Selayang Pandang Surah Al Faatihah

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh,

 

inshaaAllah dalam tulisan kali ini saya akan mencoba menjelaskan selayang pandang tentang Surah Al Faatihah. Mungkin semacam tafsir, yang saya sarikan dari kitab tafsir terutama Tafsir ibn Kathir dan juga Ustadz yang saya percaya ilmunya (misalnya Ustadz Nouman Ali Khan, Imam Suhaib Webb, Yahya Barry, etc).

Ilmu saya sendiri masih sangat dangkal, hafalan pun masih saaaangat sedikit. Tapi Surah Al Faatihah adalah Surah yang kita baca setidak-tidaknya 17x sehari (jumlah rakaat shalat fardhu dalam sehari), belum lagi jika kita dianugerahi kesempatan termasuk di antara mereka yang mencoba menambah ‘bonus’ berupa shalat sunnah. Saya tentu jadi ingin tahu, sebetulnya apa sih maknya surah yang saya baca terus menerus ini?

Sungguh, setelah saya mulai membaca-baca dan bertanya-tanya kiri kanan, Subhana Allah! Betapa bodohnya saya selama ini Cuma hafal bahasa Arabnya dan tahu kurang lebih terjemahannya. Makna yang begitu mendalam terdapat pada surat ini! Tiap kali saya membaca-baca kitab tafsir dan berbagai artikel dan kuliah online tentang Surah ini, rasanya membaca Surah Al Faatihah seperti membaca surah yang sama sekali baru. Padahal baru sedikit sekali yang saya baca dan pahami.

Karena itulah, inshaaAllah saya ingin berbagi sedikit ilmu yang saya dapatkan tentang Surah Al Faatihah secara umum saja tanpa mengkaji ayat per ayat.

 

Allah s.w.t. merespon bacaan kita

Dalam berbagai hadist (dalam Jami at-Tirmidzi, Sahih Bukhary, dll), salah satu julukan kepada Surah Al Faatihah adalah Umm Al-Kitab, atau Ibu dari kitab suci Al-Qur’an. Ada beraneka ragam alasan kenapa disebut demikian. Berkata Ibn Kathir dalam tafsirnya bahwa Imam Bukhary mengatakan bahwa julukan Umm Al Kitab datang karena Al Quran dan Shalat dimulai dengan Surah ini. Ibn Kathir juga mengatakan bahwa julukan tersebut datang karena Al-Qur’an merangkum makna dari keseluruhan isi Al-Quran.

Kita akan mencoba menyoroti makna kedua, untuk melihat bagaimana cara Surah Al Faatihah merangkum seluruh isi Al-Qur’an.

Rasulullah s.a.w. dalam suatu hadist yang diriwayatkan dalam kitab Sahih  Bukhary berkata tentang Surah Al Faatihah, antara lain bahwa Surah Al Faatihah adalah “tujuh ayat yang dibacakan berulang”. Lalu dalam suatu hadist qudsi yang diriwayatkan di kitab Sahih Muslim, Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Allah s.w.t. berkata pada intinya bahwa Surah Al Faatihah dibagi menjadi dua, separuh untuk-Nya dan separuh lagi untuk hamba-Nya. Terutama hadist ke dua inilah yang akan kita bahas.

Hadist qudsi[1] tadi merunut Surah Al Faatihah mulai dari ayat kedua,[2] dan menjelaskan bahwa ternyata tiap bagian dari Surah tersebut kita bacakan maka Allah s.w.t. akan merespon! Begini redaksi hadist qudsi tersebut (diterjemahkan bebas dari versi bahasa Inggris tafsir Ibn Kathir):

“Allah Ta’ala berkata: ‘aku telah membagi doa (Al-Faatihah) dalam dua bagian antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya’.

Jika ia berkata ‘segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’ (Alhamdulillaahi Rabbi al-‘aalameen), Allah berkata ‘hamba-Ku telah memuja-Ku’.

Jika ia berkata ‘Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ (Ar-Rahmaani ar-Raheem),[3] Allah berkata ‘hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’.

Jika ia berkata ‘Penguasa Hari Pembalasan’ (Maaliki yawmid deen), Allah berkata ‘hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’ atau ‘hamba-Ku telah menyerahkan segala urusan pada-Ku.’

Jika ia berkata ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon’ (iyyaa kana’buduwa iyyaa kanasta’een), Allah berkata ‘ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya’.

Saat ia berkata ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat’ (ihdinas syiraathal mustaqeem. Syiraathal ladzeena an’amta ‘alayhim, ghairil maghdhuubi ‘alayhim waladh dhaaleen)., Allah berkata ‘ini adalah untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya’.”

Sebelum kita melanjutkan, cobalah resapi hadist qudsi di atas. Setelah meresapinya, cobalah membaca Surah Al Faatihah, dan setiap bagian yang disebut oleh hadist qudsi di atas, bayangkanlah Allah s.w.t. menjawab seperti yang sudah disebutkan di atas.

Jika anda bisa dengan khusyuk membaca Surah ini, dan memahami hadist qudsi tadi, Allaahu Akbar, tentu rasanya sangat berbeda, bukan?

 

Keseimbangan Hak

Menurut pengamatan saya pribadi pada susunan ayat Surah Al Faatihah, tampak ada tiga pujian pada Allah (ayat 2, 3, dan 4), dijembatani oleh ayat 5, lalu tiga permohonan pada Allah (satu di ayat 6, dan dua di ayat 7[4]). Hadist qudsi di atas pun menegaskan bahwa Surah Al-Faatihah memang dibagi dua, sebagian untuk Allah s.w.t. dan sebagian untuk hamba-Nya. Ingat pula bahwa Surah Al Faatihah ini disebut Umm Al-Qur’an di antaranya adalah karena merangkum keseluruhan makna Al-Qur’an.

