Perang Iran-israel dalam Timbangan Hukum Internasional

((Disclaimer: yang tertulis di gambar, itu nggak beneran ya x_x)
.
Perang israel-Iran dalam Timbangan Hukum Internasional
Fajri M. Muhammadin
Sejak israel menyerang Iran pada 13 Juni 2025, sudah beberapa kali terjadi aksi balas membalas antara kedua negara tersebut dengan saling kirim “hadiah” berupa peluru kendali dan drone. Akibatnya, terjadi banyak kerusakan di kedua belah pihak baik secara properti maupun jiwa.
Serangan israel dilaporkan menewaskan beberapa pejabat tinggi militer Iran termasuk Hossein Salami (komandan Garda Revolusi) dan ahli-ahli nuklir Iran termasuk Mohammad Mehdi Tehranchi, di samping tewasnya ratusan warga sipil dan hancurnya beberapa fasilitas nuklir. Menurut israel, mereka menyerang sebagai bentuk pre-emptive self-defense (pertahanan diri pre-emptif) karena merasa terancam dengan potensi pengembangan nuklir Iran. Di sisi lain, Iran membalas serangan israel tersebut dan dilaporkan menyebabkan tewasnya setidaknya sepuluh penduduk israel.
Bagaimana pandangan hukum internasional terhadap konflik ini?
Cara Menggunakan Kekerasan Bersenjata yang Sah
Setidaknya ada dua cabang hukum internasional terkait konflik bersenjata. Pertama adalah jus in bello, atau disebut juga hukum humaniter internasional. Cabang hukum ini ditujukan bukan untuk mempertanyakan keabsahan dimulainya konflik bersenjata, melainkan bagaimana cara para pihak konflik menggunakan kekerasan bersenjata.
Sederhananya, dalam konflik bersenjata, orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam kekerasan bersenjata (termasuk penduduk sipil) tidak boleh disakiti. Objek-objek sipil juga tidak boleh menjadi sasaran. Ini adalah salah satu prinsip dasar hukum humaniter internasional “Principle of Distinction” yang tertuang dalam berbagai dasar hukum, antara lain Pasal 48 Additional Protocol I to the Geneva Conventions (1977). Dengan demikian, anggota dan bangunan militer adalah sasaran serang yang sah, dan kelihatannya di sini israel lebih unggul dalam jumlah target militer strategis yang dihancurkan.
Sedangkan puluhan hingga ratusan warga sipil yang sayangnya jatuh sebagai korban di kedua belah pihak, dan israel juga “unggul” dalam mengakibatkan korban penduduk sipil di Iran. Objek-objek sipil termasuk perumahan penduduk pun menjadi target padahal seharusnya tidak. Objek serangan paling utama israel di awal, fasilitas-fasilitas dan ahli nuklir Iran, bukanlah target yang sah karena belum ada senjata nuklir yang diproduksi. Belum ada kepastian (meskipun ada dugaan) terkait arah pengembangan uranium tersebut, terlebih Iran sejak April 2025 telah memulai negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan nuklir. Sebagaimana Pasal 52(3), keraguan terkait status sebuah objek (apakah militer atau bukan) wajib diberi praduga sebagai objek sipil.
Penjelasan di atas bukan bermaksud untuk menganulir kesalahan Iran. Laporan-laporan sementara menunjukkan bahwa banyak peluru kendali yang diluncurkan Iran nampaknya tidak diarahkan pada target-target militer tertentu. Penduduk israel secara hukum diwajibkan mengikuti wajib militer dan menjadi anggota pasukan cadangan, tapi hukum humaniter internasional tetap menganggap mereka sebagai penduduk sipil (bukan target sah) sepanjang belum dimobilisasi secara khusus.
