Islamisasi Hukum vs Islamisasi Ilmu Hukum: Antara Mitos dan Realita

 

Islamisasi Hukum vs Islamisasi Ilmu Hukum

Mudah sekali untuk keliru menyamakan antara kedua terminologi di atas. Khususnya, kekeliruan ini banyak dipegang oleh orang non-hukum. Dikiranya bahwa pokoknya Islamisasi Hukum maupun Ilmu Hukum isinya adalah minta Syariat Islam diterapkan di Indonesia, hudud qisas diterapkan, dll. Padahal tidaklah seperti itu.

Kesalahan ini juga membuat banyak sekali orang yang mengira bahwa fakultas hukum ini kerjaannya cuma menghafal pasal. Bukannya tidak menghafal pasal sama sekali, tapi fakultas hukum jauh lebih dari sekedar itu saja. Panjanglah ceritanya untuk menjelaskan cakupan studi di fakultas hukum, mari kita fokus pada tema yang dibahas ini saja hehehe

Apa itu Islamisasi hukum?

Perlu diketahui dulu bahwa tidak ada definisi hukum yang utuh diterima semua aliran pemikiran, tapi setidaknya semua mensepakati bahwa ia merupakan “seperangkat aturan”. “yang…”-nya itu yang para pakar berbeda pendapat. Nah ini dia, kalau belajar hukum ya belajar pasal-pasal. Mungkin dihafal itu lebih bagus, tapi kalau tidak ya bisa dicek langsung ke produk hukum terkait (Undang-Undang, Konvensi Internasional, dlsb). Dengan demikian, Islamisasi hukum adalah memasukkan hukum Islam ke dalam sistem hukum (bisa Indonesia, internasional, dan lain lain).

Mitos di sini setidaknya ada dua:

Pertama, bahwa Islamisasi hukum Islam pasti minta hudud dan qisas saja. 

Nyatanya, hukum Islam itu sangat luas dan sebagian Islamisasi hukum sudah terjadi. Misalnya: hukum nikah, waris, perbankan, waqaf, zakat, dan lain-lain itu semuanya hukum Islam juga. Ya, hudud dan qisas adalah bagian dari hukum Islam, tapi tentu tidak melulu itu saja.

Kedua, bahwa Islamisasi hukum tidak perlu karena Islam itu adalah bil hikmah

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa kata hukum dan hikmah keduanya berasal dari bahasa Arab dan memiliki akar kata yang sama (ح ك م).  Ketika manusia yang membuat hukum, tentulah sulit mengintegrasikan hikmah secara sempurna. Tapi mungkinkah Allah yang bersifat Al-Hakiim menurunkan hukum yang tidak berhikmah? Semua hukum Allah pasti berhikmah sempurna. Makanya, ketika turun larangan makan Babi, ada pengecualian misalnya kalau sedang terpaksa. Pengecualian ini bukan hanya bil hikmah melainkan di teks juga ada. (Lihat Surah Al-Baqarah ayat 173). Masalah dalam hukum Islam itu bukanlah masalah tekstualisme, melainkan kalau baca teks cuma separo itu lho

Apa itu Islamisasi ILMU Hukum?

Nah inilah yang terpenting. Islamisasi hukum mungkin secara langsung mayoritasnya merupakan tugas penguasa. Sedangkan Islamisasi ILMU hukum ini, adalah tugas para akademisi.

Ketika mahasiswa hukum belajar Pengantar Hukum Indonesia, lumayan banyak pasal yang harus mereka ketahui. Tapi ketika mereka belajar Pengantar ILMU Hukum, justru sangat sedikit. Simpelnya, ilmu hukum ini isinya adalah teori-teori tentang hukum. Mulai dari pengertian dan cakupan hukum, sumber-sumber hukum, tujuan-tujuan hukum, asas-asas hukum, pemahaman sistem, metode-metode penafsiran hukum, dan lain sebagainya.

