Sanggahan Terhadap Artikel “Ahok dan Surah Ali Imran 28”
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh,
InshaaAllah tulisan kali ini adalah bantahan terhadap sebuah artikel yang ditulis seseorang di kompasiana yang berjudul AHOK DAN SURAH AL IMRAN AYAT 28. Saya tidak akan mengutip keseluruhan artikelnya, melainkan hanya poin-poin dimana dia (akan saya sebut Penulis di Kompasiana, atau singkatnya PenKomp) menyebutkan argumennya.
Saya masih jahil, dan belum berilmu banyak. Tapi inshaaAllah akan coba saya habisi argumen-argumen PenKomp sesuai ilmu yang saya miliki.
DALIL PERTAMA
PenKomp mengutip Surah Al Imran ayat 28, lalu menjelaskan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) yang –menurut PenKomp – adalah seperti Surah Al Maidah ayat 51, yang pada pokoknya menyatakan bahwa konteks dari ayat tersebut adalah (a) pertemanan, bukannya kepemimpinan, dan (b) dengan orang Yahudi saja maka bukan termasuk orang kristen.
PenKomp pun menyatakan:
Kembali kita melihat bahwa kata “wali” dari ayat ini adalah berarti teman. Seperti kita melihat di asbabun nuzul, ada muslim yang melarang berkumpul dengan orang yahudi itu agar tidak terpengaruh agamanya. Tentu saja ini tidak berlaku bagi nasrani dimana di quran disebut bahwa nasrani adalah sahabat terdekat dari muslim.
Demikian bantahan dari saya:
Bantahan:
Orang lain mungkin akan menuduh PenKomp sengaja memotong-motong ayat, tetapi saya berhusnudzon terhadap PenKomp mungkin memang luput. Tetapi sangat menarik jika PenKomp mengaitkan dengan Surah Al Maidah ayat 51 dan mengatakan bahwa ayat tersebut hanyalah berlaku untuk orang Yahudi saja dan bukan pada orang Nasrani. Walapun memang asbabun nuzul ayat tersebut hanya merujuk pada orang Yahudi, tetapi teks pada Surah Al Maidah ayat 51 jelas menuliskan Nasrani di samping Yahudi yang tidak boleh dijadikan awliya.
DALIL KEDUA
Masih berpijak pada kutipan dari PenKomp pada dalil pertama, kali ini saya akan menyoroti kalimat terakhir terutama saat disebut bahwa nasrani adalah sahabat terdekat dari Muslim. Untuk membuktikan dalilnya, PenKomp mencantumkan Surah Al Maidah ayat 82, dengan teks sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”
Dengan demikian, PenKomp berdalil bahwa tidak mungkin Nasrani tidak boleh diambil sebagai teman padahal ayat lain mengatakan bahwa Nasrani adalah teman terbaik.
Bantahan:
Ada yang janggal di sini. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Surah Al Maidah ayat 51 jelas menyebut Nasrani tidak boleh diambil menjadi awliya. Apakah mungkin Al-Qur’an berkontradiksi di sini? Tentu tidak, sudah janji Allah bahwa tidak ada kontradiksi. Tentu saja harus dilihat konteksnya untuk melihat bagaimana maksud masing-masing ayat tersebut.
Bukan hanya menarik bagaimana PenKomp sangat lengkap melihat asbabun nuzul dari Surah Al Imran ayat 28 dan Surah Al Maidah ayat 51, tetapi mungkin lupa memberikan konteks dari Surah Al Maidah ayat 82 yang dikutipnya kemudian (tambah lagi PenKomp kemudian melompat ke Surah An-Nisa ayat 138-139 dan 144, yang entah konteksnya apa). Karena itu, sejauh ini yang kita miliki hanyalah dua ayat Al Qur’an yang (tampak) saling bertabrakan.
Berbeda dengan Surah Al Imran ayat 28 dan Al Maidah ayat 51 yang kelihatannya baru jelas (menurut versi PenKomp) dengan merujuk pada asbabun nuzul, konteks Surah Al Maidah 82 sebetulnya mudah dilihat dengan membaca saja ayatnya. Hanya saja, mungkin PenKomp terlalu girang melihat ayat tersebut dan memilih untuk tidak membaca ayat selanjutnya yang padahal masih membicarakan hal yang sama. Berikut ini saya kutipkan terjemahan Surah Al Maidah ayat 83-84:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad SAW). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?””
Silahkan dibaca sebagai kelanjutan Surah Al Maidah ayat 82. Tidak sulit menemukan bahwa maksud Nasrani yang menjadi teman baik kaum Muslim sebagaimana dimaksud di ayat tersebut adalah Nasrani yang, begitu mendengar pesan yang dibawa Rasulullah s.a.w., langsung menerimanya dan masuk Islam.
