Legend of Legends: Chapter V – New Lands
Here goes Chapter V!! Enjoy!!
———————————————————————————————————————–
CHAPTER 5
NEW LANDS
Sebuah suara ledakan menggelegar memecah kesunyian malam. Marino dan Gabriela langsung terkejut. Ada suara ledakan-ledakan lagi dan di luar sangat gaduh. Melihat kobaran api lewat jendela, mereka langsung mengenakan armor yang ada di situ dan berlari keluar. Kantung uang ajaib Marino seperti biasa telah tersimpan di ikat pinggang armornya itu. Seluruh lorong barak telah dipenuhi api. Beberapa prajurit sedang berlarian keluar.
“Pergilah ke istana! Aku akan berusaha selamatkan yang terjebak api,” kata Gabriela. Marino tidak membantah, sebab ia tahu bahwa ini adalah serangan, dan ia jelas dibutuhkan untuk melindungi istana.
Ia kembali ke kamar Gabriela dan terjun lewat jendela. Meski ia baru saja melompat dari lantai tiga, tapi ia sudah mahir dalam hal ini. Seekor naga yang luar biasa besar sedang melayang berputar-putar di langit. Semua barak telah penuh api. Marino berlari ke arah istana yang juga sudah terbakar. Melihat Marino, naga itu mengeluarkan hujan percikan api. Tapi, dengan lari zig-zag tajam, ia berhasil menghindarinya sampai ia tiba di istana. Baru saja ia tiba di gerbang, puluhan orang berlarian keluar dari istana. Phalus dan Isabela juga ada. Si naga menghilang di balik gunung di utara istana.
Gabriela dan Michael Rafdarov telah kembali dari barak membawa sisa prajurit yang masih hidup. Semua panglima masih hidup. Prajurit yang ada tinggal sekitar sembilan ribu orang saja.
“Bagaimana ini?” tanya Andry Kaperpaski.
Tiba-tiba datang ksatria berzirah hijau yang ditemui Marino di ruang tahanan. “Bantuan segera datang! Ke pelabuhan segera! Semua yang ada di sini bisa ikut,” katanya pada Phalus.
“Bantuan dari mana?” tanya Phalus, dijawab oleh teriakan. Sang naga kembali. Tanpa pikir panjang semua berlari ke arah pelabuhan yang cuma sekitar seratus meter dari situ. Beberapa pemanah yang gagah berani tidak lari, tetapi menembak naga tersebut. Sayang, panah yang amat kecil takkan melukai naga yang kepalanya saja sebesar rumah dua tingkat. Sekali saja naga itu melintasi sekelompok pemanah ini dan menjatuhkan sebuah bola api, sebagian besar dari mereka lenyap jadi debu dan hanya sedikit yang berhasil lolos.
Area pelabuhan penuh kabut malam yang mistis, membuat pandangan ke arah laut sangat terbatas. Sang naga telah menghilang lagi. Tapi kini bagai gelombang air laut dari kejauhan datang ratusan ribu prajurit Devilmare di arah barat, sedangkan pasukan Gallowmere sendiri cuma tak lebih dari dua puluh ribu.
“Kita berjuang sampai akhir! Pasang formasi pagar tombak bertahan!” teriak Phalus.
Tapi mereka tak jadi berperang, sebab dari arah selatan datang juga puluhan ribu tentara yang menghabisi para Devilmare itu bagai ombak menyapu segerombol semut. Dari jauh, belum jelas mereka siapa. Setelah mendekat, melihat tentara yang baru saja datang itu wanita semua dan tak ada yang berbusana, tahulah Marino bahwa mereka ini Fatician. Yang lain tidak tahu. Tiba-tiba datang lagi serangan prajurit Devilmare yang tak sebanyak tadi. Para Fatician berbalik dan menerjang ke arah para prajurit Devilmare.
Dari kejauhan pun tampak bahwa dalam tempo yang singkat para Fatician telah membantai semua pasukan Devilmare yang ada. Sayang sekali, sang naga meluncur ke arah mereka dengan cepat. Para Fatician mencoba lari, tapi tidak cukup cepat. Tanpa mengurangi kecepatan, naga itu terbang lurus sambil menghujani dengan rentetan api, sehingga tampak seperti Carpet Bombing atau bom karpet yang tampak seperti karpet api yang membakar rata semua yang dilewati. Dalam sekejap saja sebagian besar Fatician itu habis, meninggalkan sisanya yang terluka. Tanpa mengurangi laju maupun tembakan api, naga itu meluncur lurus ke arah para sisa pasukan Gallowmere dengan masih menciptakan karpet api.