Dari sisi hukum internasional ini, kedua pihak harus mengevaluasi diri dalam melaksanakan serangan untuk menghindari korban-korban yang tidak semestinya. “Tidak sengaja” tidak semudah itu menjadi alasan. Sebagaimana penjelasan majelis hakim dalam perkara Kupreškić di The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), tewasnya penduduk sipil secara “tidak sengaja” saat menghancurkan objek militer bukanlah alasan apabila belum dilakukan upaya kehati-hatian yang baik. Selain itu, harus dinilai apakah sepadan potensi korban “tidak sengaja” tersebut dibandingkan nilai target militer yang dijadikan sasaran.
Ya, sayangnya, di antara cara hukum humaniter internasional beroperasi adalah dengan cara menilai-nilai nyawa manusia seperti ini melalui sebuah prinsip bernama “Principle of Proportionality.”
Terkhusus bagi israel, saat membunuh Dr. Refaat Alareer di Gaza tahun 2023, mereka tidak menghancurkan seluruh Gedung melainkan hanya bagian yang terdapat Dr. Refaat dan keluarganya saja. Mereka mampu seakurat dan se-presisi itu. Jadi, kalau sampai gedung-gedung besar dihancurkan dengan banyak korban sipil berjatuhan (baik di Gaza maupun di Iran), apakah bisa dikatakann “tidak sengaja”?
Alasan yang Sah Untuk Menggunakan Kekerasan Bersenjata?
Kedua, disebut jus ad bellum atau “hukum sebelum konflik bersenjata” yang mengatur khususnya alasan-alasan dimulainya konflik bersenjata. Sederhananya, dalam jus ad bellum, menggunakan kekerasan bersenjata secara hukum asal adalah dilarang sebagaimana Pasal 2(4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akan tetapi, hukum asal (larangan) tersebut dapat berubah apabila menjumpai pengecualian.
Salah satu pengecualian dari larangan di atas terdapat di Pasal 51 Piagam PBB, yaitu pertahanan diri. Yang termaktub dalam zahir pasal tersebut adalah pertahanan diri dalam konteks telah adanya serangan militer dengan kekerasan bersenjata yang nyata dari negara lain, sehingga suatu negara dapat menggunakan kekerasan bersenjata untuk menyambut serangan tersebut dan melindungi dirinya.
Konsep pre-emptive self-defense yang diklaim oleh israel sebagai dasar menyerang Iran adalah sebuah tafsiran konsep pertahanan diri yang berbeda dengan zahir Pasal 51 Piagam PBB di atas. Konsep pre-emptive self-defense tidak menunggu adanya kekerasan bersenjata yang nyata dari negara lain, melainkan duluan berinisiatif menyerang jika negara lain sudah jelas akan (tapi belum) menyerang.
Sekilas mungkin nampak logis: andai dapat dipastikan ada musuh akan (tapi belum) menembak masa harus menunggu kita tertembak duluan? Akan tetapi, dalam konteks hukum internasional yang berlaku, kata “dipastikan” adalah kunci penting. Mayoritas sarjana hukum internasional di seluruh dunia menolak konsep pre-emptive self-defense antara lain karena sangat terbuka manipulasi dan penyalahgunaan. Minoritas yang menerima memberikan syarat yang sangat ketat, antaranya tentang kepastian akan adanya serangan dari negara lain tersebut dan sejauh mana masih terbuka peluang untuk de-eskalasi dan berdamai. Pastinya, potensi suatu negara akan (tapi belum) menyerang negara lainnya hanya akan terjadi di tengah eskalasi ketegangan.
Mayoritas negara pun sangat menolak pre-emptive self-defense ini dengan alasan yang sama. Penolakan akademis dan politik yang masif ini sangat melemahkan keabsahan pre-emptive self-defense dalam hukum internasional. Masalahnya, minoritas negara yang menerima adalah negara yang berlagak macam ‘ketua geng’ yang nampaknya paling kebal hukum.
