Legend of Legends: Chapter VIII — Memory Revives

Here goes chapter VIII. Enjoooy ^_^

—————————————————————————————————————————————

CHAPTER 8

MEMORY REVIVES

                Matahari sedang terik-teriknya saat itu. Marino baru saja melepas kapal mata-mata di pelabuhan utara. Ia pulang ke istana dan makan siang bersama aparat negara yang lain. Saat itulah Meissa memberikan sebuah undangan rahasia padanya. Isi undangan itu ialah untuk menghadiri pernikahan Meissa. Siapakah yang akan dinikahi oleh ratu Eleador yang amat ternama ini? Ternyata seorang pelayan rendahan yang bernama Bathack. Siapa sangka? Tapi cinta itu memang tak memandang derajat. Suka ya suka saja. Hanya beberapa orang saja yang ia undang untuk pernikahan ini karena ia takut kabar ini menyebar. Marino, Daffy, Eko, Phalus, Isabel, dan dua orang saudara Meissa, itu saja yang diundang. Acara akan diadakan di Dark Forest di selatan Dark Land.

Marino dan para undangan berikut calon pengantinnya memulai perjalanannya dari istana Eleador saat matahari mulai terbenam pada keesokan harinya. Dengan dalih pergi berburu mereka semua berangkat. Dalam tradisi Eleador, pasangan dari pihak kerajaan yang akan menikah harus disahkan raja atau ratu. Tapi berhubung ratu itu sendiri yang akan menikah, maka harus seorang raja kerajaan lainlah yang yang harus melakukannya. Itulah salah satu sebab Marino diundang, Caliph dianggap setara dengan seorang raja. Mereka menunggang kuda dan bergerak tanpa henti hingga akhirnya tengah malam tiba.

Saat itulah mereka berhenti di tengah hutan misterius itu. Ada sebuah pondok kecil di sana. Semua berbaris rapi di hadapan pasangan pengantin. Marino berdiri paling depan. Upacara pernikahan dimulai. Marino, yang telah mempersiapkan teks mulai membacakan pidatonya, “Dengan nama dewa tertinggi, Godrin, dan dewa-dewa dibawahnya, saya nyatakan dua insan yang saling mencinta telah berkumpul di sini dan siap membuat ikatan tak terpisahkan, yakni pernikahan. Kepada calon mempelai pria, saya tanya pada kamu. Saudara Bathack. Apakah kau bersedia dengan ikhlas menerima Meissa Apilla sebagai istrimu?”

Bathack menjawab, “Ya, saya bersedia.”

“Apakah engkau bersedia untuk menjaga, dan untuk melindunginya dengan baik dan juga bertanggung jawab?”

“Ya.”

“Apakah kau bersedia dan mampu menafkahinya dan keluargamu kelak untuk menyambung kelangsungan hidup?”

“Ya. Saya sanggup.”

“Jika demikian, saya nyatakan engkau sanggup. Calon mempelai wanita, saya tanya pada kamu. Meissa Apilla. Apakah kau bersedia menerima saudara Bathack sebagai suamimu?”

“Bersedia.”

“Apakah kau siap untuk dijaga, dilindungi, dan mengikuti perintah suamimu jika baik, dan siapkah engkau untuk rela bertanggung-jawab?”

“Saya siap,” kata Meissa, dan ada setetes air mata mengalir dari matanya.

“Siap dan sanggupkah engkau memanfaatkan nafkah dari suamimu dengan baik, melahirkan dan memelihara anak kalian dengan baik?”

“Sa… saya sanggup.”

“Dengan begitu, saya nyatakan engkau sanggup. Karena kalian berdua sanggup, akan saya nyatakan bahwa sekarang kalian sah sebagai suami istri,” kata Marino, dan kedua pengantin itu berciuman.

“Selamat,” kata Marino dan menjabat tangan Meissa dan Bathack, lalu semuanya bergantian menjabat tangannya.