“Pemanah siap. Lakukan semua upaya yang bisa dilakukan.” seru Phalus berani, walau pasrah, sebab sang naga sudah semakin dekat, dan terus bertambah dekat dengan kecepatan yang mengerikan. Tapi bantuan akhirnya tiba juga.
Dari arah laut, menderu kilatan-kilatan cahaya warna-warni menembus kabut malam, menerjang sang naga dengan bertubi-tubi. Tiap kilatan meledak hebat saat menghantam tubuh naga tersebut. Dari manakah kilat tersebut? Saat mereka melihat ke arah laut, kabut menutupi pandangan. Akhirnya si naga meledak berkeping-keping dan berubah jadi sebuah bola cahaya besar keperakan yang melayang di angkasa. Bola-bola emas kecil mengitari bola cahaya perak itu dengan kecepatan tinggi. Kemudian bola itu terbang ke arah laut. Tak lama kemudian, barulah tampak siapa dewa penyelamat mereka.
“Pasukan laut Crin’s Blade telah tiba,” kata si ksatria berzirah hijau.
Beberapa kapal raksasa tampak dan berlabuh, kira-kira ada dua puluh. Dari kapal yang paling besar melompatlah seorang ksatria. Badannya sangat besar, dan tubuhnya sepenuhnya ditutupi baju zirah besi. Wajahnya tak tampak selain mulutnya. Yang aneh adalah, bahwa pria ini baru saja melompat begitu tinggi, dan berjalan di atas lantai batu, tapi tak terdengar sedikitpun suara gemerincing dari baju besinya, padahal Marino yang baju besinya tidak full saja masih membuat suara kalau berjalan. “Saya dari Crin’s Blade. Nama saya Rido Matius. Tugas saya adalah menjemput kalian semua. Oh, saya lupa. Crin’s Blade ini terletak di tanah yang selama ini kalian sebut dengan nama ‘Dark Land’.”
Semua sudah naik kapal menuju Crin’s Blade dengan pertimbangan kalau mereka tinggal akan dibunuh atau ditangkap. Lebih baik lari untuk menyusun strategi. Banyak prajurit yang awalnya tidak rela meninggalkan Gallowmere, tapi akhirnya terpaksa pergi juga. Lebih baik lari untuk kembali lagi lebih kuat daripada ngotot tinggal dan pasti terbunuh. Apa boleh buat. Sudahlah, memang sudah terjadi.
“Bagaimana kalian melewati badai besar?” tanya Phalus pada seorang prajurit Crin’s Blade yang berada di dalam kapal.
“Itu sihir kuno yang tidak bisa dihilangkan permanen, tapi kami bisa mencabutnya untuk sementara,” jawabnya. Walau apa boleh buat, tapi tetap saja tidak ada yang rela meninggalkan Gallowmere.
Segera saja daratan pulau Zenton sudah menghilang dan yang tampak hanya bulan, laut, dan gelapnya malam. Bintang pun tidak ada. Sekali lagi. Marino sedang dalam perjalanan menuju suatu hidup yang baru lagi. Ia merasa akan sangat lama sebelum ia akan kembali memijakkan kaki di Zenton. Tapi saat ia akan kembali nanti, semuanya akan sama sekali berbeda.
Menjelang matahari terbit, kapal-kapal itu berlabuh di daratan damai. Daratan Dark Land. Dari sana, semua berjalan menuju sebuah kastil dekat pelabuhan tersebut. Sebelum tiba di kastil, mereka semua melewati daerah pelabuhan yang cukup ramai dengan tentara, yang sudah jelas merupakan prajurit Crin’s Blade. Para prajurit itu mengawal para pelarian dari Gallowmere tersebut.
“Yang kita tuju adalah benteng angkatan laut barat Crin’s Blade. Kita akan tiba sebentar lagi. Nah, itu sudah kelihatan,” Rido Matius menunjuk ke arah sebuah bangunan yang cukup besar, yaitu benteng ‘Dragon’. Mereka masuk lewat pintu depan, dan tiba di sebuah ruangan besar yang dindingnya terdiri dari batu-batu besar. Seseorang yang jangkung dan agak kurus telah menanti di tengah ruangan. Dia memakai jubah berwarna hijau zamrud yang amat megah. Di sekelilingnya banyak prajurit yang mengawalnya.
