Legend of Legends: Chapter XIII – INVADE! ATTACK!

After a very long hiatus, here goes Chapter 13. Enjoooy!!!

^_^

————————————————————————————–

CHAPTER 13

INVADE! ATTACK!

                Mereka kini meninggalkan kuil itu dengan semangat baru. Apalagi Marino, Daffy, dan Adin. Adin sendiri agak heran, mengapa selama pengembaraannya di hutan ini dulu, dia tidak melihat ataupun mendengar mengenai kuil tersebut.

Beberapa lama mereka berjalan dan hanya menghadapi beberapa monster yang ringan saja. Misalnya lebah raksasa lagi atau kadang ada belalang raksasa. Apakah ini yang disebut oleh penduduk Dark Land ‘berbahaya’? Cuma begini saja. Tetapi ada yang mengganjal hatinya. Apakah ini sama seperti waktu dia pergi menyelamatkan Meissa? Sesuatu yang terlalu sepi memang amat mencurigakan. Mana gaaspirnnya?

Lalu mereka melihatnya. Seekor gaaspirn raksasa. Tapi ini lain. Rahangnya membuka lebar, tapi tubuhnya tersungkur ke tanah. Mahluk itu mati.

Tubuhnya penuh dengan luka-luka menganga, dan pada lehernya terdapat satu luka menganga yang luar biasa besar, hingga leher monster tersebut hampir putus. Kelihatannya dia habis dibantai oleh sesuatu yang berjumlah banyak, dan amat ganas.

“Kita memasuki area perburuan Rampart. Lakukan prosedur biasa,” perintah komandan pasukan pengawal.

“Apa itu Rampart?” tanya Marino.

“Sangat ganas. Serigala-serigala bersayap. Penerbang rendah, maksimal dua sampai tiga meter dari tanah. Ukuran yang dewasa relatif sebesar harimau dewasa dan hidup berkelompok, dengan jumlah hingga dua puluh ekor per kelompoknya. Tiap kelompok ada satu pejantan dan sisanya betina. Yang pejantan paling berbahaya. Bisa sebesar gajah yang sudah dewasa, err… lebih kecil sedikit, aku pernah lihat,… maka kita harus waspada. Lawan jika ketemu. Jangan lari,” kata sang komandan pasukan pengawal.

“Mereka memang amat berbahaya. Aku pernah lihat mereka membantai habis sekawanan gaaspirn sekaligus waktu aku di hutan dulu. Syukurlah aku belum pernah harus melawan mereka. Malahan aku pernah mengobrol dengan salah satunya. Untungnya mereka cuma memakan karnivora saja, dan hanya perlu makan dua bulan sekali, jika mereka sudah kenyang,” kata Adin. Tapi mereka harus menghadapi kenyataan sebaliknya. Di depan mereka kini berjajar sekitar sepuluh ekor Rampart betina sebesar harimau dan satu pejantan yang sebesar badak dewasa.

“Siaga! Formasi pagar!” seru komandan pasukan peng-awal dan pasukannya segera membentuk pagar menutupi Marino dan anggota tim lainnya.

“Tetap di belakang kami!” kata si komandan saat para rampart menyerang.

“Kau mau meremehkan kami, ya?” kata Daffy, seraya ikut menerjang. Marino, Adin, dan yang lainnya ikut menerjang, dan dalam waktu singkat, hanya sang pejantan yang masih bertahan hidup. Pejantan itu melarikan diri.

“Katamu dia cuma makan karnivora saja,.” protes Daffy pada Adin.

“Manusia juga karnivora, lho. Kita kan juga makan daging. Lagipula kalau sudah kepepet mau apa lagi?” jawab Adin. Perjalanan dilanjutkan, dan Marino lebih hati-hati dari sebelumnya. Melawan rampant tidak mudah. Untung saja tadi mereka telah tampak sebelum mendekat.

“Phaustine. Coba dong magic unikmu itu,” kata Daffy, yang baru saja ingat bahwa Phaustine ada di situ.