“Berhubung ini suatu acara yang dirahasiakan, mohon maaf karena tidak diadakan pesta yang besar. Mari kita kembali ke istana,” kata Meissa. Tapi ada sebuah kejutan yang amat besar. Tiba-tiba ada seekor Gaaspirn– naga yang tak bersayap, sehingga harus jalan, tapi ukurannya amat besar. Tingginya sekitar delapan meter. Dengan sigap semuanya menyiapkan senjata mereka. Bahkan kedua saudara Meissa ikut mencabut pedang.

Sebelum mendekat, Eko berusaha menghujani mahluk tersebut dengan magic halilintarnya, tapi ternyata mahluk itu bersifat memantulkan magic. Apa boleh buat. Mereka semua bersiap-siap sementara monster itu berjalan perlahan namun pasti, menuju mereka. Detik-detik menegangkan berlalu begitu cepat hingga akhirnya pertolongan tiba. Seekor ular raksasa, mungkin panjangnya sepuluh meter dan kepalanya sebesar setengah kepala gaaspirn itu. Dia menerjang dari semak-semak, dan dengan gesit sang gaaspirn sudah terlilit. Pergulatan dasyat terjadi. Marino dan yang lainnya sudah aman, kelihatannya, tapi memang mereka tak boleh senang dulu. Ada seekor gaaspirn lain dari arah berlawanan datang. Yang ini bergerak lebih cepat dari yang tadi karena berlari.

Rasanya mereka terpaksa bertarung juga, tapi ternyata tidak. Sesosok pria besar menerjang dari arah semak-semak, dan menebas gaaspirn tersebut dengan sebuah tombak panjang yang bermata kampak besar. Sosok itu berambut ikal sebahu, tapi belum jelas siapa. Gaaspirn tadi langsung ambruk dengan luka besar menganga di lehernya. Ular raksasa yang tadi pun telah melilit gaaspirn pertama hingga mati lemas, dan kini sosok itu menghampiri sang ular.

“Adin… pasti itu kau, Sobat,” kata Marino, dan sosok itu keluar dari kegelapan tengah malam memasuki area nyala obor di tangan Bathack. Memang. Itu adalah Adin. Keempat bersahabat itu berpelukan dan menjabat tangan. “Kita akan cerita nanti sambil jalan. Tapi… ular ini…,?” Daffy melirik si ular raksasa yang kini melingkar dan tak bergerak, tapi matanya berkilat berbahaya.

“Morded. Itu namanya. Dan… Amber!!!” teriak Adin ke kegelapan malam. Suaranya menggema di area hutan itu, dan dari kejauhan, tampak seberkas cahaya merah terang.

Cahaya itu mendekat dengan cepat. Saat dekat, barulah Marino tahu bahwa itu adalah seekor burung api. Burung itu menyala karena beberapa bagian tubuhnya memang membara. Dia itu cantik, seperti seekor burung cendrawasih Indonesia yang makin indah karena api yang menjilat-jilat dari tubuhnya meliuk-liuk dengan begitu artistik, seperti burung phoenix yang hanya ada di legenda. Ukurannya kira-kira sebesar seekor harimau, cukup untuk ditunggangi oleh seorang anak kecil. Anehnya, saat Marino membelainya, tidak panas.

“Amber namanya. Badannya bisa sepanas lahar jika dia menginginkannya. Kedua monster luar biasa ini temanku. Ayo kita pulang. Amber, tolong terangi jalan,” lalu mereka memulai perjalanan pulang.

“Setelah ledakan itu, aku tersadar dan berada di bawah puing-puing,” Adin memulai ceritanya. “Lama sekali aku di sana, lemah, lapar. Aku bahkan mendengar suaramu, Marino, saat kau berusaha memanggil kami. Tapi saat itu aku terlalu lemah untuk menjawab, apalagi bergerak. Setelah… entah berapa lama, aku akhirnya mendapat cukup tenaga untuk keluar dari puing-puing. Aku mampir di penginapan untuk menyembuhkan diri, tapi beberapa prajurit Devilmare datang dan menangkapku. Alih-alih membawaku ke istana mereka, mereka membawaku ke Lovenia. Setelah ditahan beberapa hari, aku dibawa ke ujung timur Lovenia. Tepatnya di sebuah tebing pinggir laut. Aku dijatuhkan.”

