Ucapan Selamat Natal: Sebuah Sanggahan
Assalaamu’alaykum,
Tulisan ini bertujuan untuk menyanggah argumen-argumen pihak-pihak beragama Islam yang menyatakan boleh dalam Islam mengucapkan selamat natal. Tidak ada tujuan untuk menghina atau mengajak berkonflik, melainkan ini cuma sekedar mengungkapkan pendapat. Apa yang dzahir adalah kita sesama Muslim yang berijtihad apa yang menurut kita benar, dan perbedaan pendapat adalah hal yang biasa di seluruh aspek hidup. Yang belum tentu dzahir, misalnya apakah kita berpendapat dengan pemahaman/ilmu yang dipaksakan, sombong, atau berdasarkan iman terhadap hukum lain di atas hukum Allah, atau kekurangpahaman, itu urusan Allah. Jika salah satu dari dua pendapat ternyata salah karena ‘honest mistake’ walaupin ‘in good faith’, may Allah forgive our mistakes, reward our intentions, and bless us with deeper understanding.
Dengan demikian, berikut ini sanggahan-sanggahan saya.
1. Merayakan dan menyelamati bukan berarti ikut mengimani
Bersama dengan ini adalah pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa larangan selamat natal adalah berdasarkan kekhawatiran akan ikut dalam keimanan kaum nasrani.
Pertama, agak sulit membayangkan menyelamati terpilihnya Jokowi sebagai presiden tanpa mengakui bahwa Jokowi memanglah presiden. Natal adalah perayaan lahirnya Yesus Anak Allah (menurut kaum Nasrani).
Kedua, apakah menyelamati terpilihnya Barrack Obama jadi presiden USA adalah mengakui beliau sebagai presiden kita? Bukan. Tapi itu mengakui beliau sebagai penguasa sah di wilayah itu, atau sekalian mengatakan bahwa itu adalah hal bagus bagi orang USA? Syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni Allah (kecuali bertaubat). Mau dibilang apapun juga, trinitas adalah doktrin syirik. Mereka mau percaya, silahkan. Tapi seorang muslim menyelamati orang karena syiriknya? Hahaha, kayaknya sulit.
Ketiga, ‘khawatir terpengaruh keimanannya’ adalah cuma salah satu saja. Bertasyabuh (menyerupai) kafir juga adalah sebuah larangan.
Dari Abdullah ibn Umar r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda (terjemahan bebas): “barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum itu.” (Sunan Abu Dawud, Hadist No. 4031, Hasan Sahih oleh Albani, hadist serupa juga disahihkan oleh Ibn Hibban sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar dalam Bulugh al-Maram)
Turut meramaikan acara natal, artinya acara natal tersebut bertambah ramai, dan kita yang menyelamati natal juga menjadi bagian dari perayaan natal. Selamat, anda sudah jadi bagian acara Nasrani.
Ingatlah bahwa saling menyelamati natal juga adalah bagian dari perayaan natal itu sendiri. Jadi tidak ada namanya ‘menyelamati saja, walaupun tidak merayakan’.
Keempat, ‘semua tindakan tergantung niatnya. Niatnya kan bukan mengimani’. Sudah dijelaskan bahwa masalah niat bukan satu-satunya masalah, melainkan juga soal bertasyabuh seperti yang telah disebutkan di atas. Shaykh Salih Al ‘Uthaymeen (atau Al-Utsaimin) menjelaskan bahwa perihal tasyabuh itu adalah perkara kedzahiran dan tidak ada hubungan dengan niatnya maksudnya dia tidak bermaksud untuk bertasyabuh (Fatawa Nuurun ‘alad Darbi dan Qaulul Mufid).
Tetapi, terlebih lagi, banyak orang yang salah memahami hadist “Innama’al a’malu bin niyaat” (atau ‘pebuatan akan dinilai dari niatnya’, yang ada dalam hadist Sahih Bukhari, No.1, dan Sahih Muslim, No. 1907a), mengira bahwa mau melakukan apapun tidak apa apa asalkan niatnya baik.
Coba lihat terusan redaksi hadistnya “…Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.”