“Ke mana? Ke depan saja, ya?” tanyanya, lalu ia mengangkat kedua belah tangannya ke arah depan. Semuanya berhenti untuk menyaksikan, termasuk Amber. Kedua tangan Phaustine kini menyala biru tua, membuat gradasi warna yang indah dengan cahaya tubuh Amber. “Ini yang paling kuat yang aku bisa.” dan dari segala penjuru muncul bola-bola cahaya yang kecil-kecil mirip dan sebesar kunang-kunang, dan tak terhitung jumlahnya. Phaustine mendekapkan kedua tangannya itu ke dadanya, dan semua bola cahaya itu bergerak dan melesat ke arah kedua telapak tangannya yang bercahaya, dan cahaya itu makin terang, sedikit demi sedikit, saat bola-bola cahaya menyatu dengannya.

Setelah cahaya di tangannya berwarna putih menyilaukan, dan ada beberapa bola cahaya biru tua kecil mengitarinya dengan kecepatan tinggi (seperti model atom), ia mengarahkan kedua tangannya ke depan lagi, dan pancaran sinar menyilaukan yang amat besar dan dasyat menderu dan menerjang ke depan meratakan apa saja yang berada di depannya.

“Kau bisa merusak hutan ini!” teriak Cremplin, dan Phaustine segera membuat magic-nya itu berbelok tajam menuju langit. Sinar matahari kini bisa masuk, dan jalan mereka sedikit bertambah terang. “Luar biasa.” kata Hermady. Jelas bagi sang raja Crin’s Blade, yaitu Marino, bahwa Phaustine adalah sebuah senjata ampuh.

“Kapan kita tiba?” Olivia mulai tidak sabar setelah perjalanan sekitar enam hari, dan Adin mengatakan bahwa mereka akan tiba beberapa jam lagi saja, sebab mereka sudah memasuki area yang mulai terang.

Mereka tiba di sebuah area terbuka yang berupa padang rumput, yang tingginya selutut. Area itu sangat luas. Mereka semua berdiri di tepi hutan, dan dari kejauhan tampak tepi hutan lagi.

“Lebih cepat dari perkiraanku. Hutan sana sudah masuk ke wilayah suku Fraternite,” kata Adin. Tetapi, mereka tidak boleh bersenang hati dulu. Bahaya datang.

Seekor naga yang besar mendarat di hadapan mereka. Ini lebih besar dari gaaspirn terbesar yang pernah dilihat oleh Marino, tapi masih jauh lebih kecil daripada yang meluluh-lantakkan Gallowmere dulu. Naga tersebut bersayap.

“Awas! Kelihatannya yang ini bisa menyemburkan api yang dasyat!” kata Cremplin, dan benar saja. Sebuah bola api meluncur dari mulut naga itu tepat ke arah Adin, tapi dengan mudah ditangkis. Merasa serangannya gagal, sang naga lalu menyemburkan sederet bola api serupa secara beruntun ke arah yang acak. Semuanya kocar-kacir menghindari semburan itu.

Phaustine menembakkan sinar perak ke arah mulut naga itu tepat saat ada bola api yang akan keluar, menyebabkan ledakan yang amat dasyat. Naga tersebut marah dan menyemburkan deretan bola api beruntun, kali ini lebih besar, dan difokuskan ke arah Phaustine. Segera saja gadis cilik itu melakukan magic yang sama untuk menahannya. Rentetan bola api dasyat terus menerus mengguyur pancaran sinar perak, dan menyebabkan rentetan ledakan dasyat. Magic Phaustine mulai terdesak, tapi mata Phaustine menajam, dan dari permukaan tanah dan langit muncul bola-bola cahaya serupa yang dikeluar-kannya di hutan, hanya saja yang ini jauh lebih cepat menghampiri Phaustine, sehingga kelihatannya yang ini lebih lemah daripada yang tadi.

Sihir Phaustine menguat dan pancaran peraknya  bagai dikawal berkas-berkas cahaya biru. Keduanya seimbang. Para prajurit dan yang lainnya berusaha menyerang dari arah samping, tapi sang naga, tanpa mengubah konsentrasinya pada Phaustine, melayang sekitar enam meter dari tanah, di luar jangkauan serang. Para prajurit melemparkan tombak mereka, tapi semua itu ditangkis oleh kepakan-kepakan sayap sang naga yang amat besar. Malapetaka datang lagi.

