Pengantar Islamic Worldview dan Islamisasi Ilmu untuk Pelajar

 

Bagi kebanyakan orang yang tidak khusus mempelajarinya, ‘Islamic Worldview’ sering dipahami keliru. Sedangkan bagi orang yang baru mencoba mempelajarinya, banyak yang kesulitan karena ia rumit sekali. InshaaAllah tulisan ini mencoba menyederhanakan Islamic Worldview sebagai pengantar.

Apa sih maknanya menjadi seorang Muslim? Sebagian dari kita akan menyebut bahwa seorang Muslim itu ‘mempercayai rukun iman dan melaksanakan rukun Islam’. Bukanlah jawaban tersebut salah. Akan tetapi, begitu banyak dari kita yang masih punya PR dalam memahami dengan sedalam-dalamnya pemahaman terhadap hal tersebut. Ada konsekuensi-konsekuensi rukun iman dan rukun Islam yang kadang terluput dari kita.

Bukankah kita sering menyinyir seseorang atau kalangan tertentu dengan sindiran “itu Islamnya klaim doang, realitanya nggak ada”? Ternyata seringkali sindiran tersebut harus kita renungkan sendiri. Sebagaimana diriwayatkan di Musnad Ahmad, anak Adam itu tidak bisa luput dari dosa sedangkan yang terbaik adalah yang selalu memohon ampunan kepada Allah.

Ada banyak cara menjelaskan ‘Islamic worldview’, dan sebagian besarnya sangat panjang dan rumit (e.g. apa itu ‘worldview’, kritik terminologisnya dlsb). Bukannya itu salah, mengingat kita bisa kuliah sekian tahun untuk bidang kita, masa untuk Allah kita nggak mau usaha sedikit? Tapi sekedar untuk membantu, barangkali ini ada penjelasan yang lebih sederhana sebagai pengantar. Kita akan mulai dengan (1) penjelasan umum, (2) Islamic Worldview bagi Pelajar, dan (3) tanya jawab seputar Islamic Worldview.

 

PENJELASAN UMUM

Simpelnya, Islamic worldview adalah bagaimana Islam memandang realita. Realita ini tidak terbatas pada dunia melainkan mencakup semua yang ada baik itu bisa diindera maupun tidak (ghaib). Ia termasuk pada konsep ‘nyata’, siapa itu Allah, siapa itu ‘manusia’, dan lain sebagainya, dan buntutnya akan panjang.

Nah. Seringkali dua orang hidup di alam yang sama tapi masing-masingnya memandang realita dengan cara yang berbeda sehingga makna hidup mereka berbeda dan keputusan dalam menjalani hidup adalah berbeda.

Contoh simpelnya adalah seperti ini:

Fulan sedang mencari rumah tinggal. Ia mendapati pilihan hanya dua: kredit rumah Rp 10juta per tahun termasuk bunga (riba), atau kontrak rumah Rp 10juta per tahun. Ia berkata: “Kalau kredit, uangnya akan jadi sesuatu yang aku miliki. Kalau kontrak, uangnya akan hilang menguap.”

Apabila Fulan ditanya bisa saja ia berkata ‘aku mempercayai Allah dan hari akhir karena keduanya rukun iman’, tapi kemudian informasi tersebut tidak ada makna atau relevansinya dalam hidup Fulan. Pada hakikatnya, Fulan tidak mendapati Allah dan hari akhir sebagai bagian dari realita, sehingga akhirnya terjadilah peristiwa dan ucapan sebagaimana dicontohkan di atas. Padahal, harta yang halal dan dibelanjakan dengan halal adalah barakah. Apalagi apabila dibelanjakan dalam rangka menghindari riba, bukankah tentu ia semakin menjadi pemberat timbangan amal?

 

Kesimpulannya sederhana: ‘memiliki Islamic worldview’ maknanya adalah ‘hidup dengan pandangan terhadap realita sebagaimana diajarkan oleh Islam’. Seorang Muslim tidaklah akan mengatakan bahwa ‘kalau Islam berpandangan begini, kalau Atheist berpandangan begitu, itu adalah pandangan masing-masing’. Sebab, hakikat realitas itu tidaklah bergantung pada pemikiran manusia karena manusia bukanlah yang menciptakan realitas, walaupun mungkin saja ia memandang realitas dengan berbeda-beda.

