Legend of Legends: Chapter X – Expedition
After a long delay, here goes Chapter 10!
ENJOY! ^_^
——————————————————————————————————————————————————-
CHAPTER 10
EXPEDITION
Melihat darah keluar, Meissa tak mampu menjerit. Ia jatuh lemas. Untunglah Marino dengan sigap menangkapnya.
Bathack tak mampu berkata apa apa, dan jatuh terpuruk dan terduduk di lantai. Wajahnya terbenam di kedua tangannya. Marino, antara ketakutan dan kesal pada Bathack berteriak pada Bathack.
“Dasar kau pecundang! Begitu saja sudah menyerah! Jaga dia!” ia membaringkan Meissa di lantai dengan perlahan, lalu berlari ke luar. Sempat terlihat olehnya setetes air mata Meissa mengalir.
“TABIB! TABIB!” teriak Marino. Kebetulan sekali sang tabib istana, yaitu seorang ahli pengobatan dan white mage, ahli sihir-sihir penyembuh, baru saja mau memberi laporan tentang korban luka perang tadi yang tiba di kastil, dan sekarang berdiri tepat di depan pintu ruang pertemuan. Tanpa bertanya apapun, dia masuk, mengetahui ini pasti darurat. Sang tabib berlutut di sebelah Meissa yang terbaring lemas, meletakkan tangannya sejengkal di atas area yang berdarah, dan tangan sebelahnya di dekat telinganya sendiri. Tangannya yang berada di atas area yang berdarah mengeluarkan sedikit sinar putih.
“Harapannya sangat kecil… kandungannya sekarat. Masih hidup, tapi dia semakin lemah. Aku cuma bisa memperlambat kematiannya. Aku butuh orang lain untuk menyembuhkan lukanya,” kata sang tabib.
“Seseorang panggilkan Kaine!” teriak Marino, sambil terus berharap. Setelah agak lama, habis juga kesabaran Marino.
Si tabib berkata, “Terlalu lama. Rasanya ia tidak akan berhasil.”
Marino melompat keluar dan pergi mencari Kaine. Di lorong depan ruang pertemuan, Kaine sudah ada, dan sudah berlari… bukan… melayang dengan cepat menuju pintu.
Begitu memasuki ruangan, Kaine mengangkat kedua belah tangannya yang kemudian mengeluarkan sinar keperakan ke arah Meissa. “Maaf, kau terlambat. Dia akan pergi,” kata sang tabib dengan menyesal, “berikut ibunya.” sang tabib menambahkan. “Tidaaaak!” teriak Bathack, dan wajah Meissa memucat.
“Terus berusaha! Luka dalamnya hampir berhasil kusembuhkan dengan sempurna! Sudah hampir!” teriak Kaine dengan suaranya yang mengerikan. “Tapi bayinya sudah mau mati! Tak ada lagi yang bisa kita lakukan!”
Saat-saat genting seperti itu, pintu menggebrak terbuka. Eko datang, dan kedua tangannya telah menyala dengan sinar putih. Ia membungkuk di sebelah Meissa, dan melakukan hal yang sama seperti sang tabib. “Jangan menyerah.” katanya.
“Tapi ini cuma memperlambat! Masih tidak cukup!” pekik sang tabib yang mulai panik.
“Terus!” seru Eko, dan pintu terbuka sekali lagi. Amber melayang masuk. Tubuhnya dililit api yang sangat terang, dan ia melayang-layang rendah di atas tubuh Meissa, yang kini mulai bersinar merah terang. Adin dan Daffy menghambur masuk.
“Kita mulai berhasil… tapi masih kurang!” pekik sang tabib. “Lebih kuat lagi! Anaknya menguat, tapi ibunya makin lemah!” sang tabib memperingatkan, dan pintu menggebrak terbuka sekali lagi. Yogin masuk.
Ia membuat bola sinar perak dan menembakkannya ke perut Meissa. “Anaknya sudah sembuh! Sekarang fokuskan ke ibunya!” teriak Eko.
Tapi sang tabib berkata, “Tidak, nyawa ibunya sudah terca…,” ia terhenti, “Ada yang menahannya! Ada yang menahan nyawanya agar tetap di tubuhnya! Ayo berusaha!” seru sang tabib, kini suaranya optimis. Apa yang menahan kematian Meissa, jawabannya baru saja akan terjawab. Untuk terakhir kalinya, pintu menggebrak terbuka.
Ratu Darpy menghambur masuk, dan kedua belah tangannya menyala dengan sinar putih yang amat dasyat. “Inilah kemampuan magic Apocalypse!” serunya.
“Nah, kita akan berhasil! Terus berjuang!” seru Eko. Setelah agak lama berjuang dengan white magic dari segala penjuru, warna kulit Meissa kembali pada tempatnya, dan ia bisa bangun.
“Kandunganmu aman sekarang,” kata sang tabib. Meissa memeluk Bathack dan memekik senang.
“Sebaiknya kau umumkan kehamilanmu,” kata Ratu Darpy.
“Baiklah. Akan kami umumkan segera,” kata Bathack.
“Dan upacara kematian untuk Gabriela sudah siap,” kata Yogin.