Seekor naga lagi datang dari kejauhan, meluncur cepat dan menyemburkan ribuan bola api kecil-kecil ke arah Phaustine yang jelas tidak bisa menghindar karena tidak tahu. Segera saja Marino melompat dan menangkap Phaustine. Semburan bola api dari naga kedua mengenai tanah saja. Tapi demi menyambar si penyihir cilik, Marino harus merelakan punggungnya dihantam salah satu bola api dari naga pertama yang jauh lebih besar dari bola api naga kedua.

Terjadi ledakan dasyat, dan Marino terhempas ke tanah berumput tinggi dengan keras meski sudah terbantali oleh rumput tinggi sekalipun. Phaustine tidak terluka, tapi pandangan Marino mengabur. Sesaat sebelum pingsan, Marino masih bisa melihat Amber menerjang naga pertama hingga jatuh ke tanah, dan sesosok pria raksasa melompat tinggi dan menyerang naga kedua dengan pedang yang sangat besar hingga terbelah dua. Ia menoleh ke arah lain, dan melihat ratusan prajurit berjubah merah dan biru datang, lalu barulah ia pingsan.

                Saat tersadar, Marino berada di dalam sebuah ruangan, yang tampaknya berada di dalam sebuah tenda. Kepala dan badannya dibalut kain putih. Ia berada di atas sebuah ranjang kain. Ada sebuah meja penuh buah-buahan dan segelas air di sisinya. Tapi tidak ada seorang pun di situ. Marino bangun dan melangkah keluar dari ruangan itu, dan mendapati Adin, Daffy, Cremplin, Olivia, dan Phaustine sedang duduk di sebuah meja yang amat panjang. Rupanya ini sebuah tenda yang amat besar. Duduk di meja itu, ada puluhan orang yang belum dikenal oleh Marino, dan satu orang duduk di kepala meja. Orang ini tidak asing bagi Marino, karena pernah dilihatnya di dalam mimpinya. Bimo.

Sosok pria raksasa, kira-kira sebesar Rafdarov V juga, duduk di sana.

“Silahkan duduk,” kata Bimo sambil menunjuk ke arah sebuah kursi yang masih kosong.

“Kami telah lakukan inspeksi. Tanpa kau, maaf, karena kau sudah tidak sadar selama tiga hari,” kata Hermady.

“Yang benar saja?” Marino amat terkejut, dan perutnya berguncang. Ia merasa amat lapar.

“Kami sudah perkirakan kapan kau akan bangun. Tepat pada waktu makan malam. Ayo makan,” kata seorang pria muda di sebelah Bimo.

“Fraternite, telah kami nyatakan sah sebagai sebuah negara. Tinggal diproklamasikan saja,” kata Daffy, sambil makan kentang rebus dan gulai ayam.

“Sayangnya…,” tapi dia langsung dipotong oleh Bimo. “Memang, saya tidak setuju. Kami ini hanya sebuah suku saja, dan saya tidak mau dianggap negara yang berdiri sendiri. Oleh sebab itu, Tuan Cremplin dari Apocalypse akan membahas dengan ratunya, mengenai suku Fraternite sebagai negara persemakmuran.”

“Tapi aku bersedia ikut dalam The Chain sebagai negara persemakmuran, bukan negara sendiri, sehingga tidak punya anggota di fraksi ketua, politik, maupun peradilan. Hanya di fraksi militer saja. Empat orang, ya? Itu belum kupikirkan,

“Bimo berhenti makan, dan memandang langit-langit. “Baiklah, jadi aku putuskan… Fazhralimanda, Artha, Reynald, dan Pasha. Aku? Aku akan ikut saja di salah satu pasukan jika ada yang perang.”

“Bagaimana jika kau menunjukkan penemuan suku ini padanya?” minta Adin pada Bimo. “Baiklah, setelah kita makan. Reynald, kaulah yang akan mengurus peragaan itu. Dan… Pasha, kau urus proyek pembukaan jalan Apocalypse-Fraternite, seperti yang kita bahas kemarin,” kata Bimo.

Setelah makan, semuanya bergerak menuju arah selatan. Sambil jalan, Marino mengamati kehidupan suku tersebut. Berhubung sudah malam, tidak banyak yang bisa dilihat. Rumah para penduduk hanya berupa tenda-tenda sederhana saja.

Mereka tiba di sebuah area di mana ada bagian laut yang menjorok ke darat. Di sana Marino melihat ada ratusan kapal perang. Mereka menaiki salah satunya. Kapal mulai bergerak ke arah laut.