Seorang Muslim akan mengatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh Islam melalui Qur’an dan Sunnah tentang realita itulah yang merupakan pandangan yang sebenarnya terhadap hakikat realitas itu sendiri. Allah itu ada, Firman-Nya itu ada, maut itu ada, alam kubur itu ada, hari kiamat itu ada, pengadilan Allah itu ada, Surga dan Neraka itu ada.

Maka pertanyaannya: apakah kita mau menerimanya (berserah diri terhadapnya, atau ‘ber-Islam’) atau mau mengingkarinya (kafir)?

 

ISLAMIC WORLDVIEW BAGI PELAJAR

Akan tetapi, karena kekurangan kita sebagai manusia yang faqir, konsekuensi dari hal ini seringkali terluput. Terkadang perwujudannya adalah pada masalah-masalah keseharian misalnya kasus Fulan tadi, atau misalnya dalam hal sedekah atau yang lainnya. Akan tetapi, bagi kita-kita yang diberkahi Allah dengan semangat dan sarana untuk mencari ilmu, ada tantangan yang agak berbeda. Coba kita renungkan dua pertanyaan ini:

Pertama: Seberapa besar porsi ilmu yang kita miliki terkait bidang kita, yang bersumber atau merupakan turunan dari ilmu yang diperoleh dari Al-Qur’an dan Sunnah?

Kedua: Apakah peran Syariat bagi kita hanya sekedar sebagai rem saja? Maksudnya, pokoknya kita kembangkan ilmu dari sumber apa saja yang didapatkan, lalu kalau hasilnya berbenturan dengan Syariat baru kita sesuaikan?

Ketiga: Logiskah apabila seseorang mengimani Al-Qur’an sebagai Kalam Allah, tapi informasi dari Allah dan Rasul-Nya tidak kita gunakan sebagai sumber ilmu?

 

Kalau ada yang bertanya kenapa bilang ‘dua pertanyaan’ lalu ternyata ada tiga, jawabnya adalah: gue khilaf.

Tapi yang lebih utama, ada yang akan menyinyir dan kemudian bertanya “coba buat UU Lalu Lintas pake Qur’an dan Hadits!” atau “jelaskan apa kata Nabi tentang phytoplankton!”. Sebenarnya kedua pertanyaan tersebut mudah dijawab, tapi poinnya bukan itu.

Al-Qur’an dan Sunnah banyak menjelaskan tentang hakikat manusia, alam semesta, hidup dan mati, serta Allah. Apa sih ilmu itu, kalau bukan untuk menjelaskan tentang kesemua itu?

Masalahnya, banyak dari kita rawan termasuk mereka yang dicela dalam Surah Al-Rum ayat 7: Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.

Sebagian kita sombong mengatakan kita ‘overdosis agama’ padahal selama sekolah kita paling Cuma 1-2 jam seminggu pelajaran agama dan seringkali gurunya terlalu baik dalam memberi nilai. Padahal, sesungguhnya begitu sedikit kita mengenal dan mempelajari ilmu agama. Maka, apakah kita terkejut apabila kita tidak mengenal ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang relevan dengan ilmu kita, sehingga tidak diambil jadi sumber?

 

Ini adalah PR Panjang kita sebagai umat Islam yang terpelajar. Dulu umat Islam adalah tonggak dalam peradaban ilmu pengetahuan, dan para alim ulama saat itu mengembangkan ilmu dengan Qur’an dan Sunnah di dalam hati dan fikiran mereka. Islamic Worldview sudah ada pada mereka. Sayangnya peradaban Islam kita ketahui telah runtuh, dan apa yang dikembangkan oleh para ilmuwan Islam saat itu sudah diambil alih dan dikembangkan oleh peradaban Barat sedemikian rupa sehingga kita tidak mengenalinya lagi.

So, what now?

Sebagai pelajar, PR utama adalah ISLAMISASI ILMU! Apa maksudnya? Maksud dari Islamisasi Ilmu adalah terbagi dalam dua level:

Level 1: ilmu-ilmu yang sudah ada perlu kita masukkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam, sehingga bersesuaian dengan Islamic Worldview. Contohnya adalah Islamic Finance, di mana produk-produk ilmu yang sudah ada (antara lain Bank) coba diolah supaya bentuknya lebih Islami.

Level 2: dari ajaran-ajaran Islam, lahirkanlah ilmu-ilmu yang baru untuk merespon tantangan-tantangan umat manusia. Contohnya adalah Psikologi Islam yang sedang pelan-pelan dibangun oleh para ahlinya berdasarkan konsep manusia dan jiwa yang diajarkan oleh Islam.