“Kukira aku akan mati, tapi tiba-tiba aku merasa semuanya gelap. Bukan mati, aku merasa kering. Sadarlah aku bahwa aku berada di dalam mulut sesuatu. Anehnya, senjata kampakku juga ada di situ. Tadinya aku mau menghancurkan langit-langitnya, tapi kukira mahluk pemilik mulut itu bukan mau memakanku. Di pinggir hutan inilah aku terdampar, dan mulut itu milik Morded. Saat itu baru aku ketahui bahwa aku bisa berbicara dengan hewan. Aku bertemu Amber dan aku tinggal di hutan ini selama beberapa waktu. Akhirnya, saat aku berjalan terus ke dalam hutan ini, jauh… jauh… ternyata ada pemukiman sebuah suku bernama Fraternite. Aku tinggal di sana cukup lama hingga kebetulan aku sedang jalan-jalan tengah malam dan bertemu kalian. Begitulah,” kata Adin.

“Ada sebuah negara di dalam hutan besar? Kenapa selama ini tidak ada yang tahu?” tanya Eko.

“Tak banyak orang yang mau masuk ke dalam hutan itu jauh-jauh. Tak ada tempat yang menarik, dan sangat berbahaya. Kelihatannya ini bisa dipertimbangkan untuk masuk The Chain. Bagaimana keadaan mereka?” tanya Meissa.

“Mereka luar biasa. Kukira mereka sebuah suku primitif biasa, tapi ternyata mereka hebat. Rakyatnya ada sekitar tiga juta dan semua pria menjadi prajurit meski belum pernah perang sejak ratusan tahun. Total prajurit mereka ada sekitar tujuh ratus lima puluh ribu personil. Rajanya bernama Bimo, dan jendralnya ada empat, yaitu Pasha, Artha, Reynald, dan Fazhralimanda. Pemerintahan yang mereka laksanakan merupakan pemerintahan kerajaan biasa, yang tidak bekerja sama dengan kerajaan lain.

Mentrinya cuma mentri keuangan dan pangan saja, dan mereka punya 24 tetua yang senantiasa berjalan-jalan berkeliling wilayah untuk melihat dan menanyakan keadaan rakyat untuk kemudian dilaporkan pada Raja. Yang aku kagum, mereka dapat membagi waktu sehari menjadi dua bagian, yaitu pagi hingga siang untuk kegiatan ekonomi, siang hingga petang berlatih militer. Malam sih, kegiatan malam rumah tangga. Mereka beternak sapi dan rusa pada umumnya, tapi penanaman gandum dan cokelat lumayan besar di sana. Prajurit mereka sangat kuat. Apalagi mereka punya senjata yang sangat kuat, yang mereka namai Ariel Cannon. Bentuknya seperti gerobak besar yang bisa menembakkan kilatan-kilatan penghancur. Mereka terus berlatih tanpa bosan, walau perang tak kunjung datang. Kelihatannya mereka akan jadi modal yang luar biasa untuk menghabisi Devilmare,” kata Adin.

“Menarik sekali. Ada baiknya kita undang ke Eleador,” sahut Bathack.

Pagi tiba saat mereka sampai di istana ibukota Eleador. Amber ternyata bisa memadamkan api di tubuhnya, menjadi seekor burung cantik berwarna putih-biru.

“Kami sekarang mau istirahat dulu, menikmati malam pengantin di pagi hari. Sampai jumpa. Kabari aku jika mau ada pertemuan.” kata Meissa, lalu masuk ke dalam kastil. “Dia beruntung sekali,” kata Daffy, melirik Bathack.