Peti mayat Gabriela diletakkan di sebuah ruangan kecil. Berdasarkan tradisi, bagi mereka yang mau memberi penghormatan terakhir tidak boleh lebih dari satu orang sekaligus dan tak boleh ada yang menonton. Maka dari itu, memberi penghormatan terakhir hanya boleh satu persatu. Tentu Marinolah yang pertama. Ia melihat jenasah Gabriela yang terbujur kaku dan dipakaikan pakaian kebesaran kerajaan. Marino mencium pipinya.
“Akan kupenuhi janjiku padamu. Aku janji,” lalu ia mencium bibir Gabriela untuk terakhir kalinya. Sebagai orang pertama yang melakukan penghormatan, ia berhak mengambil segenggam debu istana, dan meratakannya ke tubuh jenasah Gabriela. Ini adalah debu ajaib milik Crin dulu. Sebetulnya dari dulu hanya ada cukup untuk dioles ke tubuh satu jenasah saja. Tapi setiap ada orang istana yang wafat di medan perang, debu ini akan muncul lagi di wadahnya. Debu ini berwarna putih dan sangat ringan.
Konon fungsinya adalah agar pengganti jabatannya kelak akan lebih baik dari almarhum/almarhumah. Debu ini harus diolesi merata ke seluruh kulit sang jenasah kecuali rambut kepala jika jenasahnya seorang perempuan, dan merata pula ke seluruh pakaian yang dikenakannya saat tewas atau terluka yang menyebabkan ia tewas, jelas pula bahwa sang jenasah tidak mungkin memakai pakaian tersebut karena jenasah dipakaikan baju istana. Dan orang yang berhak mengolesinya, seperti yang kita ketahui, adalah orang yang pertama melakukan penghormatan ini.
Menurut ramalan, orang yang mengolesinya akan berada dalam bahaya yang amat sangat luar biasa berbahaya dan semua akan menyerah atau tak mampu menolongnya, tetapi akan selamat di saat yang sama sekali tidak terduga oleh seseorang yang dulu merupakan musuhnya. Begitulah ramalannya.
Dulu Gusrizant juga diolesi debu ini, karena kematiannya yang melindungi Meissa juga dianggap mati dalam pertempuran. Entahlah, tapi debu itu memang muncul begitu saja saat beliau tewas. Maka dari itu, semua orang optimis akan pemerintahan Marino ini. Sebelum Gusrizant, tak ada satupun Caliph yang tewas di medan perang kecuali yang tepat sebelumnya. Dia diolesi debu Crin, dan memang saat Gusrizant menggantikan tahtanya, pemerintahan membaik dan berkembang dengan amat drastis. Dan Gusrizant juga wafat dan diolesi debu Crin, lalu Marino menggantikannya. Wajar saja kalau semua optimis bahwa Marino akan membuat Crin’s Blade masyur melebihi pemerintahan Gusrizant yang sudah masyur.
Marino keluar dari ruangan jenasah dan satu persatu orang masuk untuk memberi penghormatan terakhir. Marino baru tahu fungsi debu Crin saat keluar dari ruangan jenasah karena ia bertanya pada Jasmine dan Black. Begitu ia diberi tahu bahwa orang yang mengolesinya akan mengalami bahaya yang amat sangat, dan selamat, Marino menjadi percaya pada legenda itu. Yang mengolesi debu pada Gusrizant adalah Meissa, baru saja Meissa dan kandungannya hampir mati, dan hampir tak ada seseorangpun yang mampu menolongnya. Yang ternyata kemudian menolongnya ternyata Ratu Darpy, yang dulu bermusuhan dan menjajah Eleador. Tapi ia kemudian merpikir mengenai hal yang lain.
Pengganti yang wafat akan lebih bagus, dan pada permintaan terakhirnya, Gabriela meminta agar Adin yang mengambil alih pasukannya. Apakah Adin akan membuat pasukan kavileri itu jauh lebih kuat? Tapi bukan itu yang membuatnya penasaran. Apa sih hutang Gabriela pada Adin, hingga ia akan menyerahkan pasukannya jika tak bisa membayarnya?
Setelah semua melakukan penghormatan terakhir, Gabriela dimakamkan di makam para prajurit disaksikan oleh semuanya. Marino pulang dari pemakaman itu, dan mencari Adin. Ia menceritakan ketiga permintaannya pada Adin, yang amat terkejut.
“Apa sih hutangnya padamu?” tanya Marino.
“Tidak kusangka benar terjadi. Begini. Beberapa minggu yang lalu, ia memintaku menemaninya berjalan-jalan ke pasar. Ia berbelanja berbagai barang, lalu berhenti di sebuah pub untuk minum. Ia memesan minuman keras dan menjadi amat mabuk, tapi masih cukup sadar untuk mengatakan bahwa ia yang akan membayarkan semuanya. Begitu ia mencari kantung uangnya, rupanya sudah tidak ada.”
“Ia kecopetan. Akulah yang membayarnya. Nah, ia berjanji untuk mengganti uangku jika sudah dapat uang lagi. Uang yang tercopet itu seluruh uang yang ia punya. Sambil bercanda, ia mengatakan bahwa ia akan menyerahkan seluruh pasukannya padaku jika ia tidak membayarnya hingga bulan depan waktu itu. Aku tahu ia akan bercanda. Dengan terjadinya perang kemarin, kami melupakan hutang itu. Toh cuma satu botol minuman saja. Dan ia memang gugur… er, tunggu… dua hari sebelum batas ia membayar, yaitu sebulan. Dan ia benar memberikan pasukannya padaku?”