“Namaku Rizky Gusrizant. Aku adalah Caliph Crin’s Blade. Untuk sementara, kalian akan kami berikan akomodasi saja. Kita berkenalan nanti saja. Istirahatlah dulu. Benteng ini memiliki banyak kamar kosong. Jika tidak cukup, lapor saja ke salah seorang prajurit. Nanti akan diberi kamar di benteng lain. Ada yang perlu bicara dulu?” tanya Gusrizant.
“Kita perlu banyak bicara,” kata Phalus, lalu keduanya pergi.
Marino sudah menempati kamarnya di benteng tersebut. Sudah kamar asing yang ketiga sejak ia terpaksa lari dari Devilmare. Kamarnya sedikit lebih luas daripada kamarnya waktu di Gallowmere. Ia baru saja bangun setelah tadi tidur sejenak. Pegal rasanya, dan karena itu ia mau berjalan-jalan. Dibukanya pintu, lalu mulailah ia berjalan menyusuri lorong-lorong gelap kastil ‘Dragon’. Seseorang memanggilnya. Ternyata seorang pria gemuk dan besar. “Saya Doughlas Puruhita, komandan besar angkatan laut Crin’s Blade. Kau ini dari Gallowmere, ya? Salam kenal,” katanya dan berlalu begitu saja, dengan gaya yang sama anehnya seperti saat ia memanggilnya. Marino terus saja bertualang sendiri di kastil itu hingga akhirnya ada prajurit yang memintanya berkumpul dengan yang lainnya di aula besar.
“Hei, dari mana saja kau?” tanya Daffy.
“Biasa, mencari ikan,” guraunya.
Semua panglima dari Gallowmere telah berkumpul, dan Gusrizant berdiri di depan, dan memulai bicara. “Pertama-tama, harusnya saya sampaikan tadi, selamat datang ke Dark Land, atau Crin’s Blade spesifiknya. Nah, sebelum yang lain, akan kami jelaskan tentang kondisi geografis Dark Land. Pulau Figgerwitz, atau yang kalian sebut dengan Dark Land. Kami sendiri mulai memanggilnya Dark Land juga karena rasanya lebih keren. Paling utara, adalah negara ini, Crin’s Blade, yang berbentuk Caliphate. Dulu berdiri berkat pedang milik seorang ksatria putih bernama ‘Crin’. Oleh sebab itu, negara ini dinamai begitu.”
“Di selatan, ada Eleador. Ini adalah negara yang ideal. Dilihat dari segi sumber daya, hasil-hasil pertanian dan peternakan mereka luar biasa. Demikian juga tambang emas dan tembaga mereka. Mereka punya ratu yang sangat ideal pula. Meissa Apilla. Muda, berusia dua puluh, sangat cantik, jenius, ramah, dan bijak,” katanya.
Seorang prajurit berbisik di telinga Marino, ”Dia menyukai Meissa. Dia pernah bilang padaku kalau ia mau melamar Meissa, tapi belum berani. Eh, jangan bilang siapa-siapa, ya?” dan Marino mengangguk.
“Rakyat dan angkatan bersenjatanya yang terbilang kuat amat mencintainya, tapi inilah sebab malapetaka yang terjadi pada mereka. Di selatan Eleador, ada negara kecil bernama Apocalypse. Negara ini walau kecil berhasil menguasai Eleador. Bagaimana? Mereka menangkap Meissa dan membuatnya lumpuh dengan magic pembekuan tulang dari mage asal Apocalypse.”
“Dengan Meissa sebagai sandera, tentara nasional tentu saja tidak berkutik. Meissa ditahan di sebuah benteng dekat perbatasan Eleador-Crin’s Blade, dengan hanya ditemani oleh pengawal pribadinya, yaitu seorang ksatria bernama Bathack. Nah, kami ini sedang membuat rencana menyelamatkan Meissa tanpa membuat Crin’s Blade ikut campur dalam perang. Di selatan Apocalypse, dan sebagian di selatan Eleador, ada Hutan kegelapan ‘the Dark Woods’. Hutan ini begitu misterius dan dipenuhi monster-monster yang amat ganas. Begitulah, hingga kini hutan tersebut belum terjamah sepenuhnya.” demikian penjelasan Gusrizant.
Kini Phalus yang angkat bicara. “Aku telah membuat perjanjian dengan mereka. Mereka bantu kita rebut kembali Gallowmere, tapi kita bebaskan Eleador dari cengkraman Apocalypse. Setuju?” Semua bersorak menyetujui. “Untuk itu, nanti saat matahari terbenam kita bertemu lagi di sini, lalu kita pergi ke istana negara Crin’s Blade,” kata Phalus lagi.