“Kita akan menguji-coba Ariel Cannon. Ada sebuah area di selatan pulau ini, yang merupakan hamparan luas berisi ribuan pulau kecil yang memiliki tebing-tebing yang amat tinggi,” kata Reynald. Tidak lama kemudian, meski di tengah kegelapan malam, mereka melihat gunung-gunung kecil namun tinggi dari kejauhan. Reynald menunjukkan sebuah meriam. Bentuknya mirip meriam magic api pada kapal-kapal Crin’s Blade, hanya saja yang ini lebih besar, tapi larasnya ada dua dan lebih kecil daripada meriam api Crin’s Blade. “Tiap kapal ada empat meriam semacam ini. Coba perhatikan,” kata Reynald saat mereka mulai mendekati sebuah gunung. Marino baru tersadar kalau di kiri dan kanan mereka terdapat gunung-gunung kecil yang sudah hancur.

Saat sudah kira-kira sepuluh meter dari sebuah gunung, Reynald mendekati salah satu Ariel Cannon. Dia menggenggam dua buah gagang yang berada di kiri dan kanan, lalu meremas sebuah gagang kecil di dekat tiap gagang. Dari ujung kedua laras, menyemburlah ribuan bola cahaya putih yang luar biasa kecil, kelihatannya, tapi bola-bola itu melesat sangat cepat hingga nyaris tidak terlihat. Terlihat pun karena saat itu sedang malam hari dan bola-bola cahaya itu bersinar. Kalau saja siang, pasti tidak terlihat.

Gunung yang ditembaki hancur sedikit demi sedikit, dan setelah sekitar dua atau tiga menit, gunung itu sudah hancur berantakan. “Ini satu kali tembak,” kata Reynald, lalu menembakkan satu tembakan ke langit. Sebuah titik putih bercahaya melesat dengan super-cepat ke arah langit. “Cukup untuk membunuh satu orang, tapi kalau sudah menyembur seperti tadi, akan jauh lebih kuat. Tiap detiknya, Ariel Cannon bisa menyemburkan lima tembakan seperti tadi. Ariel Cannon bertenaga matahari, dan bisa menyimpan tenaga untuk digunakan pada malam hari. Jika tenaganya diisi penuh pada siang hari, tiap Ariel Cannon bisa menembak terus menerus selama tiga puluh menit. Kami punya sekitar enam ratus kapal besar yang memiki empat Ariel Cannon pada tiap kapalnya, dan punya dua ribu lebih kapal kecil yang memiliki satu atau dua Ariel Cannon. Armada laut kami pasti akan sangat membantu jika Devilmare melakukan serangan laut, atau jika mau melakukan pendaratan. Kapal transportasi kami ada beberapa jenis, dari yang bermuatan dua puluh lima hingga 350 orang perkapalnya, dan kami sembunyikan di Goa Besar, yang letaknya di ujung barat pelabuhan ini. Kami punya puluhan buah. Ada lebih banyak lagi kapal macam begitu tapi lebih kecil. Banyak, karena selama berabad-abad kami terus membuat. Tapi mungkin perawatannya agak kurang, sehingga pertahanan terhadap serangannya agak kurang baik,” Reynald menjelaskan. Lalu mereka kembali ke darat dan istirahat sebelum memulai hari lagi.

“Untuk konfirmasi, saya tanya lagi pada kalian,” kata Marino pada rapat keesokan paginya. “Apakah kalian bersedia memberikan support pada invasi kami ke tanah Zenton, yaitu transport laut?” Bimo mengiyakan. “Tentu saja. Kami akan membantu kalian. Menciptakan perdamaian adalah salah satu misi suku ini, tapi salahku-lah suku ini tidak tahu apa-apa selama berabad-abad. Katakan saja. Kapan kau butuh, kami sediakan.”

Marino menoleh pada teman-temannya, lalu berkata, “Kalau begitu, tolong labuhkan armada besar, yah, secukupnya, ke pelabuhan militer Eleador. Akan kami berikan arahnya pada kalian. Jika ingin memberikan dukungan berupa pasukan, kirimkan saja ke markas besar The Chain, akomodasi dan makan akan kami sediakan. Kami akan melakukan invasi sesegera mungkin. Harap keputusannya sebelum bulan depan.”