Marino mengangguk, “Akan kuminta persetujuan pasukannya dan pihak istana, sebab bagaimanapun juga, itu permintaan terakhirnya.”
“Tahukah kau mengapa ia mengajakku? Karena ia ingin tahu tentang kau. Ia amat menyukaimu. Tadinya ia mau meminta Daffy, tapi Daffy amat sibuk dengan Yogin, dan rasanya tidak enak mengganggu dengan mengurus cintanya denganmu. Eko juga sudah menjalin hubungan dengan Jasmine. Dan aku saja yang menganggur. Maka itu dia menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Dan kuberi tahu padanya cara untuk mengetahui siapa cinta sejatimu,” kata Adin.
“Ya, Gabriela dan aku sudah melakukannya. Dia sudah tahu siapa cinta sejatiku meski aku belum menyadarinya. Daisy Asalaz,” jawab Marino tenang.
“Nah itu artinya bahwa kau dan Gabriela akan amat serasi, tapi kau akan jauh lebih baik bersama Daisy. Tapi, sebetulnya, menurutku, cara mengetahui ini agak kurang pantas, tapi tak apa juga, sih,” gumam Adin.
“Benar juga. Masa belum ada apa-apa aku sudah… hei, tunggu dulu. Kau yang memberitahukan ini padanya. Kan yang fatician dia. Kau tahu dari mana?” Tanya Marino.
“Waktu aku tinggal di hutan Dark Land, aku berbincang dengan banyak hewan dan monster, sobat. Salah satunya mengaku pernah tinggal di hutan fatician. Aku percaya saja, karena aku tahu bahwa monster alami seperti itu tidak kenal dengan yang namanya bohong. Ia yang mengatakan semua itu padaku. Tentunya karena aku juga tadinya tidak percaya adanya fatician. Makanya aku amat tertarik. Dan, sebelum melakukannya, Gabriela melakukan ritualnya, ya?”
“Ya. Tetapi dari mana kau tahu bahwa Gabriela seorang fatician, sehingga akhirnya memberitahukan ini padanya,” tanya Marino penasaran.
“Tentu saja karena aku sudah tahu semua kelebihan fatician, dan ciri mereka, yang sebetulnya cuma satu dan mudah untuk diingat tapi sulit dibayangkan. Mereka amat, tidak, bahkan terlalu. Mereka terlalu cantik. Dan saat itu, orang dengan ciri tersebut berjalan denganku. langsung saja kutanyakan hal ini padanya.”
“Begitu? Jadi… akan kuurus penggantian komandan pasukan. Kau akan segera menempati posisinya. Setelah itu, kita akan mengurus sebuah ekspedisi. Kita akan membawa kembali Daisy Asalaz. Setelah tertunda sekian lama,” ujar Marino dengan ekspresi kerinduan dan sesal yang amat mendalam.
***
Sidang The Chain telah digelar, di gedung resmi The Chain yang letaknya di Eleador, di tengah hutan musiman, selatan Eleador. “Kita mulai. Begini. Saya ingin melakukan misi yang bersifat pribadi. Daisy Asalaz, telah kalian dengar dari mata-mata kita sebelumnya, akan saya selamatkan dan bawa kemari. Karena ini bersifat pribadi, saya tidak akan melibatkan The Chain. Tujuan saya menggelar sidang ini, adalah untuk menentukan masalah kepemimpinan The Chain. Masa jabatan saya masih ada sekitar tiga bulan lagi. Sehubungan dengan kepergian saya dalam misi ini, saya ingin meminta jabatan saya digantikan. Masalahnya, apakah digantikan sementara saja, atau sekalian saja masa saya diakhiri. Tolong dipertimbangkan,” kata Marino.
Setelah persidangan yang cukup singkat, hasil diputuskan, bahwa jabatan Marino sebagai ketua umum The Chain dinyatakan berakhir pada sehari sebelum keberangkatannya ke misi ini dan bersifat permanen hingga gilirannya tiba lagi. Setelah diskusi lagi, telah diputuskan bahwa Ratu Darpy yang akan menjadi ketua umum berikutnya. “Misi penyelamatan ini,” tanya Argus dari fraksi peradilan Apocalypse, “akan kau lakukan dengan pasukan atau kau mau mengirimkan sebuah tim kecil saja? Bagaimana rencanamu?”
“Maaf, tapi ini adalah misi pribadi intern Crin’s Blade dan kelihatannya bukan urusanmu,” ketus Rido Matius.
Argus bangkit dengan mendadak, “Saya mau bertanya, siapa tahu bisa membantu! Dasar mayat hidup!” raungnya, dan sidang menjadi riuh. Argus melompat dan hendak menyambar Rido dengan berang, tapi Tiza, dari fraksi politik Apocalypse berusaha menghadangnya, dan untuk mencegah keributan. Tapi Argus terlambat menyadarinya dan dihantam saja Tiza yang bertubuh tak begitu besar. Melayanglah dia.
