Wahabi vs Tablighi: Debat Kecil di Edinburgh Central Masjid
Kisah dimulai saat ba’da shalat dzuhur di Masjid Pusat Edinburgh, ada serombongan pria dari Qatar, sebagiannya tua dan sebagian lagi lebih tua. Mereka dipersilahkan oleh Imam saat itu (Syekh Usamah Ali Al-Misr) untuk mengambil mikrofon, lalu mengadakan pidato singkat. Kemudian saya ketahui ini namanya ‘bayan’, di mana salah seorang perwakilan rombongan memberikan ceramah singkat tentang pentingnya mengingat Allah dan betapa indahnya semua pemberian-Nya dan betapa agungnya Dia. Orang Qatar yang (kelihatannya) paling sepuhlah yang berceramah dalam bahasa Arab, dan diterjemahkan ke bahasa inggris oleh seseorang lainnya.
Saat selesai ceramah, mereka menanyakan siapa yang “siap berkomitmen untuk keluar di jalan Allah”. Beberapa orang berdiri, memberikan nama serta menyebut sejumlah waktu (ada yang 3 hari, 10 hari, 30 hari, dlsb). Baru kemudian saya ketahui bahwa inilah yang namanya Jamaah Tabligh. Tapi saat itu, saya bingung. Lalu saya bertanya kepada seorang bapak-bapak British-Pakistani di sebelah saya, apakah gerangan ini?
Lalu beliau, yang ternyata seorang aktivis Jamaah Tabligh lokal, menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya dakwah dan beraneka ragam hal yang ternyata memang baku dalam “SoP”nya kawan-kawan tablighi.
Semakin panjang kami berdiskusi, sampai masjid mulai sepi, saat itulah, ada seorang teman saya yang seorang wahabi asal afrika utara (masih sangat muda, sekitar 19 tahun), menyela dan masuk ke dalam diskusi dan mengajak berdebat si bapak tablighi ini. Percakapan mereka inilah yang inshaaAllah saya sarikan.
Tablighi (T) : .. Bayangkan, jika Allah menggunakan kita sebagai sarana untuk membawakan hidayah atau taubat bagi orang orang..
Wahabi (W) : (setelah duduk beberapa detik dan mendengarkan) oh, jadi anda ini adalah Jamaah Tabligh?
T: banyak yang memanggil kami begitu. Tapi sesungguhnya kami cuma muslim biasa yang ingin melaksanakan sunnah
W: sunnah? Apa yang kalian lakukan itu tidak ada dasarnya! Apa itu, mengetuk rumah ke rumah, tidak ada dalilnya!
T: justru sebaliknya. Upaya dakwah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah dan Sahabat adalah dari pintu ke pintu
W: tapi.. Tapi.. Coba beri tahu saya. Apa yang dikatakan oleh Syekh (Nasirudin) Al-Bani tentang Jamaah Tabligh?
T: Syekh Al-Bani? (Kebingungan) maksud anda Syekh Hassan Al-Bani? (Tertukar dengan Syekh Hassan Al-Banna)
W: hah?! Anda tidak tahu Syekh Al-Bani? Rupanya memang betul kata para Syekh terkemuka bahwa Jamaah Tabligh ini isinya orang-orang yang tidak berilmu. Harusnya kalian memulai dari memahami Tauhid saja dulu!
T: Memahami Tauhid? Coba anda jelaskan apa yang anda ketahui tentang Tauhid
W: Tauhid itu ada tiga tingkatan, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat (lalu menjelaskan tentang masing-masingnya)
T: SubhanAllah, anda masih muda tapi sangat berilmu. Nah, kami tidak menyampaikan yang sulit-sulit. Hanya mengingatkan sesama kaum muslim akan kebesaran Allah, dan jangan terhanyut dalam duniawi saja. Jika anda ikut, anda bisa juga menjelaskan tentang Tauhid itu. Bagus sekali penjelasan anda kepada saya.
W: tapi.. Tapi.. Anda dzalim kepada keluarga anda! Apa anda tega kepada istri anak anda, meninggalkan mereka sekian lama di rumah sementara kalian khuruuj? Apa anda tidak sadar mereka punya hak atas anda?
T: astaghfirullaah.. Astaghfirullaah.. Kami tidak meninggalkan mereka tanpa perlindungan dan nafkah. Lagipula, para sahabat Rasulullah s.a.w. juga sering meninggalkan anak istrinya berbulan-bulan hingga tahunan untuk berdakwah atau berjihad. Saad bin Abi-Waqaash wafat di Cina, padahal keluarganya di Madinah.
W: tapi ulama-ulama besar telah berfatwa..
#adzan maghrib tiba#
Akhirnya perdebatan bubar. Setelah shalat, sang Wahabi mencari sang Tablighi dan mereka shalat sunnah berdampingan. Sang Wahabi menyadari kekeliruan sikapnya, mengajak debat seperti itu, walaupun dalam hati masih kukuh dengan pendapatnya.
Mereka pun bersalaman, berpelukan, dan berbincang ramah sebelum berpisah -keduanya masih kukuh dengan pendapat masing-masing tapi tidak lagi meributkannya.
Selepas ini, saya pun banyak bergaul dengan kedua pihak ini. Si Wahabi adalah teman pertama dan terbaik saya di Edinburgh, walau saya pernah menyiksanya dengan Ayam Bumbu Bali yang ekstra pedas. Si Tablighi beserta anak beliau (yang baru saya kenal beberapa bulan kemudian) juga terus akrab dengan saya, dan inshaaAllah sudah menyampaikan undangan untuk makan di rumahnya saat saya kembali wisuda di akhir November.
Dialog ini tidak diniatkan untuk mengkritisi manhaj manapun. Wahabi adalah ajaran yang sangat indah, dan saya sulit mengingat mana ajaran wahabi (dalam hal aqidah) yang saya tidak sepaham. Saya pun belum pernah menemukan manusia yang akhlaqnya begitu baik, begitu cerah wajahnya, begitu menikmati shalat dan dzikir, begitu cintanya pada Allah dan Rasul-Nya (sampai kadang lebay), sebagaimana teman-teman Tablighi. Demi Allah, kedua kelompok ini (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) sangat mencintai Allah s.w.t. dan Rasul-Nya.
Mungkin kisah ini hanyalah renungan tentang bagaimana kita menyikapi suatu ilmu, sadar diri sejauh apa kapasitas kita dan bagaimana menyikapinya.