelamatkan lingkungan. Ini adalah karena saat itu baru mulai ada kesadaran internasional tentang kerusakan lingkungan yang makin parah dan bisa berdampak fatal secara global.
Allah sudah lama memperingatkan kita tentang hal ini. Firman-Nya dalam Surah Al Baqarah ayat 60:
ڪُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ مِن رِّزۡقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ
“Makan dan minumlah rezki [yang diberikan] Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”
Ada juga Firman-Nya tentang dampak kerusakan lingkungan yang bisa jadi menimbulkan musibah, yakni di Surah Ar-Ruum ayat 41:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].”
Jelas menunjukkan kelebihan Islam dalam hukum-hukumnya.
Ketika pembahasan berlanjut khusus tentang perang, tentu lingkungan akan ada kerusakan baik itu banyak maupun sedikit. Antoine Bouvier dalam tulisan yang sama seperti sebelumnya menjelaskan bagaimana HHI baru merumuskan ketentuan khusus perlindungan lingkungan saat perang ya setelah pengaturan perlindungan lingkungan dalam konteks umum. Dari sejarah panjang HHI modern (mulai 1864), aturan perlindungan lingkungan ini baru ada pada tahun 1977 yaitu saat dibuat Protokol Tambahan I untuk Konvensi Jenewa.
Ketentuan ini diwujudkan dalam Pasal 35 dan 55 pada Protokol Tambahan I tersebut, tetapi bukan sekedar tidak boleh merusak lingkungan sama sekali (ya kalo total tidak boleh nanti kita jalan kaki pun bisa melanggar). Kedua pasal tersebut melarang menimbulkan kerusakan yang bersifat “…severe, widespread, and long term.” atau ‘parah, meluas, dan berjangka panjang’. Perhatikan bahwa digunakan kata and yang artinya adalah bahwa ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi secara kumulatif.
Bandingkan dengan hukum Islam yang sejak lama sekali sudah memberikan larangan untuk merusak lingkungan, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. saat mengirimkan pasukan ke Shaam, yang disebut sebagai rangkuman perintah-perintah Rasulullah s.a.w. terkait perang:
وَإِنِّي مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لاَ تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلاَ صَبِيًّا وَلاَ كَبِيرًا هَرِمًا وَلاَ تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا وَلاَ تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا وَلاَ تَعْقِرَنَّ شَاةً وَلاَ بَعِيرًا إِلاَّ لِمَأْكُلَةٍ وَلاَ تَحْرِقَنَّ نَحْلاً وَلاَ تُفَرِّقَنَّهُ وَلاَ تَغْلُلْ وَلاَ تَجْبُنْ
““Sesungguhnya aku berwasiat kepadamu dengan sepuluh hal, jangan membunuh perempuan, jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh orang tua yang sudah tak berdaya, jangan menebang pohon yang sedang berbuah, jangan merobohkan bangunan, jangan menyembelih kambing dan unta kecuali sekedar untuk dimakan, jangan merusak pohon kurma, jangan membakar pohon kurma, jangan berkhianat, jangan menjadi pengecut”
Ini diriwayatkan oleh Imam Malik, dengan referensi yang sudah dirujuk di depan tadi. Riwayat ini menunjukkan kaidah umum yang melarang merusak lingkungan saat perang. Memang betul ada riwayat sahih di mana Rasulullah s.a.w. memerintahkan penebangan dan pembakaran pohon saat berperang melawan Banu Nadir di Al Buwayra (lihat Sahih Al Bukhari, Vol. 5, Hadith No. 365, cetakan Kazi Publications Lahore tahun 1979). Dalam Bidayatul Mujtahid hlm 461 (cetakan Garnet Publishing, Reading, tahun 2000), ibn Rushd mengatakan bahwa ini menimbulkan perbedaan pendapat antara Ulama. Ibn Rushd juga mengatakan bahwa dua dalil ini dapat digabungkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa boleh menimbulkan kerusakan kepada lingkungan tapi hanya sejauh yang betul-betul dibutuhkan.
Pertama, ini menunjukkan bahwa hukum Islam telah jauh mendahului HHI dalam melindungi lingkungan saat perang. Kedua, standarnya pun lebih tinggi. Dalam HHI, sebagaimana tadi dijelaskan, kerusakan lingkungan baru dilarang ketika sudah ‘parah, meluas, dan berjangka panjang’ walaupun sebetulnya sudah melampaui apa yang dibutuhkan untuk perang. Bandingkan dengan hukum Islam di mana ketika kerusakan sudah melebihi kebutuhan saja sudah cukup untuk dikatakan melanggar.