Melihat Tiza yang terjatuh, Bona, juga dari fraksi politik Apocalypse, bangkit dan mendorong Argus hingga terjatuh. Chezzy dari fraksi peradilan Eleador bangkit dan berusaha menengahi. Tapi karena usianya yang relatif muda, sembilan belas, dan tubuhnya yang tak lebih dari Tiza, sekali bentak oleh Argus, nyalinya langsung ciut. Melihat itu, Isabel, yang tak kalah mungil dengan Chezzy, maju menengahi, tepat ketika Argus dan Bona saling menerjang. Maka Isabel yang berada tepat diantara mereka terkena hantam.
Merasa tidak rela istrinya diperlakukan begitu, apalagi Isabela sedang mengandung, Phalus menerjang keduanya sekaligus. Yang lain berusaha menengahi, tapi ujung-ujungnya malah ikut berkelahi. “Berhentiiiiiii!!!!!” teriak Marino, tapi tidak ada gunanya suaranya tenggelam. Saat ribut seperti itu, tiba-tiba…
DUUUAAAAAARRRRRRR!!! “SEKARANG BERHENTILAH KALIAN SEMUA! DASAR KALIAN GOBLOK! PECUNDANG! BERSIKAP DEWASA SEDIKIT!” raung Ratu Darpy. Tongkat sihir kecilnya telah terhunus dan ujungnya menyala dan mengeluarkan beberapa percikan api kecil. Seketika itu juga ruangan tenang kembali. Ratu Darpy, yang biasanya amat berwibawa, agak sombong sedikit, kini tampak seperti burung nasar yang amat mengerikan, dan sangat bertolak belakang dengan rupa aslinya, yang sebetulnya sangat cantik.
Sidang dilanjutkan kembali. “Begini, Argus. Memang itu intern Crin’s Blade, tapi akan aku beritahukan padamu. Aku akan membawa pasukan dan juga tim kecil. Dan maaf, aku ingin melakukan misi ini sendiri, tanpa campur tangan kerajaan lain. Terima kasih atas tawarannya. Nah, untuk masalah kedua. Komandan pasukan kavileri Crucifier Batalion, Gabriela Diggory, seperti yang kita ketahui, telah gugur. Pasukan itu, kini telah memiliki komandan baru, yakni Adin Cardalos. Apakah dia juga bisa diangkat menjadi anggota The Chain juga, menggantikan Gabriela?” tanya Marino. “Fraksi peradilan?” dan ruangan hening sejenak, sementara fraksi peradilan sedang berdiskusi dengan suara yang pelan.
“Bagaimana sifat kepemimpinannya menurut anda? Kami percaya kau bisa menilainya dengan objektif,” kata Arjuan dari fraksi peradilan Eleador.
“Saya, Eko Lakasonos, Daffy, dan Adin, memiliki kemampuan yang sama dalam berbagai bidang. Jika kalian mengatakan bahwa saya unggul dalam sesuatu, maka ketiga orang ini juga memilikinya dengan kualitas dan kuantitas yang kurang lebih sama. Oh, ya. Adin ini mampu berkomunikasi dengan hewan,” lalu semuanya mulai ribut lagi.
“Perlukah kalian kubentak lagi?” teriak Ratu Darpy, mulai jengkel, dan ruangan tenang kembali.
“Menurut kami, rasanya ada baiknya jika dia kami interview. Hanya oleh, dan disaksikan oleh fraksi peradilan. Bagaimana kalau besok?” Chezzy menawarkan.
“Baiklah. Akan kuajak dia besok, untuk kemari,” kata Marino.
Sepulang sidang, Marino langsung menggelar sidang lagi, tapi ini sidang intern Crin’s Blade untuk menentukan siapa saja yang akan ikut misi penyelamatan Daisy. “Yang pasti, Adin, Eko, dan Daffy akan ikut. Untuk melengkapi tim kecil ini, saya minta… Saphirre, Marissa, dan Ullyta. Untuk pasukan yang akan kubawa…,” tapi Marino dipotong oleh Black.
“Kali ini anda jangan menolak. Saya dengan tegas menyarankan the White Garda,” katanya.
“Baiklah. Selain itu, saya minta para geriliawan, Jasmine?”
Jasmine mengangguk.
“Selama saya pergi, kepemimpinan negeri ini untuk sementara saya serahkan pada kau, Rido Matius, dan kau juga Aisha Zuchry. Misi ini akan saya laksanakan dua hari lagi,” kata Marino.
“Bagaimana kau akan ke sana dengan membawa dua pasukan yang salah satunya akan naik kuda?” tanya Yogin dengan nada pedas.
“Pertanyaan bagus,” kata Marino.
“Nah, sebelum itu, saya juga harus memutuskan berapa personil yang akan saya bawa. Dari the White Garde, saya bawa lima ratus saja. Dan saya butuh 1.500 gerilyawan. Tentu saya minta komandannya ikut. Doughlas, kita punya transportasi untuk itu?” dengan bangga Doughlas Puruhita menyatakan bahwa ia bisa memberikan lebih dari sekedar transportasi.
