Hugo Grotius dan Mare Liberum: Akademisi, Integritas, dan Kekuasaan
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh,
Ada sebuah kisah menarik yang mungkin dapat diambil ibroh-nya, terutama dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini. Walau judulnya tampak seram, inshaaAllah isinya sesederhana mungkin (ramah awam hukum).
Hugo Grotius (Hugo de Groot) adalah salah seorang akademisi hukum internasional asal Belanda yang sangat terkenal di abad ke 17. Salah satu buku karyanya yang terkenal adalah Mare Liberum. Dua hal penting tentang karyanya ini adalah:
- Intinya beliau mengatakan bahwa laut itu bagian manapun padanya tidak boleh dimiliki oleh siapapun, tidak boleh di monopoli dan tidak boleh diklaim sebagai bagian kedaulatan negara.
- Awalnya beliau mempublikasikannya tanpa nama, jadi awalnya tidak ada yang tahu bahwa Mare Liberum adalah karya Hugo Grotius.
Nah, ada sebuah kejadian menarik yang terjadi pasca penulisan Mare Liberum.
Ironis sekali, justru Belanda mempraktekkan monopoli wilayah laut di beberapa tempat. Singkat cerita, Inggris keberatan pada monopoli Belanda tersebut. Akhirnya pihak Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris bertemu untuk membahas keberatan ini dan mencari jalan tengah.
Tentu masing-masing Kerajaan akan membawa ahli hukum terbaik mereka. Ironis sekali tetapi tidak sulit memprediksinya, tentu saja Kerajaan Belanda akan membawa pakar hukum internasional terbaik mereka: Hugo Grotius. Akhirnya, karena perintah Kerajaan, Hugo Grotius terpaksa berargumen tentang bolehnya klaim kepemilikan atas wilayah laut, bertentangan dengan apa yang sebenarnya dia percayai.
Pelajaran Pertama: Ini resiko yang dihadapi akademisi jika sudah ditarik oleh penguasa
Yang kemudian sangat menarik adalah apa yang dibawa oleh pihak Kerajaan Inggris dalam pertemuan tersebut. Mereka berargumen bahwa laut itu bagian manapun padanya tidak boleh dimiliki oleh siapapun, tidak boleh di monopoli, karena itulah hukum kebiasaan yang berlaku sejak jaman Romawi.
Yep, mereka menggunakan Mare Liberum untuk melawan penulisnya, dan yep, oleh utusan kerajaan Inggris bukunya betul-betul dibawa dan ditunjukin ke perwakilan Kerajaan Belanda. Dan yep, dalam hati Hugo Grotius, dia terkejut saat melihat hal tersebut (beneran lho di kisahnya disebut begitu). Menurut R.P. Anand yang bukunya saya jadikan sumber kisah ini, Grotius menulis memoar yang menuliskan keterkejutannya bahwa argumentasinya dibantah dengan buku yang ia tulis sendiri.
Pelajaran Kedua: NIH resiko yang dihadapi akademisi jika sudah ditarik oleh penguasa.
Kalau anda tahu sebetulnya kasus apa yang menginspirasi saya untuk berbagi kisah ini, saya mau klarifikasi dulu. Saya tidak melakukan penilaian terhadap kasus tersebut, siapa yang benar atau salah, saya tidak tahu apa-apa tentang kasus tersebut dan yang terpenting adalah bahwa itu #BukanUrusanSaya.
Saya cuma menyoroti betapa besar resiko dan fitnah (dalam artian bahasa Arab ya, bukan dalam bahasa Indonesia) yang dihadapi seorang akademisi jika sudah berada dalam lingkar dalam penguasa. Sejauh ini saya tidak berani terlibat dan berdoa supaya saya tidak perlu terlibat dalam lingkar dalam penguasa (tanpa bermaksud Ge eR bahwa ada penguasa yang mau melibatkan saya hahaha).
Di saat yang sama, saya sangat SANGAT salut jika ada akademisi yang bisa tetap menjaga idealism dan integritasnya walaupun berada dalam lingkar penguasa tersebut. Kisah Hugo Grotius hanya salah satu dari entah berapa milyar kisah serupa. Saya sendiri lebih suka menjauh, kalaupun pemerintah mau meminta masukan saya maka saya akan menyampaikan apa posisi akademis saya (pernah beberapa kali), tapi kalau saya disuruh gabung ya tidak mau (pernah ada beberapa tawaran sebenarnya). Cz that is not where I belong.
(Kisah Hugo Grotius ini diambil dari Ram Prakash Anand. 1982. Origin and Development of the Law of the Sea. Martinus Nijhoff Publishers)
PS: inshaaAllah I will publish an English version of this because it is quite an interesting story :3