Prof. Dr. Sigit Riyanto: Sebuah Obituari

Baru lusa kemarin, seperti biasanya, saya beberapa kali berpapasan dengan beliau di kantor (ruangan kami satu lantai selisih beberapa pintu saja) dan sesekali obrolan kami mengandung cekakak cekikik. Kemarin pagi kami terjadwal untuk menjadi panelis siding thesis magister untuk ujian bimbingan beliau. Jam 3 dinihari beliau dilarikan ke UGD, tapi sidang tidak dibatalkan melainkan hanya dijadikan hybrid (khusus beliau hadir secara online, peserta dan penguji lain hadir secara offline).

Menjelang sidang dimulai, seperti biasa kami basa basi sedikit dengan beliau yang tidak mengaktifkan kamera tapi melalui mikrofon beliau menanggapi. Kemudian beliau berkata, “Monggo Pak Harry, silahkan dimulai” pada Pak Dr. Harry Purwanto yang menjadi ketua sidang, dan itulah terakhir saya mendengar suara beliau. Di tengah persidangan, beliau mengirimkan pesan WhatsApp menyampaikan bahwa beliau tidak perlu mengajukan pertanyaan. Toh mahasiswa ini bimbingan beliau yang tentunya sudah berproses panjang. Saya meng-oke-kan, lalu mendoakan beliau cepat sembuh. Tanggapan beliau hanya emoji: 🙏🙏🙏, dan itulah pesan terakhir yang saya terima dari beliau.

Pagi ini, setelah shalat subuh dan mulai memasak untuk sarapan anak saya, datang kabar wafatnya beliau. Yang pertama muncul di benak saya: who else can I look up to, now? (maksudnya di kampus). Alhamdulillah istri saya berbaik hati menawarkan untuk mengantar anak saya sekolah (saat itu anak saya baru mulai makan, belum mandi), supaya saya bisa menyusul ke Rumah Sakit Akademik UGM untuk menemui Prof Sigit untuk terakhir kalinya.

Di perjalanan, sambil mengemudi sepeda motor, belasan tahun saya kenal dengan Prof Sigit terputar dalam kilasan-kilasan di benak saya.

Beliau adalah “guru”

Saya memang diajar oleh beliau, dan mendapatkan banyak faedah ilmu saat kuliah S1 dulu. Padahal hanya satu mata kuliah saja yang saya ambil dengan beliau. Beliau sebuah sosok dosen senior yang “aura ilmu”-nya sudah terasa bahkan sejak sebelum pertama kalinya diajar. Tapi, sekadar sebagai “salah satu dosen”, apa yang membuat beliau berbeda?

Dulu zaman saya kuliah S1, khususnya saat beliau menjabat wakil dekan, beliau terkenal galak dan sangat tegas sehingga mahasiswa banyak yang segan. Menariknya saya tidak ditampakkan sisi itu. Justru saya mendapati sosok beliau yang sangat “ke-bapak-an”, apalagi kemudian ketika saya dibimbing skripsi oleh beliau. Malah saya juga menyaksikan sisi kocak beliau, suatu hari pernah saya sedang bengong di selasar Gedung II di kampus (sekarang sudah musnah, diganti Gedung B) beliau menepuk perut saya sambil berteriak “GENDUT!” kemudian literally lari sambil ngekek-ngekek ke arah saya. Kebetulan saat itu sedang sangat sepi, jadi rasanya tidak ada saksi lain. Tapi mungkin mahasiswa lain saat itu tidak akan percaya kalau saya menceritakan insiden tersebut.

Beliau adalah “Intelektual”

Beliau bukan sekadar professor administratif semata. Beliau adalah seorang begawan hukum Indonesia. Sebagai pakar hukum internasional, terkhusus dalam hukum pengungsi, ketokohan beliau sudah tidak dipertanyakan lagi. Hanya saja, untuk benar-benar memahami keunggulan level beliau dibandingkan para akademisi lain di bidang yang sama, barangkali adalah tempatnya para akademisi sejawatnya itu untuk dapat mengenali.

Sedangkan bagi orang kebanyakan beliau nampaknya lebih dikenal sebagai sosok intelektual yang tidak segan melayangkan kritik keras kepada siapapun yang baginya berbuat tidak adil. Baik itu pemerintah, pejabat public tertentu, atau bahkan kepada lingkungan kerjanya sendiri. Kritiknya selalu didukung oleh analisis yang tajam dan kokoh dengan tetap penuh hormat terhadap orang-orang yang dikritik ataupun yang mengkritik beliau.

Canda beliau yang memang seperti ini bukan bermakna beliau bukan pejuang keadilan.