Marino tiba di kastil Crin’s Blade dan dimarahi habis-habisan oleh Marissa, karena pergi tanpa izin, tanpa lapor, tanpa penjaga, namun Marino tidak membantah. Kakaknya itu memang sangat perhatian padanya, meski terkadang agak berlebihan. Mengapa sih, seorang pemimpin negara harus sebegitunya ‘dimomong’?

***

                Beberapa bulan berlalu, dan Marino merayakan ulang tahunnya yang ke-enam belas. Bukannya tidak mau, tapi Marino amat terkejut saat ia turun ke ruang tengah dan seisi istana telah berada di sana bersama hidangan seribu macam untuk merayakannya. Saat itu beberapa hal telah berubah. Isabel telah mengandung dan Daffy telah memiliki anak perempuan bernama Nirwa dari Yogin. Sungguh ajaib. Kisah asmara keduanya baru dimulai kurang dari setengah tahun yang lalu dan Yogin kini telah punya anak. Memang ia mengandung hanya selama empat bulan.

Meissa juga telah mengandung, tapi tentu pernikahannya dengan Bathack masih dirahasiakan, apalagi kehamilannya. Marino mendapat kabar kehamilan Meissa minggu lalu lewat surat. Namun Marino tahu, bahwa ini tidak mungkin dirahasiakan selamanya. Saat kandungan Meissa sudah besar pasti akan ketahuan. Maka dari itu, Marino menulis kembali pada Meissa, agar beliau mengumumkan dan membuka rahasia pernikahannya pada rakyatnya dan kerajaan lain, sebelum mereka tahu dengan sendirinya, karena bisa menimbulkan fitnah.

Kalau sudah beredar fitnah yang macam-macam, meski akhirnya Meissa mengaku juga, tapi image buruk tidak akan hilang sepenuhnya. Makanya, mengaku saja sebelum terlambat. Setelah itu, Meissa mengatakan akan menyampaikan hal ini pada rakyatnya saat kandungannya berusia empat bulan nanti, yaitu sekitar tiga minggu lagi. Selain itu, Eko juga mulai menjalin hubungan dekat dengan Jasmine, jendral pasukan gerilya.

Sore nanti, menurut prediksi, kapal berisi pasukan pengintai akan tiba kembali. Misi yang mereka laksanakan di sana memang memakan waktu yang amat lama. Marino agak curiga juga. Sudah sekian lama Marino meninggalkan Zenton dan saat itu, rasanya yang masih merdeka cuma Xenfod, Armis dan Talmis saja. Ketiga negara itu bukan negara yang kuat, sehingga pasti Devilmare dengan mudah melahap mereka. Apalagi Talmis dan Armis yang kecil, tapi kaya akan emas. Mungkin Xenfod agak kurang diminati, tapi Devilmare, kurang lebih, agak membutuhkannya. Tuntutan Lucifer’s Den masih harus dipenuhi oleh Rafdarov V. Michael (Mantan komandan Scherduke Gallowmere), yang sebetulnya merupakan saudara kandung Rafdarov V, amat menyesalkan sikap kakaknya itu. Nah, karena seluruh Zenton sudah dikuasai, pasti Rafdarov V tidak mungkin puas.

Apakah hanya karena keberadaan Dark Land yang tidak diketahui secara jelas? Tapi Rafdarov V sangat ambisius. Waktu Marino dan ketiga temannya bekerja pada Rafdarov V, mereka diberitahu langsung olehnya bahwa setelah ia menguasai Zenton, ia akan mencari kebenaran tentang tanah Dark Land, dan menguasainya.

Pesta berlangsung hingga tengah hari, dan Marissa mengatakan bahwa nanti malam akan diadakan pesta lagi. Bangsawan-bangsawan dari kota-kota lain, Meissa, Ratu Ratu Darpy dari Apocalypse, semua datang untuk memberi selamat. Mereka juga memintanya untuk segera mencari pasangan. Karena digosipkan memiliki hubungan istimewa dengan Marino, Gabriela diberi sorakan meriah saat memberi selamat. Sorakan tambah riuh saat Gabriela memeluknya.

