KARENA TUHAN TIDAK PERLU DIBELA
Tiga Kisah
Kisah pertama tentang seorang guru sekaligus kolega saya, seorang akademisi hukum yang sangat saya hormati dan kagumi keilmuannya. Suatu kali beliau menjadi pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN), dan saya tahu betul betapa beliau adalah seseorang yang sangat menyayangi murid-muridnya. Kali itu, salah seorang mahasiswi di bawah bimbingan beliau sedang mandi. Anak ini dibuat pingsan oleh seseorang, dan hanya si pelaku dan Allah saja yang tahu apa yang terjadi saat anak ini pingsan. Saat pelaku tersebut tertangkap, guru saya ini tidak menyia-nyiakan waktu untuk mendaratkan bogem mentah padanya, sejenak lupa atau melupakan apa kata ilmu hukum tentang eigenreichting.
Padahal, bogem tersebut tidak akan kembali kehormatan yang hilang. Trauma dan luka yang mungkin bisa sembuh pun, bukan akibat bogem itu. Apa manfaatnya bogem ini?
Kisah kedua tentang seorang tokoh ormas mengatasnamakan Islam, dengan nama samaran Nosrun Wihad. Beliau ini terkenal sangat menggebu gebu mendukung seorang calon gubernur dengan sorot matanya yang … aduhai … Suatu kali di sebuah stasiun televisi, beliau diundang untuk diskusi panel. Saat diskusi, seorang panelis lain menyebut namanya bukan Nosrun Wihad melainkan Nosrun Pornumu. Begitu marahnya Nosrun, sampai dengan nada keras memperingatkan si panelis lain itu sampai bahkan mengancam mau melaporkan.
Padahal, tidak akan berubah KTP beliau dengan marahnya. Semua yang telah mengenalnya pun tidak akan lupa dengan nama aslinya. Apa manfaatnya marah ini?
Kisah ketiga adalah umat Islam di Indonesia yang turun ke jalan menuntut agar seorang gubernur yang menista agama Islam, Sebel karena pemerintah dan kepolisian kok tampaknya merangkap kuasa hukum sang gubernur. Mereka datang dari berbagai kelompok dan harokah, sebagiannya biasa ribut dengan yang lainnya, tapi aksi ini menyatukan mereka semua untuk melupakan sejenak perbedaan mereka. Mungkin ada yang turut serta dengan motif politik, tapi dari sekian juta orang mayoritas tidak akan mendapat apapun dari terpenjaranya si gubernur –sebagian bahkan datang dari provinsi lain.
Padahal, tidak akan luntur Kuasa Allah atas penistaan itu. Tidak pula Allah bertambah kemuliaan-Nya dengan dihukumnya sang gubernur, mati sekalipun. Apa manfaatnya aksi ini?
Tentu nama Nosrun tidak setitikpun semulia Nama Allah, dan Allah pun tidak akan menderita akibat pelecehan seperti sang mahasiswi. Akan tetapi, di samping semua perbedaannya, ketiga kisah ini punya kesamaan: perbuatan si kolega saya, Nosrun, dan Umat Islam Indonesia, tidak kelihatan manfaatnya.
Hati, Ghirah, dan Cinta
Menarik bagaimana ada sebuah kecenderungan kalangan ‘terpelajar’ untuk seolah menuhankan rasionalitas. Terkadang bingung antara rasionalitas dan scientific (beda lho), tapi intinya ini pertanyaan tentang ‘what is truth’ dan ‘where do we find it’. Apakah rasionalitas dan sains saja sumber kebenaran? Di manakah tempatnya hati, ketika perasaan juga merupakan sesuatu yang merupakan fitur yang membuat manusia menjadi manusia?
Apakah fungsi hati hanya untuk ditekan dan dibatasi oleh rasionalitas dan sains? Atau, semua ada tempatnya masing-masing? Atau, saling melengkapi dan saling membatasi?
Ada satu kesamaan lain antara tiga kisah di awal tadi. Pertimbangan manfaat dari sebuah keputusan adalah sesuatu yang sudah masyur tergolong sebagai pertimbangan rasional. Maka yang menjadi pertanyaan adalah kenapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan?
Jawabannya adalah karena ada perasaan marah, benci, menolak, can cemburu, ketika sesuatu yang begitu mereka cintai dilecehkan. Tidak ada urusan apakah pelecehan itu membuat sesuatu itu rusak atau tidak, atau ternyata malah sebetulnya menguntungkan. Ada perasaan yang tidak terima atas suatu perlakuan yang begitu buruknya, terlepas dari dampak konkritnya ada atau tidak. Ada cinta yang rasanya begitu terkhianati jika tidak melakukan sesuatu, walaupun sesuatu itu tidak berguna. Dalam Bahasa Arab dikenal juga dengan nama GHIRAH.