Beliau adalah “mentor”

Mungkin kapasitas inilah yang saya paling lama merasakan. Saya tidak selalu setuju dengan opini-opini beliau, dan –sebagaimana beliau sering tekankan—memang bukan harus setuju juga. Tapi, dari lingkungan kampus, mungkin beliaulah sosok yang paling berperan dalam memicu perkembangan intelektual sejak dulu saat saya masih berstatus mahasiswa sarjana. Kini, saya pun sudah menjadi akademisi kolega sekantor beliau dan juga menyandang gelar doktor (yang studi maupun beasiswanya diperlancar antara lain oleh surat rekomendasi beliau).

Dulu beliau membimbing penelitian major saya yang pertama, yaitu skripsi. Meskipun perkembangan intelektual membawa saya untuk tidak lagi menyetujui apa yang saya dulu tulis dalam skripsi, tapi saya puas dengan apa yang bisa saya capai dengan bimbingan beliau.

Ketika awal saya menjadi dosen, kelas pertama saya di-tandem dengan beliau. Kami banyak berdiskusi tentang cara mengajar dan mendidik, dan beliau sangat memberi ruang dan memfasilitasi saya dalam mengeksplorasi ide-ide (gila) untuk diterapkan di kelas. Tidak lama kemudian, beliau pula menjadi mentor bagi saya sebagai peneliti. Hanya satu kali kami Kerjasama dalam satu proyek, tapi sering sekali saya minta nasehat dan mendapatkan faedah dari beliau.

Bahkan, mungkin banyak mahasiswa dan pembaca karya saya sekarang akan mengenali bahwa pendekatan saya sangat kental bernuansa Third World Approaches to International Law (TWAIL). Pertama saya mengenal aliran pemikiran tersebut adalah melalui buku berjudul “Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law” karya Prof. Anthony Anghie. Sedangkan yang memberikan buku tersebut kepada saya adalah Prof Sigit Riyanto. Pembacaan saya terhadap buku tersebut membola salju kepada khazanah literatur TWAIL yang luas, hingga akhirnya saya kini turut berkontribusi pada khazanah tersebut.

Beliau Adalah “Panutan”

Ketika sepeda motor saya mendekati Rumah Sakit Akademik UGM, saya mulai berfikir bahwa barangkali kata “panutan”-lah yang paling mewakili semuanya. Saya teringat respon benak saya ketika mendengar kabar wafatnya beliau adalah “who else can I look up to, now?”

 Tentu kita tidak menyamakan level beliau dengan Nabi Muhammad ﷺ yang merupakan panutan paling mulia, itu urusan lain (hukum syara’). Tidak juga bermakna saya sekadar mengikut A sampai Z yang beliau lakukan, karena saya tidak harus juga selalu setuju dengan apa yang beliau contohkan.

Maksudnya, kehadiran sosok beliau adalah sebagai prima facie standar baik dan panutan sebagai seorang akademisi. Apa yang saya saksikan atas beliau selalu menjadi pertimbangan, dalam segala aspek amanah sebagai seorang akademisi. Proses kritis dalam menyaring, memodifikasi (dan lain sebagainya) sudah tentu harus dilakukan, dan ini pula antara pelajaran yang saya dapatkan dari beliau.

————-

Takdir Allah, saya tiba di ruang forensik Rumah Sakit Akademik UGM dalam keadaan jenasah beliau sudah sedang dimandikan. Ketika akhirnya saya bisa melihat jenasah beliau, sudah dikafani. Rupanya memang ketawa ketiwi lusa kemarin itulah terakhir saya melihat langsung wajah beliau.

Saat menjumpai keluarga beliau, tentu saya sadari bahwa kehilangan yang saya rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang kehilangan sosok ayah dan suami. Tapi, setidaknya bagi saya pribadi, pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: “who else can I look up to, now?” Maka kini yang saya miliki sebagai panutan hanya kenangan-kenangan atas beliau, tidak akan ada update lagi.

Tapi memang sunatullahnya begitu: kita tidak tahu siapa yang akan “berangkat” duluan. Setidaknya kepada yang mendahului kita, terutama Begawan panutan saya Prof Sigit Riyanto, yang dapat kita lakukan ada tiga. Pertama, kita mendoakan agar dosa-dosa beliau diampuni dan amal shalih beliau diterima oleh Allah. Kedua, kita hidupkan suri tauladan yang baik dari beliau agar manfaatnya lebih luas bagi kita dan orang-orang lain dan juga kepada beliau sebagai amal jariah.

(ditulis 21 Agustus 2024)