Siang telah lewat, dan semua anggota The Chain berangkat ke pelabuhan militer Eleador untuk menyambut pasukan mata-mata. Lebih dari dua ribu prajurit mengamankan lokasi pelabuhan. Kelihatannya kapal berisi mata-mata tersebut kena macet atau entah apa, sebab Marino dan yang lainnya telah menanti hingga matahari hampir terbenam, dan mereka belum tiba. “Apakah mereka memang gagal, dan tidak mungkin kembali?” bisik Meissa dengan agak gelisah, dan Marino mengatakan bahwa mungkin ada penundaan atau semacamnya.

Malam telah menyelimuti area pelabuhan. Tidak ada bulan maupun bintang, dan kapal-kapal yang dinantikan belum tiba. Tenda-tenda didirikan dan jam malam bagi para prajurit diadakan. Meissa menumpang pada tenda Marino, dan keduanya membahas berbagai kemungkinan informasi yang dibawa oleh kapal-kapal nanti. Ternyata kapal-kapal itu memang tidak kembali pada malam itu.

Keesokan paginya, tiga (dari dua belas yang dikirimkan) kapal akhirnya berlabuh. Mereka ini yang mengintai Gallowmere, Talmis, dan Lovenia. Penanggung jawab tiap kapal diminta ke gedung strategi pelabuhan tersebut dengan anggota The Chain. Informasi dari ketiga penanggung jawab kapal cukup banyak, memuaskan, dan sama.

Pertama, mengenai keadaan di sana. Hidup di sana begitu sulit dan berbahaya. Tiap hari ada saja yang dibantai. Bahkan dari tiap kapal yang baru tiba ini, sekitar tiga puluh awak turut dibantai. Pasukan Devilmare memungut berbagai macam pajak liar yang bahkan tidak diatur oleh Rafdarov V. Pajak-pajak ini bisa berupa harta dan bisa juga berupa wanita. Pasukan Devilmare hampir tiap hari melakukan pemerkosaan tanpa ada yang berani melawan.

Kedua, Rafdarov V ternyata memang berencana menguasai Dark Land dan dia telah mengetahui keberadaan Dark Land dari sebuah sumber yang dia percayai. Para penanggung jawab kapal mengetahui ini karena Rafdarov V dan pasukannya tidak malu-malu membeberkannya keras-keras di depan umum. Ia punya dua rencana. Pertama, mengirim sebuah kapal dagang berisi barang-barang makanan yang jika dimakan, pikiran yang memakan akan dikuasai oleh Jester. Menurut perkiraan, kapal ini akan tiba di pelabuhan dagang utama Eleador tiga hari lagi. Bagi Marino, rencana ini akan mudah dipatahkan olehnya.

Rencana kedua, Rafdarov V akan mengirim agresi besar-besaran ke wilayah-wilayah pantai utara dan timur Dark Land. Saat pasukan negara-negara Dark Land sibuk melawan, Rafdarov akan mengirimkan pasukan yang diciptakan oleh iblis, yang akan menyerang wilayah-wilayah pantai di barat Dark Land. Ini yang perlu diwaspadai. Bagaimana Rafdarov V akan bisa mengirimkan armadanya melalui badai raksasa yang mengelilingi Dark Land?

Ketiga, ternyata Rafdarov V mendapatkan seorang sekutu yang sangat kuat. Dia bernama Morris. Musuh bebuyutan Kaine yang dikira telah tewas. Morris membantu Jester Riddikulo untuk menyusun strategi-strategi jitu dan keampuhan strateginya terbukti saat menguasai Armis dan Talmis karena waktu itu, awalnya pasukan Devilmare tidak mampu merebut kedua kerajaan itu. Pasukan kedua kerajaan kecil itu ternyata memiliki taktik pertahanan yang amat sulit ditembus. Donald dan Stuart Aros, raja Armis dan Talmis yang bersaudara memimpin pasukannya dengan sempurna.