Akan tetapi, sebagaimana ketika seseorang keslomot minyak panas ia akan reflek menarik tangannya dan bukannya menyelupkan tangannya ke minyak. Sebagaimana juga ketika ada seseorang –terutama yang amat kita cintai—tersenyum manis pada kita, bisakah tidak ikut tersenyum? Atau apakah anda malah ragu, sehingga malah memalingkan wajah menghindari kontak mata?
Ini semua adalah naluri dan alamiah ada pada manusia. Dan, dari semua naluri alamiah pada manusia, tidak ada yang lebih dari iman dan cinta, sedangkan bentuk tertinggi dari yang satu adalah sama dengan bentuk tertinggi yang lainnya.
Dalam keadaan ekstrim, hukum pidana Indonesia dan Belanda pun dikenal noodweer exces alias pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Agak berbeda tapi punya persamaan dalam konsep, di hukum pidana USA ada juga temporary insanity. Konsepnya serupa, yaitu ketika sebuah kejahatan dilakukan karena guncangan jiwa yang begitu hebatnya sehingga unsur mens rea atau ‘niat jahat’ tidak terpenuhi. Contoh klasik di ruang kuliah hukum pidana adalah ketika melihat istri atau ibu kita diperkosa, kita begitu marahnya sampai kita banting banting orang itu hingga tewas. Padahal konsep ‘pembelaan diri’ itu harus proporsional. Padahal si pemerkosa tadi bisa jadi melihat kita langsung menyerah.
Ketika hati kita secara naluriah dan tanpa bisa dikendalikan membuat kita melakukan hal yang salah, itu menjadi alasan penghapus pidana. Apakah bisa disalahkan ketika hati itu menuntun kita melakukan hal yang benar?
Karena tidak ada ghirah tanpa cinta, dan tidak ada ghirah tanpa cinta.
Kisah Kelima, Keenam, dan Ketujuh
Kisah kelima adalah The Mummy Returns (bukan ‘Mbok e Muleh’ ya), sebuah film Box Office yang seru sekali. Singkat cerita, Rick (tokoh utama) dan Imhotep (si Mummy) hampir jatuh ke jurang kematian, sedangkan gua tempat mereka bernaung hampir runtuh dan banyak batu runtuh dari atas. Evelyn (kekasih Rick) lari, tak memperdulikan nyawanya, untuk menolong Rick. Sedangkan Anck-Su-Namun (kekasih Imhotep) memilih kabur dan tidak menolong Imhotep. Putus harapan karena cintanya malah kabur, dan mungkin iri juga pada Rick karena Evelyn mau meresikokan nyawanya, Imhotep menjatuhkan diri ke jurang kematian.
Evelyn sempat melirik ke arah Imhotep, tak berkata apapun. Tapi rasanya tatapan itu seolah berkata “Cinta Anck-Su-Namun padamu tidak sebesar cintaku pada Rick.”
Kisah keenam adalah kisah sahabat saya, sebut saja namanya Shinta. Ia adalah tipe perempuan yang berbunga bunga, suka film drama korea, orangnya pun dramatis luar biasa. Ia pun punya sahabat bernama Shanti, yang baru saja menikah. Ia heran kenapa kalau mereka sedang doube date, mereka seperti bumi dan langit. Shinta hobinya glendotan dan bermanja manja berisik tapi bahagia dengan suaminya, sedangkan Shanti dan suaminya hening saja dan bergandengan tangan saja.
Shanti pun penasaran dan bertanya pada Shinta. Shinta berkata, “Aku mencintainya dengan caraku sendiri, mungkin kamu tidak paham karena suamimu bukan dia.”
Kisah ketujuh adalah kisah saya mengamati timeline media sosial. Ada yang mengatakan ‘Saya muslim, tapi saya tidak harus tersinggung kok. Saya tidak bersumbu pendek’. Ada lagi tulisan konon dari musisi Bali yang mengatakan intinya ‘kalau tuhan saya dihina, saya akan diam saja’.
Saya hanya tersenyum saja, lalu membaca kisah kelima dan kisah keenam.
==========================================
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادً۬ا يُحِبُّونَہُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبًّ۬ا لِّلَّهِۗ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…” (Al Baqarah ayat 165)