“Kami tidak bisa lama-lama di sini karena harus melakukan rapat-rapat untuk invasi,” kata Hermady.

“Baiklah, selamat tinggal. Untuk transportasi kalian… kalian kurang dari tiga puluh, bukan? Naik naga peliharaan kami saja. Prajurit, tolong antarkan mereka,” perintah Bimo. Seorang mengantar Marino, tim, dan pasukan pengawalnya menuju ke sebuah area di selatan.

“Marino. Kita belum pernah ngomong apa-apa tentang invasi, dan kau sudah minta persiapan. Bagaimana pula, sih, kau ini?” tanya Olivia sambil jalan.

“Tidak perlu. Inilah tujuan utama dibentuknya The Chain. Kita dibuat untuk memulai persiapan.” kata Marino tanpa menoleh. Olivia melirik sinis padanya.

Mereka sudah melewati area ini waktu melihat kapal perang, tapi mereka membelok di tempat yang semalam mereka lewati dengan lurus saja. Mereka tiba di sebuah peternakan yang berisi puluhan naga kecil. Ada satu ekor naga yang luar biasa besar. Pasti inilah yang bisa membawa tiga puluh orang. Panjangnya saja sampai lima puluh meter, mungkin.

“Ini naga paling tua yang kami miliki. Yang lain ini adalah hasil telurnya. Dia akan mati sekitar enam bulan lagi, tapi dia bisa megangkut kalian ke tujuan. Ayo, naiklah ke atas punggungnya. Biar saya yang akan mengemudikannya. Sebut saja arahnya,” kata prajurit tadi, dan semua mengikutinya.

Tak lama kemudian, semuanya telah berada di punggung naga raksasa yang terbang cepat. Hutan yang kemarin terasa amat luas kini singkat saja. Mereka melewati perkotaan, dan dalam waktu cuma hampir dua hari, mereka telah tiba di markas besar The Chain.

“Sampai jumpa. Terima kasih banyak,” ujar Marino pada sang prajurit yang mengantarnya tadi.

“Mari kita ke dalam, dan bahas masalah invasi. Kita hampir belum sama sekali membahas mengenai hal tersebut. Tentu kita akan istirahat, sambil suruh orang memanggil anggota lainnya,” kata Marino saat naga tadi telah kembali pergi menuju ke Fraternite.

Seminggu kemudian, rapat besar digelar. Ratu Darpy sebagai ketua umum telah membuka rapat tersebut. Marino, yang paling antusias dengan misi ini, langsung melakukan pembicaraan.

“Secara umum, yang akan kita lakukan adalah invasi. Kita akan menyerang dan mendaratkan pasukan di daratan pulau Zenton. Setelah itu, perlahan-lahan kita bantai pasukan Devilmare dan kuasai kota perkota, kemudian negara-negara, hingga akhirnya seluruh Zenton. Namun kita butuh strategi jitu. Saya punya usul yaitu dengan cara berlabuh di daerah yang penjagaannya lemah saja. Ada tanggapan lain?” dan seketika itu Tiza dari Apocalypse mengangkat tangannya.

“Ide bagus. Hanya saja untuk mendukungnya, kita daratkan juga di tempat lain sebagai pengalih perhatian,” katanya. Phalus juga berdiri. “Ya. Kita daratkan seperempat kekuatan gelombang awal di suatu daerah, dan saat perhatian Devilmare sedang teralih, kita daratkan sisanya di daerah lain.”

“Tapi, kita akan butuh tenaga yang sangat banyak. Jika begitu, Dark Land akan kosong, dan mereka bisa menginvasi balik!” teriak Bathack.

“Saya punya ide,” kata Adin. “Angkatan laut dari seluruh negara di sini akan melakukan patroli laut besar-besaran. Untuk pendaratan pasukan, yang bertanggung jawab adalah angkatan laut Fraternite.”

“Bagus juga. Tapi bagaimana kalau itu juga tidak cukup untuk melawan Devilmare?” tanya Eko.

“Begitu kita menguasai suatu kota atau negara, kita buka rekrutan. Pasti banyak sekali yang antusias ingin melakukan sesuatu untuk menghabisi Devilmare, tapi tidak mampu karena begitu kejinya mereka. Dan begitu ada yang membuka peluang untuk mereka berjuang, pasti akan ada banyak yang bersemangat,” usul Rido.