Semejak Morris membantu dengan sebuah strategi jitu, Armis dan Talmis berhasil dikuasai dengan cepat. Mendengar ini, Kaine sangat berang. Morris adalah seorang sorcerrer yang menonjol pada kekuatan angin. Kekuatan anginnya amat dasyat dan Kaine juga mengakuinya. Pasti dengan mudah ia bisa menghilangkan badai besar pelindung Dark Land, karena dialah yang memperkuatnya pada zaman dahulu kala.

Selang beberapa waktu, dua kapal lagi berlabuh. Mereka dari Devilmare dan Grandminister. Informasi dari penanggung jawab kedua kapal sama persis dengan yang sebelumnya, tapi penanggung jawab kapal pengintai Devilmare memberikan informasi yang amat menggemparkan. Bukan menggemparkan bagi yang lainnya, tapi bagi Marino, Daffy, Eko, dan Adin yang baru saja tiba.

Rafdarov V punya seorang sahabat karib bernama Jernandez (baca: Hernandez). Orang ini sangat kaya dan memiliki sebuah puri besar di wilayah timur Devilmare yang terdiri dari hutan belantara. Rafdarov V sengaja membantu pembiayaan puri ini karena isinya ada kepentingan Rafdarov juga. Di ruang bawah tanah puri tersebut, ada beberapa ruangan besar yang isinya ratusan tabung kaca. Isi tabung-tabung kaca itu adalah manusia yang direndam semacam cairan.

Dengan berbagai kecerdikan, penanggung jawab kapal ini berhasil mengunjunginya sendiri. Menurut Jernandez, orang-orang di dalam tabung-tabung itu hidup dibawah pengaruh sihir. Aneh, sebab orang-orang itu masih hidup padahal mereka terbenam sepenuhnya oleh air. Penanggung jawab kapal itu, yang bernama Herz, berkeliling mengamati tiap ruangan penyimpanan ini, yang masing-masing ruangannya sangat besar dan berliku-liku. Setelah agak lama, Herz baru menyadari bahwa ada yang sangat unik. Semua orang dalam tabung, yang semuanya tak berbusana, diletakkan selang-seling berdasarkan jenis kelamin.

Di atas tiap tabung ada semacam bola listrik dan ada sebuah papan bertuliskan sebuah nama, kelihatannya merupakan nama orang yang berada di dalam tabung. Menurut Herz, Jernandez sendiri tidak mengetahui apa gunanya itu bagi Rafdarov. Apa yang begitu menggemparkan Marino, Daffy, Eko, dan Adin? Ternyata, saat Herz sedang melihat-lihat tabung-tabung di salah satu ruangan, dia berhenti di depan sebuah tabung. Entah mengapa, ia begitu tertarik pada tabung itu. Isinya seorang wanita (dan tanpa busana. Mungkin inilah yang membuatnya tertarik, tapi tidak mungkin. Karena Herz seorang wanita dan tidak mungkin tertarik pada wanita bugil) yang kelihatan sangat muda, dan berusia hampir remaja, yaitu antara tiga atau empat belas tahun.

Wanita itu, menurut Herz, memang sangat manis. Betul, ia begitu penasaran pada wanita dalam tabung itu, dan sampai menghafalkan nama wanita itu. Namanya cukup indah bagi Herz. Daisy Asalaz. Begitu Herz menyebut nama itu, Marino, Adin, Eko, dan Daffy langsung membelalak kaget…. lalu pingsan.