Ini menunjukkan bahwa bukan amalan apa saja yang dimaksud, melainkan suatu amalan yang sebetulnya sudah jelas baik (yaitu hijrah) tetapi niat yang berbeda akan menentukan hasil akhir. Imam Nawawi menjelaskan penafsiran yang tepat dari hadist ini adalah bahwa sebuah amalan baik akan jadi buruk jika niatnya buruk, dan jadi baik jika niatnya baik (Syarah 40 Hadist). Misalnya jika seseorang Shalat tetapi untuk dikagumi orang, maka itu riya’ dan akan tertolak. Sebaliknya, makan dengan tangan kanan tetapi dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah s.a.w. (berbagai hadist menyuruh makan dengan tangan kanan misalnya Sahih Bukhari No. 5376) tentu makannya itu dari perkara mubah akan bernilai ibadah. Selain itu, kalau benar-benar lupa atau keliru juga inshaaAllah dimaafkan (Surah Al Baqarah 286, Al Azhab ayat 5, dan Hadist dalam 40 Hadist Nawawi No. 39).
Tapi jika sengaja menyimpangi hukum Allah adalah bukti niat yang tidak baik. Demi berbuat ‘baik’ kepada kaum kafir, kita melanggar hukum Allah untuk tidak bertasyabuh dengan mereka? Tentu kita tahu apa sebutannya untuk orang yang menafikkan hukum Allah karena merasa dirinya memiliki ilmu yang lebih baik dari Rabb-nya?
2. Ini kan toleransi
Pertama, kita diperintahkan untuk berlaku baik dan adil pada kaum kafir yang tidak memerangi kita (Surah Al Mumtahanah ayat 8). Kita dilarang menghina sesembahan mereka Surah Al An’am ayat 108). Tidak bisa masuk Muslim yang membunuh kafir mu’ahad atau sudah perjanjian damai dengan umat islam (Sahih Bukhari No. 3166, ibn Hajar r.a. berkata dalam Fathul Bari 12/259 ini berlaku untuk kafir dhimmi atau mustaman juga). Bahkan kita dilarang untuk mengurangi hak atau mendzalimi kafir dhimmi dalam bentuk apapun, dengan ancaman Rasulullah s.a.w. sendiri yang akan menuntut kita di hari akhir nanti (Sunan Abu Dawud, No. 3052, disahihkan oleh Albani). Kita dilarang memaksakan agama kepada mereka (Surah Al Baqarah ayat 256). Menyelamatkan satu manusia tanpa spesifikasi agama adalah sama baiknya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia (Surah Al Maidah ayat 32). Masih banyak lagi. Apa hanya karena tidak mengucapkan selamat natal, tiba-tiba kita ini tidak toleran?
Kedua, “memangnya itu cukup toleran?” islam memang diimani dalam hati. Tapi sumber islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, bukan hati anda. Banyak orang yang terjebak dengan cara melihat apa yang dia rasakan dalam hati, lalu berasumsi bahwa “Kalau hati nuraniku berkata seperti ini, islam pasti mengajarkannya”. Perasaan seperti ini adalah salah satu bukti konkrit bahwa “hati nurani” anda dikonstruksi oleh sinetron. Selama ribuan tahun, rendahnya posisi kulit hitam dibanding kulit putih dan perbudakan adalah sesuatu yang sangat diterima akal sehat dan hati nurani lho. Fitrah manusia memang islam, tapi lingkungan mengkonstruksi kita.
Karena itu, Islam memang agama yang toleran. Tapi belum tentu toleransi dalam konsep islam sama dengan toleransi sekuler. Yang mana yang lebih baik? Perdebatannya bisa panjang tapi saya tidak berminat membahasnya. Jika anda percaya bahwa konsep toleransi dalam islam (bersumber Al-Qur’an dan Hadist) bukan yang terbaik, berarti anda bukan muslim.
Ketiga, kaum nasrani pun mengucapkan selamat idul fitri kepada kita? Jelas saya sangat berterima kasih bagi mereka yang menyelamati kita, tapi bukan berarti saya harus menyelamati mereka balik. Saya tidak tahu dan tidak peduli apa ajaran mereka tentang mengucapkan selamat hari raya agama lain. Tapi kalau memang betul secara dalil dalam islam tidak boleh mengucapkan selamat natal (lihat poin 1 dan sub sub poinnya, saya tunggu jika anda punya sanggahan balik), masa kita mengorbankan agama kita demi ‘toleransi’? Hal ini cuma akan dilakukan oleh seseorang yang menomorduakan Allah dan Rasul-Nya.