 

Bagaimana mencapainya? Ada tiga hal yang perlu kita lakukan mulai sekarang:

  1. Kuliah yang bener untuk mencari ilmu. Jangan jadi sekedar mahasiswa ahlul slide! Ingat bahwa dosen bukanlah satu-satunya sumber ilmu (apalagi sebagian dosen ya nyebelin juga kan hehehe [mungkin termasuk gue]).
  2. Mulailah mengaji yang bener. Maksudnya ‘mengaji’ bukan sekedar tilawah Al-Qur’an dan membaca terjemah. Belajarlah kepada para alim ulama, baca karya-karya mereka, agar memahami ayat-ayat Allah dengan sepaham-pahamnya. Perlu dicatat bahwa nampaknya baru zaman now di mana ada dikotomi antara ‘hafal’ dengan ‘paham’, karena di zaman Sahabat dan Tabi’in tidak seperti itu.
  3. Milikilah Islamic Worldview yang benar. Tulisan ini hanya pengantar saja yang umum. Mulailah baca karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, khususnya Risalah Untuk Kaum Muslimin. Itu Bahasa Melayu. Atau, ada juga yang full Bahasa Indonesia karya Dr Abas Mansur Tamam judulnya Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim. Dan lain sebagainya.

 

Memang PR-nya sangat Panjang. Akan tetapi, ilmu itu sifatnya estafet. Belum tentu kita menyaksikan ujung dari usaha kita. Kita berdoa supaya kelak generasi selanjutnya, atau selanjutnya lagi, bisa melakukan hal tersebut akibat lanjutan upaya kita. Tapi terlebih lagi, kita berdoa karena kita tahu hidup ini hanya sementara dan maut bukanlah akhir: semoga Allah membalas upaya dan niat baik kita, apapun hasilnya.

PS: untuk Islamisasi ilmu dalam bidang hukum, silahkan membaca tulisan ini.

 

TANYA JAWAB SEPUTAR ISLAMIC WORLDVIEW

Ketika berbicara tentang Islamic Worldview atau salah satu turunan-nya yaitu Islamisasi Ilmu, seringkali ada pertanyaan-pertanyaan atau kritikan-kritikan yang dilontarkan. Di sini akan saya bagi sebagian pertanyaan tersebut lalu saya coba menjawabnya dengan sesederhana mungkin. Sebagiannya sudah saya jawab di post lain, tapi saya bagi ulang supaya gampang.

 

Pertanyaan Pertama: Kenapa Harus Melihat Dari Islam? Kenapa Nggak Dari Yang Universal?

Biasanya yang menanyakan hal ini akan menawarkan konsep yang diklaim sebagai ‘universal’ padahal ia sendiri berasal dari sumber yang bias peradaban tertentu saja. Padahal kalau ditelusuri, itu adalah hasil dari pikiran manusia juga. Islam bersumber dari Allah! Mana yang kira-kira lebih sah klaimnya sebagai ajaran yang universal?

Tapi, bukankah banyak juga yang mengklaim bersumber dari Tuhan? Ingat: banyaknya klaim yang berbeda atas sesuatu hal tidaklah otomatis membuat kesemua klaim tersebut salah (apalagi benar) semua! Di sini mari kita berhujjah mana yang betul-betul bersumber dari Tuhan!

 

Pertanyaan Kedua: Bukankah Tidak Semua Orang Mempercayai Islam? Kenapa Mereka Disuruh Mengikuti?

Biasanya yang menanyakan hal ini adalah mereka yang lupa kritis ketika orang Islam disuruh menerima ilmu yang asalnya bukan dari Islam, melainkan dari negara/peradaban/ideologi yang berbeda dari Islam. Apa bedanya?

Sebagaimana disinggung sebelumnya, kebenaran tidaklah tergantung pada kepercayaan. Realitas itu tidak dibangun oleh fikiran manusia, sehingga hakikat kebenaran menjadi tergantung apa yang dipilih oleh masing-masing manusia. Seseorang yang duduk di atas rel kereta api tidak akan bisa menghindari tertabrak kereta hanya karena ‘ia memilih untuk tidak mempercayai adanya kereta’.