“Setujukah kalian?” tanya Darpy, yang disambut dengan sangat riuh.

“Sekarang kita bahas lokasi-lokasi pendaratan. Kalau usul saya, ada yang didaratkan di Grandminister, sebagai pengalih perhatian, lalu pasukan utamanya di Xenfod. Saya yakin penjagaan di sana akan kurang ketat,” kata Marino.

“Kau akan menempatkan pasukan pengalih perhatian, yang jumlahnya lebih sedikit, justru ke daerah yang dijaga ketat oleh Devilmare?” protes Chezzy dari Eleador.

“Dan ke daerah di mana banyak yang akan bersemangat jika dibuka perekrutan untuk melawan Devilmare. Jumlah mereka akan segera bertambah. Setuju?” tanya Marino, dan semuanya setuju. “Untuk pemilihan area pendaratan, kita bisa rundingkan besok. Sekarang, untuk pasukannya sendiri. Berapa yang kita miliki?” tanya Marino.

“Ditambah Fraternite, kita punya enam belas anggota fraksi militer yang masing-masingnya mewakili satu pasukan. Untuk fraksi-fraksi lainnya, ada tujuh anggota fraksi non-militer tetapi punya pasukan. Jumlah total sekitar 250.000 personil,” lapor Rido.

“Ada yang mau sumbang pasukan?” tanya Marino.

“Aku akan menyumbangkan 27.000 personil dari angkatan daratku,” lalu Meissa angkat bicara, “Aku bisa sumbangkan 30.000 orang. Mungkin bisa bertambah, karena aku bisa melakukan rekrut dari pos-pos pelatihan militer. Paling tidak ada 42.000 personil nantinya.”

“Dari Apocalypse, aku akan menyumbangkan pasukan sejumlah 21.000 personil. Maaf paling sedikit, tapi aku mementingkan keamanan dalam negeri juga,” kata Ratu Darpy.

“Tidak apa. Kami menghargainya, kok. Dengan demikian, kita memiliki… 340.000 personil secara total. Semoga ini cukup. Akan kuikutsertakan dua ribu penyihir bersama tiga ribu marinir,” kata Marino. “Akan kusumbangkan lima ribu pasukan sihir khusus milikku. Jadinya, kita punya 350.000 personil. Agar mudah, kita bagi berdasarkan komando.” Kata Darpy.

“Ada tiga puluh tiga komando, dan akan kita bagi jadi tiga belas-dua puluh. Setuju?” tanya Marino, dan semuanya langsung setuju. “Kita undi saja. bagi negara yang menyumbangkan pasukannya, daftarkan nama pasukannya padaku.”

Pendaftaran pasukan berlangsung selama lima belas menit, lalu undian untuk pasukan pengalih perhatian ditarik. Hasilnya adalah sebagai berikut: Sumbangan Crin’s Blade 1, Rido Matius, Marissa, Bathack, Hermady, Rozman, Arg, sumbangan Eleador 1, sumbangan Eleador 2, sumbangan Apocalypse 1, Reza, Pasha, dan Fazhralimanda. Yang akan menjadi komandan umum di sini adalah Ratu Darpy, dan Bimo akan ikut. Jumlah mereka kira-kira 150.000 personil.

Sisanya jelas menjadi pasukan inti dengan jumlah sekitar 200.000 personil. Marino akan bertanggung jawab dan Meissa akan istirahat sampai kelahiran anaknya. Kandungannya kini sudah berusia sekitar enam bulan.

Rapat berlangsung hingga malam dan sangat terbantu dengan inisiatif Eko untuk membuat peta Grandminister dan Xenfod, yang akan menjadi tempat pendaratan. Peta itu dibuat dalam waktu yang singkat mengingat ada beberapa prajurit asal Zenton yang mengetahui betul seperti apa itu negeri Xenfod dan Grandminister. Sidang dipecah dua yaitu sidang untuk pasukan inti, dan pasukan pengalih perhatian. Meski ada yang menjadi pengalih perhatian, namun telah disepakati, bahwa julukan ‘pasukan pengalih perhatian’, hanya sementara saja. Setelah berhasil, keduanya akan berusaha menguasai Zenton dengan terus mengembangkan jumlah pasukannya. Ini akan membuat konsentrasi Devilmare terbelah menjadi dua.