“Tapi kita perkenalan dulu,” kata Gusrizant, dan semua jendral dari Gallowmere memperkenalkan diri.
“Giliran kami. Aku? Kalian sudah kenal, bukan? Tapi mungkin sistem Caliphate yang akan agak asing, karena itu adalah sistem pemerintahan yang original diciptakan oleh Crin –pendiri negara ini. Sistem sangat mirip dengan kerajaan, tetapi tidak menganut sistem monarki atau keturunan. Caliph dipilih dari garis keturunan Caliph sebelumnya yang menginginkan, lalu juga rekomendasi parlemen berdasarkan rekomendasi para panglima dan wakil rakyat, lalu dilakukan fit and proper test, dan kemudian wakil rakyat serta para panglima yang memilih. Ayahku seorang Caliph juga, dan aku berhasil terpilih berikutnya.” Jelasnya, lalu menunjuk pada seseorang lain.
“Dan ini Rido Matius, komandan kavileri I Crin’s Blade. Dia ini seorang Dark knight-ksatria dengan kekuatan misterius,” lalu Rido maju ke depan. “Mohon kerjasamanya,” katanya. Seorang pria yang tadi ditemui Marino kini maju.
“Aku Doughlas Puruhita, komandan Angkatan Laut. Salam kenal,” katanya. “Setelah mereka, kini Kaine,” lalu seseorang…sesosok besar berkerudung datang dari lorong sebelah kanan ruangan. Wajahnya tidak tampak.
“Di tempat kalian dia legenda, kan?” tanya Gusrizant, dan yang lain mengangguk. “Aku sudah tua, tapi bisa diandalkan. Jabatanku adalah pelatih pasukan magic dan kadang jadi komandan. Komandan resminya adalah Yogin. Masih imut tapi jangan kalian remehkan,” dan seorang anak perempuan datang. Dia berambut cokelat tipis dan ikal sebahu. Memang dia berwajah lucu dan amat menggemaskan, tapi sorot matanya amat tajam, membuat Marino agak segan padanya. Ia memakai gaun hijau giok. Secara fisik sih jelas bahwa ia sudah dewasa, dan secara akal, lebih jelas lagi melihat sorot matanya yang amat berbahaya. Meski begitu, wajah imutnya didukung oleh suara dan gaya bicara yang imut juga.
“Namaku Yogin, dan umurku sebelas. Aku ini Black Witch-Black mage yang telah menguasai ilmu tertinggi elemennya dan satu elemen lagi. Tapi aku lebih mahir memakai sihir air dan es. Aku komandan inti pasukan magic. Tapi aku masih butuh banyak belajar,” katanya.
Mereka tertawa kecil saat melihat Yogin yang setelah bicara, menyandar dengan manja ke pangkuan Gusrizant. Gusrizant sendiri tersenyum dan membelai pipinya dengan gemas. “Dia anak angkatku juga. Luar biasa, bukan?” kata Gusrizant sambil tertawa.
Dua orang wanita yang serupa tapi tak sama datang. Keduanya cantik, berambut hitam lurus sepanjang punggung. Memakai zirah yang serupa pula. Meski berbeda dengan zirah pria dari segi bentuk, tapi konsepnya sama. Armor mereka terdiri dari tiga bagian. Pertama, tangan. Ada armor bahu dan untuk lengan, tapi sedikit. Lalu, untuk dada, armornya seperti bikini. Ketiga, kaki. Armor untuk area bawah perut berbentuk seperti celana dalam besi biasa, tapi tingginya sampai menutupi sedikit di atas pusar. Di bagian depan armor yang ini, ada kepingan perunggu berbentuk wajik memanjang dari pusar dan bawah perut. Ini adalah simbol Crin’s Blade. Pada pria, simbol ini ada di armor dada. Di punggung ada sebilah pedang yang panjang.
Si wanita yang kulitnya putih maju. “Namaku Arinny Ullyta, umurku dua puluh tiga. Jabatanku adalah sebagai komandan pasukan bala bantuan. Jika ada pasukan yang bertempur, akulah yang memberi back-up pada mereka. Kumohon kita bisa kerja sama,” katanya. Setelah Ullyta, maju wanita yang satu lagi. Postur dan bentuk tubuhnya hampir sama persis, tapi yang ini wajahnya lebih manis dan relatif lebih cantik. Kulitnya agak cokelat tapi manis.