“Perang kemarin. Pasukanku menawan lebih dari delapan kapal transportasi raksasa Devilmare yang kapasitas maksimumnya bisa lebih dari tiga ratus orang. Selain transport yang cukup, ini juga merupakan penyamaran,” kata Doughlas.
“Mereka tidak sebodoh itu, sobat. Baiklah, kalau begitu. Saya akan butuh tujuh kapal secara keseluruhan. Tentu saya minta satu skuadron kapal konvoi dengan awak dan persenjataan lengkap. Apa isinya satu skuadron?” “
Satu Juggernaught dan sepuluh Destroyer Galleon.” kata Doughlas.
“Dua skuadron, kalau begitu. Saya minta penanggung jawab kapal mata-mata yang pernah ke sana untuk ikut. Herz, maksudku. Dan tolong panggilkan dia agar dia bisa memberikan informasi tentang pendaratan terdekat dan teraman.”
Herz sudah datang. Marino menanyakan lokasi pendaratan yang terdekat dan teraman, sekaligus situasi target.
“Wah, kalau itu, sangat enak, paduka,” katanya agak bersemangat, “seperti yang waktu itu saya katakan, lokasi puri itu ada di hutan belantara di timur Devilmare. Nah, saya jelaskan wilayah geografisnya dulu. Di timur Devilmare, sebetulnya agak ke selatan juga, dekat perbatasan dengan negara di selatannya, ada sebuah hutan belantara. Di tepi timur hutan itu, merupakan pantai. Inilah lokasi strategis untuk mendarat, sebab pantai ini sepi dan terlarang bagi siapapun. Tapi tidak ada yang menjaga. Puri di mana Daisy ditawan, ada sekitar dua kilometer ke dalam dari garis tepi hutan. Tapi puri ini dijaga amat ketat, apalagi lima ratus meter di utara puri ini, ada fasilitas militer.”
Phalus, Aisha, dan Feizal berdiskusi sebentar, dan akhirnya Aisha angkat bicara. “Kebetulan kau telah memilih pasukan gerilya juga. Rencana kami, jadi kau dan pasukan the White Garda menyerbu puri secara langsung, lalu pasukan gerilia, sebagian besar, mungkin sekitar seribu dua ratus, disebar di antara puri dan fasilitas militer untuk menghentikan bantuan yang mungkin datang dari sana, tapi terutama mencegah ada yang meminta bantuan dari puri ke fasilitas militer, jadi pihak Devilmare sama sekali tidak akan mengetahui hal ini. Tiga ratus sisa dari pasukan gerilya akan mengepung merata puri untuk mencegah ada yang kabur, jadi akan kita bantai habis penghuni puri. Begitulah.”
Marino setuju.
“Setelah itu, saya lupa memberi tahu pada kalian. Untuk melewati lorong menuju area bawah tanah, hanya bisa sepuluh orang paling banyak, karena ada semacam sihir anti orang yang amat kuat, dan bekerja pada orang yang masuk setelah orang yang kesepuluh. Di depan ruangan ada papan yang akan menunjukkan berapa orang yang yang sudah melewati lorong tersebut, dan belum keluar lagi. Tentunya orang orang yang ditawan di dalam tabung tidak dihitung,” kata Herz. “Kalau begitu, strategi sudah siap, tinggal misi secara garis besar. Kalau ini, aku sudah punya konsep. Kita datang, atur formasi dan tempatkan pasukan pada tempat-tempat yang tadi dikatakan Aisha, serbu puri, tim masuk, selamatkan target, tim keluar, pasukan mundur. Selama misi berlangsung, dua skuadron angkatan laut kita akan menunggu dan mengantisipasi patroli.”
“Tapi bagaimana jika kau bertemu patroli? Tentu kau bisa menghabisinya dengan mudah. Tapi jika patroli diserang, pasti akan memberi isyarat untuk pasukan patroli lainnya dan mendatangkan bala bantuan,” tanya Marino pada Doughlas.
“Oh, untuk itu, pasukanku punya prosedur khusus dan ini buatan Yang Mulia Crin sendiri. Jangan khawatir,” tukas Doughlas buru-buru. “Eh, satu lagi. Kata Jernandez, ada prosedur khusus pula untuk mengeluarkan orang dari tabung tersebut, yang aku belum tanyakan. Nanti, sebelum menyerbu, biarkan aku masuk dan bertanya dulu. Aku sudah menjadi sahabat akrabnya, dan ia pasti mengizinkan aku masuk kapan saja. Tapi aku punya satu permintaan. Jangan bunuh Jernandez, tapi tawan saja dia. Kumohon,” pinta Herz.
“Err, baiklah. Tapi akan diusahakan. Jika memang terpaksa, akan kami bunuh. Malah kalau tidak perlu, tak ada seorangpun yang akan kita bunuh, sobat. Nah, masalah sudah selesai, dan sidang ditutup. Semua yang saya sebutkan akan ikut, berkumpul di sini lagi dua hari lagi. Pagi. Kita akan sarapan sambil membahas detailnya,” dan sidang pun dibubarkan.
