January 2, 2017
KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN DEMOKRASI
Salah satu dampak dari kebebasan berekspresi adalah berhaknya orang bodoh dan tidak berilmu untuk menyampaikan pendapat yang tidak berlandaskan ilmu. Plus, itu dishare dan diamini banyak. Kenapa bisa begitu? Karena “masuk akal” dan/atau kebetulan sesuai dengan apa yang diyakini.
Padahal sekedar “masuk akal” saja tidaklah cukup untuk dasar benarnya sesuatu. Misalnya, dalam pilihan hidup seringkali ada lebih dari satu pilihan yang masuk akal bagi kita sedangkan nyatanya tidak semuanya kita pilih. Apalagi, manusia, seringkali yang dipilih justru yang tidak masuk akal. Belum lagi mempertimbangkan bahwa seringkali ada hal yang “masuk akal” karena kurangnya ilmu yang kita miliki. Kenalah pasal ruwaybidhoh.
Tapi mereka berhak kok atas pendapat mereka. Manusia berhak untuk bodoh, dan berhak untuk menyuarakannya. Apakah kalangan seperti ini, untuk negara berkembang seperti Indonesia, adalah mayoritas? Jika iya, mengerikan juga. Karena idealnya memang sebuah negara demokratis mempertimbangkan suara rakyatnya lho.
Karena itulah penting sekali pendidikan. Tapi, seberapa kuatkah itu bisa membantu memperbaiki keadaan? Karena saya belum terbayang sistem pendidikan seperti apa yang bisa membuat semua masyarakat fasih beropini soal ekonomi politik sosial budaya teknologi. Barangkali saya harus bersyukur karena di atas sana pemangku kebijakan tidak selalu mengikuti saja apa maunya rakyat?
Mungkin negara maju yang jelas lebih advance dari kita dalam hal ini punya solusi yang lebih baik. Saya pun ke sana. Memang dalam sebagian aspek pendidikan mereka sangat kuat. Tapi pernahkah berbincang bincang dan hidup bersama masyarakat akar rumput (grassroot) di negara maju? Saya sering waktu di UK dulu. Dikira waktu muncul isu referendum kemerdekaan Scotland dan Brexit, perdebatan di masyarakat banyak yang intelek? Ternyataaaa buwanyak yang blo’onnya sami mawon podho wae sarwa keneh!
Makanya waktu terjadi brexit saya ketawa saja, apalagi saat muncul kutipan Winston Churchill (mantan PM UK yang keren banget zaman Perang Dunia II) kurang lebihnya “the best argument against democracy is a 5 minute conversation with the average voter”.
Apa poinnya tulisan ini? Nggak ada sih, saya cuma bicara bicara saja. Cuma saya jadi merenung saja. Kalau saya ndak punya kepakaran terhadap suatu bidang (atau setidaknya punya akses terhadap ahli dan literatur untuk bertabayun ilmiyah), lebih baik saya diam saja dan tidak berkomentar.