Marino memimpin rapat untuk pasukan inti. Isinya adalah pasukan Black, Adin, Daffy, Jasmine(sumbangan Crin’s Blade 2), Yogin(sumbangan Crin’s Blade 3), sumbangan Apocalypse 2 dan 3, Artha, Reynald, Pandecca, Cremplin, Aldyan, Phalus, Lothar, Isabela, Lovez, Ali, Tiza, Bona, dan Dania. Ksatria tanpa pasukan yang melebur juga ada, seperti misalnya Eko, Daisy, dan Phaustine, yang baru saja bergabung.

Dalam rapat, Adin baru dapat ide kalau ia dapat menambah jumlah pasukannya dengan pasukan monster. Jika saja dia bisa melakukan komunikasi dengan monster-monster Dark Forest yang ganas, akan menjadi bantuan yang sangat besar.

Mereka memutuskan akan melakukan pendaratan di sebuah kota di Xenfod, yang keadaannya amat menguntungkan. Secara fisik, kota itu sebetulnya kota besar, tapi oleh Xenfod tidak dikelola baik. Kota itu dikelilingi hutan belantara dan hanya dua jalan normal menuju kota tersebut. Yang pertama, adalah jalan dagang dari depan kota tersebut. Jalan belakangnya adalah pantai. Ada sebuah jalan yang cukup besar dari arah belakang kota yang akan berujung ke pantai. Inilah yang menguntungkan. Tinggal mendarat, dan masuki kota.

Bagi pasukan yang akan mendarat di Grandminister, kelihatannya agak mengalami kesulitan karena tampaknya tidak banyak lokasi yang menguntungkan. Tapi akhirnya mereka telah menemukan lokasi juga.

Hari kedua setelah rapat selesai, diadakan pemeriksaan kondisi transport, dan juga dibagi dua berdasarkan area pendaratan. Ada juga yang membahas soal patroli besar-besaran. Tentu yang membahas adalah para komandan-komandan angkatan laut. Pembahasan mereka tidak berlangsung lama karena mereka cukup yakin akan kemampuan mereka.

Untuk transport yang akan mendaratkan pasukan di Xenfod, sayangnya tidak bisa sekali angkut. Satu konvoi kapal transport hanya bisa memuat 100.000 personil sekaligus. Ini tak apa-apa, karena sisa transport ditujukan untuk pasukan pengalih perhatian. Mereka lebih diperlukan untuk tiba sekaligus karena pertahanan area tersebut jelas sangat kuat.

Yang jelas, 100.000 personil akan diturunkan dengan dua cara yang berbeda. 50.000 akan didaratkan dengan kapal tabrak langsung yang didesain oleh suku Fraternite agar bisa langsung ke pantai, menabrak, membuka pintu di depan, lalu menurunkan orang. Untuk kapal seperti ini, ada beberapa jenis. Ada yang hanya memuat dua puluh, ada yang memuat seratus, hingga tiga ratus lima puluh. Akan ada dua puluh kapal perang dari Fraternite yang akan mengawal konvoi raksasa ini. Diharapkan juga ada pasukan monster air yang akan diminta oleh Adin.

Pemeriksaan kondisi kapal-kapal berlangsung selama seminggu penuh, dan selama itu, patroli laut Crin’s Blade berhasil memergoki sebuah konvoi besar kapal transport pasukan Devilmare. Bodohnya, konvoi itu hanya dikawal oleh sedikit kapal perang.

Setelah pemeriksaan selesai, diadakan pemeriksaan pasukan. Baik jumlah, maupun kesehatan. Secara total, jumlah pasukan sebesar sekitar 350.000.

Menurut jadwal, perjalanan laut akan ditempuh selama sebulan. Pasukan pengalih perhatian akan berangkat lebih dulu, dan pasukan inti gelombang pertama berangkat sehari setelah itu. Begitu pasukan pengalih perhatian telah mendarat, mereka harus segera kembali untuk menjemput pasukan inti gelombang kedua dan mendaratkannya di Xenfod. Perkiraan waktu selesainya semua pendaratan adalah delapan hari.