Terlebih lagi, ajaran Islam bukanlah bermanfaat bagi umat Islam saja. Ia adalah rahmat bagi semesta alam. Ini juga teguran untuk sebahagian dari kita yang mengira bahwa manfaat-manfaat dari ajaran Islam hanya adalah untuk umat Islam saja. Justru, umat Islam harus membawa rahmat bagi semua orang dan juga lingkungan sekitar.

 

Pertanyaan Ketiga: Qur’an dan Sunnah dan Karya Ulama Itu Dari Zaman Kapan? Masih Relevankah?

Apabila ilmu hanya bersumber dari proses intelektual manusia, maka proses intelektual manusia itu adalah terikat dan terbatas dengan pengalamannya (konteks social politik historis di sekitarnya. Kalau demikian, bisa saja diargumentasikan bahwa karya manusia bisa jadi hilang relevansinya pada konteks waktu dan tempat yang berbeda.

Akan tetapi, Allah tidaklah terbatas dengan itu. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maha Mengetahui, Yang Terawal, dan Yang Terakhir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW sudah dijamin oleh Allah segala perkataannya. Tentu tidak bisa dibatasi oleh ruang waktu sebagaimana karya manusia yang dhaif seperti saya dan anda.

Perlu dicatat bahwa Allah tidak selalu memberikan informasi yang plek jelas tentang segala sesuatunya. Bisakah anda membayangkan seberapa tebalkan Al-Qur’an bila literally mengandung segala hal yang ada di semesta alam ini dengan eksplisit dan spesifik? Qur’an 30 Juz ini saja belum tentu kita sudah baca semua toh hehehe

Untuk sebahagian hal, Allah hanya memberikan kaidah-kaidah umum, petunjuk-petunjuk, dan rambu-rambu di mana manusia harus menggunakan akalnya untuk mengolah dan melahirkan ilmu-ilmu baru. Dan di sinilah, untuk sebahagian hal, manusia yang diembankan tanggungjawab untuk menerapkannya tersebut untuk zaman-zaman dan keadaan-keadaan yang baru. Inilah ijtihad.

Perlu diingat bahwa tidak semua ijtihad adalah produk olahan dari dalil/kaidah dari Al-Qur’an dikaji terhadap pengalaman. Untuk hal-hal yang demikian, maka bisa saja beda waktu memerlukan beda ijtihad. Misalnya, bagaimana hukumnya pasukan Islam menyerang ‘human shield’? Tergantung situasi.

Akan tetapi, sebahagian ijtihad adalah tidak berdasarkan pengalaman melainkan menyimpulkan dari dalil-dalil yang ada, misalnya dari dalil-dalil terkait aurat dan jilbab dan khimar dll disimpulkan ‘wajib hukumnya perempuan baligh mengenakan jilbab’. Hukum tersebut bukanlah olahan dari pengalaman sang mujtahid melainkan mengumpulkan dan menyimpulkan dari kumpulan dalil. Maka, yang semacam ini tidak tergantung zaman.

 

Pertanyaan Keempat: Emangnya Ilmu Dari Non-Muslim Tidak Mungkin Betul?

Tentu bukan seperti itu. Tulisan ini pun saya ketik dengan laptop, software (bukan bajakan), dan internet, sambil mengenakan pakaian, yang kesemuanya dibuat oleh non-Muslim. Bukanlah Islamic worldview adalah menolak semua hal selain apa yang disampaikan oleh sesama Muslim. Bahkan, diriwayatkan Rasulullah s.a..w. dalam perang Khandaq mengadopsi taktik perang Majusi Persia.

Simpelnya, walaupun ilmu datang dari non-Muslim tentu dapat kita terima selama ilmu tersebut baik. Islamic Worldview bukan mengajarkan menolak atau menerima serta merta, melainkan memberikan acuan untuk memilah mana yang bisa diterima dan mana yang tidak.

 

Pertanyaan Kelima: Apakah Islam Menolak Empirisme (Sains)?

Sebelumnya, Empirsme tidaklah sama dengan Sains. Lebih tepat menyebut ‘Saintisme’. Empirisme adalah sebuah ideologi yang menerima kebenaran HANYA apabila ia dapat dibuktikan dengan panca indera (penalaran empiric). Asumsinya adalah ‘apabila sesuatu itu ada, maka ia pasti dapat dibuktikan secara empiris’.