DALIL KETIGA
PenKomp kemudian membandingkan beraneka terjemahan bahasa Inggris dari Al Qur’an, dan menemukan bahwa istilah-istilah yang digunakan adalah: allies (Sahih International), friends (Muhsin Khan, Shakir, dan Pickthall), friends or helpers (Yusuf Ali), patrons (Dr. Ghali).
Dengan demikian, menurut PenKomp, teks pun tidak ada yang menyiratkan penerjemahan awliya sebagai pemimpin. PenKomp menambahkan hal ini untuk melengkapi dalil asbabun nuzulnya.
Bantahan:
Saya bukan ahli bahasa Arab, bahkan sangat minim sekali bahasa Arabnya. Tapi kata awliya (yaitu plural dari wali) sendiri tampaknya dapat secara tepat ditafsirkan dalam berbagai konteks. Misalnya Umar ibn Al-Khattab r.a. yang mengutip Surah Al Imran ayat 28 tersebut untuk memerintahkan Abu Musa Al-Ash’ari r.a. memecat seorang petugas keuangan beragama Nasrani. Jelas bisa dilihat penafsiran Umar ibn al-Khattab r.a. tidak sama dengan asbabun nuzul ayatnya.
Penting diingat bahwa para sahabat utama yang faqih semacam Umar ibn Al-Khattab tidak akan lanjut menghafal lewat sepuluh ayat sebelum sepuluh ayat sebelumnya belum dipahami betul. Dan beliau merasakan berguru langsung pada Rasulullah s.a.w., dan dekat dengan sahabat-sahabat faqih lainnya misalnya Ali ibn Abi Thalib r.a. dan terutama Abdullah ibn ‘Abbas r.a. yang dianggap paling paham isi Al-Qur’an.
Karena itu, dapat dilihat bahwa awliya (yang merupakan bentuk jamak dari wali) adalah sebuah istilah yang dapat digunakan untuk beraneka peran.
Sebuah contoh adalah wali dalam arti orang yang bertanggungjawab atas seorang anak yang belum baligh atau wanita yang belum menikah. Tidak sama dengan wali dalam asbabun nuzul Surah Al Imran ayat 28/ Al Maidah ayat 51 maupun pemahaman Umar ibn Al-Khattab r.a. Tetapi konsisten dengan hukum dalam ayat-ayat tersebut, seorang kafir tidak dapat bertindak sebagai wali dari seorang Muslim.
Perlu juga kita lihat bagaimana kata wali ini telah diserap dalam bahasa Indonesia. Tentu kita tidak lupa bagaimana saat kita sekolah dulu, seringkali ada undangan-undangan kepada orang tua atau wali kita, tetapi bukan itu yang ingin saya soroti. Istilah kita untuk seseorang yang memimpin sebuah kota adalah walikota. Saya kira anda bisa dengan mudah memahami kenapa wali digunakan pada walikota, yaitu bahwa dia diharapkan menjadi wali bagi kota tersebut.
Akan tetapi, bukan itu yang ingin saya soroti. Tidak ada kata wali dalam ‘bupati’. Tetapi tentu dapat dipahami bagaimana seorang bupati diharapkan menjadi wali bagi kabupaten sebagaimana walikota bagi kota. Demikian pula, sebagai konsekuensi logis, seorang gubernur bagi propinsi dan presiden bagi negaranya.
Apakah tepat menerjemahkan wali (jamak: awliya) sebagai ‘pemimpin’? Sekali lagi bahasa Arab saya terlalu minim untuk menjawab ini (walaupun setidaknya saya tahu bahwa kata ameer [juga?] berarti ‘pemimpin’). Akan tetapi, menyimpulkan dari apa yang saya jelaskan sebelumnya, kalaupun kurang tepat penerjemahan tersebut ya tidak ada masalah. Walau kata ‘pemimpin’ tidak bisa diterjemahkan sebagai wali, tapi seorang pemimpin jelas merupakan seorang wali bagi siapa yang dipimpinnya.
Saya mungkin tidak bisa bahasa Arab, tetapi saya fasih berbahasa Inggris. PenKomp mengutip bahwa salah satu penerjemaan kata awliya adalah ‘patrons’ (Dr Ghali). Mungkin PenKomp luput atau salah menerjemahkan ke bahasa Indonesia, tetapi jelas seorang pemimpin adalah patron (pelindung, pengelola, penjaga, dll) bagi apa yang ia pimpin.