Larangan Menggunakan Api
Dalam HHI, ada kaidah umum yaitu larangan menyebabkan ‘superfluous injuries and unnecessary suffering’ atau penderitaan dan cedera yang berlebihan (lihat Pasal 35[2] Protokol Tambahan I 1977). Secara umum Islam juga melarang penyiksaan, dalam hadith yang sangat kuat:
إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
“Allah akan menyiksa mereka yang menyiksa orang lain di dunia”
Hadith ini diriwayatkan dalam Sahih Muslim, Hadith No. 6328 (Vol. 4, cetakan Ashraf Press, Lahore).
Sebagai salah satu perwujudan kaidah ini, HHI membatasi penggunaan senjata yang sifatnya membakar yang dikenal dengan incendiary weapons misalnya Napalm Bomb dan lain sebagainya melalui Protocol on the Prohibitions or Restrictions on the Use of Incendiary Weapons 1980. Akan tetapi, menariknya, di sini tidak ada larangan mutlak melainkan sekedar menghindari agar non-kombatan tidak terkena (Pasal 1[5] dan 2. Padahal tentu mati terbakar adalah sebuah kematian yang amat menyiksa.
Justru hukum Islam memberikan larangan yang umum terhadap penggunaan api. Ibn Rushd dalam Bidayatul Mujtahid hlm 460 bahwa Rasulullah s.a.w. tegas melarang menggunakan api untuk membakar manusia. Walaupun di halaman yang sama ibn Rushd melanjutkan bahwa Ulama berbeda pendapat apakah larangan ini adalah mutlak dalam segala situasi atau boleh dikecualikan ketika musuh juga menggunakan api, tapi kedua pendapat ini jelas sama-sama memiliki standar lebih tinggi dari HHI. Menurut pendapat yang boleh sekalipun, itu hanya ketika musuh menggunakan api duluan. Sedangkan dalam HHI, walau musuh tidak menggunakan tapi boleh menggunakan selama hanya kena musuh saja –dan yang kena pun bisa mati menderita.
Di sini perlu disinggung bagaimana Dawlah Al-Khawarij di Suriah dan Irak telah menantang kaidah ini dengan membakar pilot Yordania hidup-hidup, dengan dalil antara lain bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan Khalid bin Walid r.a. pernah melakukannya. Akan tetapi, hal ini sudah dibantah oleh Komite Fatwa Al Azhar yang menyebutkan bahwa riwayat-riwayat tersebut dhaif.
P.R. UNTUK PARA ULAMA FIQIH?
Banyak ulama yang menjelaskan kebolehan menggunakan senjata modern semacam bom dan rudal dan lain sebagainya. Misalnya adalah Shaykh Abdullah Azzam dalam bukunya Jihad: Adab dan Hukumnya hlm 42-43 (Gema Insani Press, Jakarta, tahun 1993). Shaykh Al Qardhawy dalam Fiqh Al Jihad hlm 489-499 pun membolehkannya, walaupun penjelasan beliau mungkin perlu ditelaah lebih lanjut. Di satu sisi beliau mencampur penjelasannya bersama senjata-senjata pemusnah masal, tapi di sisi lain beliau membatasi kebolehan penggunaannya adalah dalam perang defensive saja. Saya membayangkan sulit sekali kalau di zaman ini tidak boleh menggunakan bom untuk perang ofensif. Membayangkan menggunakan senjata pemusnah masal (bom nuklir dll) untuk perang defensif justru lebih janggal lagi.
Antara lain ulama-ulama yang membolehkan senjata modern seperti ini adalah berdalilkan bagaimana Rasulullah s.a.w. pernah menggunakan manjanik seperti disebutkan oleh Shaykh Abdullah Azzam di kutipan sebelumnya. Akan tetapi, tentu beda sekali potensi korban sipil antara manjanik yang umumnya hanya melempar batu untuk merubuhkan tembok di bandingkan kerusakan luas akibat bombardir yang dilakukan oleh artileri modern.
Mengutip beberapa hadith sahih dari Rasulullah s.a.w. riwayat As-Sa’b bin Jaththama r.a., Shaykh Abdul Qadir bin Abdul Aziz dalam Panduan Fikih Jihad Fii Sabilillah hlm 139-143 mengatakan bahwa walaupun secara umum tidak boleh membunuh orang sipil, jika hal tersebut adalah ketidaksengajaan. Secara prinsip dasar ini sejalan dengan HHI yang dapat mentoleransi korban sipil jika memang betul-betul tidak sengaja, sebagaimana dijelaskan oleh hakim di ICTY pada tahun 2000 dalam kasus Prosec v. Kupreskic et. al., Trial Chambers, p.524-525.
