Kekeliruan Tentang Perujukan Terhadap Yurisprudensi: Apa Maksud “Kasus Yang Serupa”?
Semester lalu (genap 2019/2020) saya men survei ke mahasiswa saya di beberapa kelas, sebahagiannya junior dan sebahagian lainnya senior. Pertanyaannya simpel: jika seorang hakim sedang memeriksa perkara pidana pencurian, bolehkah ia merujuk yurisprudensi pada perkara pembunuhan? Semuanya menjawab “TIDAK”. Saya heran. Kok bisa keliru sebanyak ini sekaligus, apalagi untuk pertanyaan yang teramat mendasar?
Ketika belajar Pengantar Ilmu Hukum di semester 1 fakultas hukum, kita akan belajar tentang yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. Logika dari penggunaan yurisprudensi sebagai sumber hukum adalah antara lain demi konsistensi dan kepastian hukum: bila ada dua kasus yang serupa, bukankah harus sama penerapan hukumnya (setidaknya sejauh mana keserupaannya itu)? Di Indonesia dia tidak mengikat sebagaimana di negara bersistem hukum Common Law, tapi ia boleh dirujuk.
Pengamatan saya adalah bahwa kunci masalah terjadi ketika dosen menjelaskan kapan hakim merujuk pada yurisprudensi, dan jawabannya adalah “ketika kasusnya serupa”.
Nah: apa maksudnya “serupa”? Apakah maksudnya harus “dakwaan/gugatannya sama”?
Sebagaimana contoh di awal, pidana pencurian dan pembunuhan jelas memiliki unsur-unsur pidana yang berbeda dalam KUHP. Tapi ketika mahasiswa bilang hakim kasus pencurian tidak boleh merujuk pada yurisprudensi kasus pembunuhan, kenapa saya bilang salah?
Yang diambil dari sebuah yurisprudensi itu bukanlah sekedar amar putusannya, melainkan ratio decidendi (alasan pengambilan keputusan). Kekeliruan yang biasa ada pada mahasiswa adalah mengira bahwa setiap perkara itu hanya ada satu saja ratio decidendi sesederhana itu. Misalnya, ya kalau pencurian ya unsur-unsurnya saja, itu saja. Padahal apakah demikian?
Kalau merujuk ke praktik di peradilan internasional, akan tampak bahwa ada banyak bagian dari ratio decidendi sebuah putusan yang dapat dirujuk oleh hakim kasus yang, walaupun perkara pokoknya beda, tapi pada isu tertentu bisa saja sama. Misalnya, terkait ada atau tidaknya situation of armed conflict sebagai salah satu unsur War Crime, banyak sekali yurisprudensi ICTR, ICTY, dan ICC yang saling merujuk satu sama lain terlepas apa dakwaan persisnya. Atau, misalnya, terkait “intention” (niat) juga saling merujuk terlepas apa dakwaan persisnya.
Misalnya, bayangkan kita jadi hakim memeriksa perkara di ICC dengan dakwaan War Crimes of Unlawful Deportation (Pasal 8[2][a][vii], Statuta Roma). Terdakwa tidak melakukan sendiri, melainkan anak buahnya yang melakukannya tanpa ia perintah tapi ia membiarkannya. Apakah ia dapat terkena Commander/Superior Responsibility (Pasal 28)? Yurisprudensi ICTY pada perkara Prosec v. Zejnil Delalic et al menjelaskan dengan rinci unsur-unsur Commander/Superior Responsibliity baik di Trials Chamber (1998) maupun di Appeals Chamber (2001).
Apa salahnya kita merujuk pada penjelasan hakim pada kasus Delalic et.al. tersebut untuk melihat penguraian rinci unsur-unsur Commander/Superior Responsibility? Apapun dakwaannya tidak akan berpengaruh, sebab unsur-unsur pertanggungjawaban komando adalah hubungan atasan-bawahan, tahu/punya alasan untuk tahu, dan gagal mencegah/menghukum. Hal ini akan tetap berlaku terlepas apapun dakwaannya, toh? Apakah sekedar karena tidak ada dakwaan War Crimes of Unlawful Deportation pada kasus Delalic et. al., lantas uraian tentang pertanggungjawaban komando seorang atasan pada bawahannya serta merta jadi irelevan semua?
Tentu ini tidak berarti pasti wajib dirujuk. Sebab, walaupun kasus Delalic et al tadi sering dijadikan rujukan, tahun 2016 muncul putusan kasus Bemba di ICC (2016) yang memiliki beberapa perubahan terkait perincian penafsiran unsur-unsur pertanggungjawaban komando. Dan toh di mahkamah-mahkamah internasional seperti ini juga yurisprudensi tidak bersifat mengikat.
Tapi, poinnya adalah kita melihat logika dasar perujukan terhadap yurisprudensi tadi. Apabila ada isu yang serupa, maka tentu tidak ada salahnya untuk menerapkan pemahaman yang sama. Bisa saja dalam suatu kasus ada sebahagian hal yang serupa dan sebahagian lain yang tidak sama, maka tentu perujukan yurisprudensi akan relevan hanya sekedar sejauh mana keserupaannya.
Mari kita kembali pada kasus awal, yaitu tentang boleh-tidaknya hakim kasus pembunuhan merujuk pada yurisprudensi kasus pencurian. Seumpama hakim sedang memeriksa suatu isu terkait kompetensi relatif pengadilan pada kasus pembunuhan tersebut. Sedangkan pada yurisprudensi kasus pencurian yang dimaksud, juga ada permasalahan kompetensi relatif yang sama juga dibahas.
Isu spesifik yang dibahas sama persis (kompetensi relatif), dakwaannya beda. Apakah sekedar karena dakwaannya tidak sama, lantas yurisprudensi terkait kompetensi relatif secara serta merta jadi tidak relevan?
Atau misalnya ada yurisprudensi kasus pembunuhan lain, yang dakwaannya sama-sama pembunuhan, tapi tidak ada masalah kompetensi relatif. Apakah hakim boleh merujuk yurisprudensi ini untuk membantunya menyelesaikan masalah kompetensi relatif yang ia hadapi, karena sama-sama kasus pembunuhan? Atau, harus dicari yurisprudensi kasus pembunuhan yang juga ada masalah kompetensi relatif juga? Apa kontribusi substantifnya kesamaan dakwaan pada perdebatan kompetensi relatif tadi? Jadi aneh kan?
PS: mungkin ada banyak hal lain yang seperti ini, misalnya: alasan penghapus pidana, makna “percobaan”, atau “kealpaan” dan lain-lain.
Maka ketika dosen menjelaskan bahwa yurisprudensi dapat dirujuk apabila kasusnya serupa, apakah maksud dari “kasusnya serupa” adalah “dakwaan/gugatan-nya harus sama?” jawabannya adalah: tidak, bukan itu maksudnya. Yang penting ada kesamaan pada isu hukum spesifik yang perlu dipecahkan dalam jalan untuk menuju pada putusan itu (kalau bahasa ushul fiqih-nya: ada ‘illah-nya).