Padahal, asumsi tersebut pun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Singkatnya, asumsi tersebut hanya bisa dibuktikan secara empiris apabila si penggagas telah mengetahui SEMUA HAL, lalu menunjukkan bahwa kesemua hal itu dapat dibuktikan secara empiris. Atau, ia mengamati SEBAHAGIAN HAL, menunjukkan bahwa sebahagian hal itu dapat dibuktikan secara empiris, lalu MENGASUMSIKAN bahwa sebahagian hal itu mewakili keseluruhan dari apa yang ada. Aneh dan tidak logis kan?

Islam pun menolak empirisme, salah satu alasannya adalah karena ciri orang bertaqwa adalah beriman pada yang ghaib (Al Baqarah ayat 3). Tapi, Islam tidak menolak penalaran empiris. Pada tempatnya, boleh saja kita melakukan penalaran empiris apabila itu memang diperlukan. Misalnya dalam meneliti penyakit, pastilah perlu metode-metode yang bersifat empiris.

Yang penting jangan sampai penalaran empiris dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Penalaran empiris pun tujuannya bukan mencari kebenaran. Kesimpulan dari penalaran empiris itu adalah “sejauh ini, berikut yang berhasil saya temukan…” itu saja.

 

Pertanyaan Keenam: Kenapa Sih Harus Urus Agama? Bukankah Itu Urusan Pribadi?

Pertanyaan ini menarik, karena mengasumsikan dua hal: pertama, bahwa urusan pribadi tidak boleh diatur orang lain. Kedua, bahwa agama hanyalah urusan pribadi semata.

Saya ingin bertanya balik: itu aturan dari mana? Apakah bisa dicari sumber asumsi-asumsi tersebut, lalu dijelaskan kenapa itu adalah aturan yang mengikat semua orang?

Mendekonstruksi kedua asumsi tersebut ada sendiri bahasannya. Yang jelas, dalam semua macam hukum pasti akan ada irisan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, di mana ada irisan di antara keduanya.

Di lain sisi, Islam memberikan pedoman lengkap dalam hidup bukan hanya untuk shalat puasa haji saja. Urusan bangun tidur makan kencing boker sakit sehat takut senang lahir mati seks makan minum bersin glegekan dan lain sebagainya, ada panduannya dalam Islam. Ini bukannya ‘agama kok ikut campur urusan orang’. Statement tersebut adalah berlandaskan fikiran bahwa manusia dan agama adalah dua hal yang terpisah.

Kalau agama lain, mungkin punya ajarannya sendiri tentang sejauh mana ia mencakup. Tapi seorang Muslim beriman bahwa Allah-lah yang paling memahami makhluq-Nya, memahami manusia, sehingga menyampaikan kepada manusia itu bagaimanakah caranya yang terbaik untuk hidup dan mati sebagai seorang manusia. Tinggal kita mau mengimani atau mengkufuri saja.

 

Pertanyaan Ketujuh: Kenapa Sih Harus Menafsirkan Qur’an dan Hadits secara Harafiah/Literal?

Yang menggunakan alasan ‘tidak boleh terlalu menafsirkan harafiah’ itu biasanya adalah Nasrani dalam penafsiran alkitab. Diskursus teks dan hermeneutika dalam alkitab-nya Nasrani itu ada sendiri lah, rumit.

Kalau dalam Islam, tidak ada masalah lama memahami Al-Qur’an dan Hadits secara literal. Yang masalah adalah apabila dibacanya setengah-setengah, bukan secara utuh dan beserta konteks. Dan, ingat, menafsirkan konteks ini pun tidak boleh asal-asalan melainkan harus dengan kaidah-kaidahnya. Beda dengan manusia yang sulit sempurna dalam bahasa dan memilih kata. Al-Qur’an adalah kalam Allah, yang mana sudah tentulah setiap hurufnya itu memiliki alasan dan hikmahnya, karena Allah adalah Al-Hakim.

Catatan: Terkadang memang harus melakukan “takwil” (penggeseran makna kepada makna non-harafiah), tapi hal tersebut juga dilakukan berdasarkan dalil juga. Tidak boleh mengira-ngira sendiri, karena justru manusia punya keterbatasan: kadang dia tidak tahu apa bedanya ‘tidak ada hikmahnya’ dengan ‘kita belom ketemu hikmahnya’. Maka dari itulah, “takwil” terhadap sebuah dalil hanya boleh dilakukan sesuai dalil juga dan sesuai kaidah-kaidah tafsir yang benar.