Malam terakhir sebelum pasukan pengalih perhatian akan pergi, diadakan pesta besar-besaran di semua istana. Mereka merayakan hari dimulainya pembebasan tanah Zenton, yaitu besok.

Hari pemberangkatan telah tiba dan konvoi raksasa yang isinya pasukan pengalih telah siap berangkat. Ratu Darpy, yang memimpin pasukan itu bersalaman dengan Marino, demikian juga suami Darpy, yang sebetulnya ingin menemani istrinya, tapi dilarang karena menurut Darpy, Apocalypse membutuhkan seorang pemimpin selama ia pergi. Meissa juga hadir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada suaminya, Bathack. Sebetulnya, pasukan laut dari seluruh negara di Dark Land, yang akan melakukan patroli besar-besaran juga diberangkatkan hari ini, tapi tidak diadakan upacara khusus.

Pemberangkatan konvoi tersebut diiringi dengan sorakan-sorakan semangat baik dari pasukan inti yang hadir, maupun dari rakyat setempat, berhubung rakyat diperbolehkan untuk menonton. Semua, dengan haru, menyaksikan berangkatnya kapal-kapal tersebut, yang bergerak amat cepat.

Setelah acara selesai, Marino memerintahkan seluruh prajurit yang akan menjadi pasukan inti untuk beristirahat. Sebab misi ini akan berlangsung lama. Kalaupun berhasil, akan tetap berlangsung sangat lama. Apel pemberangkatan akan dilakukan besok pagi.

Malam telah tiba, tapi Marino tidak bisa tidur. Lama sekali dia hanya memandangi langit-langit kamarnya di istana Eleador. Akhirnya dia menyerah, lalu keluar dari kamarnya. Ia akan menuju kamar Daisy. Di sana sudah ada Daffy yang tidur di kasur Daisy. Daisy sendiri sedang duduk di kasurnya dengan memakai gaun tidur biru transparan bermotif ringan yang membuatnya kelihatan sangat cantik, apalagi dipadukan dengan baju dalamnya yang berwarna biru tua tanpa lengan. Dia sedang makan. Sendirian, tapi ada satu piring lagi berisi makanan yang tidak ada pemiliknya, diletakkan begitu saja di sebuiah meja di sebelah tempat tidur.

Marino duduk di sebelah Daisy. “Sudah kutahu kau akan datang. Itu untukmu. Aku tahu tadi kau tidak makan.” katanya, dan Marino makan. Lama sekali mereka mengobrol, hingga Marino mengatakan sesuatu yang membuat suasana menjadi hening.

“Daisy?” tanyanya. “Apa?” Daisy mengangkat sebelah alisnya.

“Maukah… menikah denganku? Kau akan jadi ratu di kerajaan ini,” akhirnya Marino mengatakannya juga.

Suasana menjadi hening untuk sejenak. Mereka saling tatap selama beberapa saat, lalu Daisy memeluk Marino, yang membelai kepalanya, “Tunggulah. Tunggu sampai kita memenggal sang iblis itu. Kita akan menikah saat Rafdarov V sudah mati,” kata Daisy. “Sudah malam. Mari kita tidur.”

Ketiganya bangun tepat waktu, dan bersamaan pada keesokan paginya. Mereka cepat-cepat berganti pakaian, dan sarapan sambil jalan. Setelah rapat singkat dengan para komandan, mereka segera pergi ke pelabuhan dengan pasukannya.

Setelah secara simbolis menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan Crin’s Blade kepada Ralph Gusrizant, yaitu salah seorang anggota parlemen, Marino melakukan apel pemberangkatan. Detik-detik sebelum apel selesai, barulah Aisha dan Feizal Zuchry datang untuk ikut. Rupanya mereka terlambat.

Diiringi dengan sorakan meriah dari rakyat yang menonton, akhirnya konvoi pertama pasukan inti berangkat juga. Marino ikut di kapal transport yang melaju paling depan, masih di belakang kapal tempur, sih, tapi paling depan dari kapal transport yang lain.

Sekali lagi, ia mengarungi laut ke arah Zenton, tapi kini dia pergi ke Zenton untuk menghabisi iblis dari muka bumi ini. Devilmare.

 

 

[End of Chapter XIII]

[Coming up next, Chapter XIV: Road to Victory]