Sudah Waktunya ada Ulama Fikih di Mahkamah Pidana Internasional (ICC)? Tentang Kurangnya Perwakilan Hukum Islam di ICC (Oleh Juliette Rémond Tiedrez)

Image credit: photos.apo-opa.com

Membaca tulisan Juliette Rémond Tiedrez ini jam 1 pagi membuat kantuk langsung hilang, lalu saya pun menulis balasan yang akhirnya juga diterbitkan di Völkerrechtsblog. Saya telah menerjemahkan tulisan saya itu, dan melalui sang editor Völkerrechtsblog yaitu Philipp Eschenhagen saya minta izin kepada Tiedrez untuk menerjemahkan tulisannya. Alhamdulillah, beliau mengizinkan saya untuk menerjemahkan tulisan beliau. Semoga bermanfaat!

Sudah Waktunya ada Ulama Fikih di Mahkamah Pidana Internasional (ICC)? Tentang Kurangnya Perwakilan Hukum Islam di ICC.

Oleh: Juliette Rémond Tiedrez

2020 akan menjadi tahun yang sibuk bagi Majelis Negara-Negara Anggota (ASP) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC) karena tiga pemilihan akan diadakan pada bulan Desember: Pemilihan enam hakim, satu jaksa penuntut dan enam anggota Komite Anggaran dan Keuangan. ASP harus mengambil kesempatan ini untuk membawa seorang sarjana hukum Islam, seorang Faqih, ke ICC.

ICC merupakan sebuah mahkamah berskala internasional. Karena itulah sepatutnya harus mewakili seluruh dunia, tidak hanya secara geografis melainkan juga tradisi hukum. Oleh karena itu, Pasal 36 Statuta Roma menyatakan bahwa Negara-negara Pihak harus mempertimbangkan “representasi sistem hukum utama di dunia” dalam memilih hakim. Meskipun persilangan hukum common/civil law di ICC telah banyak dibahas, ada satu tradisi hukum yang sepertinya selalu terlupakan: tradisi hukum Islam. Menurut Sara McLaughlin Mitchell dan Emilia Powell, sistem hukum dapat dianggap sebagai “sistem hukum utama” (major legal system) jika tersebar luas secara geografis dan pengaruhnya telah bertahan lama. McLaughlin Mitchell dan Powell berpendapat bahwa tradisi hukum Islam memenuhi kedua syarat tersebut menjadikannya sistem hukum utama yang ketiga. 25 Negara di dunia menggunakan hukum Islam, baik sebagai sistem hukum utama atau sebagai salah satu sub-sistem.

Namun, tradisi hukum Islam tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam ICC. Sampai sekarang, para hakim dan jaksa penuntut datang dari negara-negara common law dan civil law, tetapi ASP tidak pernah memilih sarjana hukum Islam. Tentu saja, Fatou Bensouda, Jaksa Penuntut saat ini dari Gambia, dan Chili Eboe-Osuji, Presiden saat ini dari Nigeria, berasal dari negara-negara yang menggunakan sebagian hukum Islam. Namun, apabila melihat CV mereka akan nampak bahwa baik Hakim Eboe-Osuji maupun Jaksa Penuntut Bensouda tidak memiliki latar belakang hukum Islam; mereka mempelajari hukum di wilayah (Cross River, Lagos dan Osun States) dan negara (Kanada, Malta dan Belanda) yang tidak menggunakan hukum Islam. Tiadanya perwakilan hukum Islam di ICC menimbulkan pertanyaan apakah ASP memang mempertimbangkan representasi semua tradisi hukum ketika memilih hakim.

Pasal 21 Statuta Roma juga secara tidak langsung merujuk pada tradisi hukum Islam, tertulis bahwa “hukum nasional dari sistem-sistem hukum dunia” harus dikaji dalam mengembangkan prinsip-prinsip umum hukum. Siapa yang lebih baik mengkaji hukum di suatu sistem hukum dunia melainkan seorang pakar dari sistem itu sendiri? Hal ini terutama berlaku untuk hukum Islam karena memahaminya dan mampu membedakan prinsip-prinsip hukum dalam tradisi hukum ini cukup sulit: Para pakar perlu memiliki tingkat bahasa Arab yang baik untuk memahami keputusan ICC serta sumber-sumber hukum Islam. Ini termasuk Al-Qur’an, Sunnah (pernyataan dan perbuatan Nabi Muhammad), Fiqh (konsensus pendapat-pendapat dan deduksi analogi) dan tiga kategori delik pidana (hudud, qisas, dan ta’zir). Sebagai staf magang di ICC, saya mencoba mempertimbangkan tradisi hukum Islam ketika diminta untuk menentukan apakah konsep tertentu adalah prinsip umum hukum. Saya bertanya kepada staff magang lain yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab tetapi yang tidak belajar hukum dalam bahasa Arab, untuk membantu saya mencari yurisprudensi dari Negara-negara yang menggunakan hukum Islam. Namun, ia tidak berhasil menemukan sesuatu yang konklusif. Hanya seorang Ulama Fikih yang akan cukup terampil dan berpengalaman yang fasih berbahasa Arab dan mengenal sistem hukum Islam dapat menemukan yurisprudensi tersebut.

