NGL Thread 19062024

Ada cafe Coklat namanya. Udah berdiri sejak jaman gw masih kuliah S1 di Fak MIPA UGM dulu, dan lumayan sering ke sana selama bertahun-tahun-tahun. Banyak kenangan di sana <3

Barangkali 11 tahun lalu adalah terakhir rutin ke sana. Dalam 11 tahun belakangan ini, cuma sesekali doang ke sana. Selama 2022 akhir – 2023 akhir, ada yang paling sering dikunjungi yaitu Cafe Bestie. Gak terlalu mahal, anak saya suka banget main di situ, dan ada di rute ke sekolahnya dia. Jadi sering main ke situ. Cuma kami sekarang baru pindah rumah, jadi gak ke Bestie lagi.

Tiga dosen yang paling saya suka (tidak urut) adalah:

  1. Prof. Mohd. Hisham Mohd. Kamal, IIUM (pembimbing S3 saya)
  2. Prof. Alan Boyle, University of Edinburgh (dosen dan kaprodi waktu S2)
  3. Prof. Sigit Riyanto, UGM (dosen, DPS, dan “mentor” saya sampe sekarang)
  1. Hukum Adat
  2. Hukum Adat
  3. Hukum Adat
  4. Hukum Adat
  5. Hukum Adat

Ada yang bilang “bagus kerja dulu karena blablablabla” ada juga yang bilang “bagus langsung S2 dulu karena blablablabla”, ada yang bilang “bagus jurusan S2 linear sama S1 karena blablabla” dan lain lain, saya gak setuju sama itu semua. Kenapa gak setuju? Karena kedua pertanyaan ini bagi saya gak ada jawaban sakleknya.

Kesemua opsi di atas (kerja dulu, S2 dulu, S2 linear, S2 tidak linear, dlsb) bisa bagus ataupun tidak adalah tergantung tujuan kita. Misalnya, kalo ditanya “kuliah arsitektur bagus gak?” ya tergantung kamu mau apa. Kalo cita-cita mau jadi dokter, maka kuliah jurusan arsitektur adalah pilihan yang sangat buruk kan?

Intinya sih kita harus sesuaikan pilihan kita dengan life-plan kita, karena tujuan kita ke depanlah yang menentukan pilihan kita hari ini. Dari opsi-opsi yang ada, kita pilih mana yang mendekatkan diri kita pada tujuan ke depan.

Kalo tujuannya lebih ke pengen mendekatkan hati, coba: Ust. Syafiq Riza Basalamah, Ust. Nurul Dzikri, Ust. Hanan Attaki (Bahasa Indonesia), atau kalo suka English coba: Mufti Menk, Omar Suleiman, atau kalo ngerti bahasa Arab coba: Syekh Mansur Al-Salimi.

Semoga bisa kembali mendekat pada Allah, dan coba dibaca hadits dalam tautan ini.

Tapi kalo tujuannya mau belajar ilmu agama lebih mendalam, nanti tanya saya lagi krn nama-nama di atas gak semuanya direkomendasikan untuk tujuan itu. Sebagian da’i punya spesialisasinya masing-masing.

  1. Riset dulu tentang adat istiadat dan tabu-tabu di lokasi tempat KKN. Misalnya, anak Jakarta yang mau KKN di pelosok DIY/Jawa Tengah harus belajar beberapa kata kunci (njih, nuwun sewu, monggo, mari) dan kapan menggunakannya, kalo gabisa bahasa Jawa setidaknya berusaha kurangi slang khas Jakarta dan selipkan “njih” dan “matur nuwun” dll di sana-sini.
  2. Berusaha untuk tidak usah terlibat dalam (apalagi bikin) drama di unit kalian. Just do your job.
  3. Selesaikan kelengkapan administrasi SEBELUM selesai KKN. Dulu di unit saya, kami sudah planning program selesai H-4 penarikan, jadi 3 hari full untuk ngisi berkas dan borang-borang.

LOL karena saya anak IPA dan UTUL dulu saya milih IPC, gatau boleh pilih IPS sekalian. Pilihan pertama hukum (malah ga dapet di percobaan pertama), pilihan kedua Fisika krn saya emang suka banget fisika dan matematika. Ketika di sana, 75% udah mikir mau pindah jurusan ke hukum sesuai cita-cita awal. 25% pengen jadi Albert Einstein (mendalami Fisika Teori, beda dengan Galileo yang arahnya eksperimental ya).

Gak ada cara yang lebih baik daripada latihan-feedback-latihan-feedback sih. Kalo speaking ya ngobrol (ngomong + denger), kalo writing ya baca dan nulis (harus sepaket tuh). Feedback itu penting, maksudnya harus ada orang yang kompeten untuk bantu evaluasi.

Pertama, jadilah orang yang tepat: pantaskan dirimu sendiri, selalu berusaha jadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Supaya kamu deserve better juga, jangan sampe ada orang yang high quality tapi kamunya yang gak pantes dapetin dia

Kedua, cari pilihan di saat yang tepat: Kalo menurut saya, gausah pake pacaran. Lamar langsung, taaruf yang terkontrol, lalu gas nikah aja. Kalo merasa belum siap nikah, gausah mikirin itu mending fokus mengembangkan diri. Tapi, FYI, sebenarnya gak seburuk itu lho nikah dulu lalu berjuang menggapai kesiapan sama-sama. Susah jadi pasangan yang kuat kalo belum merasakan perjuangan bersama-sama.

Ketiga, pilihlah yang tepat: keshalehan agamanya, kebaikan akhlaqnya, kecocokan (karakter dan visi misi), dan ketertarikan fisik. Bonus yang penting dipertimbangkan dampaknya: status sosial kedua keluarga (melacak potensi drama). Begitu urutannya kalo menurut saya.