Antara Jurnal Hukum, Fiqih Tahlilan, dan Worldview: Apa Itu “Hukum”?
Di Malaysia, saya bekerja Part-Time sebagai Editorial Assistant (bagian admin2 lah) di Jurnal Hukum IIUM. Jurnal kami menerima tulisan tentang hukum (law) dan jurisprudence (ilmu hukum), tidak terbatas pada yurisdiksi manapun. Jadi hukum pidana oke, hukum internasional oke, teori hukum oke, hukum Nigeria oke, hukum Filipina oke, dan lain sebagainya.
Termasuk di antaranya, hukum Islam pun OK. Kami pernah mendapat kiriman tulisan tentang status anak luar kawin, fikih jihad, hukum administrasi waqaf, juga studi komparatif antara konsep qiyas vs konsep analogi dalam common law, dan banyak lagi. Dan jurnal hukum yang agak umum seperti kami ya ada banyak sekali.
Tapi, kali ini ada kiriman naskah yang menarik.
Ada yang memasukkan tulisan tentang perdebatan tahlilan (diskursus bid’ah), dan ini membawa pada sebuah issue yang menarik.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, sebelum mengirim pada reviewer untuk seleksi substansi yang rinci, pihak pengelola jurnal (Editorial Board) akan mengecek dulu apakah naskah masuk adalah sesuai dengan tema jurnal. Misalnya, tentu sebuah jurnal politik akan menolak tulisan tentang Kimia Anorganik tanpa perlu dikirim ke reviewer terlebih dahulu.
Pertanyaannya, bagaimanakah sebuah Law Journal menyikapi naskah tentang tahlilan ini?
Mungkin sebagian pembaca tulisan ini (khususnya, sebagian dari yang berlatarbelakang hukum) akan mengerenyitkan dahi kalau saya menceritakan bahwa “ada yang memasukkan tulisan tentang tahlilan ke jurnal hukum”. Terus terang selama beberapa saat setelah melihat judul naskah tersebut, saya pun mengerenyitkan dahi. Rasanya, tidak perlu dibaca pun bisa ditolak.
Tapi, setelah saya berfikir lagi, rasanya saya harus mempertimbangkan lagi posisi saya tadi. Sebab, dalam konteks Islam, biasanya “Islamic Law” disebut “Fiqih” atau “Syariah“. Kitab-kitab kumpulan fiqih biasa memuat semua tema yang termasuk dalam cakupan “Islamic Law” mulai dari Fiqih Jinayat, Fiqih Imarah, Fiqih Munakahat, sampai Fiqih Taharah, Fiqih Shalat, dan lain-lain.
Tentu tiap cabang ilmu fiqih biasanya punya asas-asas yang khas (case in point, fiqih ibadah mahdoh dan fiqih muamalah punya beda kaidah “hukum asal” yang beda). Tapi, kesemuanya bersumber primer yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Proses menurunkan dalil menjadi hukum yang terperinci juga menggunakan ilmu Jurisprudence yang sama yaitu Ushul Fiqih.
Bahasan tentang tahlilan jelas adalah termasuk bahasan fiqih. Maka ia pun seharusnya masuk dalam cakupan “Islamic Law”. Sehingga, jurnal hukum yang tidak memberi kualifikasi khusus terhadap hukum apa yang masuk dalam cakupannya, prima facie tidak bisa menolak naskah tentang tahlilan serta merta karena “tidak sesuai tema jurnal”.
Dengan demikian, di balik kerenyitan dahi (atau bahkan tawa) sebagai respon terhadap submisi tulisan tentang tahlilan ke jurnal hukum, memiliki makna yang dalam. Ekspresi tersebut mewakili sebuah worldview yang tidak mengenal hubungan antara ibadah dan muamalah, walaupun pernyataan “rambu lalu lintas harus dipatuhi” dan “shalat itu wajib” dapat keluar dari lisan yang sama.
Worldview ini adalah milik sebuah peradaban yang telah mereduksi makna “hukum” sebagaimana mereka mereduksi makna kenyataan: sekedar materialistik semata. Worldview yang kononnya tidak dianut oleh umat Islam. Worldview yang seringkali kita tolak dengan keras di lisan, tapi kita amini dalam amalan.
Pada akhirnya, nasib naskah tentang tahlilan tadi akan ditentukan oleh reviewer yang akan mengkaji apakah tulisannya layak terbit. Tapi, Jurnal Hukum IIUM memutuskan untuk tidak menolak naskah ini sekedar karena tema. Bahasannya adalah fiqih (Islamic law), dan ia menggunakan perspektif ushul fiqih (jurisprudence), maka ia telah masuk tema Jurnal Hukum kami. Kami menolak mereduksi makna hukum Islam.