Bila kita melihat buku buku teks yang digunakan sebagai bahan ajar mata kuliah pengantar ilmu hukum, akan ditemukan banyak nama tokoh : Thomas Acquinas, Carl Von Savigny, Immanuel Kant, Roscoe Pound, Jeremy Bentham, Gustav Radbruch, dan sederet nama Barat lain. Padahal, dalam sejarah hukum Nusantara, nampaknya mayoritas (kalau bukan semua) pengaruh Barat pada hukum Nusantara adalah melalui penjajahan. Hanya sedikit sekali ada pemikiran orisinil dari tokoh Indonesia di sana, dan ada nol zero sama sekali teori hukum Islam, padahal Indonesia adalah mayoritas Muslim dan hukum Islam lama mengakar di masyarakat. Islamisasi ILMU hukum adalah bagaimana konsep dan teori hukum Islam dapat setidaknya diajarkan atau bahkan diterapkan dalam pengembangan dan penerapan hukum di Indonesia.

Beberapa contoh:

Pertama, Bab Norma-Norma Hukum

Dalam buku teks, para akademisi hukum membagi antara norma agama, norma kesopanan/sosial, norma kesusilaan, dan norma hukum. Kesemuanya dapat saling menunjang, tapi hakikatnya adalah terpisah. Bahkan, Sudikno Mertokusumo (begawan hukum asal UGM) mengatakan bahwa norma agama ‘memiliki kekurangan’ karena ‘hanya memberikan kewajiban tanpa hak, tidak ada hukuman duniawi’. Padahal, tentu dalam Islam tidak seperti itu. Jika kita membagi norma dengan cara seperti itu, maka tidak akan bisa menilai agama dengan betul. Bukan cuma Islam, tapi banyak agama lain atau bahkan hukum adat juga tidak akan cocok dengan pembagian seperti itu. Saya ada penelitian dan publikasi khusus tentang bab ini.

Kedua, Bab Tujuan-Tujuan Hukum: Kemanfaatan

Salah satu tujuan hukum adalah untuk mendatangkan kemanfaatan. Semua buku teks menggunakan teori utilitarianisme ala Jeremy Bentham dan John Stuart Mill untuk menjelaskan kemanfaatan ini, sesekali ada yang mencampur dengan pendekatan Weber (misalnya Peter Mahmud Marzuki). Perlu dicatat bahwa tokoh-tokoh ini adalah sekuler, dan tentu menghasilkan teori-teori turunan yang sekuler. Apakah kemanfaatan di masyarakat Indonesia dapat diukur secara sekuler? Padahal, Islam juga menjadikan maslahat (ya intinya kemanfaatan juga) sebagai tujuan hukum, dan konsep ini yang dikenal sebagai maqashid al-shari’ah telah sangat berkembang pesat sebetulnya. Konsep hukum Islam ini mengukur kemanfaatan dengan indikator duniawi maupun ukhrawi, dan tentu setidaknya kita harus setuju bahwa ini lebih cocok untuk masyarakat yang religio-magis. Saya juga ada publikasi upcoming khusus tentang tema ini.

Ketiga, Bab Asas-Asas Hukum

Ada banyak asas hukum yang tercetak dalam bahasa latin atau Inggris di buku-buku teks, misalnya lex specialis derogat legi generalis (hukum khusus mengalahkan hukum umum) atau presumption of innocence (praduga tak bersalah) dan lain sebagainya. Ternyata dalam hukum Islam telah dikenal asas-asas hukum yang maknanya sama persis dengan itu, tapi nyaris tidak ada mahasiswa sarjana hukum yang mengetahuinya. Ada pula kaidah-kaidah hukum Islam yang tidak dikenal di antara kaidah-kaidah hukum Barat yang dapat membantu hakim menyelesaikan perkara, misalnya: kaidah dar` al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih (menolak keburukan didahulukan dari mengambil manfaat), Al-Yaqiinu Laa Yazuulu Bish Shakk (keraguan tidak dapat mengalahkan kepastian), dan lain sebagainya. Saya juga ada publikasi upcoming khusus tentang tema ini, dan tersedia juga dalam terjemahan bahasa Indonesia.

 

Penutup

Prinsipnya, ide dari Islamisasi ilmu hukum sangatlah simpel: kalau kita boleh impor teori-teori hukum Barat, kenapa tidak boleh impor teori-teori hukum Islam?

InshaaAllah teori-teori hukum Islam akan memperkaya diskursus ilmu hukum, bahkan bisa menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat baik untuk mendukung penerapan hukum di Indonesia.