Akan tetapi, tentu seiring dengan perkembangan zaman yang mengenal senjata-senjata canggih yang dapat menimbulkan kerusakan begitu luas dalam sekali tembak, harus ada ketentuan tambahan. Hakim ICTY di kasus yang sama dengan di atas pada p.528 dst menegaskan bahwa ketidaksengajaan ini harus dibarengi dengan kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 57 dan 58 pada Protokol Tambahan I.
Pasal 57 pada intinya menjelaskan bagaimana seorang komandan dalam menyiapkan serangan harus benar-benar berhati-hati untuk menghindari korban sipil, misalnya dengan mencari pilihan taktik yang mengurangi korban sipil, melakukan peringatan kepada warga sipil jika memungkinkan, dan lain sebagainya. Pasal 58 menjelaskan kewajiban komandan jika posisinya diserang, sehingga harus mengkoordinasikan posisi pasukannya sedemikian rupa supaya jika musuh menyerang akan lebih sedikit memberikan kerusakan pada sipil di sekitarnya. Sebagai tambahan, Pasal 51 antara lain menjelaskan pentingnya memilih senjata dan metode penyerangan yang dapat memilah milah sasaran, supaya bisa sedapat mungkin menembak kombatan saja dan bukan non-kombatan.
Saya tidak tahu bagaimana praktek mujahidin di lapangan ketika berperang, tapi saya belum menemukan kitab fiqih jihad modern yang memerintahkan untuk hati-hati. Walaupun tentu ada keumuman pemakluman untuk jatuhnya korban sipil secara tidak sengaja, tapi ilmu fiqih mengenal kaidah:
دَرْءُالْمَفَاسِدِأَوْلَىمِنْجَلْبِالْمَصَالِحِ
“Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah maslahat”
Bisa jadi ini dapat digunakan sebagai hujjah untuk ulama berijtihad melengkapi lagi hukum kebolehan penggunaan bom dan senjata modern dengan menambahkan kewajiban untuk berhati-hati.
Hampir semua Negara Muslim telah meratifikasi Protokol Tambahan I 1977, sehingga mestinya ketentuan-ketentuan dalam Protokol tersebut termasuk kehati-hatian dalam Pasal 51, 57 dan 58 sudah diinkorporasikan dalam hukum nasional termasuk dalam panduan militer. Akan tetapi, walaupun perkara maslahat seperti ini tentu boleh diadopsi dari perjanjian internasional, tapi apakah tidak aneh jika perkara sepenting ini tidak disebutkan di kitab Fiqih Jihad?
Akan tetapi, sekali lagi, saya mohon masukannya karena sangat mungkin sekali sebetulnya ada ketentuan kehati-hatian dalam kitab Fiqih Jihad tapi saya saja yang belum menemukannya.
PENUTUP
Nahed Samour pada tulisannya “Is There A Role for Islamic International Law in the History of International Law?”, the European Journal of International Law, Vol. 25, No 1, 2014, hlm. 313-319 melayangkan kritik yang serius pada buku Oxford Handbook of the History of International Law. Walaupun terbitan Oxford yang sangat prestisius dan bertajuk sejarah hukum internasional dengan menekankan pula tujuan untuk menghilangkan trend ‘eurosentrisme’, ternyata buku ini bersifat tidak adil pada kontribusi hukum Islam.
Nahed Samour menulis bahwa buku terbitan Oxford tersebut hanya sedikit sekali menyinggung hukum Islam, yaitu pada bagian ‘regional’, dan itupun di bawah bab ‘Afrika dan Arabia’. Padahal, begitu banyak kontrbusi hukum Islam kepada hukum Internasional atau hukum pada umumnya. Ternyata dalam buku-buku Indonesia (konon mayoritas Muslim terbesar) pun minim disebut kecuali saat membicarakan hukum perkawinan, zakat, perbankan, dan lain sebagainya. Misalnya, tahukah anda bahwa kaidah lex specialis derogate legi generalis dan lex lex lainnya juga dikenal dalam Islam? Belum lagi, hukum Islam dan kontrbusinya dalam khazanah keilmuan tidak bisa dikerangkeng sekedar dalam ‘Afrika dan Arabia’. Islam menyebar ke Persia, Cina, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan lain sebagainya juga.
Saya berharap bahwa melalui tulisan ini dan penelitian-penelitian lainnya, umat Islam dapat menyadari bahwa sebetulnya kontribusi hukum Islam sangat besar dan bahkan tidak sedikit situasi di mana Islam jauh lebih baik dalam menerapkan standar.
Walaupun juga, dukungan moral dan doa kita panjatkan kepada Allah untuk memberkahi dan memberi kemudahan kerja para Ulama dalam menjawab tantangan-tantangan baru di dunia modern ini dengan terus berpegang pada Al Qur’an dan As-Sunnah.