Marino langsung pergi ke kamarnya dan menemukan seorang prajurit berseragam Apocalypse berdiri di depan ruangannya. “Ada surat untuk anda, dari Ratu sendiri,” katanya dan menyerahkan segulung surat padanya. Isi surat itu adalah sebuah undangan pernikahan. Ratu Darpy akan menikah dengan seorang bangsawan muda bernama Murdock. Pernikahan ini akan berlangsung besok. Sekarang sudah malam, dan sebaiknya ia berangkat sekarang agar bisa tiba besok pagi.
Segera saja ia memanggil kakaknya, Marissa, untuk ikut pergi. Ia mengajak Black, Aisha, dan hampir semua punggawa kerajaan yang bersedia ikut. Tengah malam, semuanya memulai perjalanan dengan serombongan kereta kuda. Marino menaiki kereta kuda yang paling depan, bersama Yogin, Daffy, Aisha, dan Feizal.
“Tapi kau juga lucu,” kata Feizal, lalu mencubit pipi Aisha, dan mereka berdua tertawa tawa.
Setibanya merek di istana pusat Apocalypse, Ratu Darpy sendiri menyambut mereka. “Kau tahu bahwa kabar kehamilan Meissa sudah beredar? Sudah kuduga bahwa rakyat menerimanya. Nah, bagaimana kalau rombongan kalian beristirahat dulu? Kalian pasti lelah. Ayo, pesta akan dimulai sekitar tengah hari,” lalu mereka diantarkan ke kamar masing-masing.
Tak lama setelah Marino berusaha tidur, terdengar sebuah ketukan. Black masuk. “Marino… sudah saatnya aku… memberitahukan padamu. Siapa aku sebenarnya,” katanya. Marino terkejut. Identitas asli Black? Memang belum pernah ada yang melihat wajah asli Black karena tertutup helm dan topeng besinya. “Maaf, aku tak memberitahukan ini sebelumnya tapi tolong jangan beritahukan pada siapapun. Janji?” tanya Black. “J…Janji.” kata Marino. Black melepas helmnya. Ternyata ia seorang wanita. Namun bukan ini yang membuat dia amat terkejut. Rambutnya merah, persis seperti rambut kakaknya, dan wajahnya pun sangat cantik. Persis seperti kakaknya…
“Marissa?” tanya Marino kaget melihat wajah kakaknya nongol di balik helm itu, atau setidaknya… mirip. “Aku bukan Marissa. Namaku Marcia. Marcia Obelos,” Marino tentu saja bertambah kaget.
“Aku kembaran kakakmu. Pergi dari Zenton, dibawa seseorang kemari. Aku tidak tahu yang membawaku siapa, mengapa, tapi aku hanya tahu bahwa aku berada di sini. Orang yang membawaku itu menjelaskan siapa aku. Dan ia memintaku untuk menyamar jadi seorang lelaki. Entah kenapa. aku waktu itu masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi ini sudah berlangsung terlalu lama. Terlalu lama untuk dibocorkan. Tapi kau kuberi tahu. Ya. Jangan bertingkah aneh dan anggap saja aku seperti Black. Oke? Aku pergi dulu dari sini, sebab aku harus bertemu Ratu Darpy,” lalu dia merapikan rambutnya, memasang helmnya dengan berhati-hati agar tak ada sehelaipun rambut yang tampak, dan pergi.
Kakaknya ternyata kembar… tapi rasanya itu bukan sesuatu yang merisaukan kalau belum bisa mengakibatkan Rafdarov V menciptakan bom nuklir, pikir Marino. Lalu ia tidur.
***
Ruangan sama sekali gelap, sunyi, dingin, dan jelas amat mencekam. Sesekali terdengar suara bisikan yang mengerikan, dan tidak jelas dari mana asalnya. Marino tak tahu sama sekali di mana ia berada sekarang. Ia kemudian mencoba melangkah ke depan, satu langkah saja. Rasanya ada yang baru saja bergerak di kanannya. Dia mengulurkan tangannya berusaha menyentuh apapun yang mungkin ada di situ dan ternyata merupakan tubuh seseorang.
“Siapa di situ?” tanyanya agak ketakutan dan melompat mundur… dan menabrak tubuh lain.
“Ini aku. Eko. Di mana kita sekarang?” terdengar sebuah bisikan.
“Eko? Kau di situ? dan Marino, ya?” terdengar lagi suara orang lain, yang bagi Marino jelas sekali merupakan suara Daisy.
Ada suara lain lagi muncul, “Hei. Tempat apa ini? Bagaimana kita bisa ada di sini?” suara Daffy.
“Mungkin ini adalah neraka,” sahut suara Adin, nampaknya dari kejauhan, dan seketika itu ruangan mendadak terang, dan kelimanya bisa melihat satu sama lain. Ruangan itu adalah sebuah ruangan raksasa yang tak ada orangnya dan di dindingnya yang berlumut berjajar obor yang baru saja menyala.
Di tengah ruangan ada semacam batu yang disusun mirip untuk tempat peletakan sesajian untuk setan dan ada sebuah obor melayang di atasnya. Hanya saja api yang menyala di obor tersebut bukan berwarna merah, melainkan hitam-hijau tua yang kelihatannya mengerikan, dan jahat. Daisy mencoba berjalan ke sebuah pintu yang besar, terletak di seberang ruang, lalu mencoba membukanya. Ia tidak bisa menyentuh pintunya.
