Selamat Tinggal, Pak Kasim! Bagian 1: Rumah Paling Pojok

16 Maret 2019

“Akhirnya reda juga”, kata Pak Supir Taksi. Bu Fiah melihat ke atas, dan memang hujan yang tadinya sangat deras kini sudah tinggal titik titik kecil saja. Sekarang lebih mudah untuk tanya orang. “Pak, tolong tanya orang aja tuh.” Kata Bi Nunung sambil menunjuk pos ronda di pinggir jalan. Pak Supir Taksi pun manggut, lalu keluar taksi untuk tanya. “Eh pak jangan tengah jalan atuh!” Bu Fiah setengah ngomel, tapi Pak Supir sudah terlanjur nyelonong keluar.

“Mama, nggak papa, mau minggir mau nggak juga Cuma motor yang bisa lewat.” Kata Uli, anak bungsu Bu Fiah. Betul, batin Bu Fiah, memang jalannya sesempit itu. Andaikan yang mengemudi adalah Pak Kasim, dia pasti akan menepi walaupun nyaris tidak bermanfaat. Tapi, kita naik taksi ini adalah karena kami justru menuju rumah Pak Kasim untuk menemuinya.

Pak Supir Taksi pun kembali dengan wajah berseri-seri. Ternyata mereka sudah di jalan yang benar. “Tinggal lurus situ, tapi belokan terakhir mobil nggak bisa masuk. Nah, tuh bendera kuning keliatan tuh.” Katanya. Bu Fiah, Uli, dan Bi Nunung sampai mengerenyitkan mata mencari di kejauhan. Ya, memang kelihatan ada bendera kuning tapi kecil sekali memang dan agak jauh di ujung sana. “Oke lah, nanti dari sana kita jalan.” Kata Uli.

Beberapa penduduk sekitar agak mengerenyitkan dahi, melihat tiga wanita itu. Berpakaian hitam-hitam dan, terutama Bu Fiah dan Uli, tampak sekali mahal-mahal walau tidak ada perhiasan yang tampak kecuali cincin kawin Bu Fiah saja. Bi Nunung tampak tidak terlalu mewah, tapi ketiganya agak tergopoh-gopoh melewati jalan yang agak berlumpur dan banyak lubangnya itu.

“Majikannya tuh kayaknya.” Bisik seorang warga sekitar ke temannya, tapi bisikan tersebut cukup keras terdengar karena jaraknya kurang dari satu meter. “Nuwun sewu.” sapa Bu Fiah sambil tersenyum pada mereka, dan langsung dijawab “mangga.” Uli agak tertawa sedikit melihat percakapan singkat itu, Bahasa Jawa kok dijawab Bahasa Sunda.

Rumahnya paling pojok, dan ada banyak kursi yang diletakkan di sepanjang jalan hingga mendekati rumah Pak Kasim. Dari sekitar tiga puluh kursi, nampaknya hanya sepuluh saja yang terisi. Nampak orang-orang yang mengobrol dengan asyik, tertawa-tawa seru. Ada beberapa kelompok orang yang juga asik ngobrol di teras-teras rumah sekitar. Beberapa anak kecil berlari-lari dan bermain di sana.

“Kok layatan orang banyak yang ketawa-ketiwi gini sih?” bisik Uli ke Bu Fiah, tapi bisikan ini hanya Bu Fiah dan Allah saja yang mendengar. “Yang penting kita jangan ikutan.” Bisik Bu Fiah balik. “Ogah banget ikutan”, dengus Uli. Mungkin ada yang dengar, tapi tanpa mendengar percakapan sebelumnya mereka rasanya tidak akan faham.

“Mau layat Pak Kasim ya?” tanya seorang nenek-nenek. Bu Fiah mengangguk. “Silahkan, itu rumahnya.” Kata si nenek sambil menunjuk. Mendekati rumahnya, barulah kelihatan bahwa salah satu dari yang ngobrol ketawa-ketiwi adalah istri Pak Kasim. Ketika sadar Bu Fiah datang, Bu Kasim langsung lompat berdiri dan menyambut. “Waah, terima kasih Bu sudah repot repot datang.” Kata Bu Kasim. Ia membukakan pintu, lalu mempersilahkan mereka masuk.