“Ehm, nama saya Jasmine Laquino, umurku enam belas. Aku ini komandan pasukan gerilya. Aku yakin di negara kalian tidak ada. Jika pasukanku bertempur di hutan, pasti musuh tidak akan punya kesempatan. Team work, oke?” katanya semangat.
Si ksatria zirah hijau maju. “Kita sudah bertemu, bukan? Namaku Black. Aku bekerja sebagai penasehat, sekaligus komandan pasukan khusus yang bernama the white garda. Semacam Scherduke juga, seleksi yang ketat, tapi tidak akan ada seleksi hingga terbunuh sekian banyak. Tugas pasukan ini adalah menjadi benteng pertahanan terakhir dan melindungi istana negara. Kini ada sekitar enam ribu lima ratus orang. Kemarin aku dapat tugas khusus untuk mengintai Devilmare. Tahukah kalian, meski di sini tidak kena dampak, tapi kami ikut resah karena Devilmare? Nah, kita akan kerja sama, ya?” katanya penuh harap.
Terakhir, seorang pemuda berbadan tegap maju. “Aku Dalel Dharma, komandan infantri,” lalu ia pergi.
“Nah, kita sudah berkenalan. Bagaimana kalau kita langsung saja pergi ke istana negara?” lalu semuanya berangkat ke istana negara Crin’s Blade.
Malam tiba saat mereka sampai ke gerbang kastil raksasa Crin’s Blade. Ini adalah istana utama dimana Caliph dan para panglima tinggal. Mereka memasuki pintu utama. Meski sudah malam tapi masih ada saja prajurit latihan di halaman. Lorong demi lorong mereka lewati dan tiba di sebuah pintu besar yang diukir indah. Di depannya ada dua penjaga yang memakai seragam putih. Ini pasti anggota The White Garda. Pintu dibuka, dan di dalamnya ada sebuah ruangan dengan meja yang amat panjang, membentuk huruf ‘U’. Kursi-kursi megah berjajar rapi, dan di pangkal huruf ‘U’ tersebut ada kursi yang paling besar dan paling megah berwarna perak dihiasi mirah-mirah sebesar telur puyuh. Itu pasti milik Caliph. Setelah Gusrizant duduk di kursi tersebut, yang lain dipersilahkan duduk olehnya. Jumlah kursi yang ada pas sekali dengan jumlah orang yang ada.
“Nah, kita bahas sekarang. Black, ceritakan rencana kita,” kata Gusrizant, lalu semua mata tertuju pada Black.
“Begini. Tadinya kami berencana untuk menyerang saja benteng itu, dan merebutnya. Tapi prajurit yang menjaga dan mendiami benteng itu mayoritas prajurit Eleador, yang sebetulnya hanya berbuat begitu karena diancam. Jika kita menyerbu mereka seperti itu, saya yakin kita bisa menang, tapi yang akan jadi korban adalah prajurit Eleador. Itu tidak lebih baik. Maka dari itu, apakah dari kalian ada usul?” tanya Black, dan para jendral dari Gallowmere tersenyum dan saling lirik.
“Kenapa?” tanya Gusrizant, semua aparatur Crin’s Blade keheranan. “Kami pernah melakukan misi yang target dan situasinya persis dengan ini,” kata Phalus.
“Begitukah? Dan berhasilkah?” tanya Ullyta. “Ya. Begini, akan dijelaskan oleh… Marino. Kau jelaskan pada mereka,” kata Phalus.
“Jadi, sebuah pasukan besar akan jadi pemancing, dengan melakukan hit-and run– serang dan lari. Melihat ada pasukan besar yang menyerang, mereka juga akan mengirim pasukan besar untuk mengantisipasi. Agar mereka benar benar terpancing, lakukan serangan panah ke dalam benteng tersebut. Lalu, kirimkan grup kecil untuk masuk ke dalam benteng dari belakang. Grup inilah yang akan menyelamatkan Meissa. Bagaimana?” Marino menjelaskan.
“Cara yang brilian, tapi memancingnya itu sulit. Apa mereka tidak lebih baik menunggu dan bertahan di dalam benteng?” tanya Yogin.