***

                Saat terbangun, Marino berada di tengah hutan yang gelap bersama empat orang temannya. Mereka adalah Adin, Eko, Daffy, dan seorang lagi. Dia seorang wanita dan usianya sebelas. Setahun lebih muda dari Marino (sebelas, tapi lebih muda setahun dari Marino? Marino kan lima belas!). Dia setinggi telinga Marino dan wajahnya sangat manis. Rambutnya yang lurus dan berwarna cokelat terang, tergerai indah tanpa kusut sepanjang bahu. Dialah Daisy Asalaz. Kelimanya sedang berada di hutan ini untuk menemani Daffy yang dihukum karena berkelahi dengan tetangga. Daffy dihukum tidak boleh masuk rumah selama dua malam dan keempat sobatnya itu memilih untuk menemaninya menginap di hutan.

Saat itu malam larut telah menjelang jauh, tak ada penerangan sama sekali selain sinar bulan dan bintang yang terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Sesekali ada percikan api dari ujung tongkat Eko, hanya memastikan temannya masih lengkap, atau mencari asal suara yang kedengaran seperti hewan buas. Daffy dan Adin sedang mengobrol tentang hukuman yang diberikan pada Daffy. Sedangkan Eko dan Marino duduk bersandar pada sebatang pohon yang telah tumbang. Daisy tengah berusaha tidur di pelukan Marino, tapi masih terkadang memberi komentar dalam obrolan antara Eko dan Marino. Saat itulah, sinar terang datang dari segala arah dan membutakan semuanya hingga…

***

                Marino terbangun. Ia berada di kamar istananya dan cahaya matahari siang yang terik menyinari wajahnya dari jendela kamar. Gabriela, Phalus, Rido, dan Marissa berdiri dengan cemas di sebelahnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Marissa.

“Kini aku tahu. Aku ingat segalanya. Tujuan awal aku kerja pada Devilmare sebagai pelawak… asal senjata kembarku… asal kantung uang ajaibku… mengapa bisa hilang dari ingatanku?” desis Marino yang masih belum tenang, dan bermandikan peluh.

“Ceritakanlah,” kata Phalus, dan Marino mulai berbicara.

“Aku mulai hidup merantau sejak umur delapan tahun, berempat dengan teman-temanku. Tapi empat itu adalah aku, Eko, Adin, tapi yang satu lagi bukan Daffy. Dia adalah seorang wanita. Daisy Asalaz. Kami baru bertemu Daffy seminggu setelah pergi merantau. Ya. Kami berlima. Tadi aku mimpi kejadian waktu kami berusia dua belas, dan Daisy sebelas, sewaktu kami sempat singgah di rumah Daffy selama dua bulan. Senjata istimewa ini diberikan olehnya… Daisy membuatnya dengan tangan hampa, tanpa bantuan alat lain… senjata kembarku sangat istimewa… dan aku bisa melupakan pembuatnya… demikian juga kantung uangku….”

Black bertanya. “Bagaimana dengan alasan kau bekerja pada Devilmare?” Marino menjawabnya, “Waktu aku berusia empat belas, kami sempat menetap di Lovenia. Suatu saat, kami mau pulang ke Talmis, asal kami dulu, dan saat melewati hutan El-Peso, ada kereta bangsawan Devilmare lewat. Kami mendapat ide untuk menghancurkannya sebagai upah tindakan Devilmare pada berbagai negara jajahannya.”

“Kami berlima sangat menguasai ilmu beladiri dan melumpuhkan delapan prajurit di dalam kereta itu. Aku ingat kembali, Daisy sangat mahir memainkan tombak.”

“Kereta itu memimpin sebuah batalion tempur besar yang akan menyerang Roxis. Kami berlima dikejar, tentunya. Tadinya kami berpencar agar sulit ditangkap, sesuai rencana. Tapi aku sadar bahwa aku tidak mungkin membiarkan Daisy sendirian. Makanya aku menyusul Daisy. Tapi aku terlambat. Rupanya ia berlari tepat ke sebuah pasukan tempur Devilmare lain.