Mayoritas Muslim hafal Surah Al-Kaafiruun, dan saya yakin tahu artinya (google pun mudah). Tahu asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) Surah Al Kaafiruun? Kaum Kafir mengajak Rasulullah berganti-gantian saling menyembah sembahan satu sama lain. Terasa kan hikmahnya untuk situasi ini?
Keempat, kita harus berbuat baik kepada kaum Nasrani? Ya, kita tidak boleh mendzalimi mereka dll. Sudah saya berikan beberapa sampel perbuatan toleransi dalam islam untuk kaum kafir. Tetapi sejauh apa kita harus berbuat baik pada mereka? Mau sekalian kita ikut menyembah salib, karena ini adalah hal yang menyenangkan bagi mereka? Tentu tidak. Ada batasnya. Di mana batasnya? Larangan bertasyabuh. Menurut anda tidak cukup? Well, menurut Allah cukup.
Kelima, banyak masyarakat nasrani yang mungkin bertanya-tanya atau bahkan mengeluh kenapa banyak muslim yang tidak toleran kepada nasrani karena tidak mengucapkan selamat natal.
Mungkin mereka belum paham kalau ini bertentangan dengan aqidah kita. Berilah penjelasan dengan adab yang sebaik-baiknya. Kalau itupun mereka masih menolak dan merasa tidak cukup, berarti mereka standar ganda. Masa minta kita toleran, tapi sendirinya tidak toleran kepada kita?
Sudahlah, yok kita saling berbuat baik dan adil sesuai ajaran agama masing-masing.
3. ‘hari gini kok masih ndebatin masalah beginian’.
Dengan hormat, kita punya perbedaan pendapat dan pemahaman mengenai hidup. Gaza pun masih kita perdebatkan, karena adalah sebuah masalah yang terus terjadi. Bagi saya, dan umat Muslim lainnya, tujuan hidup adalah untuk ibadah. Bagi yang mungkin agak bingung apa manfaatnya tujuan seperti ini, umat Islam mempercayai bahwa hidup ini fana (Surah Ar-Rahman ayat 26-27) dan cuma ilusi saja (Surah Al-Hadid ayat 20). This life is a test.
Bagi yang tidak setuju, silahkan, lakum diinukum waliyadiin (Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu – Surah Al Kaafiruun ayat 6). Yang jelas, jangan suruh islam mengubah-ubah ajarannya.
Ada yang pernah bilang “Nabi Muhammad membawa semangat perubahan. Karena itu, kalo kita saklek ikut hukum Al-Qur’an tanpa dimodifikasi mengikuti kebutuhan zaman, itu melanggar spirit yang dibawa Nabi Muhammad.” Perkataan itu tidak ada benarnya sedikitpun. Rasulullah s.a.w. tidak datang membawa ‘semangat perubahan’, melainkan ajakan untuk beriman pada Allah dan mematuhi firman-Nya. Apa masuk akal, manusia punya ide yang lebih baik sehingga merevisi perkataan Rabb-Nya? Jika anda tidak percaya Al-Qur’an adalah kata-kata Allah, berarti anda bukan Muslim.
Karena mungkin agak beda dengan beberapa agama lain, islam itu adalah agama berdasarkan wahyu, dan tidak direvisi. Hukum tidak pernah berubah. Hukum-hukum yang baru tidaklah menyimpang apalagi merevisi dari Al-Qur’an dan Hadist, melainkan mengaplikasikan dengan fakta baru. Misalnya dulu rokok halal saat kita belum tahu bahwa dia berbahaya karena hukum asal dari semua perkara duniawi adalah halal, tetapi setelah diketahui keburukannya maka menjadi haram karena apa yang berbahaya bagi diri adalah haram hukumnya.
Sedangkan ucapan natal adalah hal yang tidak bersifat baru. Saya kurang tahu dan agak malas mencari kapan pertama kali natal dirayakan, tapi yang jelas umat nasrani sudah ada sejak berabad-abad sebelum Rasulullah s.a.w. datang dan menyempurnakan agama-Nya.
Demikian poin-poin sanggahan saya. Allah Knows Best.