Dua puluh dua tahun yang lalu, Amerika Serikat (AS) dan aliansinya menyerbu dan memporak porandakan Iraq. Ratusan ribu warga sipil terbunuh dan jutaan mengungsi, dan trauma serta kebencian warga Iraq terhadap Amerika Serikat menjadi ladang subur untuk lahirnya kelompok teroris Al-Qaeda Iraq yang akhirnya menjelma jadi kelompok the ‘Islamic’ State of Iraq and Sham (ISIS). Sampai hari ini trauma perang dan masalah lainnya belum selesai di Iraq.
Sebenarnya, serangan israel ke Iran ini membuat déjà vu dengan serangan AS ke Iraq. AS melakukan agresi militer ke Iraq dengan mengklaim pre-emptive self-defense karena, kononnya, Iraq sedang mengembangkan senjata nuklir dan pemusnah masal lainnya. Sejarah membuktikan bahwa ternyata senjata-senjata yang dituduhkan itu tidak ada. Tapi, Iraq sudah terlanjur hancur dan menjadi saksi nyata betapa bijaknya penolakan terhadap keabsahan pre-emptive self-defense.
Harus diakui bahwa Iran memang ada masalah. The International Atomic Energy Association (IAEA, atau Asosiasi Energi Atom internasional) memutuskan bahwa Iran melanggar kewajibannya karena menyembunyikan tingkat pemurnian uraniumnya. Selain itu, sedang ada ketegangan cukup tinggi antara Iran dengan israel. Akan tetapi, di sisi lain, telah disebutkan di atas bahwa telah hampir dua bulan berlangsung negosiasi nuklir antara Iran dan AS. Apalagi, memangnya pengembangan pemurnian uranium Iran sudah berapa dekat dengan weapons-grade (level yang siap dijadikan nuklir)? Jauh sekali! Karena itu, terlepas keputusan IAEA, masih sangat terbuka peluang untuk de-eskalasi penyelesaian damai.
Tanpa mempedulikan peluang damai tersebut, israel memilih untuk langsung melancarkan agresi militer ke Iran satu hari setelah IAEA mengumumkan keputusannya itu. Sangat ironis, mengingat israel sendiri terindikasi sudah memiliki hampir seratus bom nuklir dan bahan untuk membuat dua ratus lagi. Entah seberapa pasti “akan” datangnya serangan nuklir Iran ke israel, dan peluang damai pun tidak diambil. Justru, karena serangan israel, Iran menolak ronde negosiasi nuklir berikutnya dengan AS.
Perbuatan busuk israel ini jelas tidak akan memenuhi syarat keabsahan dari kalangan minoritas yang membenarkan konsep pre-emptive self-defense sekalipun.
Di sisi lain, justru Iran sangat dibenarkan untuk mempertahankan dirinya dengan melakukan serangan balik. Aksi iran, dari sudut jus ad bellum, dapat dibenarkan dalam konsep self-defense paling klasik yang termaktub jelas dalam zahir Pasal 51 Piagam PBB.
Renungan
Banyak negara di dunia telah mengecam israel karena melanggar kedaulatan Iran, di antaranya: Saudi Arabia, Qatar, Turki, dan Indonesia. Kecaman-kecaman ini sangat wajar dan beralasan menurut hukum internasional. Yang mengherankan, masih ada yang mengutuk Iran karena melakukan serangan terhadap israel yang kononnya memiliki ‘hak mempertahankan diri.’ Paling unik, Kementrian Luar Negeri Jerman telah mengeluarkan kecaman terhadap serangan Iran terhadap israel (nampaknya) bahkan sebelum Iran pertama melakukan serangan balik. Bagaimanapun juga, negara-negara yang telah membuat pernyataan senada dalam menganjurkan Iran maupun israel untuk menghentikan konflik agar tidak memperburuk ketegangan yang sudah ada di wilayah Timur Tengah. Sambil menunggu diplomasi dijalankan, semoga para pihak setidak-tidaknya berusaha mematuhi hukum internasional untuk mengurangi korban-korban yang tidak semestinya.