“Kita sudah mati! Daisy! Cobalah kau berjalan menembus pintu itu,” usul Daffy bersemangat. Daisy mengang-kat tangan kirinya, dan mencoba apakah ia bisa menembusnya. Ternyata ia bisa. Keempat sahabatnya mendekat.
“Wow,” kata Daisy, tapi tiba-tiba pintu menggebrak terbuka.
Sesosok pria yang besar dan menyeramkan masuk. Dia setinggi tiga meter, mungkin, dan memakai jubah yang sangat besar dan hitam, yang menutupi sebagian wajahnya. Marino dan yang lainnya agak terkejut, tapi kelihatannya sosok itu tidak bisa melihat mereka. Sang sosok raksasa mendekati tempat sesajian dan membuka jubahnya. Ternyata wajahnya tidak asing sama sekali bagi Marino dan kawan-kawannya. Dia memang tampan, tapi ekspresinya itu, sengar dan haus darah. Dia adalah Ludovic Rafdarov, atau Rafdarov V.
Diangkatnya pedang raksasa miliknya, dan membenam-kannya di tempat sesajian batu, dan menancap dengan mulus, tegak lurus dengan lantai, dan tepat di atasnya masih melayang obor api hitam. Rafdarov mencabut bandul di lehernya, lalu dengan hati-hati meletakkannya di api hitam pada obor di atas pedangnya itu. Diangkatnya kedua belah tangannya tinggi ke angkasa, lalu berteriak ke udara kosong.
“Wahai Lucifer. Sarangmu sudah hampir kupenuhi dan pada saatnya nanti, kau akan kubangkitkan,” lalu terdengar raungan melengking aneh, menggema di seluruh ruangan, dan kelima remaja yang ada di situ terpaksa menutup telinga mereka. “Tapi sekarang, aku mau memanggil kekuatanmu. Aku sekarang sedang sangat membutuhkannya. Para bajingan di Dark Land sangat menggangguku, lagi. Aku butuh tenagamu! Berikan aku pasukanmu sekali lagi, Lucifer!” dan ia pun meletakkan kedua belah tangannya di atas api hitam itu.
Eko mendekat dan berusaha meninju Rafdarov. “Jangan lakukan! Nanti kita ketahuan!” bisik Marino, agak panik, tapi itu tidak terjadi. Tangan Eko itu menembus begitu saja di tubuh sosok raksasa itu. Api hitam itu tiba-tiba memancarkan cahaya hitam kehijau-hijauan ke seluruh penjuru ruangan, lalu padam. Di hadapan Rafdarov kini berdiri seekor mahluk aneh. Mirip iblis yang dulu pernah dilawan Marino, tapi yang ini dua kali lebih besar. Dia tak memegang senjata apapun dan jelas kenapa. Cakar-cakarnya sangat besar. Dia bersayap dan wajahnya seperti banteng cacat yang tak memiliki tanduk. Giginya besar-besar sekali. Terdengar suara bisikan yang dingin dan menyeramkan.
“Inilah Lethifold, dia adalah pelayanku. Yang paling lemah, sebetulnya, tapi dia sepuluh kali lebih kuat dari pasukanku yang biasa. Dan…,” bisikan itu berhenti sejenak saat sebuah kilatan hitam lain menyambar dari obor api hitam. Dari lantai mendadak timbul iblis-iblis yang sangat banyak, dan muncul begitu saja dari lantai bagaikan dari air saja. Jumlahnya ribuan, dan karena ruangannya sangat besar, maka semuanya muat berbaris sangat rapat, dan Lethifold berdiri paling depan.
Sesosok pria tua dan botak masuk. Dialah Morris yang merupakan musuh bebuyutan Kaine. “Pasukan lagi, Tuan?” tanyanya dengan nada sopan, tapi berbahaya.
“Tentu saja. Apa mereka tampak seperti kantung beras? Tapi aku tidak punya rencana untuk menyerang mereka seperti waktu itu. Aku punya sebuah rencana lain, dan butuh bantuanmu,” kata Rafdarov.
“Apa itu persisnya?” tanya Morris, kemudian Rafdarov tersenyum.
“Dark Land… misterius… tapi akan aku kuasai sebentar lagi! Kemari, Morris. Akan kukatakan padamu di ruanganku saja. Entah mengapa aku merasakan ada yang melihat kita di sini selain para pasukan Lucifer ini,” kata Rafdarov, matanya menerawang mengelilingi ruangan.
Morris mengengkat sebelah alisnya. “Mengawasi?” ia agak heran. Setelah sekian detik diam akhirnya Rafdarov mencabut pedangnya, mengambil bandulnya dari obor api hitam, lalu pergi. Morris mengikutinya. Sebelum dia menutup pintu, dia melirik lagi ke dalam ruangan dengan heran. “Ikuti mereka.” kata Adin, tapi tiba-tiba udara berputar aneh, dan…
Ternyata sebuah mimpi. Mimpi yang kelihatan sangat nyata. Atau… apakah sama seperti yang dulu, saat ia, Eko, Daffy, dan Adin, memimpikan hal yang sama? Dan ternyata memang betul. Eko, Adin, dan Daffy mimpi hal yang sama. Aneh. Tapi apakah itu betul-betul terjadi semalam di ruangan Rafdarov sana?
