Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Fajri M. Muhammadin

Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Pemalsu hadits adalah salah satu perusak agama. Prinsipnya, yang dikatakan sebagai pemalsu hadits adalah penyandaran informasi secara palsu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka dikatakan perusak agama karena apa yang mereka karang akan dianggap bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan. Meskipun muatannya bisa jadi terasa ‘baik’, tapi ukuran baik dan buruk bagi kita adalah proses manusia yang bisa benar ataupun salah. Sedangkan penyandaran kepada Nabi menjadikan suatu informasi dianggap kebenaran mutlak.

Inti dari modus operandi pemalsu hadits adalah mengklaim sebuah informasi datang daripada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan terkadang sampai memberikan sanad yang palsu. Kenapa mereka sampai menyandarkan sebuah informasi yang mereka karang sendiri kepada orang lain? Ada banyak motif yang umum ditemukan, misalnya: ingin memperkuat kubu politiknya, ingin menarik jama’ah dengan kisah yang unik, dan lain-lain. Motif-motif ini memiliki satu muara, yaitu agar informasi yang mereka karang dapat diterima orang berdasarkan kredibilitas orang yang secara dusta mereka sandarkan informasi tersebut.

Misalnya, Imam Dzahabi menulis bahwa konon ada riwayat hadits Nabi yang menghina Imam Syafi’i dan menyanjung Imam Abu Hanifah yang kononnya diriwayatkan melalui sanad yang oleh antara perawinya adalah Ma’mun bin Ahmad al-Sulami dari gurunya Ahmad bin Abdillah Al-Juwaybari. Masalahnya, Al-Sulami dan Al-Juwaybari ini, menurut berbagai ulama hadits, telah terkenal sebagai pendusta pemalsu hadits. Maka, riwayat ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh banyak ulama misalnya Imam Dzahabi, Ibn al-Jawzi dan lainnya..

Kini kita masuk ke “dunia” lain. Salah satu beban yang diemban oleh akademisi adalah untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah. Di tengah hegemoni indeksasi, para akademisi mencari jurnal ilmiah yang terindeks Scopus. Untuk menyambut kebutuhan ini, para pengelola jurnal pun berusaha men-scopus-kan jurnalnya yang syaratnya antara lain harus memiliki kontributor dari berbagai negara. Tentu ini adalah peluang besar untuk kerjasama internasional, baik dalam kolaborasi riset serta berbagi ide.

Akan tetapi, ternyata banyak juga yang menyambut hal ini dengan jalan pintas. Karena mengetahui jurnal-jurnal mencari naskah dengan kontributor internasional, akademisi lokal rupanya sering mencatut nama orang berafiliasi internasional sebagai ko-penulis tanpa ada keterlibatan dalam riset. Akhirnya, dengan bekal penyandaran naskah kepada co-penulis yang nyatanya tidak menulis, naskah pun lampak lebih bernilai sehingga makin berpeluang untuk diterima oleh jurnal tujuan tersebut.

Misalnya, seorang akademisi Yogyakarta yang sedang menjalani riset Postdoctoral di Jerman, beberapa waktu lalu tiba-tiba terkejut karena namanya dicatut tanpa konfirmasi ataupun komunikasi apapun pada sebuah artikel jurnal yang diterbitkan. Ia pun protes, dan namanya pun dicabut dari penerbitan jurnal tersebut. Bahkan, belum lama ini, ada seorang Professor terganjal pelanggaran etika, bukan hanya jumlah publikasinya di luar kewajaran, tapi karena mencatut tanpa komunikasi banyak akademisi di Malaysia.

Kadang hal ini diasumsikan sebagai “simbiosis mutualisme”. Yang mencatut akan mendapatkan tambahan kredibilitas pada naskahnya sehingga menambah peluang untuk diterima oleh jurnal tujuan. Yang dicatut, dianggap mendapat manfaat karena turut mendapatkan poin untuk keperluan kenaikan pangkat. Di sini, terkadang nama yang dicatut pun menyetujui atau kadang meminta (bahkan kadang memerintahkan) untuk dicatut meskipun tidak terlibat secara substantial dalam riset.