KOMENTAR UMUM DAN PENUTUP
Saya berusaha yakin PenKomp tidak ada maksud memelintir ayat-ayat Al-Qur’an dan memilihnya sesuka hati. InshaaAllah, PenKomp sebetulnya memiliki niat yang baik. Kita hidup di negara dan dunia yang sangat plural, dan di zaman yang mengagung-agungkan toleransi, kesetaraan, dan hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, tentunya justru di era tersebut kita bebas mengkritik orang lain dengan sebaik-baiknya berpendapat. Karena itulah saya menulis ini.
HAM memberikan kebebasan dalam menganut kepercayaan. Tapi bagaimana jika ada yang percaya bahwa memperkosa anak di bawah umur itu adalah sebuah ibadah, apakah HAM membebaskan ini juga? Tentu tidak. Kebebasan yang dianut dalam konsep HAM tidak dapat ditafsirkan dengan asal-asalan. Harus sesuai dengan konsep HAM itu sendiri secara holistik.
Hal yang sama adalah dengan toleransi dalam Islam. Islam tentu mengajarkan toleransi. Tetapi toleransi tersebut tidak bisa sembarangan ditafsirkan, melainkan melalui metode-metode yang dapat diterima dalam kerangka pemikiran Islam sendiri. Mungkin, PenKomp menggunakan pemahaman dalam konsep HAM lalu diterapkan untuk menafsirkan hukum Islam?
Memangnya untuk apa kita harus menyocok-nyocokkan islam dengan HAM, seakan-akan HAM itu lebih tinggi daripada Islam?
Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku [479], sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Surah Al An’am ayat 57)
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Surah Al Maidah ayat 50)
PenKomp berkata:
“Seperti kita melihat di asbabun nuzul, ada muslim yang melarang berkumpul dengan orang yahudi itu agar tidak terpengaruh agamanya.”
Orang-orang yang pro Ahok mengatakan bahwa tidak penting melihat agamanya, yang penting melihat kinerja dan akhlaqnya. Pendapat ini tentu hanya mungkin diucapkan oleh seseorang yang meyakini bahwa keimanan bukanlah hal yang utama, melainkan yang penting berbuat kebaikan.
Mungkin tidak bisa digeneralisir, tetapi sebagaimana pemahaman saya dari melihat pidato-pidato Paus, pendeta, dan diskusi dengan teman-teman nasrani, tidak penting siapa yang beragama apa melainkan yang penting berbuat baik. Dalam diskusi tentang trinitas, banyak pula dari mereka yang mengatakan bahwa itu tidak begitu penting, yang penting beramal baik.
Saya menghormati kaum Nasrani, “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Amalan bukannya tidak penting (lihat Surah Al Asr dll). Tetapi tentu Islam tidak mengajarkan yang sama dengan Nasrani. Tidak ada agama yang diterima selain Islam (Surah Al Imran ayat 19, 83, dan 85), lalu yang paling pertama menjamin keselamatan kita adalah iman (Surah Al Asr, lihat juga rukun iman di Hadist Jibril di Sahih Bukhary, Vol I, no.8, Sahih Muslim dengan Vol dan No. Sama, dan berbagai hadist lainnya). Jelas juga kaum nasrani berbuat syirik, apapun penjelasan mereka tentang trinitas (lihat Surah Maryam ayat 88-92 dan Surah Al Ikhlas). Padahal syirik adalah dosa paling besar dalam islam (lihat Surah An Nisa ayat 48).
Surah Al Maidah ayat 44, 45, dan 47 menyatakan bahwa orang yang berhukum selain dengan hukum Allah adalah kafir, dzaalim, atau faasiq. Saya berdoa supaya orang-orang yang telah bersyahadat tidak ada yang tergolong diantara orang-orang yang seperti itu. Jika ada yang melakukan hal tersebut karena ketidaktahuannya atau kekurangpahamannya, semoga segera diberikan pemahaman dan paling penting: diberi ampunan oleh Allah s.w.t.
Yah, demikian tanggapan dari saya. Kebenaran hanya Allah yang tahu. Saya mencoba menjelaskan apa yang saya tahu tentang Firman Allah s.w.t. tetapi saya bisa saja salah. Semoga Allah s.w.t. mengampuni saya atas kesalahan saya. Semoga Allah s.w.t. selalu merahmati kita dengan pemahaman supaya nikmat apapun yang kita rasakan di dunia ini bukan satu-satunya kenikmatan yang kita rasakan. Semoga Allah s.w.t. selalu merahmati kita dengan kesadaran bahwa apa yang ada di dunia ini hanyalah fana, dan bukanlah tujuan akhir kita.
Wassalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
ALLAHU ‘AKBAR
ALLAHU ‘AKBAR
ALLAHU ‘AKBAR
ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR
lalu bagaimanakah kita sebagai warga negara yang baik dan sebagai muslim yang taat. di saat kita di hadapkan dengan yang seperti ini. memilih pemimpin di antara kandidat2 yang ada. ?
yg satu non muslim, yang satu tidak amanah.
Terima kasih komentarnya. Saya bukan ulama, jadi saya tidak berani berfatwa. Tapi jumhur ulama dari zaman dahulu hingga zaman sekarang melarang kita meminta fatwa untuk hal-hal yang belum terjadi. Dan alhamdulillah kita belum berada pada situasi di mana kita harus memilih antara orang kafir dan yang tidak amanah.
Terlebih lagi, jika seseorang sudah jelas beragama bukan Islam maka jelas jatuhlah hukum sebagai orang kafir. Sedangkan untuk menyimpulkan seseorang itu tidak amanah tentu dibutuhkan bukti bukti yang komprehensif dan akurat. Saya pribadi memilih untuk mencari yang sudah pasti (tidak memilih pemimpin orang kafir) daripada mengikuti keraguan (dari mana tahu pasti seseorang itu tidak amanah, bukannya dia hanya difitnah? Misalnya). Dasarnya adalah sebuah kaidah yang dikenal dalam fiqih:
اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ باِلشَّكِّ
“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan”
Jika suatu hari kita betul sudah dihadapkan dengan dua kandidat, satu kafir dan satunya muslim tapi telah valid terbukti tidak amanah, mari kita tanyakan kembali kepada para ulama 🙂
Wallaahu’alam
Menambah pengetahuan.. Makasih..
masi pada cetek aja ilmu nya pada berdebat…. maen bantah2an…..
TINGGALKAN PERDEBATAN….
https://ikhwahmedia.wordpress.com/2015/06/14/tinggalkan-perdebatan-sekalipun-di-pihak-yang-benar/
Kalo gitu ngapain anda datang ke saya dengan membawa argumen untuk meninggalkan perdebatan? Sama saja anda melakukan apa yang anda sendiri larang.
Apakah anda hanya sekedar menasehati saya? Maka saya juga menyebarkan sebuah nasehat.
Anda mungkin tidak membaca sampai habis artikel yang anda bagikan itu, kalaupun iya maka anda tidak memahaminya. Hadits yang dikutip di artikel yang anda sebarkan harus dilihat bersama-sama dengan dalil dalil lain. Misalnya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Surah Al Imron ayat 104)
Juga hadits lain misalnya diriwayatkan oleh Tariq bin Shihab r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah/mencegah dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubah/mencegahnya dengan lisahnya (maksudnya nasehat n peringatan). Dan jika tidak mampu, maka hendaklah ia merubah/mencegahnya dengan hatinya” (Sahih Muslim)
Dan laaain sebagainya.
Apakah ilmu saya masih cetek? Bisa jadi. Masalahnya tidak ada orang yang memiliki ilmu sempurna bung. Maka kewajiban-kewajiban menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar itu disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Nggak hitam putih. Kalaupun saya cuma tahu satu ayat, itulah yang akan saya sampaikan, dan itulah yang saya lakukan.
Dari Abdullah bin Amr r.a.
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”
Pertanyaannya adalah, apakah saya menyampaikan apa yang melebihi ilmu yang saya miliki? Jika memang demikian, maka anda harus membuktikan either bahwa ilmu saya belum cukup dengan anda membuktikan sejauh mana ilmu saya, dan/atau menjelaskan bahwa argumen saya salah.
PERTAMA: argumen saya salah belum tentu artinya saya tidak cukup ilmu. Semua ulama bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. pernah salah ketika menghukum bakar orang, atau Abdullah ibn Abbas r.a. ketika menghalalkan mut’ah.
KEDUA: berarti anda harus menunjukkan bahwa ilmu saya nggak cukup. Tapi untuk melakukan itu, anda harus BERARGUMEN yang mana kata anda sendiri harus ditinggalkan.
saya setuju dengan saudara fajri
alasan saya, dalam islam mencari pemimpin dahulukan akidahnya.
terus masih ada calon yang lainnya seorang muslim, calon yang muslim saya yakin bisa lebih baik daripada ahok
Barakallaahu fiik… Betul sekali alasan anda… semoga Allah menyelamatkan negara ini
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]:125)
وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 87)
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 56)
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (Q.S. Yusuf [12]: 108)
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah [9]: 122)
وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 73)