Rumah kontrakan Pak Kasim sangat kecil. Jenasah beliau diletakkan di ruang tengah, dan tubuh beliau membentang nyaris dari ujung ke ujung ruangan sehingga tidak bisa pergi ke dapur atau kamar tidur tanpa melintasi tubuh beliau. Bu Kasim melintas dan duduk di samping Pak Ketua RT yang sekaligus membantu mengurus jenasah. Sulit untuk Bu Fiah tidak membatin, ke mana anak-anak dan cucu-cucu beliau?

Bu Fiah, Uli, dan Bi Nunung duduk bersimpuh di depan jenasah Pak Kasim. Punggung mereka bersandar di dinding, dan lutut mereka mungkin Cuma sepuluh sentimeter dari jenasah. Suasana hening untuk beberapa saat, ketika mereka memandang wajah Pak Kasim yang sudah tidak bernyawa. Rupanya upaya menahan air mata langsung gagal ketika ‘inisiatif’ dibuka oleh Bi Nunung. Pecah tangis tiga orang wanita di ruangan itu.

Pak RT dan Bu Kasim memandang dengan sangat heran. Mungkin mereka bingung, ini keluarga bukan siapa bukan, malah majikan. Kenapa sampai seperti ini? Saya saja ndak sampai begitu, mungkin demikian fikir Bu Kasim. “Pak Kasim itu keluarga.” Kata Bu Fiah, di tengah tangisnya. Barangkali karena melihat ekspresi Pak RT dan Bu Kasim.

“Pak Kasim orang baik.” Kata Bu Fiah lagi, tangis ketiganya sudah mereda. “Iya, dia orang baik.” Kata Pak RT. Entah betul atau tidak, tapi Uli merasa melihat dari sudut matanya bahwa Bu Kasim memutar matanya seolah menghina pernyataan tersebut. Ia langsung menoleh, tapi Bu Kasim tidak tampak melakukan apapun. Pak Kasim orang baik tapi kalian yang brengsek, fikir Uli, tapi ia tidak mengatakan apapun.

Bu Fiah mengambil sebuah amplop dari tas kecilnya. Ringan tangannya ketika meraih amplop tersebut, tapi begitu berat ketika mengulurkannya. “Pak Kasim, pengen tak kasih buat Pak Kasim aja buat jajan di sana sepuasnya Pak Kasim.” Ucapnya, sambil mulai menangis lagi. Mumpung di sana nggak perlu bagi ke siapa-siapa lagi, fikir Bu Fiah. Uli dan Bi Nunung pun ikut menangis. Walaupun berat, tangan pun terulur dan Bu Kasim menerima amplopnya dengan penuh senyuman. Kali ini Uli betul melihat bahwa mata Bu Kasim berbinar saat menerima amplop tersebut, lalu meraba-raba mencoba mengira-ngira jumlahnya sebelum memasukkannya ke saku.

Perhatian semuanya teralih ke pintu ketika ada ketukan. Ternyata ada orang baru datang. Rupanya ada seorang tetangga yang baru dari luar kota, ingin melayat juga. “Oh iya, gantian ya.” Kata Bi Nunung. Akhirnya ketiganya beranjak untuk keluar pintu untuk bergantian dengan tamunya.

Entah berapa puluh mata kini memandang ke arah mereka. “Why is everyone looking at us?” bisik Bu Fiah pada Uli. “Ya lu mewek kenceng banget.” Uli membisik lagi. Rumah sekecil itu, dan tetangga serapat itu, mungkin memang sulit untuk orang ngobrol pun untuk tidak terbisik tetangga. Apatah lagi isak tangis tiga orang wanita di dalam tadi.

Ketiganya pun duduk di kursi-kursi yang tersedia. Selama beberapa saat, ketiganya tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Bi Nunung yang pertama memecah kesunyian. “Pak Kasim ini nyebelin lho sebenernya. Kok ya aku nangis ya?” Bu Fiah dan Uli tertawa kecil.

Iya ya?

(Bersambung Ke Bagian 2)

================================================================

Kembali ke muka

Ke Bagian 2: Supir atau Bos?