Apa betul bisa dikatakan sebagai “simbiosis mutualisme” apabila kedua pihaknya sepakat? Ada penulis yang berdusta menyandarkan risetnya kepada orang yang tidak meriset, dan ada penulis lain yang mengklaim secara dusta telah melakukan riset. Ini bukan symbiosis mutualisme, melainkan “symbiosis dustaisme”.

Selain permasalahan etika, ternyata dapat muncul masalah yang bersifat substansi. Misalnya, mungkin lebih umum di bidang-bidang Sosio-humaniora, jika riset tersebut mengambil stance akademik yang bertentangan dengan stance akademik orang yang dicatut? Hal ini terjadi pada seorang Professor di Malaysia yang berposisi bahwa tidak ada “jihad ofensif” dalam Islam. Betapa terkejut (dan marah) beliau ketika menyadari ada mahasiswanya yang mempublikasikan karya yang mendukung adanya jihad ofensif, dan mencatut nama beliau sebagai ko-penulis. Jikapun yang tercatut tidak peduli atau tidak keberatan, ini tetap menambah kecelaruan dalam diskursus akademik.

Hal ini bertambah runyam ketika para jurnal pun mengarahkan penulis untuk melakukan pelanggaran etika. Misalnya, ketika naskah sudah selesai proses review dan penyuntingan dan sudah menjelang terbit, tiba-tiba pengelola jurnal meminta penulis untuk menambahkan ko-penulis internasional sebelum penerbitan. Dalam posisi seperti itu, para penulis tidak disyaratkan maupun dimungkinkan untuk adanya perubahan substantial (ataupun non-substansial sekalipun) setelah adanya penambahan ko-penulis baru tersebut. Tanpa mengurangi betapa pentingnya menjaga integritas, harus kita pahami sulitnya posisi penulis yang sudah menjalani proses yang sangat panjang, sudah di penghujung jalan, dan di saat itulah diminta melakukan hal seperti ini.

Kembali ke soal hadits. Para ulama menilai riwayat di atas palsu bukan karena Al-Sulami dan Al-Juwaybari terbukti memalsukan hadits tadi secara khusus, melainkan karena secara umum diketahui suka memalsukan berbagai hadits. Karena itu, sudah hilang kepercayaan pada mereka, dan apapun yang mereka katakan tidak dipercayai lagi. Maka sejarah, melalui banyak ulama mencatat legacy dari Al-Sulami dan Al-Juwaybari beserta pemalsu hadits lain sebagai jajaran pendusta, sampai seribu tahun kemudian. Apa sisa kehormatan dari orang-orang yang setelah ratusan tahun wafatnya masih dikenang karena alasan seperti ini?

Apabila pemalsu hadits merusak agama, maka pelanggar etika publikasi merusak iklim pendidikan dan kemajuan ilmu. Apabila pelanggaran etika publikasi dilakukan dalam ilmu-ilmu agama, terlebih lagi urusan dunia akhirat lebih kena lagi.

Padahal mencatut nama baru satu dari sekian banyak praktek pelanggaran etika yang terjadi. Praktek yang lain, misalnya, adalah plagiarisme. Modus operandi pemalsu hadits juga ada yang seperti plagiarisme, yaitu mencomot hadits yang shahih tapi menempelkan namanya sendiri secara dusta di sanadnya. Marak sekali ini ditemukan di jurnal-jurnal yang terbit di Indonesia juga.

Maka apabila praktek-praktek dusta, “symbiosis dustaisme”, bahkan ekosistem perdustaan, telah makin merajalela di Indonesia, bagaimana nasib reputasi akademisi Indonesia di mata dunia? Jangan-jangan Indonesia bisa menjuarai lomba pelanggaran etika, dan akademisi yang jujur akan dianggap outlier.