“Tapi Apocalypse tidak begitu. Pertama, mereka tidak tahu kalau kita memusuhi mereka, jadi mereka akan mengirim utusan untuk mencari tahu. Untuk tidak merugikan mereka, pasti mereka akan mengirim orang Eleador, dan kita bisa menyuruhnya membuat panik orang di benteng, atau bagaimanalah, beri tahu mereka kalau kita mau menyerang. Kedua, Apocalypse itu, memang tipe begitu, yaitu bertahan di benteng. Tapi mereka juga tipe yang begitu mendapat prajurit banyak, yaitu tawanan dari Eleador, akan menyerbu keluar. Saya tahu ini karena mereka begitu saat pertama menyerbu Eleador. Pertama mereka menyerang benteng dimana Meissa berada, kebetulan dekat perbatasan dengan Apocalypse. Setelah berhasil dan menawan Meissa, mereka diserang oleh pasukan imperial Eleador. Karena mereka berhasil menawan banyak prajurit Eleador di dalam benteng, dan mengambil alih komando karena ada Meissa sebagai jaminan, mereka keluar dan bertempur di luar,” kata Jasmine.
“Betul. Berarti kita harus mengirim pasukan infantri dan panah, tapi hindari korban. Timnya cukup enam orang saja. Bagaimana jika tim ini berisi tim gabungan dari Crin’s Blade dan Gallowmere, dari kita yang hadir di sini?” tanya Gusrizant.
“Ya. Tiga-tiga. Dari Gallowmere saya minta Daffy, Michael, dan Marino,” kata Phalus.
“Kalau dari Crin’s Blade, saya minta Jasmine, Dalel, dan saya sendiri. Sekaligus saya saja yang pimpin operasi ini. Kapan sebaiknya kita beraksi? Black?” tanya Gusrizant.
“Kalau saranku, malam ini saat semua penduduk tidur. Atau jika tidak, besok malam,” kata Black.
“Kalau menurut saya, malam ini saja. Lebih cepat lebih baik,” kata Phalus.
“Maaf, tapi saya agak kurang setuju. Karena, para prajurit perlu diberi tahu dulu misinya. Lebih baik besok malam saja,” protes Marissa.
“Berapa lama sih yang diperlukan untuk memberi tahu mereka?” tanya Saphirre dan Isabela mengiyakan.
“Kalau sekarang saya pergi memberi tahu mereka, lima belas menit lagi saya sudah kembali,” kata Rido.
“Makanya. Kita bisa menyiapkan segalanya sekarang, dan nanti tengah malam berangkat,” kata Pavatov.
“Apa pasukan kalian tahu teknik hit and run? Kalau belum, kan butuh waktu untuk menjelaskan,” kata Lothar.
“Astaga! Menjelaskan paling satu jam, dan kita punya banyak waktu sampai nanti malam. Lagipula kan bagus, baru diterangkan langsung praktek. Masih fresh,” kata Marino.
“Dan omong-omong kami tahu kok hit and run. Jangan meledek gitu dong. Kalau toh kami belum tahu, untuk menghemat waktu kan bisa pakai pasukan dari Gallowmere. Ya sudah. Kalau begitu kita berangkat malam ini. Rido, kau yang urus pasukannya. Saya minta tiga ribu personil kavileri, seribu lima ratus diantaranya kavileri pemanah. Dalel, sebagai tambahan, persiapkan juga empat ribu infantri, setengahnya pemanah. Sekarang bergerak,” perintah Gusrizant.
“Kami?” tanya Phalus dan Gusrizant menjawabnya, “Kalian yang tergabung dalam tim, istirahatlah. Prajurit nanti disuruh berkumpul di halaman depan, dan tim berkumpul di sini tengah malam tepat. Akomodasi akan diberikan,” lalu semuanya bubar.
Seorang prajurit mengantarkan Marino ke sebuah kamar di lantai empat. Kamar itu sedikit lebih megah dari kamar yang didapatnya di benteng sebelumnya. Ia lansung berbaring. Ia mulai berpikir. Ia sudah berpindah-pindah tempat tinggal berulang kali. Kapankah ini akan berakhir? Kapan ia akan punya lagi sebuah rumah yang permanen? Ataukah ia tidak akan mendapatkannya dan dikalahkan oleh Rafdarov V? Lama ia merenung, dan akhirnya ia tertidur sendiri.
Sekitar tengah malam, ada seseorang yang membangunkannya. Misi akan segera dimulai. Ia memakai armor dan senjatanya lalu berkumpul kembali di ruang strategi. Setelah briefing singkat, mereka mulai berangkat menuju kastil dimana Meissa Apilla ditahan melalui rute yang lain dengan pasukan besar. Sebuah misi yang artinya cukup besar akan segera dimulai.
[End of Chapter V]
[Coming up next, Chapter VI: Old Friends]