Rasanya sulit untuk memilih seorang ulama fiqih ke ICC karena sang hakim harus merupakan warga negara negara anggota ICC. Dari 25 Negara yang menggunakan hukum Islam, hanya tujuh (Afghanistan, Komoro, Gambia, Yordania, Maladewa, Nigeria, dan Tunisia) yang telah meratifikasi Statuta Roma. Namun, menurut rasio semata – hakim per jumlah Negara dari tradisi hukum tertentu – akan masuk akal untuk memiliki satu hakim hukum Islam: 5,7% dari Negara-negara anggota ICC adalah negara-negara hukum Islam, sementara satu hakim mewakili 5,5% dari bangku hakim. Para calon hakim tahun ini telah diumumkan. Dari 22, tiga nominasi yang mungkin merupakan pakar hukum Islam: Raymond Sock dari Gambia, Haykel Ben Mahfoudh dari Tunisia dan Ishaq Usman Bello dari Nigeria. Namun, sulit untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka ahli dalam ilmu fikih karena CV mereka tidak sepenuhnya jelas tentang hal itu.

Selain representasi dari sistem hukum utama, Pasal 36 Statuta Roma menyatakan bahwa ASP “harus, dalam pemilihan hakim, memperhitungkan: […] perwakilan geografis yang merata, representasi rata hakim perempuan dan laki-laki” dan harus memastikan bahwa setidaknya sembilan hakim memiliki kompetensi dalam hukum pidana (daftar A) dan setidaknya lima hakim memiliki kompetensi di bidang hukum internasional (daftar B). ASP biasanya akan memeriksa komposisi mahkamah setelah hakim yang masa jabatannya berakhir meninggalkan Pengadilan dan kemudian menghitung suara minimum yang diperlukan untuk daftar A, daftar B dan untuk persyaratan regional dan jenis kelamin. Surat suara yang digunakan untuk pemilihan juga menggunakan klasifikasi seperti ini. Oleh karena itu, ASP mempertimbangkan semua kondisi yang diatur dalam pasal 36 kecuali satu: “Kebutuhan akan representasi sistem hukum utama dunia”. Apabila hendak ada hakim Islam yang dipilih, syarat ini mungkin harus ditambahkan ketika mengklasifikasikan kandidat dan menghitung suara yang diperlukan. Dengan melakukan itu, Negara-negara anggota ICC akan ‘dipaksa’ untuk mengakui pentingnya “perwakilan dari sistem hukum utama dunia” termasuk tradisi hukum Islam. Karena itu mereka akan lebih cenderung mempertimbangkan untuk memilih seorang hakim Islam. Menambahkan kategori seperti ini juga akan memperjelas apakah kandidat tertentu, seperti tiga pakar hukum Islam potensial tahun ini, benar-benar menguasai fikih.

Kurangnya representasi tradisi hukum Islam di ICC dapat merugikan legitimasinya dalam membangun suatu sistem yang universal. Terkait pertimbangan hukum Islam di Mahkamah Internasional (ICJ), Clark Lombardi mencatat bahwa hakim akan merujuk pada hukum Islam untuk “melegitimasi keputusannya di mata dunia Islam”. Lombardi berpendapat bahwa ICJ hanya merujuk pada hukum Islam dalam United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran Case karena Iran mempertanyakan legitimasi Mahkamah. Pendekatan serupa harus diikuti oleh ICC. Mahkamah telah dikritik secara luas karena menjadi “mekanisme kebijakan neo-kolonialis oleh dunia Barat”; sehingga tentu ia membutuhkan legitimasi tambahan. Bagi dunia Islam, pemilihan seorang Ulama Fikih sebagai hakim ICC dapat memberikan tambahan legitimasi tersebut. Ini tentu berlaku untuk semua wilayah yang mencari perwakilan dalam organisasi internasional. Namun, ini terutama berlaku bagi umat Islam dan ICC, karena umat Islam tidak dapat dihakimi oleh non-Muslim menurut hukum Islam.

Ketika Pengadilan semakin banyak terlibat dalam kasus yang bersinggungan dengan Islam: penuntutan terhadap terduga anggota Ansar Eddine dan kepala polisi Islam Al Hassan Ag Abdoul Aziz, pembukaan penyelidikan atas kejahatan yang dilakukan terhadap kelompok Muslim Rohingya serta kejahatan yang dilakukan di Afghanistan, dan juga menjelang putusan tentang yurisdiksi teritorial Mahkamah dalam kasus Palestina, rasanya memang sudah pas waktunya untuk hadirnya seorang Ulama fikih.

=============

Tentang penulis: Juliette Rémond Tiedrez mendapatkan satu gelar master dalam Public International Law dari Leiden University dan satu gelar master lagi dalam hukum pidana dari Sorbonne University. Setelah magang selama enam bulan di ICC, ia sekarang sedang mempersiapkan diri untuk bar exam (ujian advokat) untuk menjadi pengacara.