Berkata Ustadz Yahya Barry bahwa salah satu inti dari Islam adalah keadilan, yang keseimbangan hak. Jika kita memberikan hak Allah (yaitu disembah sebagai satu-satunya Tuhan), maka Allah s.w.t. akan memberikan hak kita (masuk surga dan dijauhkan dari neraka).

Saya tidak akan membahas dengan mendalam masing-masing ayat, tapi cobalah renungkan. Jika segala puji adalah milik Allah, apa sajakah konsekuensinya? Jika Allah adalah Rabb (yang mengendalikan, yang memelihara, etc) semesta alam, ar-Rahmaani ar-Raheem, penguasa hari pembalasan, apa konsekuensinya? Bagaimanakah jalan hidup kita jika kita betul-betul memahami pujian-pujian tersebut? Apakah Allah betul-betul satu-satunya yang kita sembah dan kita mintai pertolongan?

Lalu kita coba lihat bagian terakhir. Intinya kita meminta ditunjukkan jalan mana yang membawa ke nikmat, dan dijauhkan dari jalan yang membawa kemurkaan. Tentu kita paham bahwa ini adalah pilihan antara surga dan neraka, dan tentu anda tahu mana yang anda inginkan.

Pertanyaannya adalah begini: apakah anda merasa bisa meminta hak anda, tanpa memberikan hak Allah?

 

Jawaban Sebuah Doa

Dalam Surah Al-Faatihah, yang diminta oleh hamba-Nya pada intinya adalah suatu petunjuk, untuk mendekatkan jalan menuju Surga dan menjauhkan neraka.

Coba kita merujuk pada Surah Al-Asr yang oleh Imam Shafi’i juga disebut sebagai surah yang merangkum seluruh isi Al-Qur’an. Salah satu makna yang didapat dari Surah tersebut adalah bahwa by default manusia itu merugi (maksudnya siap masuk neraka), barulah ada pengecualian. Makna berikutnya adalah menyebutkan siapakah yang dikecualikan dari kerugian.

Melihat kedua makna tersebut, salah satu hikmah umum Surah Al Asr adalah menyebutkan syarat agar tidak merugi: iman, amal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Demikian salah satu cara melihat jawaban dari doa dalam dua ayat terakhir Surah Al Faatihah.

Bisa juga kita merujuk pada kelanjutan dari Surah Al Faatihah, yaitu Surah Al Baqarah ayat 1-2. Bukan kebetulan bahwa doa dalam Surah Al Faatihah dimulai dengan meminta petunjuk, dan Surah Al Baqarah dimulai dengan diturunkannya sebuah petunjuk.[5] Petunjuk ini adalah kitab suci Al-Qur’an, yang menjadi jawaban doa dalam Surah Al-Faatihah tersebut.

Dengan demikian, cobalah kita tanyakan pada diri kita sendiri. Setidaknya 17x sehari kita meminta petunjuk saat membaca Surah Al Faatihah agar didekatkan pada nikmat (Surga) dan dijauhkan dari kemurkaan (neraka). Tapi apakah kita sudah melakukan hal-hal yang diresepkan oleh Surah Al-Asr? Apakah kita sudah betul-betul menjadi orang bertakwa yang menjadikan Kitab Suci Al-Qur-an sebagai petunjuk, sebagaimana disebutkan di Surah Al Baqarah ayat 2?

Penutup

Hikmah dan makna di balik Surah Al-Faatihah sebetulnya saaangat amat banyak sekali. Bisa jadi untuk setiap ayatnya membutuhkan berhari-hari pembahasan untuk mengurai maknanya dan mengambil hikmahnya (serius lho ini, bukan lebay), dan itupun tidak akan selesai membahas makna dan hikmahnya itu. Padahal itu baru Surah Al Faatihah.

Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah Luqman ayat 27)

Semoga tulisan ini bisa menjadi sedikit tambahan ilmu bagi kita, menambah makna saat kita membaca Surah Al-Faatihah terutama ketika kita shalat, dan secara umum menambah keimanan kita serta memperbaiki amalan kita. Jika ada kekurangan, saya mohon maaf karena itu adalah berasal dari saya dan mohon disampaikan supaya dapat dibetulkan. Jika ada kebenaran, sesungguhnya itu berasal dari Allah s.w.t.

[1] Hadist biasa adalah saat sahabat meriwayatkan apa yang dikatakan/dilakukan/dibiarkan oleh Rasulullah s.a.w., sedangkan Hadist Qudsi adalah hadist di mana sahabat meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Allah s.w.t. mengatakan sesuatu.. Tapi sesuatu ini bukan bagian dari Al-Qur’an

[2]  ayat pertama bismillaahi ar-Rahmaani ar-Raheem tidak dibahas, perannya dalam Surah Al Faatihah [dan surah-surah lain juga selain At-Tawbah] ada dalam perbedaan pendapat para ulama, saya tidak akan membahasnya di sini

[3] InshaaAllah di kesempatan lain kita akan bahas dua Asma Allah ini, dan kita akan sadari bahwa terjemahan ini (dan manapun) sangatlah buruk.

[4] Bisa juga ayat 7 ini dilihat sebagai tiga permohonan

[5] “Ihdina” (tunjukilah) pada Surah Al Faatihah ayat 6 dan “huda” (petunjuk) pada Surah Al Baqarah ayat 2 memiliki akar kata yang sama, mungkinkah ini salah satu tanda hubungan erat antara kedua Surah yang berurutan ini?