Ia tertangkap setelah sebelumnya menghabisi puluhan tentara Devilmare di tempat itu juga. Tentu saja ini ulah Jester yang membuatnya pingsan seketika dengan sihirnya. Tadinya aku mau menolong, tapi aku berpendapat lain. Setelah bertemu dengan Adin, Eko, dan Daffy, kami menyusun rencana. Kami menyelinap masuk ke berbagai penjara Devilmare tapi tak menemukannya. Kami sempat mengira dia sudah mati, tapi kami tidak menyerah.”

“Setelah mengecek daftar terbaru penghuni Lucifer’s Den saat itu, kami yakin ia ditahan di tempat terpisah secara khusus, karena suatu alasan khusus. Maka itu, kami mencari cara untuk bekerja pada Devilmare dan berhasil karena saat kami melamar sebagai prajurit, Rafdarov V sendiri yang menginterview sendiri. Katanya kami boleh jadi prajurit setelah berusia enam belas. Saat itu kami baru empat belas. Sementara menunggu, Rafdarov V ternyata tertarik pada kami dan meminta kami mengadakan lawak untuknya tiap bulan. Untung saja Jester tidak melihat kami pada saat dulu Daisy tertangkap.”

“Dari saat itulah, kami kerja padanya sambil pasang telinga. Tadinya kami curiga Daisy dijadikan selir. Wajar saja, sebab Daisy memang sangat cantik. Tapi saat kami melihat ke gedung penyimpanan selirnya, Daisy tidak ada dan tak seorangpun mengenal Daisy. Lalu, seiring dengan waktu… kami melupakannya. Apalagi ditambah dengan seorang ninja bernama Zi meminta kami jadi mata-mata. Dulu aku, dan yang lainnya pernah bersumpah untuk menolong yang lain jika terjadi sesuatu. Dan meskipun sangat terlambat, akan kulakukan sekarang.” kata Marino.

Saat itu, Adin, Eko, dan Daffy menghambur masuk. “Kami bermimpi sama denganmu,” kata Eko. “Tapi alangkah baiknya jika kita konsentrasi pada penyerangan Devilmare kemari saja. Ternyata kapal yang tiba saat kau pingsan adalah yang terakhir. Yang lain tidak kembali,” kata Aisha.

“Aku sependapat dengannya. Bagaimana, Marino?” tanya Adin.

“The Chain. Kita harus rapat. Malam ini juga.” katanya, lalu bangkit. “Kumpulkan semuanya, dan kabarkan pada Eleador dan Apocalypse,” kata Marino lagi. Setelah itu, ia pergi menuju ruang sidang Crin’s Blade, yang akan dipergunakan sebagai ruang rapat The Chain sementara gedung khusus The Chain masih dibangun.

“Masih siang. Makanlah dulu.” ajak Gabriela penuh simpati, tapi Marino tak bergeming, dan sibuk mengoret-oret sebuah kertas di depannya.

Gabriela tahu bahwa Marino tidak bisa disuruh ke mana-mana, maka ia kemudian pergi ke dapur, dan membawakan dua porsi makanan. Satu untuknya, dan satu untuk Marino.

“Makanlah. Kutemani,” pinta Gabriela, dan akhirnya Marino tergugah juga. Ia bangkit dan berkata, “”Terima kasih, Gabriela. Kau sungguh perhatian.” dan seketika itu juga Gabriela memeluknya dan berurai air mata.

“Tolonglah… aku… aku…” tapi ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Marino membelai kepalanya, “Sudahlah. Ayo makan.” Kemudian mereka makan. Tak ada seorangpun di ruang itu selain mereka. Mereka makan dalam kesunyian yang mencekam, hingga akhirnya, sedikit-sedikit mereka mulai bicara, dan kemudian mengobrol seru.

Sore telah tiba, dan anggota-anggota The Chain yang lain telah tiba. Dua puluh lima orang anggota The Chain kini telah duduk di bangku masing-masing, dan sebentar lagi akan berdiskusi tentang terbukanya arena perang antara Dark Land dan Devilmare.

[End of Chapter VIII]

[Coming up next, Chapter IX: Devil Massacre]