Kisah Mahasiswa Dengan “Nilai Tertinggi” Untuk Ujian INTEGRITAS
Mahasiswa sering menuntut integritas. Tapi apakah mahasiswa sendiri bisa menunjukkan integritas? Apalagi pada momen-momen ketika kejujuran akan merugikannya secara materil, sedangkan ketidakjujurannya tidak akan terungkap. Apakah bisa?
Ternyata BISA. Ayo dibaca kisah luar biasa dari salah satu mahasiswa saya yang luar biasa ini.
Sabtu malam saya selesai mengoreksi nilai ujian mid semester untuk mata kuliah International Law (kelas A dan B, total sekitar 80-an mahasiswa), dan langsung pula saya selesai mengoreksi. Mengingat proses memeriksa lembar-lembar ujian tersebut, awalnya saya sangat sedih karena harus memberi nilai-nilai yang sangat rendah. Yaitu 9, 5, 2, dan bahkan 0. Bukannya saya kejam, tapi saya berusaha seadil mungkin dan memang begitu adanya.
Perasaan saya bangkit ketika ada mahasiswa yang mendapatkan nilai 90, dan bahkan puncaknya adalah seseorang mendapatkan nilai 96! Sungguh, walaupun sekian tahun pengalaman saya mengajar sejak tahun 2003, tapi baru dua tahun belakangan ini saya mengalami mengajar kelas dan harus menilai, sedangkan nilai mereka ini secara langsung berpengaruh pada kelulusan. Barulah saya merasakan bagaimana memberi nilai rendah itu tidak enak, dan betapa bahagianya memberikan nilai tinggi.
Tanpa sedikitpun mengurangi kebanggaan saya pada anak-anak saya yang mendapatkan nilai tinggi, apalagi yang mendapatkan nilai angka tertinggi yaitu 96. Akan tetapi, “nilai tertinggi” yang tertera pada judul tulisan ini bukanlah tentang si anak yang mendapatkan 96.
Karena berbagai pertimbangan, beberapa detail yang tidak penting tapi berpotensi berdampak ‘aneh-aneh’ akan dirahasiakan atau diganti.
————————————————-
Sabtu malam, setelah selesai mengoreksi, saya langsung mempublikasikan nilai ujian tengah semester mata kuliah International Law tersebut di blog. Sebelumnya saya sudah mempublikasikan kunci jawaban beserta aturan untuk protes atau bertanya lebih lanjut. Minggu pagi, sudah ada sejumlah mahasiswa yang mengajak bertemu.
Akhirnya Senin siang, ada tiga mahasiswa yang bertemu saya. Nah, salah satunya adalah mahasiswa yang menjadi inti cerita saya. Sebut saja namanya adalah A. Tanpa bermaksud menilai rendah siapapun, apalagi merasa bahwa saya lebih baik dari siapapun, saya sekarang baru menyadari pula bahwa dari sekian banyak mahasiswa yang meng-email saya dan mayoritasnya Muslim, tapi hanya dia yang memulai emailnya dengan salam.
Sebetulnya saya paling sibuk memperhatikan satu mahasiswa yang panik sekali dengan hasil nilainya, dan juga satu lagi yang kelihatannya saya memang salah menjumlahkan total nilainya, si A ini dengan tenang mengamati lembar jawabannya. Eh, sekalinya dia bicara, ini (kurang lebihnya) yang dikatakannya: “Kelihatannya anda tidak ada yang salah menilai. Tapi nilai yang anda tuliskan di lembar jawaban saya ini lebih rendah dari apa yang anda publikasikan di blog.”
Ya ampun, betul, saya salah memasukkan nilai ke lembar daftar nilai! Saya yakin dia tahu betul bahwa jika dia diam saja, maka nilai yang terrekam adalah tetap nilai yang lebih tinggi. Perbedaannya lumayan. Mestinya nilainya mendapatkan suatu angka yang setara dengan nilai D bawah, tapi malah saya tuliskan angka setara dengan C agak tengah. Ternyata, nilainya tertukar dengan absen sebelumnya –dan si yang absennya sebelum itu sama sekali tidak tampak protes dengan nilainya yang tertulis setara D bawah itu (tidak mengajak bertemu, dan saat berpapasan pun hanya menyapa biasa). Saya yakin pula dia tahu bahwa hasil kejujurannya adalah revisi nilainya dari C menjadi D.
Allah yang lebih tahu isi hati orang, tapi apalah saya yang cuma manusia biasa. Saya cuma bisa menilai dari apa yang dzahir, dan dari apa yang dzahir dia sangat berhak atas prasangka baik saya.
Saya pernah jadi mahasiswa, dan sebelumnya siswa. Saya tahu betul seberapa jauh yang bisa dilakukan seorang mahasiswa untuk mendapatkan nilai. Entah kapan awalnya idealisme kita mulai luntur, dan mulai pragmatis: ‘di dunia nyata orang jujur nggak laku’ atau ‘ah, yang lain juga begitu’ untuk menjustifikasi perbuatan-perbuatan dusta dan dzalim yang kita lakukan. Jangan-jangan pendusta pertama pun beralasan ‘ah, yang lain juga begitu’?
Betapa sering kita menyalah-nyalahkan kerusakan yang terjadi, apalagi orang hukum yang mengamati langsung kebobrokan sistem hukum kita, padahal saat kita menunjuk ada satu jari yang mengarah pada yang tertunjuk dan tiga jari yang balik mengarah pada kita sendiri.