***
Sekitar tengah hari, seseorang membangunkannya. Ternyata Marissa yang asli. Setelah berpakaian rapi, ia pergi ke ruang di mana pesta berlangsung. Orang begitu ramai disana. Karena Marino ini orang yang penting, ia bisa duduk semeja dengan Ratu Darpy. Di sana juga ada Meissa dan Bathack.
“Tak kusangka rakyat menerima kenyataan dan kehamilanku dengan tangan terbuka. Mereka tidak mencercaku,” kata Meissa dengan lega. Suami Ratu Darpy yang baru, memang sangat tampan dan muda. Umurnya baru dua puluh satu tahun, yaitu lebih muda satu tahun daripada Darpy sendiri.
“Wah, selamat, ya? Kalian kelihatannya amat serasi,” kata Marino.
“Ya. Aku amat mencintainya. Betul. Serasi? Ha..ha..! Memang, mungkin. Aku akan punya seratus anak nanti! Huahahaha!” Ratu Darpy tertawa terus. Ia tampak sangat bahagia.
Petang telah tiba, dan itu menandakan waktunya Marino dan yang lainnya untuk pulang untuk mempersiapkan untuk misi besok. Konvoi tiba kembali di istana Crin’s Blade saat malam telah larut. Marino segera bergegas ke kamarnya untuk mendapatkan tidur yang cukup.
Ia terbangun tiba-tiba pada keesokan paginya. Segar, karena ia tidur tanpa mimpi. Atau mungkin begitu jika memang ada hubungannya. Ia bergegas menuju ruang pertemuan. Di sana baru ada Black, sebagai komandan the White Garda, Marissa, dan Eko. Mereka berbincang sejenak sebelum akhirnya semua telah tiba. Mereka adalah Marino, Eko, Daffy, Adin, Marissa, Saphirre, Herz, Ullyta, lalu ada Jasmine, Phalus, dan Doughlas. Seorang pelayan masuk dan membagikan piring-piring berisi daging panggang dan jus.
“Saya akan memberi tahu garis besar misi kita dan tugas setiap pasukan. Doughlas, pasukanmu mengiringi. Kau tahu, dan Herz akan ikut kapalmu untuk memberi tahu arah. Setelah tiba, kita semua akan masuk ke hutan, lalu mendirikan kemah di dalam hutan, sekitar lima ratus meter dari puri. Doughlas, pasukanmu patroli. Herz, kau masuk ke puri dan cari tahu bagaimana membebaskan orang dari tabung. Seseorang akan menemanimu. Jasmine, kau akan menemaninya. Katakan saja kau adiknya.”.
“Jangan. Aku sudah memberitahukan bahwa adikku bernama Merry dan rambutnya ikal pendek. Jasmine kan berambut lurus panjang,” kata Herz, dan Eko kelihatan agak lega. Jasmine sendiri nyengir menahan tawa.
“Katakan saja bahwa ia anakmu,” canda Daffy dan semuanya tertawa riuh.
“Sudahlah. Begini. Jasmine akan menemani hingga seratus meter dari puri. Herz, kuminta kau mencari cara masuk dengan tidak mencurigakan. Nah, setelah kau mengetahui caranya, keluar dan kembali ke kemah. Pasukan gerilya, sebagian kecil kepung puri untuk mencegah siapapun keluar, tapi dari jarak tak terlihat. Itu keahlianmu, betul, Jasmine? Dan bagian besarnya menyebar, dan meng-cover jalan dari fasilitas militer ke puri. Ingat. Jangan menyerang jika tak ada serangan, dan tetaplah tidak terlihat.”
“Setelah semua pasukan gerilya menempati posisi masing-masing, pasukan the White Garda menyerang puri. Ingat, tawan saja Jernandez jika bisa. Jika sudah berhasil, tim masuk ke ruang bawah tanah, selamatkan target, keluar, pasukan mundur total ke kapal, lalu kita pulang. Jelas?” semua bersorak. “Kalian semua punya waktu hingga makan siang untuk memberitahu dan memperkenalkan strategi ini pada pasukan kalian. Ini untuk Jasmine, Black, dan Doughlas tentu, sisanya, siap-siap saja. Ingat. Black, lima ratus personel. Jasmine, 1.500 dan Doughlas, dua skuadron. Bertemu lagi setelah makan siang di pelabuhan militer, beserta pasukan yang telah ditentukan. Rapat dibubarkan.” Setelah menghabiskan sarapan, semuanya pergi menuju kamar masing-masing.
Marino pergi ke kamarnya mengambil pedang yang ia dapatkan di medan perang beberapa hari yang lalu, mengenakan senjata kembarnya yang telah hancur berantakan, dan tinggal gagangnya, dan langsung berangkat ke pelabuhan militer sendirian. Sebentar lagi ia akan berangkat untuk menyelamatkan sahabatnya, yang telah tertunda selama bertahun-tahun. Ia akan menyelamatkan orang, yang menurut ramalan Gabriela adalah cinta sejatinya. Ia akan menyelamatkan Daisy Asalaz.
[End of Chapter X]
[Coming up next, Chapter XI: The Old Group]