Allaah mustaan!!
Tapi mahasiswa ini.
Apakah saya lebay? Apakah saya terlalu banyak berfikir atas perkara yang sebetulnya sangat kecil?
Abu Dharr meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kalian sekali-kali meremehkan kebajikan sedikitpun, walau hanya sekedar bertemu dengan saudaranya dengan wajah berseri” (Sahih Muslim, Hadith No. 2626)
Oke, saya bersyukur memang bukan karena si A senyum-senyum sama saya. Intinya, kalaupun benar ini adalah perkara yang kecil, tapi suatu perkara kecil tidak boleh diremehkan. Apalagi menurut saya pribadi, perkara kejujuran adalah hal besar!
‘Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (Sahih Muslim, Hadith No. 2607c)
Tapi bagaimana kita tumbuh dalam sebuah budaya ketidakjujuran? Sudahlah kita sering terbiasa melakukan kebohongan-kebohongan kecil, entah bagaimana caranya berusaha menjustifikasinya, menjadikannya biasa, dan akhirnya terwujudlah ‘ah, semua orang juga begitu’.
Demi Allah, betapa sungguh pentingnya kejujuran itu! Apalagi di zaman seperti ini, APALAGI DI SEBUAH FAKULTAS HUKUM!
Untuk anda semua yang membaca ini, belajarlah dari si A. Berusahalah penuhi perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berbuat jujur, walaupun hasilnya belum tentu secara langsung mengenakkan. Mulai dari hal yang paling kecil hingga yang paling besar. Tidak akan mudah, pasti akan muncul derita-derita sedikitlah, tapi bersabarlah. Si A berlaku jujur dengan kesadaran penuh nilainya akan merosot dari C ke D.
Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Surah Al-Baqarah ayat 155)
Untuk jannah, apa sih yang tidak worth it?
Selain untuk diri anda sendiri, fikirkanlah juga sekeliling anda. Berpartisipasilah dalam menciptakan masyarakat yang jujur, mulailah dari diri anda, lalu orang-orang terdekat anda.
Dalam Surah Al-Asr ayat 3, Allah mengatakan bahwa syarat untuk selamat di hari akhir bukan cuma iman tapi juga:
…تَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ…
“..saling menasehati dalam haq..” jadi kalau ada yang berbuat salah boleh dikoreksi (tentu dengan cara yang ahsan), lalu ayat 3 Surah Al-Asr berakhir dengan:
وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ….
“dan saling menasehati dalam sabar.” Karena semakin orang berbuat kebaikan akan semakin besar ujiannya. Apalagi di bidang hukum. Lawyer jujur bisa jadi akan malah miskin, hakim jujur bisa dimutasi ke pelosok samudra Pasifik atau bahkan dijebak.
Karena itulah, terserahlah saya dibilang lebay. Sebangga-bangganya saya pada mereka yang mendapat nilai di atas 90 bahkan 96, tidak ada apa-apanya dibandingkan bangga saya pada A. Demi Allah, A-lah yang memperoleh nilai tertinggi untuk ujian tengah semester ini.
Semoga Allah merahmatinya dengan berkah yang melimpah, dan semoga dia selalu teguh di atas kejujurannya, dan semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah kecil nan lebay ini!
================================
UPDATE 22 Oktober 2017
Di tulisan sebelumnya, saya belum menceritakan bagaimana respon saya pada kejujuran mahasiswa ini. Kedua kawannya, di depan muka saya, mengatakan pada si A bahwa ia bodoh karena berkata jujur. Saya mengatakan pada A bahwa dia seharusnya mendapat D, tapi kita sudah terlalu sering menghukum penjahat tanpa memberi apresiasi pada yang taat. Hati saya tidak bisa menerima jika A, yang berani jujur walau menanggung kepastian rugi, tidak mendapat apresiasi apapun. Saya pun membiarkan nilai C-nya, tanpa diganti.
Kawannya yang saya salah tulis jadi D, tentu tetap saya ubah jadi C sebagaimana haknya. Lalu kedua kawannya yang mengatakan ia bodoh, saya ancam untuk menurunkan nilainya karena sikapnya itu (walaupun akhirnya tidak saya lakukan). Tapi kepada A, saya nasehati dua hal:
- Mungkin tidak banyak dosen lain yang akan mau mengapresiasi kejujuranmu dengan cara seperti ini, dan mungkin jujur terkadang akan membawa kesulitan kesulitan, tapi saya berdoa bahwa itu tidak menghentikanmu dalam berbuat jujur
- Berjuanglah lebih keras pada ujian akhir nanti. Bukannya saya tidak suka kamu ada di kelas saya, tapi akan lebih baik kalau kita tidak bertemu lagi tahun depan di mata kuliah yang sama.
Saya lupa nilai apa yang saya berikan padanya pada ujian akhir. Tapi, setahun kemudian, yaitu pada tahun 2016 (saya baru kepikiran untuk nulis sekarang), si A ini mengulang mata kuliah tersebut. Mungkin tidak ada yang bisa memahami sepenuhnya betapa senangnya saya ketika saya akhirnya memberikan nilai A kepada si A. Saya tahu betul bahwa ia pasti berjuang dengan sangat keras untuk mendapatkan nilai tersebut. Dan memang sudah sepantasnya ia mendapatkan nilai A.
Saya benar-benar berharap bahwa ia selalu tetap dalam kejujurannya, dan kisahnya bisa diambil jadi pelajaran untuk orang lain: baik guru maupun murid.